🌷Lamaran 🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Setelah belajar merelakan, akan ada saatnya kita nanti dipertemukan pada persimpangan cerita yang lebih baik atau skenario Tuhan yang sesuai kita harapan~

***
After the Rain by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote dan komen

Langkah laki-laki itu kembali berhenti di persimpangan yang menuju tempat parkir. Ia menatap ke belakang, ada rasa berat harus meninggalkan sahabatnya dalam kondisi seperti itu. Namun, rasa sakit di hatinya belum terobati.

Ia menyandarkan tubuhnya pada tiang penyangga gedung ini, mengambil gawai untuk segera menghubungi seseorang.

"Son, temani Anton di rumah sakit, aku ada keperluan di luar. Tidak usah cemas karena semua administrasi sudah aku selesaikan."

Tanpa menunggu jawaban dari seberang, ia langsung mematikan panggilan tersebut. Tangan kanan menyetop taksi yang kebetulan telah digunakan untuk mengantar pasien kemari, Adit langsung memasuki kendaraan tersebut untuk melaju ke suatu tempat.

Rumah yang ia akan singgahi masih sama seperti saat ia memutuskan untuk pergi. Pojok taman depan dengan bangku putih yang biasa ia duduki sambil menunggu Mamah mengurus bunga-bunga kesayangannya. Tak lupa ia menatap mobil terparkir di luar untuk memastikan orang yang ia akan temui berada di dalam rumah ini.

Bukan hal yang aneh, jika Adit membuka pintu dengan membenturkan benda itu ke tembok di sampingnya sehingga menimbulkan suara yang keras.

"Di mana Arya!"

Adit terus berteriak memanggil nama papahnya. Nampak Mamah terburu-buru menuruni tangga karena sangat mengenal siapa yang memanggil suaminya.

"Adit?" sapa Mamah dengan mata berbinar melihat putranya yang sekarang jalannya sudah tak normal kembali.

"Di mana Arya?"

Mata Mamah langsung memerah, ia bisa menangkap jika putranya masih menaruh kebencian terhadap ayah kandungnya sendiri.

Suara langkah berderap dari tangga yang menghubungkan lantai atas dengan lantai tempat Adit berpijak.

Dengan berani ia berjalan dengan tongkatnya mendekati laki-laki itu yang sekarang sudah bergabung di ruangan ini. Jarak mereka sangat dekat setelah selama ini Adit mengatur agar mereka tak berdekatan seperti dahulu.

"Ada apa? Apa kamu butuh uang?" tanya Arya dengan wajah khawatir. Mengingat transferan yang ia berikan tak pernah ditarik satu sen pun oleh putranya.

"Simpan saja uangmu dan tak perlu membayar orang untuk memantau saya," ucap Adit dengan membusungkan dada dan sedikit angkuh.

"Maksud kamu apa? Papah tidak paham?"

Laki-laki tua itu sedikit kebingungan karena tak dapat menangkap sedikit celah apa yang dimaksud putranya.

"Tuan Arya yang saya hormati, mulai saat ini Anda tidak perlu membayar Anton—sahabat saya untuk memata-matai saya. Pakai saja uang anda untuk membayar orang untuk mencari anak haram yang sekarang sedang menjadi buronan polisi."

"PLAK!!"

Di bawah tangga Mamah berteriak histeris melihat Arya menampar Adit, tubuh laki-laki itu sedikit terhuyung karena kaki yang satu belum bisa menahan berat tubuhnya.

"JAGA MULUT KAMU! JANGAN UCAPKAN KATA-KATA SEPERTI ITU LAGI! ancam Arya kehilangan kesabarannya.

Adit tak membalas, ia hanya menatap mata di depan dengan penuh dendam. Sampai kapanpun genderang perang akan selalu ada di antara mereka. Ia memilih berbalik menuju pintu untuk pergi tanpa arah, menghiraukan panggilan Mamah disertai isak tangisnya.

🌷🌷🌷🌷

Langit malam ini terasa berbeda karena cahaya bintang bertebaran di atas sana. Kiran menghirup udara malam ditemani semerbak aroma mawar yang sengaja Hafidz tanam dalam pot untuk menghiasi balkon di atas.

"Sendiri?"

Suara laki-laki yang datang membuyarkan lamunannya saat mengingat seseorang di sana.

"Hemmm."

Kiran menatap sekilas laki-laki yang sudah duduk di kursi malas yang disediakan di sini.

"Apa perasaan kamu masih sama pada laki-laki itu?" tanya Hafidz secara tiba-tiba membahas tentang Adit.

"Apa pentingnya untuk kamu?" jawab Kiran tak memedulikan Hafidz yang sekarang sudah sejajar menatap langit yang sama.

"Sangat penting. Aku akan maju jika laki-laki itu sudah tak ada di hatimu."

Suara laki-laki itu terdengar tak biasa sehingga mata milik Kiran langsung menatap balik Hafidz yang tengah menatapnya.

Suara sekitar terasa sunyi bahkan burung pun enggan bersuara saat itu. Dengan keringat dingin yang sudah bercucuran efek gugup dan tangan sedikit gemetar mengambil sesuatu di dalam saku celananya.

Benda itu sudah berada di tangan Hafidz. Mata Kiran terus mengikuti pergerakan dari bahasa tubuh di depan yang sudah tegang dan kaku.

Dengan tangan yang masih bergetar karena gugup, Hafidz segera membuka benda itu dan langsung setengah berlutut di depan Kiran yang masih menatapnya tak percaya.

"Will you marry with me?"

Kalimat yang paling sakral dari bibir Hafidz kepada perempuan yang ia cintai sejak ia mondok di pesantren. Ia sering mencuri-curi pandang dan berbagai cara agar bisa dekat dengan Alif atau Pak Kyai. Sayangnya, perempuan ini tak pernah tahu tentang perasaannya.

"Ma-maksud kamu apa?"

Kiran sendiri merasa lemas di kedua lututnya menghadapi aksi Hafidz yang benar-benar gila dan di luar dugaannya.

"Will you marry with me?"

Jujur ini paling menegangkan dalam kehidupan laki-laki itu. Lebih menakutkan dibanding dengan berhadapan dengan penjahat kelas kakap.

Dengan sedikit keberanian, manik mata Hafidz mendongak ke atas karena hampir lima menit tak ada suara dari bibir di sana. Mata mereka bertemu sekejap dan Hafidz buru-buru mengalihkan tatapannya sambil menunggu jawaban dari permintaannya.

🌷🌷🌷🌷

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, biasanya ia sudah turun membantu bibi menyiapkan sarapan tetapi sekarang tidak. Ia lebih memilih berdiam diri di kamar sambil mengingat kejadian semalam membuat wajahnya merah malu mendapatkan lamaran paling romantis dalam hidupnya.

Dengan jantung berdebar, ia membuka pintu dengan sangat hati-hati. Jangan sampai derit pintu di kamar ini membuat penghuni kamar keluar dari ruangan di sebelahnya.

Kamar di samping tertutup rapat. Jarang-jarang Hafidz menutup pintunya, biasanya ada sedikit celah terbuka dengan alasan jika ada apa-apa dengan dirinya, laki-laki itu bisa keluar sesegera mungkin.

Dengan menuruni tangga sambil berjinjit, Kiran mendapati bibi yang sudah menata makanan di atas meja.

"Mas Hafidz di mana, Bi?"

Lidah terasa janggal ketika menyebut sapaan laki-laki itu. Biasanya ia akan langsung memanggil nama secara langsung tanpa embel-embel.

"Itu Bapak sudah turun!" seru Bibi dengan sedikit keras membuat Kiran berjingkat kaget. Ia lalu menyembunyikan pandangannya pura-pura mengambil makanan ke atas piring.

Suara kursi ditarik tetap saja membuat wajah Kiran menunduk sambil menikmati makanan yang terasa sulit ditelan. Suasana pagi di meja makan ini terasa sangat berbeda dari sebelumnya.

Sekarang Kiran memilih duduk di bagian tengah, padahal jelas-jelas pintu samping sopir sudah dibukakan oleh Hafidz.

Laki-laki itu kembali menutup pintu itu dengan perasaan sangat kecewa. Baru kali ini suasana mobil sangat dingin dan kaku, mungkin kalau diibaratkan seperti sopir go-car yang mengantarkan penumpang.

Di dalam mobil, Kiran juga lebih asyik membalas chat sahabatnya dibandingkan menatap balik laki-laki itu yang kadang menatap Kiran lewat kaca di depan. Untung saja perjalanan ke kampus tak membutuhkan waktu yang lama.

Hafidz sama sekali tak turun dari mobil seperti biasanya, kali ini langsung melaju tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya setelah penolakan semalam.

"Selamat ulang tahun!" pekik Iffah sambil berjalan mendekati sahabatnya. Mereka berpelukan sangat erat karena rasa rindu dan baru nisa bertemu setelah acara penculikan waktu itu.

"Terima kasih."

Kiran membalas pelukan sahabatnya tetapi mata tak pernah lepas dari mobil itu yang pergi begitu saja. Ia baru ingat jika semalam, Hafidz selain mengungkapkan keinginannya, juga mengucapkan selamat ulang tahun pada dirinya. Boneka Teddy bear besar sebagai kado masih berada di kamar Kiran yang sengaja ia letakkan di pojok bawah.

"Sudah baca chat aku kemarin?"

Kiran mengangguk dengan semangat karena karyanya lolos bahkan sebentar lagi akan bertengger di toko buku favorit.

"Hari ini kamu disuruh menemui pemilik kampus."

Seketika kebahagiaan itu pelan-pelan memudar berganti dengan rasa terkejut.

"Pemilik kampus? Papahnya Adit?" tanya Kiran tak percaya.

Iffah mengangguk.

"Un-untuk apa?"

Kiran masih ragu dengan berita barusan. Jarang-jarang ia berurusan dengan pemilik kampus bahkan baru kali ini.

"Entahlah," jawab Iffah sambil mengangkat bahunya.

Kiran semakin berpikir keras apa maksud dan tujuan Tuan Arya memanggil dirinya.

"Mungkin ada kaitannya dengan naskah kamu, apalagi membawa nama kampus. Mungkin seperti itu," sambung Iffah berusaha mengurangi kepanikan sahabatnya.

"Mungkin."

Kiran langsung berpamitan pada sahabatnya untuk segera menemui seseorang yang berada di lantai tingkat atas. Jantung ia kembali berdegup kencang, sama seperti saat memberikan jawaban pada laki-laki itu semalam. Ia kembali teringat saat memberikan jawabannya yang sangat singkat dan alasan yang tak masuk akal. Dengan buru-buru dan tangan memegang boneka ia langsung masuk dan mengunci pintu balkon rapat-rapat.

"Tok...Tok...."

Terdengar suara dari dalam yang mengizinkan tamu untuk masuk. Kiran membuka pintu lebar-lebar dan sengaja tak menutupnya kembali.

Ia melihat laki-laki dengan pakaian formal tengah menatap pemandangan lewat dinding kaca di depannya.

"Selamat pagi, Pak?" sapa Kiran dengan sedikit ketakutan karena harus bertemu lagi dengan Papahnya Adit setelah pertemuan mereka yang terakhir di acara resepsi waktu itu.

Laki-laki itu tak membalas sapaannya, ia membalikan badan dan berjalan mendekati siapa yang datang ke ruangannya.

"Karya kamu lolos di penerbit ternama," ucap laki-laki itu dengan kaku.

Kiran sendiri bergidik ngeri, ia tak membayangkan jika akan diundang di sini. Semoga saja orang yang paling sibuk dan memegang jabatan di kampus ini tak membaca apa yang ia tulis.

"Iya, Pak. Saya sudah menerima kabar dan sudah tanda tangan perjanjian kontrak dengan penerbit."

"Bagus, saya suka mahasiswa yang membawa nama kampus untuk hal positif seperti ini. Semoga saja banyak mahasiswa yang mengikuti jejak seperti kamu."

"Terima kasih. Semoga saja banyak mahasiswa yang juga mengukir prestasi di bidang literasi atau bidang yang lainnya."

"Tujuan saya mengundang kamu ke sini sebenarnya bukan membahas tulisan. Namun, saya perlu meminta bantuan dari kamu."

Kiran mendongak ke atas, memerhatikan wajah yang sudah terdapat kerutan di kening dan rambut yang sudah banyak memutih.

"Bantuan apa, Pak?"

Arya menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan kasar.

"Cuma kamu yang bisa mengembalikan putra saya agar kembali ke rumah."

Kiran melangkah ke belakang, ini bukanlah permintaan yang mudah. Apalagi hubungan kedua orang itu sedang memburuk.

"Sepertinya—"

"Betul kata kamu, sepertinya tidak mungkin. Apalagi Adit sangat membenci saya."

"Maaf, Pak."

"Ah, sudahlah. Percuma saya meminta tolong sama kamu."

Secara halus, pemilik kampus itu menyuruh Kiran pergi.

"Saya pamit undur diri karena sebentar lagi mata kuliah dimulai."

Kiran bergegas menuju pintu, hatinya bersorak karena ia bebas dari ruangan yang mencekam.

"Saya suka tulisan kamu. Cerita itu bukan untuk anak saya kan?"

Pertanyaan tadi jelas terdengar saat Kiran sudah di depan pintu keluar. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Jika ia boleh memilih mending ia pergi tak kasat mata dibandingkan kepergok seperti ini. Kiran langsung mempercepat langkahnya menuju kelasnya.


🌷🌷🌷🌷

Seorang laki-laki tengah menunggu di taman depan kampus. Hari ini ia sengaja datang di hari spesial perempuan yang ia sayangi. Sepertinya kuliah masih berlangsung karena belum menampakkan diri. Lebih baik memilih di bangku taman bersama mahasiswi lain yang sedang terlibat percakapan yang sangat seru.

"Gila itu anak sastra lolos juga karyanya di penerbit tenar. Besok katanya sudah mejeng di toko buku."

"Maksud Lo, mahasiswa itu yang namanya Kiran?"

Terpaksa laki-laki itu ikut mendengarkan perbincangan mereka karena sudah menyangkut nama Kiran.

"Iya. Ceritanya bagus juga sih tentang preman-preman gitu? Bukankah cerita bad boy gitu yang sekarang digandrungi anak muda?"

Telinga laki-laki itu semakin panas mendengarkan pembicaraan tersebut. Ia menyesal telah datang ke tempat ini. Lebih bagus ia tak mendengar seperti ini.

"Riset di mana dia?"

Perempuan itu sekarang tertawa terbahak-bahak.

"Pastinya sama preman lah, makanya bisa sedetail itu."

"Memang Lo baca naskahnya?" tanya perempuan satu penasaran.

"Iya dong. Cowok gue kan panitianya. Iseng-iseng saja aku baca dan cerita Kiran itu bagus dan feel-nya dapat."

Adit langsung berdiri dari bangku taman, ia tak sanggup mendengar kelanjutan perbincangan dua perempuan itu yang sudah membuatnya panas. Baru beberapa langkah, ia sudah dikejutkan oleh suara perempuan yang sangat ia kenal tengah memanggilnya.

"ADIT?"

Terpaksa ia menoleh ke belakang. Perempuan yang baru datang itu tak sendiri, ia bersama sahabatnya. Adit mengatur napas karena sepertinya emosi sudah menguasai dirinya.

"Selamat ulang tahun," ucap Adit sambil menyerahkan bunga yang sedikit layu karena ia terlalu keras menggenggamnya.

"Terima kasih," tukas Kiran sambil mengamati wajah di depan yang terlihat sangat berbeda seperti tak biasanya.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro