🌷LDR🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Bukan masalah memaafkan, namun menghilangkan bekas luka tak hanya dengan kata maaf saja~

****
After the Rain by Galuch Fema



Happy reading jangan lupa vote

Laki-laki itu melepaskan jaket dan meletakkan di dalam tas ransel miliknya. Udara AC di dalam kereta belum mampu menghilangkan penat setelah tadi mengejar pelaku pelanggaran di jalan saat sekalian dirinya berangkat ke stasiun. Entah sudah berapa kali dirinya dihadapkan dengan preman itu.

Mata laki-laki itu melirik pada jemari lentik yang lihat menari di atas keyboard.

"Turun di stasiun mana?" tanya laki-laki itu berusaha mengajak kenalan perempuan di samping.

"Stasiun balapan solo," sahut Kiran dengan mata yang tak pernah lepas dari layar laptopnya.

Laki-laki di samping sedikit kecewa karena perempuan itu sama sekali tak menoleh ke arahnya. Lebih baik ia memejamkan matanya selama perjalanan sebelum tugas di tempat baru  nantinya.

Entah sudah  berapa jam Kiran terlelap begitu saja, sampai akhirnya ia merasa ada yang menggoyangkan tubuhnya, dengan kaget ia membuka matanya.

"Astaghfirullahal'adzim," pekiknya kaget.

Kiran buru-buru menggeser tubuhnya karena terlalu dekat, sampai-sampai laki-laki itu duduk menyamping karena tidak dapat bersandar pada kursi penumpang di kereta.

"Maaf," ucap Kiran salah tingkah. Ia sangat malu mengingat posisi tidurnya barusan.

"Sudah sampai stasiun."

"I-iya," jawab Kiran dengan mulut menganga karena hampir semua penumpang sudah turun dari gerbong kereta.

Perempuan itu merutuki tidurnya yang terlalu lelap sehingga sama sekali tak mendengar suara customer service yang memberikan pengumuman di setiap stasiun.

Tangan Kiran bergerak cepat memasukan laptopnya dalam tas. Tanpa memandang wajah di samping, ia buru-buru turun dengan menahan rasa malu.

Kepala Kiran mencari seseorang yang sudah berjanji akan menjemputnya di stasiun ini.

"Mau pulang naik apa?" tanya seseorang yang sekarang sudah berdiri di sampingnya.

"Eh, aku dijemput," sahutnya sambil berlari begitu saja.

🌷🌷🌷🌷


Manahan masih seperti dulu, menyelipkan kerinduan ketika harus berjauhan dengan kota ini.  Kiran melangkah menuju pintu keluar karena sudah berjanjian dengan seseorang.

"Kamu sebenarnya tidak perlu pulang. Umi baik-baik saja, cuma asam lambungnya saja yang kambuh."

Kiran merengkuh tangan Alif—kakak kandungnya.

"Tidak apa-apa, Mas. Kebetulan sedang libur semester. Ayo, pulang sekarang. Kiran ingin sekali ketemu sama Abah dan Umi."

Perempuan itu mendekati mobil hitam milik Abah.

"Sebentar, Mas janjian sama teman," sahut Alif mencari sekeliling melihat seseorang yang barusan menghubunginya.

"Siapa?"

"Teman. Kebetulan sedang ada tugas di sini."

Kiran menunggu dengan wajah kesal, bagaimana tidak cuaca sangat panas sedangkan pintu mobil depan masih terkunci.

"Itu dia!" pekik Alif sambil melambaikan tangan pada seseorang.

Mata Kiran melihat seseorang yang ditunjukkan kakaknya.

"Bukankah dia?"

"Hey, sudah lama menunggu?" sahut laki-laki yang sudah memakai jaket kulit warna hitam sambil menjabat tangan sahabatnya.

"Baru saja datang. Apa kabar kamu sekarang? Sudah jadi orang sukses ya, Fiz," ucap Alif menepuk punggung Hafiz.

"Kamu yang sukses bisa mengajar sama mengurus pondok.

"Pondok milik Abah, aku cuma membantu saja karena beliau sudah sepuh."

"Ehemm!"

Deheman kecil keluar dari mulut Kiran melihat dua orang laki-laki yang sedang bernostalgia.

"Eh, kenalkan ini Kiran—adik aku," ucap Alif memperkenalkan Kiran.

"Kita tadi sempat bertemu di dalam kereta," sahut Hafiz secara jujur. Tak sengaja mata itu melihat perempuan yang sedang mengibaskan tangannya untuk mengurangi efek panas.

"Eh, lupa belum dibuka pintu mobilnya," sahut Alif menyadari kesalahannya.

Kiran yang tadi ingin duduk di depan, akhirnya mengurungkan niatnya dan memilih duduk di tengah.

"Depan saja, biar saya yang duduk di tengah," sahut Hafiz sesopan mungkin.

"Tidak apa-apa," jawab Kiran sambil masuk dalam mobil.

"Dia orangnya?" tanya Hafiz lirih.

Alif mengangguk sambil tersenyum.

"Sepertinya dia—"

"Usaha dulu baru komentar," potong Alif sambil menyuruh Hafiz masuk.

Laki-laki yang duduk di samping sahabatnya hanya bisa pasrah karena tak sengaja tadi melihat layar laptop yang berisi curahan hati perempuan itu pada seseorang bukan pada dirinya.

Selama perjalanan, yang ada obrolan dari dua laki-laki itu, Kiran hanya bisa menatap pemandangan kota Manahan yang sangat ia rindukan.

Alif hanya bisa menahan senyum karena sahabatnya sering mencuri pandang melihat Kiran dari kaca di depan.

Mobil melaju ke asrama yang nantinya akan ditempati Hafiz selama beberapa hari. Kebetulan mereka searah dengan alamat rumah Abah.

🌷🌷🌷🌷


Adit melangkah dengan lunglai meninggalkan stasiun, seandainya saja ia membawa uang cukup pasti akan membeli tiket kereta menuju tempat yang sama dengan Kiran.

Adit sengaja tak pulang, ia lebih memilih tempat yang sunyi untuk menenangkan pikirannya. Entah sudah berapa batang rokok yang ia hisap. Tak peduli bekas puntung rokok yang sekarang sudah berceceran di atas tanah.

Ia belum berani pulang karena ia yakin Mamah sangat kecewa atas perbuatannya karena telah menyakiti anak  tirinya.

"Sudah kuduga, pasti kamu di sini," tebak Anton yang sekarang sudah berada di depan Adit.

Adit sendiri sudah paham jika sahabatnya akan menemukan ia bersembunyi ketika sedang patah hati atau larut dalam masalah.

"Kenapa murung begitu? Kalian marahan?" tebak Anton sambil mengambil satu batang rokok milik Adit.

"Dia pergi."

Anton terbelalak kaget, ia mengurungkan menyalakan korek api di tangannya.

"Pergi kemana?"

Suara Anton meninggi dan bisa menebak jika kondisi Adit sedang tidak baik. Ia melihat ke atas tanah yang sudah berceceran puntung rokok. Padahal Adit sudah lama tidak mengisap rokok.

"Pulang kampung."

"Kok mendadak gitu? Apa jangan-jangan mau dikawinin?" tebak Anton dengan asal.

Adit langsung bangkit dan meremas kaos Anton dengan otot yang sudah tercetak jelas di jari tangannya.

"Jangan katakan lagi seperti itu. Aku tidak suka!"

Adit melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Tubuh Anton terhuyung dan jatuh terduduk di atas rerumputan.

"Sorry "

"Ada apa kamu kemari?" tanya Adit sambil mengontrol kembali emosinya dengan nada bicara yang dibuat seperti biasanya.

"Gue disuruh Sony buat jemput kamu. Setengah jam lagi ada balapan."

"Gue libur dulu."

"Apa? Libur? Enggak mungkin, Dit!" pekik Anton sambil berdiri dan kedua tangan yang sudah bertengger di pinggangnya.

"Lo aja dulu yang maju, gue kapan-kapan saja."

"Enggak. Pokoknya Lo yang harus maju. Lawan sekarang berat, preman kampung sebelah yang menjadi musuh bebuyutan. Kita jangan sampai kalah. Kalau tidak nanti geng kita yang bakal diremehkan sama mereka."

Adit menggeleng pelan.

"Berarti kita menyerah begitu saja sebelum bertanding? Apa kata mereka nanti?"

Adit diam tak membalas ucapan Anton. Padahal sebelumnya ia yang paling semangat di ajang balapan ini.

"Cuma gara-gara perempuan itu sekarang kamu berubah menjadi pengecut," sahut Anton membakar emosi sahabatnya.

Adit menatap wajah Anton, ia paling tidak suka dikatai pengecut dalam hal apapun.

"Cabut!" pekik Adit sambil berlalu pergi.

Anton tersenyum bangga, ia paling tahu kelemahan Adit. Setidaknya hari ini, geng dia ikut ajang balapan.

Suasana jalan yang biasa dijadikan ajang balapan sudah ramai dengan beberapa anak muda yang sudah berkumpul sepanjang jalan raya. Kapan lagi mendapatkan tontonan gratis macam seperti ini. Sebelumnya, Sony tampak khawatir karena kedua temannya belum datang padahal lawan mereka sudah pada datang semua. Hampir semua mengejek untuk  mundur dibandingkan tidak ada yang maju.

"Uangnya?" tanya Adit pada Sony yang sedang menyiapkan motor yang nantinya akan dipakai oleh dirinya.

"Uang buat taruhan sudah aku setor."

Adit mengangguk, ia langsung menaiki motor tersebut. Mengambil helm dari tangan Anton. Jujur saja, Adit tak ada persiapan fisik untuk acara ini apalagi mengingat kondisi hatinya yang masih labil. Semoga saja nantinya bayang-bayang Kiran tak mengganggu konsentrasinya selama di jalur balapan.

Semua peserta yang hampir sepuluh orang, sudah bersiap-siap di atas motor. Suara knalpot meraung-raung seakan meminta agar motor segera dijalankan segera mungkin. Tatapan sadis dari mata musuh seakan tak pernah lepas dari sosok Adit. Laki-laki itu hanya menatap depan tak membalas tatapan mereka yang penuh kebencian. Yang penting ia selalu waspada saja karena mereka selalu menggunakan cara yang curang.

Kain merah yang dipegang perempuan yang berdiri di depan barisan sudah terjatuh ke tanah, suara sorak penonton mengiringi motor yang sekarang berjalan melesat meninggalkan garis start.

Begitupun dengan Adit yang sudah tampil dulu di depan, ia harus semaksimal mungkin membawa harga dirinya bersama teman-temannya. Apa yang ditakutkan Adit terjadi, entah mengapa bayang-bayang sosok Kiran mengganggu konsentrasinya. Motor hampir saja limbung jatuh karena tak imbang pas di belokan kedua.

Kesempatan ini tak luput dari lawan mainnya.  Dengan main curang, motor Adit ditendang dengan keras sehingga motor beserta pengemudinya jatuh tersungkur dan terpental jatuh ke atas aspal. Suara decitan yang sangat keras membuat para penonton terpekik keras.

Anton bersama teman-temannya langsung berlarian menghampiri Adit yang berusaha mengalihkan motor yang jatuh menimpa tubuhnya.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Anton khawatir.

Gelengan lemah kepala Adit tak bisa menyembunyikan luka di wajahnya karena posisi helm sedikit terbuka sehingga darah membasahi pipi kanannya.

"Sialan, mereka main curang!" pekik Sony merasa tak mau terima.

"Biarkan saja," sahut Adit dipapah menuju pinggir jalan oleh Anton.

Adit menahan rasa nyeri di tangan dan kakinya. Inilah hidup kerasnya di jalanan, kadang tidak butuh fisik saja namun harus hati-hati juga dan tak boleh lemah saat musuh hendak mencelakai dirinya.

"Tenang, masih ada satu kesempatan lagi besok," hibur Anton pada semuanya.

Di garis finish, tampak para pemenang tengah bersorak sorai memamerkan uang yang menjadi hasil taruhannya.

"Kita berhasil, Bos. Adit berhasil kita lumpuhkan," ucap laki-laki tengah menelepon seseorang di sana.


🌷🌷🌷🌷

Kiran setelah bercengkerama dengan keluarganya, ia memutuskan untuk kembali ke kamar. Niatnya mau istirahat tetapi masih teringat naskah yang belum kelar.

Ia membuka laptop dengan hati-hati. Ia kembali teringat sewaktu di atas kereta, ia belum mematikan laptopnya namun ketika sudah sampai stasiun Balapan ia sudah mendapati laptopnya yang sudah mati dan tertutup rapi.

Ia mulai mengetik, memindahkan apa yang terlintas dalam pikirannya tertuang pada kata di layar monitor. Sampai ia tak sadar mengklik sesuatu yang ternyata panggilan video call lewat WhatsApp web.

Kiran terkejut karena sekarang sudah terhubung dengan seseorang yang ia hindari. Mau mematikan hubungan video call  tetapi matanya tertuju pada luka di pipi laki-laki itu.

"Astaghfirullah."

Kiran hampir saja lupa memakai apa yang selama ini pakai, dengan gerakan cepat ia menyambar pashmina di samping meja. Memakai asal yang penting rambut tertutup.

"Apa kabar?" sapanya dengan lirih namun kedua mata laki-laki itu terus menatap ke arah Kiran.

Kiran mendiamkan beberapa menit. Tangan kanan digunakan untuk menahan dagunya dengan tatapan ke samping, menghindari tatapan laki-laki itu di layar.

"Baik," sahut Kiran singkat.

"Kapan pulang ke sini?" tanya Adit dengan penuh penyesalan.

"Entahlah."

"Apa aku harus menyusul ke Solo agar kamu mau balik lagi bersamaku di sini?"

Kiran terlunjak karena kaget. Seketika menatap wajah di depannya sambil menggoyangkan tangan.

"Ja-jangan," balas Kiran takut.

"Aku bisa melakukan apapun termasuk mengembalikan kamu kembali lagi ke sini."

Kiran tambah panik, membayangkan Adit ke datang ke sini. Masuk ke lingkungan pesantren Abah dan nantinya suasana menjadi kacau.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro