🌷Ikhlas🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Yang paling menyakitkan dari perpisahan bukan dengan siapa nantinya kita berdiri melainkan membiasakan apa-apa sendiri setelah dia pergi~

***
After the Rain by Galuch Fema


Yang belum ikutan give away ada di part sebelumnya ya?

Happy reading, jangan lupa vote.

Mata Kiran sudah berkaca-kaca dengan pandangan yang masih tertuju pada seseorang di balik pintu. Ia tak sendirian yang merasakan hancur, laki-laki itu juga merasakan juga hal yang sama.

Dengan perasaan tak rela tetapi bibir tak bisa berkata apa-apa, hanya netra saja yang menjadi saksi ketika Adit memutar kursi rodanya menjauh begitu saja.

Tes

Tak terasa air mata Kiran menetes dengan tak bersalah. Ia buru-buru mengusap bulir bening itu dengan punggung tangannya yang masih tertempel selang infus.

Hafidz sendiri merasa bersalah, seandainya saja ia tak terlibat masuk ke dalam hubungan Adit dan Kiran, mungkin saja perempuan itu tak menitikkan air matanya.

Abah langsung melangkah menuju luar, ada beban berat ketika melihat putri kesayangannya merasakan kesedihan seperti itu atas apa yang menjadi kehendaknya. Namun, seorang bapak pasti ingin melihat putrinya bisa bergaul dan mendapatkan calon suami yang dari keluarga baik-baik.

"Abah tidak ingin bertemu dengan teman laki-laki Kiran?" tanya Alif dengan hati-hati.

Selama perjalanan dari Solo menuju kemari, Abah ingin sekali menemui orang yang sudah melibatkan putri kesayangannya ke dalam kasus kejahatan seperti ini.

"Melihat wajahnya saja Abah tidak mau apalagi menemuinya," jawab laki-laki bersorban putih sambil meneruskan langkahnya diikuti putranya.

Tak jauh dari situ, laki-laki yang masih berada di atas kursi roda tengah terdiam dan tak sengaja mendengarkan ucapan yang menyakitkan untuk kedua kalinya dari abah Kiran. Ia hanya menatap kursi roda dengan perasaan hancur lebur.

"Dit, lo gak apa-apa?" tanya Anton sedikit khawatir. Ia sudah berusaha melarang keras sahabatnya agar tak pergi dari ranjang rumah sakit hanya untuk bertemu dengan Kiran. Sekarang, mereka hanya bisa bertatapan dari jarak  jauh karena kedatangan orang tua Kiran yang tak terduga.

"Gue gak apa-apa," jawab Adit sambil mengusap perutnya yang sedikit hangat. Tak terasa telapak tangannya sudah kembali berlumuran darah. Pantas saja, perawat yang tadi melarang keras dirinya untuk pergi sebentar.

"Dit, luka jahitan perut lo!"pekik Anton histeris melihat baju Adit yang sudah merah karena darah.

"Tidak apa-apa, aku cuma ingin memastikan jika dia baik-baik saja," jawab Adit santai sambil pura-pura tersenyum walaupun nyatanya membohongi hati dan perasaannya itu tak semudah membalikkan telapak tangannya.

"Kita ke ruangan sekarang!" perintah Anton sambil mendorong cepat kursi roda itu. Ia tak mau lagi mendapatkan amarah dari papah Adit.

Mata laki-laki itu membulat melihat kaca jendela rumah sakit yang sudah basah terkena air hujan. Udara terasa sedikit lembab ditambah hatinya yang kelabu. Jarak mereka berdua sebenarnya sangat dekat karena cuma bersebelahan saja tetapi dinding pemisah itu seakan terus meninggi membuat mereka tak bisa bersatu.

🌷🌷🌷🌷


"Dulu kita pernah tak sengaja berdiri dalam satu atap yang sama menunggu hujan itu reda, sekarang pun sama. Bedanya kita tak bisa saling menatap satu sama lain."

Kiran memainkan jarinya mengusap kaca jendela yang sudah berembun.

"Administrasi sudah selesai, perawat juga sudah melepas jarum infus di tangan kamu. Apa kita bisa pulang sekarang?" tanya Hafidz dengan hati-hati.

Mata laki-laki itu terus menatap perempuan yang masih bergeming sambil menatap rintik air hujan. Tanpa sepatah kata dari bibir Kiran, Hafidz sendiri sudah paham jika perempuan itu masih sangat berat meninggalkan laki-laki di ruangan sebelah. Apalagi ultimatum pak Kyai yang melarangnya keras untuk berdekatan lagi dengan preman itu.

Kiran hanya mengangguk, ia mengambil tas yang berisi pakaian yang sudah ia tata sejam yang lalu setelah perawat memperbolehkannya pulang.

Ia memilih memakai jaket yang Adit berikan saat di rumah tua itu, benda itu mampu menghangatkan tubuhnya.

Langkah Kiran terhenti di depan pintu ruangan tempat di mana Adit di rawat. Hafidz yang berjalan di belakangnya seakan paham apa maksud perempuan itu.

"Kenapa berhenti?" tanya laki-laki itu pura-pura tak tahu isi hati Kiran.

Perempuan itu menggeleng lemah sembari melangkah lagi.

"Apa kamu mau menemui laki-laki itu?" tanya Hafidz membuat Kiran tersentak kaget dan menatap ke belakang.

"Tidak perlu."

"Aku tidak akan bilang sama pak kyai," sahut Hafidz mengalah walaupun sebenarnya hatinya bertentangan.

"Serius?"

Manik mata hitam itu langsung berbinar seakan tak percaya apa yang ia dengar.

"Hemm, sebentar saja. Aku mau berangkat dinas," jawab laki-laki itu memasang wajah kesal.

"Oke. Aku janji sebentar saja, " jawab Kiran sambil cepat-cepat masuk ke kamar di depannya. Untung saja ia langsung menghentikan langkahnya karena seseorang keluar dari kamar itu.

"Kun, eh Kiran !" sapa Anton ikut melangkah mundur karena hampir saja berpapasan dengan Kiran. Mata Anton langsung tertuju pada laki-laki yang sedang menyandarkan punggungnya pada dinding rumah sakit.

"Ada apa?" bisik Anton pelan takut terdengar Adit dari dalam.

"Aku mau ketemu sama Adit, sebentar saja," pinta Kiran dengan wajahnya yang panik.

"Tapi...."

Mata Anton melirik kembali pada polisi itu yang sedang menatap ke arah mereka berdua.

"Kiran, waktuku tidak banyak," sahut Hafidz sambil melihat ke arlojinya.

"Please?" pinta Kiran sekali lagi pada Anton.

"Baiklah. Aku tanya dulu sama Adit," sahut Anton mengalah. Jika tadi tidak ada polisi itu mungkin ia sudah kembali berdebat bersama perempuan itu seperti biasanya.

Dengan jantung yang berdetak kencang, perempuan itu bersembunyi di belakang tirai yang menjadi penghubung antara ruangan yang berisi sofa dengan ranjang tempat pasien.

Samar-samar, Kiran mendengarkan Anton yang tengah mengajak bicara kepada Adit.

"Dit, ada yang mau ketemu sama kamu," ucap Anton hati-hati membangunkan Adit yang tengah terpejam.

Mata Adit terbuka pelan, ia sebenarnya tak tertidur hanya saja ingin melupakan kata-kata orang tua Kiran saja yang masih terngiang di telinganya.

"Siapa? Arya?"

Adit sudah memasang wajah tidak suka, sudah berapa kali laki-laki itu berusaha menemui tetapi Adit sama sekali tak memedulikannya.

"Bukan."

"Lantas siapa yang datang?" tanya Adit penasaran. Jarang-jarang ia sakit ada yang mau menengok ke rumah sakit segala.

"Srekkk!!"

Suara tirai terbuka membuat Adit terpaku tak menyangka siapa yang datang. Perempuan yang terus menghantuinya dalam mimpi dan kehidupannya. Ia tak membiarkan saja satu detik berlalu begitu saja jika tak memikirkan perempuan yang sebentar lagi dipersunting oleh laki-laki pilihan orang tua Kiran.

Dengan langkah pelan dan kepala menunduk, Kiran menggeser kursi di samping yang sengaja disediakan untuk orang yang menunggu pasien.

"Anton, jangan pergi. Aku tidak ingin cuma ada aku dan Kiran di ruangan ini," sahut Adit buru-buru ketika melihat sahabatnya hendak meninggalkan mereka berdua.

Anton mengangguk, ia membuka tirai lebih terbuka dan memilih duduk di sofa.

"Apa kabar? Apa kamu sudah sehat?" tanya Adit mengawali ucapannya karena Kiran hanya diam dan lebih memilih menatap ke lantai dibandingkan dirinya.

Kiran memilih diam bukannya tak peduli, melainkan tak tega melihat Adit yang terluka parah bahkan terpaksa memakai kursi roda untuk menyelamatkan dirinya.

"Harusnya aku yang terlebih dahulu menanyakan kabar, bukan kamu."

Kiran mengangguk sambil menggigit bibirnya.

"Sudah diperbolehkan pulang sekarang?"

Lagi-lagi perempuan itu mengangguk, hati Adit semakin kecewa. Ia membuang napas kasarnya sambil mengalihkan tatapannya menuju kaca jendela tadi yang menjadi pemandangan favoritnya selama terbujur lemah di sini.

"Maaf aku tidak bisa menyelamatkan kamu saat kejadian itu."

Kiran akhirnya menatap Adit yang membuang tatapannya.

"Kamu sudah berbuat lebih. Bahkan nyawa sudah dipertaruhkan untuk menyelamatkan aku," jawab Kiran yang sudah berkaca-kaca.

"Tapi bukan aku yang membawamu pergi melainkan polisi itu."

Keduanya terdiam, suasana semakin kaku dan canggung. Lebih-lebih untuk Anton yang merasa tak enak ikut berada di situasi seperti ini. Ia benci drama atau sandiwara yang melibatkan percintaan seperti ini, makanya dari pertama Anton melarang habis-habisan Adit berhubungan dengan Kiran.

"Dit, apa kamu mendengar apa yang diucapkan abah tadi?" tanya Kiran dengan tubuh yang sudah panas dingin ditambah denyut jantung yang sudah seperti lari maraton.

"Tidak. Memang abah bilang apa?" tanya balik Adit pura-pura tak terjadi sesuatu. Padahal hatinya sudah hancur berkeping-keping.

Kiran menggeleng cepat, ia sendiri sudah menduga Adit hanya menyembunyikan saja pura-pura tidak tahu. Jelas-jelas tadi Abah berbicara sangat keras.

"Pasti mereka sangat mengkhawatirkan kamu atas kejadian kemarin?"

Kiran kembali mengangguk.

"Maaf sudah melibatkan kamu masuk ke dalam masalah ini," ucap laki-laki itu penuh penyesalan. Sudah dua perempuan yang dekat dengan dirinya selalu menjadi korban. Untung saja tak terjadi sesuatu pada Kiran.

"Untuk sementara waktu selama aku di sini, aku akan menyuruh Sony untuk menjaga kamu karena  Haris masih berkeliaran. Apalagi ia masih menjadi buronan."

"Tidak perlu karena nanti ada—"

Adit pura-pura tertawa terbahak-bahak seraya berucap, " Maaf aku lupa. Ada polisi itu yang akan menjaga kamu. Iya kan?"

"I-iya."

"Tak apalah, yang penting kamu aman bersama dia bukan sama aku," sindir laki-laki itu membuat wajah Kiran langsung terangkat.

"Maksud kamu?" tanya Kiran tak paham.

"Lupakanlah," ucap Adit dibarengi kekehan di bibirnya.

"Kiran! Aku mau berangkat dinas," ucap laki-laki lain yang sekarang ikut bergabung di ruangan ini.

Perempuan itu terperanjat kaget, ia lupa perjanjian tadi. Apalagi Hafidz terus menunjukkan arloji di pergelangan tangan laki-laki itu.

"Sebentar."

Kiran melepas jaket yang dipakai untuk diserahkan pada Adit namun laki-laki yang masih terbaring itu menolaknya.

"Pakai saja. Siapa tahu kamu membutuhkannya."

Kiran semakin tak enak hati menerima jaket ini, tatapan mata Kiran kembali tertuju laki-laki lain di sana yang masih bertahan di dekat pintu.

"Aku punya sesuatu untuk kamu," sahut Adit sambil meraih sesuatu di balik bantal yang ia pakai.

Mata Kiran membulat melihat tasbih yang sekarang Adit julurkan ke arahnya.

"Un-untuk aku?" tanya Kiran terbata-bata tak percaya Adit menggenggam benda itu.

"Ya, jaga baik-baik. Setidaknya benda ini menemani kamu dalam ibadah kamu."

Kiran meraih tasbih itu, menggenggamnya erat-erat agar menyatu di jemari tangannya.

"Cari laki-laki yang seiman dengan kamu. Bukan laki-laki yang berbeda bahkan cacat seperti aku sekarang. Mencoba berdiri saja perlu bantuan tongkat penyangga. Apalagi untuk menjaga kamu seperti dulu lagi karena sepertinya itu tidak mungkin."

Mata Kiran langsung memanas karena lagi-lagi matanya sudah berkaca-kaca. Ia sangat kaget apa yang diucapkan laki-laki itu. Secara tidak langsung, Adit membiarkan dirinya pergi bahkan merelakan agar dirinya bisa bersama Hafidz.

"Abah tidak tahu kan kalau semisal kita beda...."

Kiran menggeleng.

"Baguslah. Jangan sampai Abah tahu, sayang kuliah kamu yang sebentar lagi wisuda."

"Aku pamit pulang," ucap Kiran karena berada di situ yang ada dadanya semakin sesak.

"Oke. Jaga diri kamu baik-baik," sahut laki-laki itu pura-pura tegar.

Kiran buru-buru mempercepat langkahnya menuju luar ruangan ini karena tak kuasa membendung air matanya. Sedangkan Hafidz bukan mengejar Kiran melainkan berjalan mendekati Adit yang tengah menatapnya.

Tangan Hafidz menepuk pundak Adit sambil tersenyum.

"Terima kasih, kemarin sudah datang menolong," sahut Adit membalas senyum laki-laki itu.

"Sudah menjadi tugas saya."

"Bang, boleh minta sesuatu?"

"Apa?"

"Jaga perempuan itu baik-baik."

"Insyaallah. Kalau kamu ingin bertemu kapan pun tinggal bilang saja," ledek Hafidz yang sekarang sudah agak melunak.

"Tidaklah, Bang. Takut jatuh lagi pada perasaan yang sama."

Keduanya kembali tertawa terbahak-bahak. Hafidz pamit undur diri, siapa tahu Kiran sedang menunggunya di luar.

Adit mengembuskan napasnya, menatap kembali jendela kaca. Linangan air hujan sudah tidak ada karena seberkas cahaya matahari sekarang sudah menggantikannya. Seandainya saja ia bisa berjalan, mungkin akan pergi keluar mengecek apakah ada pelangi yang muncul atau tidak.

"Ternyata mengikhlaskan jauh lebih mudah dibandingkan menahan perasaan yang jelas-jelas tak bisa bersatu."

🌷🌷🌷🌷

Di dalam mobil milik Hafidz,  pikiran Kiran masih terpaku pada satu titik objek yang sulit untuk benar-benar di lupakan.

"Ternyata begini ya jika mencintai seseorang terlalu berlebihan? Sedangkan mencintai yang menjadi pencipta segalanya tak seperti ini. Astaghfirullahal'adzim."

"Loh kok kita ke jalan ini? Bukankah kontrakan aku sudah kelewat?" tanya Kiran panik karena baru sadar dari lamunannya.

Hafidz diam saja tak menghiraukan ucapan perempuan yang sekarang penasaran dan sudah gelisah.

Mobil memasuki sebuah komplek, hati Kiran semakin bertanya-tanya akan di bawa ke mana sekarang. Benar saja, mobil sekarang sudah berhenti di depan sebuah rumah yang minimalis dengan halaman depan yang terdapat taman kecil.

"Mulai sekarang kamu tinggal di rumah ini—rumah aku."

"APA???"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro