🌷Penuh teka-teki🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Kita memang berbeda, aku langit dan kamu bumi. Namun, kita masih bisa dipersatukan lewat hujan. Kamu menggenggam payung dan aku menggenggam harapan~

****

After the Rain by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote vote

Kiran berlari menuju tempat yang ditentukan, benar saja ia melihat laki-laki tengah berdiri di tempat foto kopi. Kali ini ia memakai kaos berwarna putih, berlapis kemeja panjang kotak- kotak dengan kancing yang ia biarkan terbuka. Tas ransel di punggung dan andalan topi hitam yang melekat di kepalanya.

"Kamu ngapain kemari?" tanya Kiran sambil meredam detak jantung karena efek berlari menuju tempat ini.

"Ayo kita pulang," sahut Adit sambil memegang lengan kaos panjang yang  dikenakan oleh Kiran.

"Enak saja main suruh-suruh. Ini daerah kekuasaan aku, area kamu bukan daerah sini," sahut Kiran menampik tangan Adit.

Laki-laki itu hanya tersenyum, baru satu hari saja ia sudah gemas dengan perempuan yang telah memenangkan hatinya.

"Tumben pake rok panjang? Biasanya juga pake celana?" goda Adit yang sudah paham out fit yang biasa dipakai Kiran.

"Ini kan pesantren, aku wajib pakai ini," elak Kiran merasa malu.

Adit memandang bangunan yang dinamakan pesantren. Di depannya terdapat tempat ibadah yang sangat besar. Beberapa anak yang masih muda juga banyak berlalu lalang memegang sebuah buku yang bertuliskan bahasa Arab.

Adit hanya bisa menahan kecewa yang sangat mendalam, karena perbedaan yang jauh dengan Kiran terpampang sangat dekat di depan matanya.

"Ayok pulang," pinta Adit memelas apalagi suasana menjadi kaku karena senyum tak menghias di wajah perempuan yang memakai kerudung warna jingga.

"Aku ingin di sini sebentar."

"Apa gara-gara kemarin, kamu pulang ke sini?"

Adit menatap manik mata Kiran untuk menemukan kejujuran. Kiran menghela napas sambil mengangguk.

"Aku minta maaf. Ayo balik!" perintah Adit sambil menarik kaos Kiran lagi.

"Aish," gerutu Kiran merasa tak suka.

"Sekarang aku yang bertanggung jawab atas keselamatan kamu."

"Insyaallah aku di sini aman, ada orang tua sama kakak aku."

"Tapi aku kurang puas karena tak bisa menjaga kamu langsung apalagi harus berjauhan seperti ini. Hatiku tidak bisa jauh-jauh sama kamu."

"Aish, gombal banget" ucap Kiran sambil memukul Adit dengan keras. Laki-laki itu mengaduh kesakitan.

"Please, ayo pulang sekarang. Aku kan sudah minta maaf."

Kiran tak tega melihat tatapan laki-laki itu. Ia mengalihkan tatapannya melihat para santri yang sedang berlalu lalang mengingat hampir salat Ashar.

"Aku masih mau bersama Abah sama Umi," jawab Kiran dengan jujur. Maklum ia adalahanak perempuan satu-satunya. Dulu untuk mendapatkan izin kuliah di sana butuh waktu yang lama, sampai-sampai ia berhenti satu tahun, baru mendapatkan izin. Itu pun dengan banyak syarat yang harus dipenuhi Kiran.

"Oke, aku akan tunggu sampai kamu benar-benar mau pulang ke sana. Aku akan tunggu kamu di sini."

"Aish, kamu nanti tidur di mana?" tanya Kiran khawatir.

"Kamu lupa aku itu siapa? Orang macam aku bisa tidur di mana saja, emper toko atau kolong jembatan itu sudah biasa," kekeh Adit.

"Tapi ini bukan daerah kamu? Kamu tidak bisa seenak sendiri. Preman di sini garang-garang. Apalagi orang-orang suruhan Abah sangat banyak, mereka hampir tiap jam selalu mengintai orang asing yang berada di lingkungan pesantren.

"Jika kamu mengkhawatirkan aku, kita pulang sekarang."

"Oke, besok siang aku jemput lagi, kita pulang bareng. Aku sudah pesan tiket kereta," lanjut Adit karena Kiran tampak termenung.

"Lah kok pemaksaan?"

"Kamu dipaksa dulu baru mau. Jadi perempuan gak ada takut-takutnya sama preman."

"Aish."

Laki-laki lain  tengah menatap sepasang manusia yang tengah bercakap-cakap dengan jarak yang sangat lumayan berdekatan. Tiba-tiba rasa api cemburu mulai membakar  wajahnya sudah memerah.

"Kiran?" panggilnya sehingga membuat dua orang di depan matanya  langsung menatap ke arahnya. Yang membuat sakit adalah Kiran tampak sangat terkejut dan salah tingkah. Hafidz sudah menduga jika di antara mereka ada sesuatu yang dirasa.

"Jangan laki-laki itu yang ditulis dalam laptop Kiran,"  tebak Hafidz dengan perasaan tidak suka.

"Ditunggu sama Abang dan Abah di dalam," sahut Hafidz terus mengamati laki-laki di samping Kiran.

Kiran mengangguk sambil bersiap pergi namun sayup-sayup ia mendengar bisikan lirih dari Adit.

"Besok aku tunggu kamu di sini jam sembilan siang karena kereta berangkat jam sepuluh."


🌷🌷🌷🌷

Malam hari dengan telaten Kiran memijit kaki Umi yang sedang berbaring di kamarnya. Entah mengapa kesehatan wanita yang sudah melahirkannya sering menurun, tak jarang hampir tiap Minggu ia selalu menerima pesan dari kakaknya.

"Yakin besok kamu balik ke kampus?" tanya Umi merasa kehilangan, baru juga dua hari tetapi anak perempuan satu-satunya sudah mau balik lagi.

"Nggih, Umi. Besok ternyata ada tugas yang harus dikumpulkan," sahut Kiran berbohong. Ada rasa bersalah ketika ia harus memilih Adit dibandingkan menjaga Umi yang sedang sakit. Ia melakukan seperti itu semata-mata agar laki-laki itu pergi dari lingkungan pesantren karena orang-orang Abah akan curiga melihat kedekatan dirinya dengan Adit.

"Apa kamu sudah tahu jika Abah dan Abang kamu sedang merencanakan sesuatu untuk kamu?" tebak Umi sambil terus menikmati pijatan anak perempuannya.

"Rencana apa Umi?" tanya Kiran penasaran.

"Alif mau mendekatkan kamu sama Hafidz, siapa tahu kamu berjodoh dengan Hafidz."

"APA?" tanya Kiran kaget setengah mati. Ia menghentikan kegiatan memijat, mengamati wajah perempuan yang sudah terdapat kerutan di samping kelopak matanya.

"Hafidz dulu juga santri pondok sini, kebetulan ia juga seorang polisi dan tugasnya tak jauh dari tempat kamu kuliah. Umi sedikit tenang jika kamu ada yang menjaga, apalagi kalau kalian bisa sampai menikah."

Kiran terperanjat kaget mendengarkan penuturan Uminya, ia lebih baik memilih membisu karena tak bisa menolak atau pun membantah titah kedua orang tuanya.

"Kenapa? Apa kamu keberatan?" tanya Umi sudah bisa menebak perubahan wajah putrinya.

Kiran menggeleng lemah, seandainya saja ia lahir bukan di lingkungan pesantren mungkin bisa memberikan alasan yang tepat agar Umi dan Abi mau mengerti perasaannya.

"Apa kamu sedang menyukai seorang Ikhwan?" tebak Umi sekali lagi.

Kiran menggeleng cepat, jangan sampai Umi mengetahui apa yang sedang dipikirkannya.

"Siapa dia?"

"Bukan siapa-siapa, kita cuma teman saja."

"Kamu pacaran?"

Lagi-lagi Kiran menggeleng sambil berucap, "Abi melarang keras pacaran."

"Bukan hanya Abi, tetapi Islam juga melarang keras hubungan perempuan dan laki-laki selain ikatan pernikahan."

"Nggih, Umi."

"Kamu tidak suka kan sama teman kamu itu?" goda Umi sehingga ada rona merah malu di pipi Kiran.

"Insyaallah, tidak," sahut Kiran berbohong. Namun, hati seorang Ibu tidak dapat dibohongi.

"Semua keputusan tetap ada sama kamu. Jika laki-laki pilihan kamu itu lebih baik dari Hafidz, bawa dia ke pesantren. Umi sama Abi ingin mengenalnya.

"Eh, enggak kok, Kiran cuman temenan saja," kilah Kiran menutupi perasaannya. Ia kembali memikirkan dimana laki-laki itu sekarang, apakah beneran akan tidur di kolong  jembatan atau emper toko yang seperti tadi ia ucapkan.


🌷🌷🌷🌷

S

uasana The Royal Surakarta Heritage lumayan sepi. Seorang laki-laki tengah berada di depan balkon mencoba bersahabat dengan udara malam di daerah sini. Ia menyesap segelas wedang ronde ditemani rokok sambil menatap bintang yang terlihat sangat dekat dengan dirinya berpijak.

Ia kembali teringat laki-laki yang datang saat dirinya bersama Kiran. Ini bukan pertama kali berjumpa dengan laki-laki yang biasanya ia temui menggunakan baju dinasnya.

Beberapa pertanyaan selalu melintas di otak Adit tentang siapa polisi tersebut dan ada hubungan apa dengan Kiran atau keluarga perempuan itu?

"SHITT!" pekik Adit sangat kesal karena entah mengapa sekarang ia memikirkan laki-laki itu bukan memikirkan Kiran.

Ia lalu masuk ke dalam, menjatuhkan tubuhnya pada ranjang yang sangat jauh berbeda seperti yang ia temui di rumah. Membenamkan wajahnya berusaha merajut mimpi karena pertemuan tadi dengan Kiran sangat singkat.

Keesokan paginya, Adit sangat cemas. Bagaimana tidak, waktu yang sudah ia janjikan tetapi perempuan itu sama sekali tak muncul di hadapannya. Padahal kereta setengah jam lagi hendak berangkat. Berulang kali menelepon namun tidak ada yang mengangkatnya.

"Kemana sih?" ucap Adit sendirian dengan kepala yang bolak balik ia tolehkan ke pintu gerbang utama pesantren.

"Apa jangan-jangan ia tidak boleh pulang sekarang? Atau Kiran sendiri enggan pulang bersamanya?"

Adit menendang batu-batu kecil di hadapannya, entah mengapa wajahnya terasa sangat panas mengingat apa yang ia impikan semalam tidak bisa menjadi kenyataan.

Dan benar saja, waktu keberangkatan kereta berlalu begitu saja tetapi perempuan itu sama sekali tak datang. Adit hanya bisa pasrah, apalagi ia sudah check out dari hotel.

"Sorry telat," ucap seseorang membuyarkan lamunan Adit.

Perempuan itu hanya geleng-geleng kepala melihat di depan laki-laki itu sudah berserakan beberapa puntung rokok di atas tanah.

Adit melihat perempuan di depan, meyakinkan apa yang ia lihat benar-benar perempuan yang sedang ia tunggu.

Senyum tersungging di bibir Adit, Kiran sudah terlihat rapi sambil membawa sebuah tas.

"Ayo, cepetan keburu orang-orang dalam pesantren tahu aku pergi sama siapa. Bakalan heboh nanti satu pesantren," bujuk Kiran sudah setengah ketakutan.

Adit berdiri dari tempat duduknya, ia mengambil sebuah jaket dan langsung diletakkan di bahu perempuan itu.

Setelah kepergian mereka, seorang laki-laki keluar dari warnet dekat tempat foto kopi. Dalam hati laki-laki itu terasa sangat kecewa karena dengan kedua matanya sendiri melihat adik perempuannya tengah pergi bersama seorang laki-laki yang sama sekali ia tak mengenalnya.

"Kita mau naik apa ke sana? Nunggu kereta lagi atau naik kendaraan umum lainnya?" tanya Kiran dengan panik.

Sekarang ia sedang duduk bersama Adit di dalam taksi. Kiran melihat laki-laki itu wajahnya tampak tenang tak terlihat cemas padahal mereka sudah ketinggalan kereta.

"Kita ke stasiun dulu, siapa tahu ada kereta lagi yang mau berangkat."

Kiran hanya mengangguk, entah kenapa kata-kata Adit barusan membuat dirinya sedikit lebih tenang.

Suasana stasiun balapan Solo lumayan ramai dipadati pengunjung. Adit menyuruh Kiran untuk memegang ujung ranselnya agar mereka tak terpisah, sampailah mereka tiba di loket. Adit langsung menuju loket untuk membeli tiket.

"Tinggal kelas ekonomi saja yang tersisa? Ada nanti kereta kelas bisnis sama eksekutif tetapi datangnya dua jam lagi."

"Pakai ekonomi saja tidak apa-apa. Tapi bangkunya deketan kan?" tanya Kiran dengan cemas. Pengalaman ia pernah duduk satu bangku berdekatan dengan seorang preman yang terlihat sangat urakan. Beda dengan sekarang.

"Tenang saja," ucap Adit sambil tersenyum. Ia bisa menangkap rasa kekhawatiran yang di alami perempuan itu.

Kereta yang dinanti sudah datang, mereka bergegas masuk ke dalam karena takut ketinggalan kereta lagi untuk kedua kalinya.

"Tadi kenapa telat?"

"Dari subuh aku harus setor hapalan sama Abah. Karena aku banyak yang salah jadi terpaksa harus diulang terus."

"Dari subuh belum istirahat lagi?" tanya Adit bisa merasakan jika perempuan itu bolak-balik menguap. Kiran menggeleng.

"Sudah istirahat saja. Pakai bangku ini buat tidur," ucap Adit sambil berdiri.

"Kamu mau kemana?" tanya Kiran sedikit khawatir.

"Tenang saja, aku tidak kemana-mana. Aku cuma mau nongkrong saja dekat toilet depan. Kamu istirahat saja, tidak enak kita terlalu dekat, takut ada orang-orang yang melihat kita."

Kiran tersenyum, di balik sosok laki-laki itu yang hobi berantem tersimpan rasa perhatian yang sangat luar biasa.

Kiran mencoba merebahkan tubuhnya, mencoba meletakkan kepalanya beralaskan tas ransel milik laki-laki itu. Ada secarik beberapa kertas di kantong paling luar.

Karena penasaran rasa yang luar biasa, Kiran mengambil kertas tersebut. Ternyata karcis kereta yang seharusnya berangkat tadi awal, yang membuat Kiran heran adalah laki-laki itu memilih kelas eksekutif yang harganya lumayan fantastis. Secarik kertas lagi terselip di tiket.

Mulut Kiran menganga melihat isi kertas tersebut berisi rincian biaya menginap di hotel bintang lima dengan nama Adit yang tertera di kertas itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro