🌷 Sakit🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Aku mengenalmu tak sengaja, mencintaimu secara tiba-tiba dan melepaskanmu secara terpaksa~

****
After the Rain by Galuch Fema


Happy reading, jangan lupa vote

"Aku juga say...."

Kiran tak jadi meneruskan ucapannya karena kedua matanya yang sembab sudah melihat sosok laki-laki di depan yang tengah melihat ke arah dirinya dan Adit yang sudah terluka parah.

Dengan langkah gontai, laki-laki itu mendekati sepasang manusia yang sedang dimabuk asmara tengah menggenggam erat tangan masing-masing.

Hafidz menarik napas dalam-dalam, tanpa mengetahui lanjutan ucapan perempuan itu, ia sudah bisa menebak perasaan perempuan itu di mana harus bermuara.

Canggung, kaku, dan entah apa yang harus dilakukan Hafidz saat itu juga karena sudah masuk ke dalam hubungan mereka berdua. Baru kali ini terlibat dalam sebuah kasus yang terpaksa membawa perasaannya masuk ke dalam masalah tersebut.

Suara langkah menggebu-gebu ikut menyeruak masuk ke dalam ruangan ini. Siapa lagi kalau bukan Sony dan Anton yang ikut masuk ke dalam ruangan ini.

"Anton, Adit terluka. Hiks..hiks...."

Kiran tak kuasa melanjutkan lagi ucapannya karena mata laki-laki itu sudah terpejam dengan bibir yang sudah memucat.

"Segera bawa ke dalam mobil polisi. Nanti ada rekan saya yang akan mengantarkan ke rumah sakit terdekat!" perintah Hafidz kepada dua preman yang sering berurusan dengan dirinya.

Anton dan Sony langsung membopong Adit dengan bantuan Hafidz juga untuk segera di bawa ke depan. Air mata Kiran jatuh berderai ketika melihat tubuh lemah itu sudah dibawa pergi. Ia sendiri tak mampu mengantarkan ke depan karena tak percaya dengan apa yang telah terjadi.

Tangan Kiran mengusap lantai kayu itu yang sudah berwarna merah karena darah seseorang yang sudah menyelamatkan dirinya tetapi malang sekarang malah Adit yang terluka parah.

Hafidz sudah kembali di depan Kiran yang masih menangis terisak. Ia baru sadar jika tidak hanya laki-laki itu yang terluka, Kiran juga sama. Wajah perempuan itu juga terdapat lecet dan lebam.

Ia semakin geram, dua penjahat tadi seperti tak mempunyai hati karena sudah melukai seorang perempuan.

"Kita pergi sekarang ke rumah sakit. Luka kamu juga perlu diperiksa," tukas Hafidz dengan hati-hati.

"Rumah sakit yang sama dengan tempat Adit di rawat."

Hafidz mengangguk pasrah walaupun hatinya kecewa karena sebenarnya ia ingin membawa Kiran ke rumah sakit yang lain.

Kiran berdiri dan melangkah menuju ruang depan, pandangannya sekarang tertuju pada dua penculik yang sudah tergelak dengan tangan yang sudah diborgol. Ia sendiri terlalu larut dalam kesedihannya sehingga tak mendengar jika penjahat itu diringkus oleh Hafidz dan rekannya.

"BUGH!!!"

Tendangan Hafidz tepat mengenai laki-laki dengan tubuh besar yang sudah tak berkutik, setidaknya Hafidz sudah membalas apa yang telah mereka lakukan kepada Kiran.

Kiran berjalan di belakang laki-laki yang masih memakai pakaian dinas menuju mobil. Perempuan itu menyandarkan tubuhnya yang terasa sangat lemas bahkan kedua matanya sedikit kabur.

"Apa kamu tidak apa-apa?" tanya Hafidz panik karena Kiran bolak-balik memejamkan matanya.

Perempuan itu menggeleng lemah sambil menahan nyeri di kepalanya. Hafidz paham dengan yang dirasakan Kiran, ia lalu buru-buru melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Menyerahkan dua penjahat itu pada rekannya untuk segera di proses di kantor polisi.


🌷🌷🌷🌷


Sekarang Hafidz terduduk lunglai di depan ruangan IGD di sebuah rumah sakit. Ketika sudah sampai di depan rumah sakit,  ternyata Kiran tidak sadarkan diri. Sekarang Hafidz terpaksa menunggu kedatangan keluarga Kiran dari Solo, ia sengaja menelepon Alif agar secepatnya kemari. Ia sendiri sudah siap karena Kyai dan sahabatnya sudah berpesan agar di sini ia harus menjaga Kiran, tetapi nyatanya penculikan itu tetap terjadi menyeret Kiran sebagai korban.

"Bagiamana? Apa sudah menelepon mamahnya Adit?" tanya seseorang di samping Hafidz.

Laki-laki yang masih memakai baju dinasnya itu terpaksa berdamai dengan para preman yang menjadi musuh bebuyutannya selama ini.

"Papahnya nanti yang datang," jawab Anton dengan wajah ketakutan.

"Papah? Jadi selama ini Adit—"

"Diamlah ada beberapa yang tidak perlu aku ceritakan."

Sony langsung terdiam, dari pertama ia sebenarnya sudah curiga tentang sosok Adit yang penuh teka-teki.

"Itu Mamahnya Adit!" pekik Sony sambil menunjukkan sepasang paruh baya yang tengah berjalan terburu-buru menuju ruang IGD.

Hafidz terpaksa melihat siapa yang datang walaupun sebenarnya ia cuek karena tidak ada urusan dengan keluarga Adit, saat ini ia fokus kesembuhan Kiran.

"PLAK!!"

Satu tamparan sangat keras mendarat di pipi Anton yang berasal dari tangan Arya—papahnya Adit.

"Percuma saya bayar kamu mahal jika Adit—anak saya kenapa-napa!" pekik Arya yang sudah terlanjur emosi.

"Seharusnya kamu ikut bersama Adit, bukan membiarkan ia sendiri ke sana!"

"Adit tidak mau menunggu saya, Om."

"Ah, sudahlah. Saya sangat kecewa sama kamu. Di mana Adit sekarang?"

"Masih di ruang IGD, tidak sadarkan diri. Menunggu tanda tangan keluarga untuk secepatnya di operasi karena luka tusuk di perutnya lumayan dalam."

"Ya, Tuhan. Hiks...hiks."

Mamah Adit menangis tersedu-sedu mendengar kabar putra semata wayangnya.

Hafidz sedari tadi mendengarkan percakapan keluarga di samping karena sangat menarik dan membuka tabir siapa sosok Adit sebenarnya.

"Sepertinya dia bukan preman biasa. Apa selama ini Kiran sudah tahu siapa Adit sebenarnya?"

Kedua orang tua Adit langsung buru-buru ke dalam, Papah langsung menuju meja administrasi sedangkan Mamah langsung menuju putranya yang tengah terbaring lemas tak sadarkan diri.

Banyak luka di wajah itu, perut juga masih tertutup perban yang terdapat noda bercak warna merah. Belum kaki juga terpaksa di gips karena mengalami patah tulang.

"Sebentar lagi Adit akan segera di operasi," sahut Arya yang sudah ikut bergabung dekat ranjang rumah sakit.

"A-apa betul Haris pelakunya?" sahut Mamah yang masih berderai air mata.

"Sudah berulang kali aku telepon tetapi sepertinya ponsel tidak aktif."

Mamah hanya bisa pasrah untuk kesembuhan putranya, baru kali ini Adit di bawa ke rumah sakit karena luka yang sangat parah.


🌷🌷🌷🌷

"A-Adit!"

Satu nama keluar dari mulut bibir pucat milik Kiran. Matanya masih terpejam tetapi ia terus memanggil nama laki-laki itu.

"Kiran, sadarlah," bisik seseorang di telinga perempuan itu.

Pelan-pelan netra itu membuka sedikit karena cahaya lampu yang sangat terang menyilaukan kedua netranya.

"Adit," bisik Kiran sekali lagi sambil memperjelas penglihatannya. Perempuan itu sangat syok melihat siapa yang di samping. Lebih-lebih setelah ia menatap satu persatu di ruangan serba putih ini.

"Kamu sudah sadar? Ada yang masih sakit tidak, biar nanti diperiksa lagi sama dokter."

Kiran menggeleng lemah, denyut jantung sudah berdetak sangat cepat. Ia sudah pasang mental jika laki-laki yang memakai pakaian putih lengkap dengan sarung akan murka kepada dirinya.

Mata Kiran langsung tertuju pada Hafidz yang tengah menatapnya tetapi ia buru-buru menunduk karena Hafidz sendiri sudah menduga jika Kiran akan marah pada dirinya.

"Alif, ikut Abah. Kita menemui dokter yang menangani Kiran!" perintah Abah pada anak laki-lakinya.

"Nggih."

Setelah kedua laki-laki dewasa itu pergi, Kiran langsung menatap tajam pada Hafidz yang tengah berjalan ke arahnya.

"Kapan mereka datang?" tanya Kiran memalingkan ketika Hafidz sudah duduk di kursi tempat tadi di duduki sahabatnya.

"Dua jam yang lalu saat kamu masih tidak sadar."

"Adit sekarang di mana?"

Hafidz mengembuskan napasnya karena yang ditanyakan selalu saja laki-laki itu.

"Sedang berada di ruang operasi."

Bulir bening langsung membasahi pipi Kiran. Ia buru-buru mengelap dengan ujung jarinya.
Ia merubah posisinya menjadi duduk, emosi yang ia tahan setelah ia sadar akhirnya tersalurkan juga.

"KENAPA PANGGIL MEREKA? MASALAH AKAN MENJADI SEMAKIN RUNYAM SETELAH ABAH TAHU SIAPA ITU ADIT? APA KAMU PURA-PURA BODOH SAAT TADI ABAH SAMA SEKALI TIDAK MENYAPA PUTRINYA. AKU BENCI SAMA KAMU, FIDZ!" pekik Kiran sambil memukul lengan laki-laki itu. Ia tak peduli jika nanti suaranya akan terdengar sampai luar atau mengganggu pasien yang lain.

"Maaf."

Satu kata saja yang lolos dari bibir laki-laki itu sehingga Kiran sangat geram. Jika bukan di rumah sakit, ia akan memaki-maki laki-laki itu habis-habisan.

"Kata maaf saja tak dapat mengembalikan emosi Abah, kamu tahu kan kalau Abah marah itu seperti apa? Harusnya kamu menungguku siuman, tak perlu menjadi pahlawan kesiangan dengan memanggil mereka kemari!"

Hafidz mencengkeram erat ujung seprei, ia sebenarnya tak terima dengan tuduhan Kiran kepadanya.

"Oke, aku memang pahlawan kesiangan karena Adit dulu yang datang menyelematkan kamu. Apa aku salah jika melihat kamu tak berdaya tidak sadarkan diri seperti tadi? Aku bingung, panik takut terjadi sesuatu sama kamu? Kamu juga tahu sendiri kan jika mereka menyuruh aku untuk menjaga kamu?"

Hafidz mengatur napas sambil mengontrol emosinya agar tidak meledak lagi.

"Anggap saja aku cuma seorang polisi yang menyelamatkan korban penyanderaan penculikan, bukan pahlawan kesiangan yang kamu tuduhkan. Jujur memang aku kalah dibandingkan preman itu. Kalah dalam tindakan juga kalah dengan urusan hati!"

Kiran merasa bersalah pada laki-laki itu, ia sudah menyakiti hati Hafidz karena ucapannya. Sedangkan Hafidz memilih keluar dari ruangan ini, ia hampir saja menabrak Alif yang akan masuk ke ruangan ini.

"Sabar," ucap Alif menepuk  pundak sahabatnya. Ternyata Alif mengurungkan niatnya masuk ke dalam karena mendengar Hafidz dan Kiran sedang bertengkar.

"Mau ke mana?" tanya Alif karena Hafidz belum membuka suaranya.

"Cari udara segar dulu di luar."

Alif mengangguk, ia tahu bagaimana posisi Hafidz yang sangat sulit ketika harus berhadapan dengan adiknya.

Hafidz berjalan lunglai menapaki lorong rumah sakit yang terasa sangat sunyi. Ia sendiri sudah menerima habis-habisan amarah dari Kyai karena keteledorannya dalam menjaga putri Kyai.

"Huft, andai saja perasaan aku tak jatuh pada perempuan itu mungkin aku tak sesakit ini."

Hafidz menyadari jika posisinya sekarang sama dengan Anton, sama-sama menjadi orang yang bersalah karena tidak bisa menjaga seseorang dengan baik.

Baru saja nama Anton di pikirannya, sekarang Hafidz sudah harus dihadapkan lagi pada laki-laki itu yang tengah panik di depan.

Samar-samar ia mendengar perawat sedang berbicara pada kerumunan keluarga di sana.

"Tolong secepatnya mendapatkan pendonor dengan golongan darah AB untuk menyelamatkan Adit."

"Bukannya tadi saya sudah mendonor untuk Adit?" tanya Mamah dengan panik.

"Masih kurang," jawab perawat itu singkat.

Hafidz mendengkus kesal sambil mendekati keluarga itu yang masih syok.

"Golongan darah saya AB , ambil saja," tawar laki-laki yang baru datang pada perawat tersebut.

"Mari, ikut dengan saya."

Anton dan Sony terbelalak melihat siapa yang mendonorkan darah.

"Jangan bilang sama preman itu jika saya yang mendonorkan darah!" bisik Hafidz di telinga Anton. Ia tak berani bicara keras karena masih ada orang tua Adit di sana.

"Baik, Pak," sahut Anton gugup.


🌷🌷🌷🌷

Kiran masih bersalah kepada Abah dan Hafidz, saat ini ia sekarang sedang bersama kakaknya karena malam ini Alif yang terpaksa menjaga adiknya selama masih di sini.

"Abah mana?" tanya Kiran dengan takut.

"Pulang."

"APA? PULANG?" tanya Kiran dengan kaget.

"Pulang ke rumah Hafidz. Baru besok pagi abah pulang ke Solo karena ada acara mendesak. Lagian besok pagi kamu sudah diperbolehkan pulang kan?"

Kiran mengangguk.

"Apa abah  marah?"

Alif menutup Al-Qur'an, menghentikan hapalannya untuk meladeni pembicaraan dengan adik perempuan satu-satunya.

"Tidak hanya marah tetapi juga kecewa sama kamu."

Kiran menunduk, ia selalu dianggap seperti anak kecil dalam lingkungan keluarganya.

"Apa kamu tidak bisa memilih teman yang baik? Preman seperti itu kok dijadikan teman, sekarang akhirnya kamu ikut terseret juga dalam masalahnya kan?"

"Dia tidak seburuk yang Mas Alif pikirkan."

Alif memerhatikan wajah adiknya lebih dekat.

"Jangan-jangan kamu suka sama dia? Preman itu kan yang menjemput saat kamu pulang balik lagi ke sini?"

Dada Kiran bergemuruh hebat, ia tertangkap basah karena kakaknya mengetahui perasaannya pada Adit.

"Buk—"

"Istirahatlah, jauhi laki-laki itu. Abah sudah mempersiapkan seseorang sebagai jodoh kamu," ucap Alif sambil membuka kembali Al Qur'an untuk meneruskan kembali hapalannya.

Sampai pagi harinya, Alif ikut mendiamkan adiknya. Ia bertanya seperlunya saja tak seperti biasanya.

Pintu berderit membuat wajah Kiran berseri, laki-laki yang menjadi panutannya sekarang berjalan ke arahnya. Kiran meraih tangan itu untuk mengecupnya. Usapan lembut dibatas kerudung membuat suasana sedikit hangat.

"Abah sama Alif pulang sekarang karena akan ada tamu besar di pesantren. Barusan Abah mengurus administrasi dan hari ini kamu boleh pulang nanti diantar Hafidz."

Kiran melirik laki-laki yang ditunjuk Abah tengah berdiri sambil terus menunduk menatap lantai.

"Jauhi preman itu, jangan bergaul atau dekat-dekat dengan dia lagi. Untuk ke depannya, Abah memasrahkan keselamatan kamu kepada Hafidz."

Kiran kembali kaget, untuk berjauhan dengan Adit sepertinya tidak masalah tetapi kalau terus-menerus bersama Hafidz, ia sangat keberatan.

"Tapi Kiran sama Ad—"

Mata abah memerah, ia paling tidak suka jika ada anaknya yang membantah ucapannya.

"Turuti perintah abah atau sekarang juga  akan menikahkan kamu dengan Hafidz agar suami kamu bisa menjaga kamu seharian penuh!"

Wajah Kiran langsung terangkat karena kaget bukan main mendengar ucapan abahnya. Tak sengaja tatapan matanya melihat sosok laki-laki dengan wajah pucatnya duduk di atas kursi roda di balik pintu. Laki-laki itu pasti mendengar jelas apa yang dikatakan oleh Abah.




Attention!!!

Sambil nunggu Novel Unperfect wedding yang masih antre proses cetak, jika After the Rain mengadakan Give Away mau tidak?

Kira-kira hadiahnya mau apa?
1. Pulsa
2. Novel
3. Dua-duanya 🤭

Ditunggu komentarnya ya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro