🌷Pergi🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Bisakah berteman tanpa membawa perasaan? Saat pergi tak saling bertatapan atau menyimpan perasaan~

****
After the Rain by Galuch Fema

Malam takbiran ini sedikit syahdu karena ada yang mudik dan meninggalkan seseorang tanpa kejelasan. Happy reading jangan lupa vote

Dengan perasaan sangat kecewa, Kiran kembali lagi ke tempat pertikaian tadi terjadi. Sepi, semua sudah pergi membawa luka masing-masing. Kiran adalah orang lain yang terseret ke dalam permasalahan keluarga ini yang sangat rumit.

Tatapan mata Kiran tertuju pada laki-laki yang duduk di atas motor. Namun, mata perempuan itu enggan melihat laki-laki itu karena sangat paham jika perasaan Anton sama saja dengan Adit di dalam.

"Hey!" pekik Anton dengan sangat keras.

Kiran menghentikan langkahnya. Ia menarik napas panjang. Ia sudah siap mendapat caci maki dari sahabat Adit.

"Aku tidak bodoh dan masih punya telinga," jawab Kiran dengan sangat ketus.

"Lantas kenapa lo masih melakukan seperti tadi?"
Suara Anton kembali lagi meninggi. Kiran menatap bekalang membalas tatapan mata Anton.

"Jadilah orang yang bijak sebelum mengeluarkan suara. Setidaknya mau mendengarkan sebelum berasumsi yang tidak-tidak."

Kiran lebih memilih melanjutkan langkahnya daripada bersitegang dengan orang yang tak penting dalam hidupnya.

"Mana motor Lo?" tanya Anton baru sadar jika Kiran terus berjalan menuju gang depan rumah Adit.

"Akhirnya sadar juga. Seharusnya dari pertama tanya dulu seperti itu? Aku datang kemari sama siapa? Kenapa bisa datang bareng Haris dan perempuan itu? Berapa jam menunggu sahabat kamu untuk menjemput aku pulang kuliah?"

Emosi yang sedari tadi ditahan oleh Kiran, akhirnya meledak juga. Sayangnya, ia mengeluarkan bukan tepat sasaran karena laki-laki yang di dalam lebih memilih membungkam daripada meluangkan waktunya mendengar apa yang terjadi.

"Kiran?" panggil Anton dengan suara lebih rendah.

Akhirnya dengan terpaksa, Kiran membagi beban yang sedang ia alami bersama Anton. Setidaknya emosi yang ia pendam bisa berkurang sedikit.

"Gue anterin Lo pulang," bujuk Anton merasa iba setelah mendengar penuturan Kiran.

"Tidak perlu, aku ingin sendiri dulu," elak Kiran menolak bantuan Anton.

"Yakin kamu tidak apa-apa?"

"Insyaallah tidak, kemungkinan besar Haris sedang mengurus lukanya setelah babak belur oleh Adit."

"Terserah, jika itu mau kamu," jawab Anton mengalah.

Gawai Kiran berbunyi, dengan gugup dan gemetar ia mengangkat panggilan dari seseorang.

"Iya, hari ini Kiran pulang," sahut perempuan itu dengan langkah terburu-buru.

🌷🌷🌷🌷

"Puk!"

Sebuah kunci melayang begitu saja dan mendarat di kepala Adit. Anton benci sekali melihat seorang Adit yang sedang tertunduk lesu meratapi kisah cintanya.

"Kejar dia!" perintah Anton sambil duduk dibatas lantai berdampingan dengan Adit.

"Males," sahut Adit ketus. Emosi tadi saja belum hilang malah sekarang mendapatkan ucapan seperti ini dari sahabatnya.

"Kenapa baru sekarang bilang malas? Dari dulu sudah gue larang untuk tidak berhubungan dengan perempuan itu, kamu tak pernah mendengarkannya," sindir telak Anton pada Adit yang wajahnya sudah memerah kembali.

Dengan cekatan, tangan kiri Adit mencengkeram kaos yang dikenakan Anton sedangkan tangan kanan sudah dilayangkan tepat  depan wajah laki-laki itu.

"Pukul saja! Selagi kamu belum puas menghabisi laki-laki brengsek tadi!" tantang Anton tak takut dengan pukulan yang sudah berada di depan mata.

Sayangnya, Adit malah menghempaskan tubuh Anton mengenai tembok di belakangnya.

"Dari pertama gue sudah bilang, jauhi perempuan itu. Lo tidak baik berdekatan dengan dia. Kalian berdua itu jauh dan beda banget. Kalian tidak akan bisa bersatu karena perbedaan yang sangat mencolok di depan mata. Kecuali salah satu diantara kalian ada yang mau mengalah. Itu pun sepertinya sangat kecil!"

Adit hanya diam saja, entah sudah berapa kali Anton selalu membahas masalah ini. Ia sendiri sudah jengah dan muak.

"Gue udah terlanjur, " jawab Adit singkat.

"Sebelum Lo terlanjur lebih jauh, alangkah baiknya Lo akhiri sekarang juga sebelum semuanya berakibat fatal."

"Gue tidak bisa," elak Adit.

"Karena Lo sudah jatuh hati sama dia?" tebak Anton sambil menahan senyumnya.

"Hemm."

Deheman lirih keluar dari mulut Adit. Ia tak mau mengakui jika dirinya sudah bertekuk lutut pada perempuan itu. Adit telah mengingkari janjinya pada Anton jika tak akan jatuh cinta lagi setelah masa lalunya yang kelam.

"Kalau Lo suka kenapa kamu buat dia menangis?"

Adit hanya bergeming tak membalas ucapan Anton.

"Kamu tidak mencari tahu kenapa dia terpaksa memberikan alamat rumah kamu?"

"Malas."

"Kiran menunggu lama di kampus, berharap Lo menjemput tepat waktu. Sudah bolak balik menghubungi  tetapi tak ada jawaban karena tadi kita sedang berantem dengan preman kampung sebelah. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Haris dan Putri. Mereka memaksa Kiran untuk masuk ke dalam mobil dan menyuruh untuk memberitahu keberadaan Lo dan Mamah."

"Serius?"

Adit mulai tertarik dengan obrolan sekarang.

"Kiran terpaksa memberi tahu karena ia diancam oleh Haris,  jika tak memberi tahu nantinya ia akan diberhentikan dari kampus dengan alasan yang tidak masuk akal."

"Haris bilang begitu?" tanya Adit yang sudah terpancing emosi kembali.

"Ya. Oleh sebab itu, Kiran ketakutan dan akhirnya berterus terang. Bagaimana tidak takut, kuliah dia kan nantinya akan selesai setahun lagi.

"Brengsek itu orang. Sekarang Kiran dimana?"

Adit langsung bangkit dari duduknya.

"Sudah pulang?"

"Lo yang antar?"

Anton menggeleng sambil berucap, " Dia pulang sendiri karena tidak mau dengan alasan pengin sendiri."

"Lo bagaimana sih? Nanti kalau dia kenapa-napa lagi di jalan?" pekik Adit menyalahkan Anton.

"Gue suruh Sony untuk mengawasi dari belakang," ujar Anton membela diri.

"Gue mau susulin dia sekaligus meminta maaf," pamit Adit berlalu pergi.

Anton hanya geleng-geleng kepala. Orang kalau sudah dimabuk asmara pasti tetap saja akan bertekuk lutut pada orang yang dicintainya sekalipun sudah melakukan kesalahan.

🌷🌷🌷🌷

Adit melajukan motornya dengan kencang, semoga saja nanti ia bisa bertemu dengan Kiran di gang yang masuk ke dalam kontrakan. Nyatanya sampai tempat tersebut, ia tak menemukannya. Dengan gesit ia menuju kontrakan itu, mengetuk pintu dengan suara yang sangat keras karena tak ada sahutan sama sekali dari dalam.

Sayup-sayup ia mendengar suara motor Kiran memasuki halaman kontrakan ,ada perasaan lega karena dia sampai dengan selamat. Laki-laki macam apa dirinya karena sudah menyuruh menunggu untuk menjemput yang ada mengabaikannya karena lebih memilih urusan pertikaian.

"Kiran?" panggil Adit sambil membalikkan tubuhnya.

Seorang perempuan duduk di atas motor. Ia memakai kerudung sama seperti yang di gunakan oleh Kiran. Sayangnya perempuan yang diharapkan ternyata tidak ada.

"Kiran mana?" tanya Adit kecewa.

"Loh, memang dia tidak pamitan sama kamu?" tanya Iffah dengan bingung.

"Enggak? Pamitan kemana?"

Adit juga jadi ikutan bingung. Ada rasa tidak enak tiba-tiba terbesit di hatinya.

"Aku barusan mengantar Kiran ke stasiun."

Adit terbelalak kaget.

"Pergi kemana dia?" tanya Adit yang jantungnya sudah berdetak kencang karena efek panik.

"Pulang kampung."

Jantung Adit serasa berhenti mendengar ucapan sahabatnya Kiran.

"Solo?"

Iffah mengangguk.

"Ada apa ia pulang ke Solo?"

Iffah mengangkat kedua bahunya sambil berucap," Entahlah. Tunangan mungkin? Atau jangan-jangan dipaksa nikah?" ledek Iffah sehingga laki-laki di depan kembali lagi emosi.

"Sialan!" pekik Adit memakai jaketnya.

"Hey, tunggu sebentar," ucap perempuan itu sambil menahan tawanya.

Adit semakin terpojok, entah mengapa dua perempuan seperti ini tidak ada takut-takutnya dengan preman macam dirinya. Apalagi Kiran, hampir semua teman satu geng tidak ada yang ia takuti.

"Kalian sedang ada masalah?"

Wajah Iffah sudah kembali dengan serius. Adit hanya membalasnya dengan deheman saja.

"Apa dia cerita banyak?" tuduh Adit. Jangan sampai perempuan satu ini lagi mengetahui tentang masalah di keluarganya.

"Enggak, tapi dari raut wajahnya sudah terbaca jelas jika sedang punya masalah dengan kamu. Saat aku tanya tentang kamu, dia selalu mengelak."

Adit menarik napas panjang. Ia tak menyangka jika teriakannya tadi menorehkan luka di hati Kiran.

"Kapan dia pergi ke stasiun?"

Iffah melihat jam tangan mungil di pergelangan tangannya.

"Setengah jam yang lalu dan kereta akan berangkat setengah jam lagi."

Adit dengan sigap berlari menuju motornya. Ia tak peduli teriakan Iffah bolak balik memanggil namanya. Yang penting ia harus bertemu Kiran sekali lagi untuk meminta maaf.

🌷🌷🌷🌷


Lampu merah di perempatan benar-benar menjadi musuh laki-laki yang sudah tak bisa lagi menahan rasa sabarnya. Entah mengapa jika di lampu merah seakan-akan detik itu berjalan sangat lambat.

Hati Adit sudah sangat panik, mengingat jadwal kereta selalu tepat dan tidak bisa dinego. Terpaksa Adit mengambil keputusan menerobos lampu merah dengan mengabaikan kamera CCTV di sana. Toh ini bukan sekali, bahkan sudah berkali-kali.

Sayangnya aksi Adit, tak luput dari laki-laki berseragam polisi yang menjalankan motornya tepat di belakang Adit. Ia lalu menambah kecepatannya agar lolos dari kejaran polisi tersebut. Namun sialnya, motor di belakang terus mengikuti.

Untung saja, di depan mata sudah tampak stasiun yang sudah dipadati penumpang. Dengan buru-buru, Adit memarkir motornya.

Mata Adit terbelalak, ia melihat orang yang mengejar juga sedang berada di tempat parkir ini juga. Dalam hati Adit berdoa agar pertemuan dengan Kiran disegerakan dan selanjutnya menyelesaikan kesalahannya di jalan raya.

Adit sengaja membiarkan laki-laki itu masuk ke dalam, sepertinya ia juga terlihat buru-buru. Entah mengejar dirinya atau mengejar keberangkatan kereta. Setelah laki-laki itu masuk ke dalam pintu peron, baru Adit muncul untuk melanjutkan tujuan utamanya.

Sayang kereta Argo Dwipangga benar-benar membawa Kiran pergi meninggalkan Adit yang penuh rasa bersalah. Ia menatap ular besi berjalan begitu saja, berharap akan ada seseorang yang sedang berdiri menunggu kedatangannya. Sayang semua itu sia-sia.


🌷🌷🌷🌷

Kiran tampak asyik mengetik sesuatu di layar laptopnya, untung saja ia duduk di dekat jendela sehingga pemandangan di samping bisa menambah imajinasi selama menulis.

"Maaf, apa bangku di samping kosong?" tanya seorang laki-laki yang masih lengkap memakai pakaian dinasnya yang tertutup jaket kulit warna hitam.

Kiran hanya mengangguk sambil terus menatap seseorang yang sekarang sudah duduk di sampingnya. Luka di hatinya sedikit terobati karena nantinya akan ada sedikit cerita selama perjalanan ke Solo.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro