🌷 Belajar untuk mengalah🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Bersabarlah, aku yakin perbedaan itu akan mengalah karena lelah mendengar rintihan rindu~

***
After the Rain by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote

Mata Kiran membulat, ia merapikan kerudung di samping telinganya siapa tahu ia salah mendengar.

"Tinggal di rumah ini, rumah kamu?"

Kiran mengulang kata-kata Hafidz barusan.

"Iya. Ada yang salah?" tantang Hafidz sambil menatap ke samping.

"Jelas salah dong. Tanpa memintaku terlebih dahulu tiba-tiba ambil keputusan sepihak jika aku suruh tinggal di sini, berdua dengan laki-laki yang bukan mahram. Begitu?"

Kiran sudah emosi dengan laki-laki di samping. Selama dekat dengan Adit, preman itu selalu menjaga jarak dengan dirinya. Tidak dengan laki-laki ini dengan gampang menyuruh tinggal bersama. Oh My God!

"Baju-baju kamu sudah ada di dalam. Cepat keluarlah!" perintah Hafidz yang sudah menuruni mobil meninggalkan Kiran yang masih emosi.

"APA?!?!"

Kejutan apa lagi ini, sejak kapan laki-laki itu membereskan baju-baju miliknya di kontrakan.

"KAMU DENGAN BERANI AMBIL SEMUA BAJU AKU DI LEMARI!!" hardik Kiran yang sudah benar-benar naik pitam.

"Bukan aku, tapi Iffah teman kamu," seloroh Hafidz membela sendiri.

"Kamu suruh aku kumpul kebo begitu tinggal di sini!"

Tangan Kiran sudah berkacak pinggang. Jika bukan polisi di depannya mungkin ia sudah menampar laki-laki itu.

"Di sini ada bibi, nanti aku tinggal di asrama saja," sahut laki-laki itu mengalah.

"Tetap tidak bisa. Aku tidak mau tinggal di sini."

Hafidz mendengkus kesal, ia semakin paham sifat perempuan di depannya. Entah mengapa preman itu bisa sabar menghadapi perempuan aneh seperti ini.

"Abah yang menyuruh kamu tinggal di sini. Setidaknya di perumahan ini lebih aman karena tak semua orang bisa masuk."

"Aku tak percaya. Bisa saja ini cuma akal-akalan kamu saja," tukas Kiran dengan sengit.

"Telepon Alif saja jika kamu tak percaya!" perintah Hafidz yang sudah hilang kesabaran. Ia melemparkan kunci mobil begitu saja ketika masuk ke dalam rumahnya. Entah mengapa perempuan itu selalu berpikiran buruk terus terhadap dirinya.

Tak lama kemudian, Kiran mengikuti laki-laki itu masuk setelah menelepon kakaknya. Hafidz tidak berbohong.

Di ujung pintu, Kiran berdiri dengan kebingungan. Pemilik rumah sama sekali tak menampakkan diri, mungkin marah karena tuduhannya barusan.

"Mbak Kiran?"

Suara perempuan melangkah  mendekati Kiran yang masih sibuk menoleh kanan dan kiri. Netra melihat perempuan yang memakai kebaya dan jarik seperti banyak terlihat di kampungnya.

"Iya."

"Mari bibi antar ke atas. Kamar mbak ada di atas bersebelahan dengan kamar bapak."

Kiran yang hendak menaiki anak tangga seketika langsung berhenti.

"Bersebelahan? Apa maksudnya?"

Mata perempuan itu langsung mengedarkan pandangannya melihat ruangan lantai satu. Ruang tamu yang tak begitu luas disekat lemari kaca besar. Di belakang lemari itu tampak satu set meja makan yang berdekatan dengan dapur modern. Mungkin kamar ada di atas kecuali kamar bibi karena sepertinya di dekat dapur ada ruangan kecil.

"Iya, bi," sahut Kiran sambil melangkah dengan perasaan yang sudah tak menentu.

Saat kaki sudah berada di lantai dua, di sana terdapat dua kamar berdampingan, ada sedikit ruang di depannya yang digunakan sebagai ruang keluarga. Satu set sofa yang beralaskan karpet tebal dan rak mini berisi televisi.

"Kamar mbak Kiran. Baju-baju yang bapak bawa masih di dalam koper, belum bibi bongkar."

"Tidak apa-apa, biar nanti saya saja."

Mata Kiran sedikit melirik ke arah pintu kamar di samping yang sedikit terbuka.

"Bibi tinggal dulu mau menyiapkan makanan."

Kiran mengangguk, dengan pelan membuka gagang pintu kamar. Aroma apel menyapa perempuan berkerudung itu masuk ke dalam kamar yang nantinya akan ia tempati.

Sebuah ranjang ukuran sedang, meja belajar di ujung yang lumayan besar karena nantinya bisa sekalian tempat kosmetik. Untung saja di ujung terdapat toilet karena nantinya ia tak akan berbagi kamar mandi dengan laki-laki itu.

Tirai yang terbentang lumayan panjang oleh Kiran dibuka. Ternyata di sana ada sebuah pintu yang menuju balkon.

Udara selepas hujan terasa menusuk hidung, terasa  dingin mampu menenangkan hatinya yang sedang kacau. Ia menarik napas dalam-dalam agar oksigen masuk ke dalam paru-parunya. Membuang perlahan, sial. Masih saja bayang-bayang Adit yang menari-nari di pikirannya.

Tangan Kiran meraih benda yang ia simpan di saku jaket yang ia kenakan. Mengamati tiap butir tasbih dan mendekatkan pada bibirnya.

"Baru juga pisah sebentar, sudah kangen."

Kiran buru-buru membalikkan tubuhnya, ia melihat laki-laki itu duduk di kursi santai di ujung balkon berdekatan dengan bunga-bunga yang bermekaran tumbuh di atas pot.

"Huft, laki-laki itu lagi!"

"Kenapa masuk ke kamar tidak ketuk pintu dulu!" hardik Kiran dengan wajah yang sudah kesal. Untung saja ia belum menanggalkan kerudungnya.

"Siapa juga yang masuk kamar kamu?" ucap laki-laki itu dengan tersenyum.

Kiran baru menyadari jika terdapat dua pintu berjejer yang menuju balkon ini.

"Lagi-lagi aku selalu terpojok."

"Katanya mau berangkat dinas?" tanya Kiran mengingatkan karena sedari tadi di rumah sakit ia selalu di buru-buru dengan alasan mau berangkat dinas.

"Malas, aku geser saja waktunya malam hari. Lagian aku belum membereskan baju yang aku bawa ke asrama," sahut Hafidz dengan tak bersalah. Ia menahan senyumnya karena perempuan itu wajahnya langsung berubah kesal, buru-buru masuk ke dalam kamar yang sebelumnya menjadi kamarnya.

Ketukan pintu dari tangan Hafidz tak membuat Kiran membuka pintu kamarnya, mungkin mau istirahat.

Suara adzan terdengar begitu jelas masuk ke rongga telinga Kiran, ia mengerjap mata yang terasa pekat ditambah ruangan ini yang gelap karena sinar lampu balkon hanya sedikit saja yang masuk.

"Astaghfirullahal'adzim," pekiknya kaget. Ia baru menyadari jika hari sudah malam. Adzan isya yang membangunkannya, untung saja ia sedang halangan.

Jemari tangannya meraih jilbab instan karena ia akan keluar dari ruangan ini. Suasana terasa sangat sepi, pintu kamar Hafidz juga tertutup rapat.

Dengan ragu, ia mengetuk pintu kamar itu tetapi tidak ada sahutan. Ketika bibir hendak memanggil nama itu namun dirasa janggal. Bagaimana tidak, ia selalu memanggil nama saja padahal usia Hafidz sama dengan usia kakaknya.

"Mas?" panggil Kiran dengan kaku ketika bibir harus mengucap kata itu.

Sama sekali tak ada sahutan, dengan ragu ia membuka pintu dan ternyata tak dikunci. Kamar itu sedikit terbuka dengan cahaya temaram karena tirai yang dekat dengan balkon sudah tertutup. Ruangan ini sedikit sempit tak seperti yang ia tempati.

"Bapak sudah pergi," sahut seseorang dari belakang. Hampir saja perempuan itu berjingkat karena kaget.

"Pergi?" tanya Kiran benar-benar lupa ucapan Hafidz tadi siang.

"Bapak mau menginap di asrama, semua baju sudah di bawa."

Jantung Kiran seakan berhenti berdetak, ia mengira laki-laki tadi hanya bercanda. Bahkan sempat terlintas pikiran negatif kalau ini hanya akal-akalan saja agar bisa mendekati dirinya, ternyata salah.

Namun, ia benar-benar pergi hanya untuk merelakan agar dirinya bisa tinggal di tempat ini menggantikannya.

"Kapan pulang?"

"Akhir pekan sekalian bawa baju-baju kotor."

"Aish sudah seperti seorang istri saja menanyakan kapan laki-laki itu pulang."

"Dari bapak untuk Mbak," sahut Bibi menyerahkan sesuatu pada Kiran. Mata Kiran memanas sambil menerima pemberian dari Hafidz. Sebuket bunga mawar dan sekotak cokelat sengaja dititipkan pada asisten rumah tangga untuk dirinya.

"Cih, di mana sisi romantis laki-laki itu!"

Bibi masuk ke dalam, merapikan seprei yang sedikit berantakan sekaligus mengecek pintu siapa tahu belum terkunci rapat.

"Kamar Hafidz kok tidak dikunci, Bi?"

"Kamar ini memang tak pernah dikunci. Sebenarnya kamar bapak di samping, yang sekarang mbak tempati," ucap Bibi sekaligus berpamitan untuk turun lantai ke bawah.

"Kejutan apa lagi ini? Sampai rela bertukar kamar yang lebih sempit?"

Kiran menghampiri meja kerja laki-laki itu, meletakkan bunga dengan kasar seraya berucap, " Dasar bodoh, aku bukan kuntilanak yang dikasih makan bunga!"

Perempuan itu melenggang pergi sambil memeluk sekotak cokelat dan menutup pintu itu. Ia tak menyadari jika ada seorang laki-laki tengah menatap layar ponselnya sambil terus memperhatikan gerak-gerik perempuan itu di kamarnya.

"Tring!!"

Suara kesan masuk di gawai Kiran, buru-buru mengambil benda itu di saku celananya. Siapa tahu yang mengirim pesan dari seseorang yang diharapkan.

"Kuntilanak menjelma seperti bidadari yang bersayap."

Kiran terus membaca setiap kata yang ada di layarnya. Ia mengedarkan pandangan yang memang sudah larut malam. Cepat-cepat masuk ke kamar dan mengunci rapat-rapat. Bulu kuduk sudah berdiri, ia langsung bersembunyi di balik selimut tebal sambil mencari tahu siapa pengirim pesan tadi.

"Awas nanti!" pekik Kiran sambil melempar ponselnya ke ujung tempat tidur.

Dering ponsel berikutnya menandakan panggilan masuk tetapi perempuan itu membiarkannya. Layar tersebut masih menyala menampilkan gambar seorang laki-laki lengkap dengan pakaian dinasnya.


🌷🌷🌷🌷


Seminggu sudah berlalu dengan cepat tetapi untuk melupakan seseorang ternyata waktu segitu tak juga membuahkan hasilnya. Bukannya bayang-bayang itu menghilang yang ada rindu semakin berat.

"Ada yang perlu diperiksa lagi mumpung masih di rumah sakit?" tanya Mamah mendekati putranya yang tengah melamun.

"Tidak," sahut Adit meraih sebuah tongkat yang bersandar di tepi ranjang rumah sakit.

"Mamah ambil kursi roda dulu."

"Tak perlu, Mah."

Perempuan paruh baya yang sudah bersiap pergi menoleh ke belakang mengamati putranya yang sudah berdiri dengan tongkat di tangannya.

"Tapi, Dit?"

"Adit tak selemah apa yang Mamah pikirkan," ucap Adit sambil berjalan pelan menuju pintu kamar. Baru beberapa langkah saja ia sudah bercucuran keringat, mungkin belum terbiasa.

Mamah hanya diam, hubungan dengan putranya sedikit memburuk apalagi saat perempuan itu memilih tinggal dengan Arya.

Adit melewati papahnya yang sudah menanti di ujung jalan. Arya hanya menatap pilu istrinya yang berjalan ke arahnya.

Peluh sudah membanjiri kaos yang dikenakan ketika sudah sampai di tempat parkir. Arya sudah membuka pintu mobil agar Adit bisa pulang bersamanya.

"Mah, apa penjahat itu sudah tertangkap?" tanya Adit pada Mamahnya.

Pandangan orang tua Adit saling bertemu, wajah mereka juga tampak panik mendengar pertanyaan Adit yang tak disangka-sangka.

"Be-belum," jawab Mamah terbata-bata.

"Cihh. Memang Adit sendiri yang harus turun tangan langsung. Mungkin saja dengan tangan ini bisa membunuh penjahat yang sudah menculik Kiran!"

"JANGAN, DIT," cegah Arya yang sudah panik.

Adit terkekeh-kekeh sambil menatap wajah papahnya.

"Nyawa harus di balas dengan nyawa, apalagi ini untuk kedua kalinya kalian hendak mencelakai seseorang."

Aroma pertengkaran kembali tercium, Mamah langsung menyuruh Arya masuk ke dalam mobil dan sekarang mendekati putranya.

"Adit tak bisa pulang ke rumah itu."

Wajah Mamah sangat kaget mendengar penolakan putranya.

"Tapi, Dit?"

"Adit akan kembali jika perempuan itu pergi dan Haris mati," sahut Adit dengan mata yang sudah merah memendam dendam yang belum terlampiaskan.

Laki-laki itu menggerakkan tongkat menuju mobil miliknya yang sudah ada Anton dan Sony di sana. Mamah meneteskan air matanya karena putranya selalu memilih menjauh dan tak mau kembali bersama keluarganya.


🌷🌷🌷🌷


"Sampai kapan aku harus bertumpu pada tongkat sialan ini!" sahut laki-laki yang sudah terjatuh dan sulit meraih tongkat yang sudah terpental beberapa meter darinya.

Adit terpaksa berusaha menggapai dengan salah tangan kanan dan tangan kiri menahan nyeri di kakinya karena terpaksa harus ditarik untuk bisa menggapai benda itu.

"SIAL!!"

Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas karpet karena gagal mendapatkan apa yang diinginkan. Untuk meraih itu saja butuh perjuangan dan tenaga yang luar biasa. Bagaimana jika ia masih bersama Kiran? Menjaga perempuan itu mungkin dirinya tak mampu lagi.

Mata Adit menatap baling-baling kipas yang berputar di bawah langit-langit.

"Apa kabar perempuan itu? Masihkah ada setitik rindu sama seperti dirinya? Ia sendiri yang sudah mengucapkan perpisahan tetapi kenapa ia sendiri yang terluka menahan rindu?"

Adit berusaha kembali meraih tongkat dengan setengah merangkak. Sekarang benda tersebut sudah ada di genggaman tangannya.

Dengan berjalan pelan ia keluar rumah, beberapa hari berdiam diri di rumah membuat badannya terasa nyeri karena ia termasuk orang yang aktif.

Sepanjang trotoar masih basah karena rintik kecil masih menghiasi langit sore. Namun, tak meruntuhkan niat Adit untuk tetap berjalan dengan tongkatnya menuju ke suatu tempat.

Butuh waktu satu jam ke sana dengan mendapatkan tatapan dari orang-orang yang melihatnya dengan iba. Namun, Adit tak mempedulikannya.

"Tok...Tok..."

Seorang perempuan membukakan pintu untuk Adit tetapi bukan perempuan yang Adit harapkan.

"Aku ingin bertemu Kiran."

Wajah di depan sudah syok setengah mati.

"Katakanlah dia ada di mana?" tanya Adit menangkap gelagat mencurigakan.

"Dia sekarang tinggal bersama polisi itu."

Suara petir menggelegar bersamaan ucapan Iffah, tanpa undur diri laki-laki itu membalikkan badannya untuk kembali melangkah. Harapan untuk bertemu sudah sia-sia. Ia menengadah ke atas karena air hujan sama seperti perasaannya, sama-sama jatuh dan tak bisa bangkit lagi.

Suara ujung tongkat beradu di aspal yang sudah basah, bahkan laki-laki itu hampir terhuyung dan jatuh karena jalan yang licin.

Adit kembali menengadah karena ada sebuah benda yang menghalangi jatuhnya air hujan menerpa tubuhnya.

Laki-laki itu menatap belakang melihat seseorang yang tengah tersenyum ke arahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro