🌷Mencoba tersenyum🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Dinding itu semakin meninggi ketika kita melafalkan doa masing-masing di tempat yang berbeda~

****

After the Rain by Galuch Fema

Besok pengumuman give away ya? Happy reading jangan lupa vote

"Kamu," sahut Adit menoleh ke belakang. Ia melihat sekitar barangkali ada sosok laki-laki lain tetapi perempuan itu benar-benar sendiri.

"Lo tidak apa-apa kan, Dit?"

Adit menggeleng lemah sambil menyandarkan punggungnya di dinding dekat trotoar. Perjalanan kali sungguh berat tanpa hasil yang ia dapatkan.

"Kapan Kiran tinggal di tempat Hafidz?" tanya Adit dengan hati yang sangat berat.

"Aku tidak tahu tepatnya kapan, namun setelah kepulangan Kiran dari rumah sakit, ia belum menapakkan kakinya kembali ke kontrakan."

Helaan napas Adit yang berat terdengar sampai ke telinga Iffah.

"Kiran pantas kok mendapatkan sosok yang sempurna seperti Hafidz, bukan laki-laki cacat seperti gue," lirih Adit sambil terus menatap tongkat yang selama ini menemaninya.

"Memang selamanya kamu akan memakai tongkat seperti ini terus?" tanya Iffah hati-hati.

"Entahlah. Sampai saat ini aku sedang berusaha melepaskan tetapi tetap saja terjatuh."

"Apa kamu sangat mencintai Kiran?"

"Lebih mencintai diriku sendiri. Namun sepertinya kita memang tidak  ditakdirkan bersatu."

"Karena perbedaan kalian?" tebak Iffah.

Adit terkekeh-kekeh sambil berucap, " Sudah cerita apa saja dia?"

"Banyak. Bahkan apa yang kamu belum tahu, aku sudah mengetahuinya sebelumnya."

Adit menatap samping, ada sesuatu yang janggal dalam kata-kata sahabatnya.

"Maksud kamu?"

"Eh, enggak, " sahut Iffah mengalihkan pembicaraan hampir saja ia keceplosan tentang tulisan yang sedang di tulis sahabatnya.

Sebuah motor berhenti di depan mereka. Laki-laki yang memakai jaket hitam mendekat dan menyodorkan sebuah helm untuk calon istrinya.

"Gimana udah sehat?" tanya Iqbal.

Adit mengangguk sambil tersenyum.

"Mau pakai payungnya?" tawar Iffah sambil mendekatkan payung yang sudah basah.

Adit terkekeh geli sambil berucap, " Jalan saja susah apalagi bawa payung. Aku tidak apa-apa. Nanti Anton akan kemari."

"Kita pergi dulu," pamit Iqbal dan Iffah.

Adit kembali mengangguk sambil mengatur napasnya kembali ke rumah ditemani rintik yang belum pergi. Hujan ini sama seperti kemarin, terasa menyakitkan sampai lubuk hatinya. Benar juga pepatah mengatakan jika jangan jatuh cinta saat hujan turun, hasilnya sama seperti sekarang karena terasa sangat berat untuk melupakan.

🌷🌷🌷🌷


Kiran meringkuk di atas kursi teras depan rumah Hafidz, hari-hari ini sama seperti kemarin, sangat melelahkan dan membosankan. Pak polisi itu sama sekali belum mengizinkan dirinya untuk pergi, padahal Iffah sudah bolak-balik mengajak untuk ketemuan karena ada hal penting yang harus disampaikan.

Sayangnya ada CCTV di rumah ini yang menyebabkan dirinya tak bisa berkutik. Suara klakson membuyarkan lamunannya, siapa lagi kalau bukan pemilik rumah ini karena memang ini jadwalnya pulang.

Kiran melirik sekilas laki-laki dengan memakai kaos ketat menampakkan tubuhnya yang atletis.

"Kangen sampai menunggu di teras segala?" sapa Hafidz yang sekarang sudah duduk di batu tepi taman kecil.

"Aish, apaan sih?" sahut Kiran seraya beranjak dari tempat duduknya.

"Tunggu sebentar."

Tangan kanan Hafidz terjulur tepat di depan tubuh Kiran yang hendak masuk ke dalam.

"Ada apa?" tanya Kiran dengan malas.

"Apa kamu keberatan jika tinggal di sini?"

Wajah Kiran berbinar, ternyata Hafidz paham apa yang ada dalam pikirannya.

"Iya."

"Lantas mau kamu apa?" tawar Hafidz membuka arloji di pergelangan tangannya. Tatapan pada perempuan itu berubah pilu, padahal ia sudah berkorban banyak.

"Aku mau balik lagi ke kontrakan."

"Kamu di sana tidak ada yang jagain," sanggah Hafidz berpikir keras. Ia tidak mau membohongi sahabatnya dan juga tidak ingin mengekang perempuan ini. Benar-benar sebuah dilema.

"Di sana nanti ada—"

"Adit masih belum pulih, ia masih harus memakai tongkat."

Kiran menjatuhkan tubuhnya kembali pada kursi tersebut, ia mengira jika Adit sudah berjalan normal tanpa alat bantu tetapi nyatanya tongkat itu masih menahan tubuh Adit.

"Ak-aku ingin bertemu dengan Adit."

Hafidz mengembuskan napas kasarnya. Mencoba masuk ke dalam celah hati perempuan itu sangat sulit karena seluruh hati itu sudah terisi orang lain.

"Baiklah, tunggu sebentar. Kita sekalian pergi ke kantor polisi karena kamu akan diminta data-data untuk kasus penculikan kemarin."

Tubuh Kiran menegang dengan bibir yang langsung memucat, mendengar kata penculikan kemarin ia langsung kembali teringat ketika laki-laki itu bersimbah darah di bagian perutnya.

"Tap-tapi...."

"Tak perlu takut, aku akan menemani kamu. Harusnya kemarin kamu harus ke sana tetapi karena aku tidak ingin membiarkan kamu sendiri terpaksa sekarang saja kita ke sana. Bukankah kamu jenuh di rumah terus apalagi aku pantau pakai CCTV."

Hafidz tertawa meledek perempuan yang sekarang wajahnya sudah kembali ke semula, jutek dan tak pernah tersenyum kepadanya.

"Di kamar yang sekarang aku tempati enggak ada kan?"

Mata Kiran sudah terlihat seringai kemarahan karena laki-laki itu mengawasi 24 jam sudah seperti bodyguard saja.

"Tidak mungkin, lah. Kenapa sih kamu tak pernah berpikir positif tentang aku."

"Entahlah, memang aku tidak suka sama kamu," jawab Kiran sambil mengangkat kedua bahunya.

"Apa aku harus jadi seperti Adit dulu, suka kebut-kebutan, tawuran biar kamu jatuh hati sama aku," goda Hafidz kembali membuat Kiran naik pitam.

"Jadi penjahat pun, sekalinya aku tidak suka ya tetap tidak," kilah Kiran merasa jengkel karena laki-laki itu selalu terus terang tentang perasaannya.

"Beruntung sekali Adit bisa memenangkan hati kamu."

Kiran terdiam, ucapan Hafidz terasa mengena di hatinya.

"Memenangkan tapi tak bisa bersatu sama saja bohong."

🌷🌷🌷🌷


Suasana kantor polisi yang lengang, tetap saja membuat Kiran semakin bergidik ngeri. Para polisi yang ia temui tampak menghormati laki-laki di samping.

"Siapakah sosok Hafidz sebenarnya? Apa dia mempunyai jabatan yang penting?"

"Siang, Pak!" ucap seseorang di depan membuyarkan lamunan Kiran.

"Bukankah hari ini bapak libur karena besok baru dinas?" tanya seseorang lengkap dengan pakaian dinasnya.

"Cuma mengantar seseorang saja ada keperluan untuk penyelidikan," sahut Hafidz sambil menunjuk Kiran yang berada di samping.

"Calon, Pak?" tanya rekan Hafidz sambil tersenyum.

Hafidz sendiri malah tersenyum ke arah Kiran membuat perempuan itu salah tingkah, ia lebih suka memalingkan wajahnya pura-pura menatap samping.

"Silakan, Pak. Saya mau tugas di luar."

"Baiklah," jawab Hafidz mempersilakan rekannya untuk pergi.

Keduanya langsung berjalan menuju depan ruangan.

"Masuk saja. Sudah ditunggu di dalam," ucap laki-laki itu dengan lembut.

"Takut," jawab Kiran dengan telapak tangan yang sudah dingin.

"Tidak apa-apa, aku tunggu di sini saja karena ini bukan bagian aku."

Kiran mengerucutkan bibirnya, ia mengira laki-laki ini akan menemaninya masuk ke dalam.

"Cuma beberapa pertanyaan saja. Lagian sebentar saja. Kamu itu aneh, sama preman yang jelas-jelas begitu tidak ada takut-takutnya. Giliran sama polisi takut," ledek Hafidz yang sebenarnya hanya mencairkan suasana saja agar Kiran tidak ketakutan lagi.

"Tapi polisi seperti kamu, aku enggak takut."

Perempuan itu melenggang masuk dengan kaki sengaja dihentak sehingga membuat Hafidz geli sendiri melihat tingkah laku Kiran.

Hafidz sengaja duduk di kursi tunggu sambil menikmati lingkungan tempatnya ia dinas, kapan lagi ia bisa seperti ini. Duduk dengan nyaman tanpa beban tugas di pikirannya. Sebenarnya ia mempunyai keinginan jika acara kenaikan pangkatnya kemarin akan dihadiri oleh seseorang tetapi sama saja seperti dulu, selalu sendiri saat pengambilan sumpah pertamanya.

Mata Hafidz tertuju pada laki-laki yang keluar dari ruangan ujung, sepertinya ia memiliki kepentingan yang sama seperti Kiran.

"Sudah selesai?"

Laki-laki itu mengangguk kemudian menatap ke bawah. Perbedaan dengan polisi itu bagaikan langit dan bumi. Apalagi sekarang ia sudah cacat dan harus dibantu dengan tongkat saat berjalan. Lebih baik ia berpamitan saja.

"Jangan pulang dulu. Dia ada di dalam."

"Di dalam? Siapa?"

Adit semakin tak paham dan belum mengerti siapa yang dimaksud oleh Hafidz karena setahunya ini adalah tempat bekerja laki-laki ini.

"Kiran."

Adit merutuki ucapan Hafidz, satu kata yang diucapkan kembali lagi meruntuhkan tembok yang ia bangun mati-matian di dalam hatinya. Lagi-lagi ia harus pasrah jika ia memang benar-benar belum bisa melupakan satu nama itu.

"Tidak, Bang. Saya pamit pulang saja."

Adit sudah melangkahkan tongkatnya tetapi selalu dicegah oleh Hafidz.

"Itu dia!"

Terpaksa netra Adit mengarah ke arah perempuan yang baru keluar ruangan tengah menatap polisi yang tak jauh darinya. Sepertinya dia belum menyadari kehadirannya. Adit buru-buru menggerakkan tongkat untuk secepatnya melangkah untuk menghindar dari sepasang kekasih itu.

Hafidz menyadari jika Adit terus melangkah pergi, ia lalu memberi isyarat pada Kiran untuk segera melihat siapa laki-laki dengan tongkat itu. Mata Kiran terbelalak, ia tak menyangka jika akan bertemu dengan Adit di tempat ini.

"Adit!" panggil Kiran secara reflek ketika laki-laki itu terus melangkah menjauh.

Adit bergeming pura-pura tak mendengar teriakkan perempuan itu, dengan susah payah ia terus melangkah cepat-cepat padahal kakinya terasa sangat nyeri untuk diajak jalan secara cepat.

Kiran langsung berlari menahan kepergian laki-laki itu, ternyata tak sulit karena ia sekarang sedang di depannya sambil merentangkan kedua tangannya agar Adit segera berhenti.

"Adit?" panggil Kiran sekali lagi.

Dengan terpaksa Adit menatap wajah itu yang sekarang sudah berkaca-kaca. Ia benci sekali melihatnya bersedih dan menangis. Seharusnya dia sudah berbahagia dengan laki-laki pilihan orang tuanya dan tak peduli lagi dengan perasaannya pada laki-laki lumpuh seperti ini.

"Apa kabar?"

Pertahanan Kiran luluh ketika air mata itu sudah tak terbendung.

"Baik," jawab Adit mencoba tersenyum mengesampingkan keinginannya untuk bisa lebih dekat lagi seperti dulu.

"Kamu sekarang...."

Kiran tak sanggup meneruskan ucapannya, pandangannya tertuju pada tongkat yang dikenakan Adit.

Tak disangka, Adit malah tertawa.

"Kenapa? Ada yang aneh dengan aku seperti ini?" sahut Adit sambil menunjuk pada tongkatnya.

"Apa kamu akan tetap seperti itu?"

Tangan Kiran langsung menghapus air mata di pipinya.

Hafidz sendiri memilih masuk ke dalam, sengaja memberi waktu pada dua orang tersebut untuk tetap bertemu.

"Mungkin karena aku tak bisa berdiri tanpa bantuan tongkat ini," jawab Adit santai.

"Maafkan aku, Dit?" sesal Kiran yang sekarang kembali terisak.

Adit sendiri muak dengan keadaan yang melibatkan drama seperti ini, benar saja apa yang dikatakan oleh Anton.

"Maaf untuk apa? Aku yang seharusnya minta maaf membawa kamu terjebak dalam masalah keluarga aku."

"Oleh sebab itu, lebih baik kita berjauhan saling menjaga jarak, karena cuma ini yang paling aman. Haris masih menjadi buron, dia kapan saja bisa mencelakai kamu," lanjut Adit dengan nada yang khawatir.

"Nanti kita pikirkan lagi cara lain agar kita bisa dekat lagi seperti dahulu saat kondisi aman. Aku juga sekarang cacat jadi tidak bisa menjaga kamu," bisik Adit hati-hati sambil melihat suasana sekitar.

Kiran semakin terisak namun setidaknya sedikit lega mendengar penuturan preman itu.

"Selama tinggal di rumah polisi itu, dia tidak yang berbuat aneh-aneh bukan?"

Kiran menggeleng, mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan sesuatu.

"Hafidz tidak tinggal di situ."

Mata Adit terbelalak, apa yang ia pikirkan selama ini ternyata salah. Ia mengira polisi itu memanfaatkan kedekatan dengan Kiran selama mereka tinggal bersama.

"Hafidz tinggal di asrama. Aku tinggal sama bibi di rumah itu."

"Baguslah. Maaf sudah berpikiran buruk tentang kalian."

"Aku tidak semurah itu, bodoh!" sungut Kiran dengan sangat kesal.

"Maaf. Aku pulang dulu. Jaga diri kamu baik-baik."

Kiran dapat mendengar suara itu sekarang tak bersahabat lagi dan terdengar datar. Bahkan sorot pandangannya terlihat kaku, tak hangat lagi seperti dulu. Namun, Kiran sadar ini hanya untuk sementara waktu,  sampai situasi membaik. Orang tua Kiran tak lagi melarang  dan tak ada orang jahat lagi yang mengusik hubungan mereka.

"Baiklah. Kamu juga hati-hati."

Netra melihat sampai bayang itu pergi dan tak terlihat menghilang dari pintu utama bangunan itu.

🌷🌷🌷🌷


"

Huft, aku benci ini. Andai saja tak ada pertemuan mungkin tak berat seperti ini," gerutu seseorang sambil terus melangkah dengan tongkatnya menuju tepi jalan raya dengan terik sinar matahari tepat di ujung kepalanya.

"Mana sih tuh anak, bukannya ikutan masuk malah ngilang. Apa jangan-jangan ia lagi beli rokok di seberang jalan?"

Mata itu melihat mobil miliknya tengah parkir di seberang jalan. Setelah mengamati suasana jalan yang dirasa lengang, ia kembali melangkah ke seberang.

Sayang, saat berada di tengah jalan, sebuah mobil hitam melaju dengan kencang dari arah berlawanan. Mobil itu berjalan di dengan kecepatan di atas rata-rata padahal sudah ada rambu-rambu di sana.

"ADIIT!!!"

Suara benturan yang sangat keras mengenai tubuh seseorang yang sekarang terpelanting di pinggir jalan, sayangnya mobil itu pergi meninggalkan jejaknya tak memedulikan korban yang ditabrak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro