🌷Arti Sebuah Jarak🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Sekuat apapun menjaga, yang pergi pasti tetap berlalu dan yang datang tetap kita hadapi~

****
After the Rain by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

Sekarang bergantian mata Kiran menatap tajam laki-laki yang masih menghiasi layar laptopnya.

"Berarti Videocall cuma mau mengancam saja!" gertak Kiran tak kalah berani.

Adit hanya terperanjat sambil mengelus dada. Bukan Kiran namanya karena cuma satu-satunya orang yang berani membuat Adit bertekuk lutut.

"Ak-aku—"

"Aku matikan saja, malas sama orang yang tidak mau mengakui kesalahannya," potong Kiran tak kalah sengit.

"Jangan, please dengarkan aku dulu," sahut Adit ketakutan.

Kiran kembali lagi menutup mulutnya dengan tangan. Sebenarnya tangan itu untuk menahan tawa di bibirnya. Kapan lagi membuat seorang laki-laki macam preman bertekuk lutut padanya.

"Aku minta maaf," sahut seseorang di seberang dengan lirih.

"Apa? Aku tidak dengar?" ucap Kiran sambil menempelkan telinganya dekat layar laptop. Padahal sejujurnya ia tadi mendengar apa yang Adit ucapkan.

" Aku minta maaf."

Suara Adit meninggi agar suaranya lebih nyaring.
Kiran tertawa cekikikan karena tak bisa menahan tawanya.

"Aish, kok ketawa," sahut Adit kesal merasa dipermainkan. Lagi-lagi ia kalah.

"Sorry, sorry. Aku kecewa sama kamu, Dit?" ungkap Kiran secara jujur. Suasana kembali kaku dan tegang. Apalagi laki-laki itu mendekatkan lagi wajahnya pada kamera layar di ponsel.

"Kecewa karena kamu terlalu egois. Selalu saja emosi yang pertama kali keluar tanpa mendengarkan kata-kata aku terlebih dahulu."

Keduanya sama-sama menunduk, apalagi untuk Adit mungkin ini adalah kritikan pertama seseorang untuk dirinya yang baru kali ini masuk ke dalam telinganya.

"Aku benci sama kamu," lanjut Kiran sehingga membuat Adit terperangah kaget. Mata Adit menelusuri manik hitam milik Kiran. Perempuan itu berkata sejujurnya dari hati bukan candaan seperti sebelumnya.

"Kiran, kamu lagi ngobrol sama siapa?"

Perempuan yang memakai kerudung pashmina sangat terkejut. Saking asyiknya menerima Videocall dari Adit sampai tak sadar jika Abah sekarang berdiri di belakang kursi. Apalagi tatapan Abah sekarang menatap layar laptopnya.

Dengan gerakan cepat, Kiran langsung mematikan sambungan Videocall tersebut. Entah sudah berapa
lama Abah berada di kamar ini.

"Siapa yang telepon kamu barusan?"

"Eh, bukan siapa-siapa," elak Kiran pura-pura menatap layar laptopnya yang sekarang sudah berganti dengan lembar kerjanya.

"Pacar?" tuduh Abah sehingga Kiran bangkit dari kursinya.

"Bukan, cu-cuma teman," sahut Kiran berbohong.

"Jangan  terlalu dekat dengan teman laki-laki. Tetap jaga jarak karena bukan mahrom. Sepertinya laki-laki itu seperti prem—"

"Abah ada urusan apa kemari?" potong Kiran agar Abah tidak bertanya lagi tentang Adit.

"Ditunggu Umi untuk makan bareng bersama keluarga pesantren."

"Nggih, Abah. Nanti Kiran kesana."

🌷🌷🌷🌷


A

dit hanya terus menatap layar ponselnya walaupun panggilan sudah terhenti. Ia terus menatap wajah Kiran yang menjadi gambar kontak perempuan itu.

Tak sengaja sebelum perempuan itu mematikan ponsel, ia melihat laki-laki paruh baya memakai baju serba putih dan kopiah warna senada. Dari tatapan laki-laki itu tersirat rasa tidak suka ketika melihat ke arahnya walaupun hanya sebatas gambar di layar.

Adit menyadari jika perbedaan dirinya dengan Kiran sangatlah jauh. Untuk menyatukannya suatu hal yang sangat mustahil dan butuh pengorbanan dari salah satu diantara mereka.

Pantas saja teman-teman menolak dirinya untuk berdekatan dengan perempuan macam Kiran. Padahal sebelumnya banyak perempuan dengan baju yang minim mendekati Adit, teman-teman tak ada yang mempermasalahkannya.

"Ceklek!!"

Adit membuka pintu dengan hati-hati agar Mamah tidak terbangun apalagi sekarang sudah menunjukkan jam dua belas malam.

"Adit!" panggil perempuan paruh baya yang baru saja keluar dari pintu kamarnya.

Adit hanya mendengkus, ia bisa menebak jika Mamah akan membicarakan masalah tadi siang. Jika memang tak ada masalah, pastinya Mamah tak akan menunggu kehadiran dirinya sampai larut malam seperti ini.

"Duduk!" perintah Mamah.

"Katakan saja apa yang ingin Mamah bicarakan," sahut Adit menoleh tatapan ke samping.

"Masalah Putri."

"Maaf Adit tidak bisa," elak Adit berlalu menuju ke kamar yang tepatnya berdampingan dengan ruang tamu.

"Adit, Mamah akan datang ke pernikahan putri."

Laki-laki itu langsung menghentikan langkahnya, bagai disambar petir ketika mendengar ucapan barusan.

"Apa? Datang ke pernikahan putri?"

"Ya. Bagaimanapun ia tetap anak Mamah walaupun bukan anak yang lahir dari rahim Mamah."

Adit sangat-sangat kecewa mendengarnya. Andai saja Mamah mengingat kembali bagaimana perlakuan Wanita yang sudah merusak hubungan Ayah dan Mamah.

"Terserah. Adit tak mau ikut campur," tukas laki-laki itu dengan kesal. Ia membuang topinya dengan asal.

"Mamah ingin kamu ikut juga pas acara resepsi besok."

"Tidak. Adit tidak akan hadir di sana."

Wajah Adit memerah karena sangat kesal. Mamah sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan ini.

"Ajak Kiran jadi kamu tidak jenuh saat di sana!"

Adit menatap tajam ke arah Mamah sambil berucap, "Jangan bawa-bawa Kiran. Adit tetap tak mau datang ke sana. Apa Mamah tidak lihat bekas luka ini?" bentak Adit dengan kasar sambil menunjukkan bekas luka di sana.

"Apa Mamah sudah lupa makam orang yang Adit cintai?"

Laki-laki itu masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu dengan kasar. Suara itu membuat Mamah sangat kaget. Adit menjatuhkan badannya ke atas tempat tidur, memeluk bantal sangat erat. Hari ini benar-benar sangat melelahkan. Dari mengabaikan Kiran yang menunggu lama di kampus karena ia lebih memilih berkelahi, bertemu dengan musuh dalam selimut di keluarganya, sampai akhirnya ia kalah dalam balapan.

Ia menuliskan pesan untuk seseorang di sana, baru sehari berjauhan saja sudah mau mati saja.

🌷🌷🌷🌷


Matahari siang ini bersinar tak begitu terik, Kiran tak melewatkan untuk berkeliling area pondok bertemu dengan para santri yang lama belajar di sini.

Ketika berada di gerbang utama, pandangan Kiran tertuju pada laki-laki muda yang sudah lengkap memakai baju takwa dengan peci berwarna putih.

Kiran buru-buru membalikkan badannya, sayangnya terlambat karena orang tersebut memanggilnya.

"Assalamualaikum," sapanya dengan sopan.

Dengan terpaksa Kiran membalikkan tubuhnya dan sekarang berhadapan dengan laki-laki yang notabene sahabat kakaknya.

"Wa'alaikumsalam," sapa Kiran sambil menahan malu karena pertemuan pertama di kereta itu membuat ia teringat kembali saat dibangunkan karena tertidur pulas.

"Alif ada?"

Kiran mengangguk sambil berucap, " Ada di ruang administrasi pondok. Habis mengisi kuliah sehabis zuhur bersama santri."

"Boleh antarkan aku ke sana. Masalahnya sudah lupa bangunan-bangunan di pesantren karena sudah lama tidak ke sini?"

"Dulu nyantri juga di sini?" tanya Kiran penasaran.

"I-iya. Apa kamu lupa sama aku?" tanya Hafiz penasaran.

"Iya, soalnya aku tidak begitu dekat dengan santri laki-laki."

Hafiz mengangguk, kedekatan antara perempuan dan laki-laki di lingkungan pesantren sangat dijaga. Untung saja sekarang, ia berjalan agak jauh di belakang perempuan itu.

"Kapan balik lagi ke kampus?" tanya Hafiz membuka suaranya. Ada rasa keingintahuan yang luar biasa tentang adik sahabatnya ini tetapi dilihat dari wajah dan cara pandang perempuan itu sepertinya terlihat biasa saja ketika berdekatan dengan dirinya.

"Entahlah mungkin lusa."

"Apa sudah memesan tiket biar kita bisa berangkat bersama lagi."

"Belum, nanti mendadak saja."

Hafiz mengangguk dengan kecewa. Mereka sekarang berhenti tepat di kantor yang ditunjukkan oleh Kiran. Hafiz sengaja menunggu di kursi yang tersedia di depan karena tak mungkin ia menyelonong masuk ke sana.

Sedangkan Kiran sendiri memilih berdiri dengan tangan yang masih memegang smartphone. Wajah perempuan itu terlihat sangat panik. Benar saja, dering ponsel itu membuyarkan lamunan dua orang tersebut yang saling berdiam diri.

Dengan cepat, Kiran mengangkat panggilan itu dengan wajah tak biasa. Setelah bercakap-cakap dengan panjang, perempuan itu terlihat sangat gusar. Ada rasa ragu-ragu untuk kembali lagi ke sana sedangkan hatinya nyaman di sini, di lingkungan pesantren.

Alif keluar dari ruangan masih memakai jubah putih dengan sorban yang ia letakkan sengaja di bahu.

"Sudah lama?" tanya Alif sambil melihat sekitar mencari adiknya.

"Belum."

"Kiran mana?"

"Sedang menerima telepon dari seseorang, sepertinya ia sekarang sedang di taman sebelah."

"Gimana sudah ngobrol banyak sama dia?" tebak Alif dengan wajah sangat penasaran.

Hafiz menggeleng lemah.

"Ia sepertinya tidak tertarik sama aku. Bahkan lupa saat dulu saya pernah nyantri di sini."

"Masa sih?"

Anggukan lemah dan wajah sedih tergambar jelas di wajah Hafiz.

"Sepertinya dia juga sudah memiliki ...."

"Memliki apa? Cepat katakan?" paksa Alif sangat penasaran.

"Kekasih."

Raut wajah Alif sekarang sudah berubah sangat panik.

"Kamu yakin?" tuduh Alif tak percaya.

"Sepertinya, soalnya barusan ia mendapatkan telepon dan sering mengucapkan sebuah nama."

"Jangan pesimis dulu. Siapa tahu itu cuman temannya."

"Ah, sudahlah, Lif. Jangan kamu lanjutkan lagi urusan ini? Aku yang jadi enggak enak terlibat dalam masalah ini."

"Hust, enggak boleh menolak jodoh. Lagian ini permintaan Abah, bukan aku," elak Alif sambil berbisik.

Raut muka Hafiz langsung berseri, bagaimana tidak ternyata sang Kyai sendiri yang menginginkan dirinya menjadi menantu di sini, bergabung ke dalam keluarga pesantren.

"Nanti lah pelan-pelan saja," ucap Hafiz pura-pura menolak padahal hati bersorak.

"Nanti aku kirim alamat kontrakan Kiran di sana agar kalian bisa sering ketemu."

Dengan semangat, Hafiz mengangguk dengan cepat.


🌷🌷🌷🌷

Wajah Kiran sangat masam. Baru saja berdiri dari bangku taman, ponsel sudah berdering lagi. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Kiran langsung mengangkatnya.

"Ada apa sih, kan tadi sudah aku bilang iya," tukas Kiran dengan kesal. Saking kesalnya hampir membuang ponsel karena Anton menelepon seperti orang menteror dirinya.

"Hey, siapa menelepon kamu barusan?" Suara seorang laki-laki di seberang membuat jantung Kiran terlonjak kaget.

"Suara itu!"

Kiran buru-buru melihat layar telepon, ternyata bukan Anton. Ia sudah salah maki-maki orang.

"Ada apa?" tanya Kiran dengan ponsel yang masih di dekat telinganya. Ia meredam denyut jantung yang masih berdetak cepat.

"Cepat temui aku dekat pesantren!" perintah laki-laki itu.

"APA? PESANTREN?" pekik Kiran dengan kencang.

"Ya, aku di Solo. Aku sebelah timur pesantren. Dekat tempat foto copy."

Seketika kaki Kiran sangat lemas, benar saja ia tak boleh bermain-main dengan Adit. Apalagi sekarang, ia benar-benar menjemputnya untuk balik lagi ke sana.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro