🌷 Penghianatan🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Rasa itu hadir  saat  detik pertama melihatmu untuk yang  pertama kali dan akan bertahan sampai akhir menutup mata~

****

After the Rain by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote. Jangan lupa Al Kahfi

Laki-laki yang sudah terpelanting jauh sekitar lima meter masih tergeletak dan tak bergerak. Semua pasang mata yang ada di situ seakan dipaksa untuk berhenti dan melihat apa yang terjadi. Kaum hawa banyak yang bergidik ngeri dan memalingkan wajahnya tak kuat melihat pemandangan di depan yang masih terbujur kaku  sama sekali tak bergerak.

Sedangkan laki-laki lain mendekat dengan tatapan nanar melihat sosok sahabatnya. Kaki itu seperti ada beban karena sulit untuk melangkah.

Sebelum sampai di sana, sudah beberapa orang mengerumuni korban kecelakaan tersebut tanpa menyentuhnya karena takut terjadi kesalahan.

Sepasang manusia tengah berlari karena mendengar suara teriakan dari jalan depan kantor polisi. Apalagi untuk Kiran yang sudah syok setengah mati karena terdengar suara teriakan nyaring memanggil nama Adit.

Mata Kiran memerah dan sudah berkaca-kaca tatkala ia harus melihat darah kembali. Kedua kakinya kembali kaku dengan tangan yang sudah keluar keringat dingin.

"A...."

Kiran tak kuasa meneruskan ucapannya karena yang sekarang terdengar suara lantang Hafidz memerintahkan agar orang-orang itu membantu menaikkan korban pada mobil yang melintas di depan.

"Cepat bawa ke rumah sakit. Nanti saya akan menyusul!" perintah Hafidz dengan lantang.

Kiran mengejar Hafidz yang sekarang berlari menuju mobilnya. Membuka pintu mobil dan buru-buru memasang seat belt.

"Aku antarkan kamu ke rumah dulu!"

Suara Hafidz terdengar tak biasa. Kiran bisa mengamati jika wajah itu sangat serius karena kejadian barusan.

"Ak-aku ikut," pinta Kiran yang sedang menghapus air matanya.

"Di luar berbahaya. Lebih baik kamu di rumah."

Kiran menggeleng lemah dan tetap bersikukuh untuk ikut ke rumah sakit.

"Kenapa aku mencium tragedi tadi ada hubungannya dengan penculikan yang melibatkan kamu dan Adit?"

"Pen-penculikan?" tanya Kiran tak percaya.

Sebelumnya ia tak pernah berpikir jika akan seperti ini. Wajah Kiran langsung kembali menegang sama seperti Hafidz.

"Penjahat itu masih berusaha mencelakai Adit dan ...."

Kiran menatap mata itu yang terlihat rasa kekhawatiran yang teramat besar.

"Kamu."

Seketika perempuan itu menelan ludahnya. Ia kembali teringat jika kelemahan Adit ada pada dirinya. Pantas saja, Haris membawanya dalam kasus kemarin.

"Ak-aku?" tanya Kiran masih tak percaya.

"Kamu juga dalam bahaya, harus hati-hati. Masih mau tinggal di kontrakan?" tantang Hafidz  tak peduli jika Kiran sudah ketakutan setengah mati.

"Sampai Haris ditemukan, kamu harus tetap di rumahku atau nanti setelah wisuda langsung pulang ke Solo saja."

Kiran mengangguk pasrah, ia tak menyangka akan serumit sekarang. Ia kembali teringat korban kecelakaan tadi, mungkin saja sudah sampai di rumah sakit dan segera ditangani tim medis.

Selama di perjalanan, ia terlalu larut dalam lamunannya sehingga tak sadar jika Hafidz sudah membuka pintu bagian samping.

"Ikut ke dalam, aku tidak bisa membiarkan kamu sendiri di sini. Terlalu berbahaya."

Kiran melirik wajah itu yang terlihat masih serius dan tegang sama seperti dirinya. Perlahan kaki mulai turun dari mobil setelah kaku karena harus melihat darah kembali.

Kiran bergegas berjalan menuju UGD dan di sana ia melihat laki-laki yang tengah menunggu saat sahabatnya sedang diperiksa oleh perawat.

"Aku ke dalam dulu!" ucap Hafidz tergesa-gesa menuju dalam. Sebenarnya ia agak berat karena harus turun tangan langsung ke dalam kasus untuk kedua kalinya seperti ini.

Kiran duduk di samping seseorang yang sedang gelisah. Laki-laki itu sendiri tengah menatap ke lantai rumah sakit yang barusan ia tinggalkan belum lama dan akhirnya harus kembali lagi. Ia meremas rambut di kepalanya yang sudah panjang.

Mereka berpandangan sekejap dengan tatapan yang sulit diartikan dan kemudian menatap pintu IGD yang terlihat sosok Hafidz tengah berbincang dengan  bagian administrasi.

"Ak-aku mengira itu kamu yang tertabrak," sahut perempuan itu lirih sambil meremas jemarinya.

"Apa kamu mengkhawatirkan aku?"

"Sangat," jawab Kiran dengan jujur.

"Terima kasih," jawab laki-laki yang identik dengan topi gelapnya.

"Namun, sekarang kita tidak bisa membicarakan urusan hati dan perasaan karena keselamatan kita jauh lebih penting. Haris memang benar-benar gila, ia sudah tak peduli, keinginan dia itu satu...."

"Apa?"

Mata Kiran menangkap aura wajah di samping yang  benar-benar ingin menghabisi musuhnya.

"Aku mati."

"Ma-mati?" ulang Kiran  seakan  tak percaya apa yang ia dengar.

Adit mengangguk kemudian berucap, "Haris ingin menguasai harta Arya."

Suasana semakin mencekam, musuh yang mereka hadapi bukanlah orang biasa.

"Boleh aku minta sesuatu sama kamu?"

Adit akhirnya menatap manik mata milik Kiran yang ia hindari mati-matian sejak tadi.

"Apa?"

"Tetaplah bersama Hafidz, kamu tak boleh lengah sampai semua aman."

Kiran mengangguk dengan terpaksa. Dari jauh mereka melihat Hafidz tengah mendekati mereka berdua.

"Anton sudah sadar. Barusan keningnya selesai dijahit karena ada luka robek di sana."

Adit langsung berdiri mengambil tongkat yang ia sandarkan pada bangku dan melangkah menuju dalam. Sampai di sana, ia melihat sahabatnya tengah duduk di tepi ranjang.

"Bodoh!" Adit menoyor kepala yang keningnya sudah tertutup perban.

"Sakit, tahu. Kenapa? Lo khawatir?"

"Cihh, sejak kapan gue peduli sama Lo," jawab Adit berbohong.

"Kepala gue biasa bocor ini gara-gara tawuran. Luka begini belum apa-apa dibandingkan kaya biasa."

Adit menggeleng, antara geli dan ingin menumpuk kepala di depan.

"Kenapa lo tolongin gue? Harusnya gue yang ketabrak bukan Lo!"

Anton tertawa cekikikan mendengar ucapan sahabatnya.

"Gue gak mau kaki Lo pincang yang satunya lagi? Satu begitu saja sudah merepotkan."

"Sialan."

Niat hati mau mengkhawatirkan yang ada malah disepelekan seperti ini, Adit jadi menyesal.

"Eh, Kun...."

Anton tak jadi meneruskannya karena ternyata di belakang Kiran ada polisi yang mengawalnya. Adit hanya sekilas menatap ke belakang.

"Aku pulang," pamit Kiran yang dilanjutkan anggukan dari laki-laki itu. Tatapan matanya menyiratkan banyak yang harus diucapkan dari bibir Adit namun hanya berakhir di tenggorokan saja.

Kiran dan Hafidz langsung pergi meninggalkan dua laki-laki yang masih menatapnya dari jauh.

"Cemburu?" goda Anton membuat Adit semakin berpikir keras.

"Tidak," jawabnya datar. Ia menarik kursi dan segera duduk. Menarik topi lebih ke bawah kemudian melipat tangannya di depan dada.

"Kok bisa?"

"Dia lebih aman bersama polisi itu dibandingkan dengan aku."

Keduanya langsung terdiam sambil memikirkan siapa yang menjadi pelaku kejadian tadi.

"Dia masih berkeliaran."

Adit menarik napas dalam-dalam sambil menatap sahabatnya yang tengah memegang perban di kepalanya.

"Bahkan jelas-jelas kita di depan kantor polisi tetapi dia masih berani juga melakukannya. Oleh sebab itu aku menyerahkan Kiran pada Hafidz."

"Karena kamu tak mampu menjaganya?" cibir Anton.

Deheman kecil keluar dari mulut Adit dengan wajah yang masih tegang.

Seorang perawat mendatangi mereka sambil menyerahkan selembar resep untuk ditebus di apotek dan Adit beranjak pergi untuk membeli obat. Semakin selesai urusannya maka akan secepatnya akan pulang ke rumah karena Anton tak perlu opname.

Di persimpangan jalan menuju ke apotek yang bersebelahan dengan tempat parkir, ia melihat Kiran masih di sana bersama Hafidz. Dengan kedua matanya sendiri ia melihat mereka tengah tersenyum satu sama lain.

"Ini lebih baik dibandingkan bersama aku, sudah lumpuh ditambah musuh yang menginginkan aku mati," gumam Adit lirih.

🌷🌷🌷🌷


Seseorang laki-laki paruh baya berjalan tergesa-gesa menuju ruang yang terdapat banyak orang sakit. Ia tengah mengamati sekitarnya sebelum memutuskan untuk masuk. Setelah bertanya pada petugas yang jaga, akhirnya ia berjalan menuju tempat yang dituju.

"Apa yang menyebabkan kamu seperti ini?"

Anton yang tengah tiduran sambil memegang gawai seketika langsung duduk melihat siapa yang di berdiri di sampingnya.

"Tu-tuan," sapa Anton gugup melihat majikannya.

"Parah?" tanya yang datang sambil melihat perban putih di wajah Anton.

"Ti-dak. Cuma beberapa jahitan saja."

"Baguslah. Setidaknya anak saya tidak kenapa-napa.

Anton hanya bisa menelan ludahnya yang pahit, nasib bekerja pada orang lain yang harus bertaruh nyawa agar bisa mengobati biaya pengobatan orang tuanya. Tidak ada yang tahu jika ia menjadi mata-mata Arya, jangan sampai sahabatnya tahu tentang masalah ini.

"Sudah saya transfer seperti biasa."

Anton mengangguk paham, dalam hati terus berdoa agar majikannya cepat pergi karena sebentar lagi Adit akan kembali.

"Jaga Adit baik-baik, sekali pun nyawa kamu taruhannya. Haris bukan orang biasa. Saya juga sedang mengutus orang untuk mencari Haris."

Anton terdiam, memandang ke bawah sambil memikirkan nasibnya. Yah, sesuai perjanjian dengan laki-laki itu jika ia harus mati-matian menjaga putra majikannya. Sudah berapa bekas luka yang ditoreh di tubuhnya hanya melindungi Adit dari geng kampung sebelah.

"Saya pergi."

Anton mengembuskan napas lega, untung saja tidak lama-lama berada di sini. Tak berselang lama, Adit masuk ke ruangan yang sama. Seketika aliran darah di tubuh Anton dipaksa berhenti mendadak karena melihat wajah Adit yang sudah berubah.

🌷🌷🌷🌷

"Aku tidak akan kembali ke asrama," sahut Hafidz secara tiba-tiba setelah keduanya terlibat dalam keheningan selama di dalam mobil.

"Maksud kamu?"

Kiran langsung menatap laki-laki di samping yang fokus menyetir berusaha mencari jawaban atas ucapannya barusan.

Hafidz malah diam tak berkutik, pandangannya masih tertuju di depan. Ia akui ini sangat berat, harus satu atap dengan perempuan yang bukan mahram, namun ini jalan satu-satunya agar Kiran lebih aman. Ia akan mengawasi dan antar jemput perempuan itu yang sekarang sudah mulai aktif kembali di kampus.

"Aku akan tetap tinggal di rumah."

"Aku keberatan," cetus Kiran dengan mimik wajah tidak suka.

"Sama, aku juga iya. Tapi kalau ada yang berusaha mencelakai kamu gimana? Haris bukan penjahat biasa. Sudah beberapa kali mencoba mencelakai kalian!"

Suara Hafidz meninggi, Kiran sedikit menggeser duduknya karena baru kali ini laki-laki itu berbicara dengan nada tinggi pada dirinya.

"Terserah."

Kiran memalingkan wajahnya menatap samping, ia sudah memikirkan trik bagaimana mereka tidak sering ketemu walaupun tinggal satu rumah. Mungkin jalan satu-satunya ia harus terus berdiam diri di dalam kamar.

"Untung saja, kita tidak tinggal berdua. Masih ada bibi di sana."

Perempuan itu tak menjawab hanya menyadarkan kepalanya pada sandaran mobil. Entah mengapa beban yang dirasakan sangat berat. Ia berdoa agar ia dapat selesai kuliah tahun ini juga agar bisa kembali ke solo atau suatu tempat yang sangat jauh untuk menimba ilmu lagi.

Dering nada pesan terdengar sangat nyaring membuat Hafidz ikut menoleh.

"Selamat naskah kamu lolos dan sebentar lagi akan masuk proses penerbitan."

Isi pesan itu membuat Kiran langsung tersenyum melupakan masalahnya sejenak.

"Dari siapa? Adit?" tebak Hafidz dengan kepala yang sudah berada dekat dengan Kiran.

"Huh, mau tahu saja."

Hafidz menelan kecewa karena perempuan itu belum bisa terbuka dan masih menganggapnya tak lebih dari orang lain.

🌷🌷🌷🌷


Adit  melemparkan keresek putih dengan kasar di atas ranjang yang ditempati Anton. Bahkan beberapa plastik yang berisi obat-obatan sedikit mencuat dari keresek tersebut.

"Dit?" sapa Anton yang sudah panik karena ia menduga jika Adit pasti mendengar percakapan dengan Arya.

"Sejak kapan kamu berkhianat?" tanya Adit dengan nada datar tetapi terasa menusuk hati sahabatnya.

"Ak-aku—"

"Kalau kamu butuh uang tinggal bilang saja. Nanti aku akan carikan tidak perlu menusuk aku dari belakang."

"Dit, aku tidak seperti yang kamu pikirkan!"

Suara Anton meninggi membuat beberapa perawat langsung menatap ke arah mereka.

"Sudahlah, aku tidak percaya kamu lagi."

Adit memilih hengkang dari tempat ini, jika bukan sahabatnya mungkin sudah habis babak belur di tangannya dengan mengesampingkan di mana ia sekarang berdiri.

Anton dengan pandangan sayu menatap Adit pergi. Sekarang ia menerima kemarahan dari sahabatnya, dalam beberapa menit lagi ia akan mendapatkan amarah lagi dari majikannya.

Adit melangkah dengan di temani tongkatnya. Ia kecewa berat untuk hari ini yang benar-benar menyita otaknya. Semua yang ada didekatnya pergi, Kiran dengan polisi itu, sedangkan Anton akan ia jauhi karena penghianatannya.

"Bos?" sapa seseorang di depan berjalan terburu-buru menghampiri Adit.

Wajah Adit langsung berubah kesal, ia langsung berbisik pada orang itu.

"Kenapa ke sini?"

"Maaf, bos. Masalahnya ponsel bos susah sekali dihubungi."

"Ada apa?" tanya Adit dengan sedikit menggertak.

"Cuma mau minta tanda tangan saja," jawab orang itu dengan wajah ketakutan sambil menyerahkan sebuah map yang terdapat sebuah dokumen di sana.

Adit langsung meraih dengan kasar. Mata terbelalak menatap nominal yang tertera di sana.

"SATU MILYAR??"

"Ya, bos. Barang-barang di sana banyak yang habis. Kita harus menyetok karena bulan depan akan ada kenaikan beberapa sparepart."

"Sudah kamu cek semuanya?"

Laki-laki itu mengangguk menyakinkan pimpinannya yang sudah beberapa bulan tidak bertandang ke bengkel. Adit langsung membubuhkan tanda tangan di atas kertas tersebut.

"Pergilah. Setelah ini aku transfer. Besok kalau mau ketemu janjian dulu. Jangan sampai orang-orang tahu siapa aku sebenarnya."

"Baik, Bos."


Pembaca dukung siapa?

1. Kiran - Adit

2. Kiran - Hafidz

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro