🌷 Uji Nyali🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Seseorang yang mencintaimu selalu mempunyai sejuta alasan untuk selalu berada di dekatmu dan tak akan mencari alasan untuk benar-benar pergi dari hidupmu~

****
After the Rain by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote

Niat hati mau memejamkan matanya sejenak tetapi Kiran masih fokus dengan kertas-kertas yang ada di genggamannya. Ia semakin penasaran siapa sosok Adit sebenarnya. Laki-laki itu penuh banyak misteri.

"Kok enggak tidur?"

Kiran mendongak ke atas, ia melihat laki-laki yang sedang dipikirkannya tengah berdiri berpegangan pada kursi penumpang. Kiran menggeleng lemah sambil menyusuri wajah Adit.

"Apa kalau mau tidur harus dinina bobokan atau dibacain cerita dulu biar merem," goda Adit sambil duduk di samping Kiran. Cuma ia memilih duduk sangat pinggir jadi lengan mereka tak bersentuhan.

"Aish, apaan sih!" cetus Kiran sambil menatap pemandangan lewat kaca jendela kereta.

"Makan dulu, aku sudah belikan untuk kamu!"

Sekarang di depan Kiran sudah ada sekotak nasi goreng dan satu cup coffe yang masih panas. Lagi-lagi Kiran menatap wajah Adit, ia sangat paham jika makanan yang disajikan di atas kereta harganya lumayan.

"Dit, kamu semalam tidur di mana?" tuduh Kiran karena masih penasaran.

"Seperti tidak tahu saja preman macam aku."

Laki-laki itu memejamkan matanya sambil menurunkan topinya ke bawah. Kedua tangan bersedekap di depan dada. Kiran sangat gemas karena ulah dan ucapan Adit. Ia memukul lengan Adit dengan tenaga ekstra sehingga laki-laki itu membenarkan topinya sambil mengaduh kesakitan.

"Galak amat jadi perempuan."

"Jawab dulu pertanyaan tadi?" paksa Kiran dengan mata melotot.

"Aku tahu kamu sangat mengkhawatirkan aku, semalam aku tidur di tempat saudara."

"Sejak kapan kamu berbohong?" tuduh Kiran dengan sengit.

"Sejak pertama mengenal kamu. Banyak yang aku sembunyikan dari kamu tetapi aku tidak mau mengungkapnya karena aku takut jika kamu tahu pasti akan meninggalkan aku," jawab Adit serius. Ia memajukan kepalanya dekat dengan wajah Kiran sehingga perempuan itu langsung memundurkan tubuhnya.

"Jangan salah sangka dulu, aku mau mengambil makanan," tukas Adit sambil menahan senyum.

"Makanlah, mumpung masih hangat!" perintah Adit sambil meletakkan sekotak nasi di pangkuan Adit.

"Mau aku suapin?" tawar Adit dengan senang hati.

"Apaan sih?" tukas Kiran sambil melotot, lebih baik ia mulai menyendok daripada laki-laki itu benar-benar menyuapinya.

"Kamu tidak makan?"

"Tidak lapar, aku tadi sudah minum kopi sama merokok saja."

Pukulan keras lagi-lagi mendarat di lengan Adit.

"Apalagi sih, main pukul-pukul saja," tukas Adit lirih. Nyeri yang tadi saja masih terasa di tambah pukulan sekali lagi.

"Enggak boleh merokok, tadi saja sudah banyak," larang Kiran.

"Satu batang saja untuk mengurangi efek jenuh."

Perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya.

"Kamu pulang ke rumah memang benar mau di jodohkan sama pilihan orang tua kamu?" tanya Adit dengan wajah yang sudah berubah tegang.

Kiran langsung menatap Adit sambil berucap, "Tahu dari siapa?"

Adit membalas tatapan mata Kiran.

"Mata kamu tak pernah bisa berbohong."

Perempuan yang sedang makan langsung meletakkan sendok enggan untuk meneruskan kembali. Keduanya hening yang ada deru roda kereta beradu dengan rel besi sehingga menciptakan suara yang keras apalagi saat melaju di tikungan.

"Baru rencana," sahut Kiran lirih.

Adit menghirup napas banyak-banyak, apa yang ia pikirkan ternyata terbukti juga.

"Siapa laki-laki itu?"

"Yang datang saat kita bertemu di depan pesantren." Bibir Kiran bergetar karena wajah Adit sudah berubah.

"Kamu belum memberikan jawaban?" selidik Adit sambil menatap dua bola mata yang selalu menyihirnya setiap bertatapan.

Kiran menggeleng lemah. Adit menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku di kereta, mencoba memejamkan matanya sambil terus memikirkan sosok laki-laki yang ikut masuk dalam hubungannya dengan Kiran.

Dua stasiun lagi kereta berhenti, ia sudah siap dengan sesuatu yang akan terjadi setelah ini.

🌷🌷🌷🌷

"Bagaimana, ketemu tidak?" hardik seorang laki-laki pada temannya yang tampak letih karena sudah berkeliling mencari seseorang.

"Belum."

"Kemana sih itu bocah, bikin kesel saja. Sudah tahu ini pertandingan terakhir. Mana kemarin kita kalah," sungut Sony dengan kesal.

"Kalau kita tidak maju lagi gimana?"

"Harga diri kita yang nantinya akan hancur. Bakal diinjak-injak lagi sama itu geng mereka."

Anton terdiam, ada benarnya juga omongan Sony.

"Kemana itu orang?"

Sebuah motor dengan knalpot yang memekakkan telinga berhenti di depan minimarket tempat mangkal Anton dengan kawan-kawan.

"Woy, ditungguin tuh!" pekik seseorang yang menjadi musuh bebuyutan mereka selama ini.

"Mana bos Lo yang kemarin jatuh? Jangan-jangan itu kaki sudah patah gak berani tanding lagi?" ejek seorang laki-laki dengan badan jangkung dan tato di lengannya.

Mereka pergi begitu saja dengan gelak tawa yang terus mengejek ketiga orang yang sudah menahan emosinya.

"Ayo kita cabut, biar aku saja yang menggantikan Adit," kilah Anton mengalah.

Mereka langsung bersiap-siap walaupun hati mereka sudah siap kalah.

🌷🌷🌷🌷

"Ayok cepet turun, aku sudah ditunggu teman!" pekik Adit menyuruh perempuan yang tengah merapikan kerudung karena embusan angin di stasiun menerbangkan ujung kerudung pashmina yang di pakai Kiran.

"Ya, sudah pergi saja. Aku bisa naik taksi!"

"Aish, kamu harus ikut sama aku!" perintah Adit sambil berlari menuju motornya.

"Mau kemana kita?" tanya Kiran bingung. Biasanya laki-laki itu paling slow apalagi untuk urusan berangkat kuliah.

"Sudah naik saja!" perintah Adit dengan wajah tegang.

"Pegangan!"

Kiran hatinya sudah tak enak, benar saja laki-laki itu mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Percuma saja tadi perempuan itu merapikan kerudungnya karena sekarang kerudung bagian atas tampak lebih acak-acakan.

Bolak-balik ia mencubit agar Adit menurunkan kecepatan tetapi sayang tak mengindahkan Kiran. Motor sekarang berhenti di sebuah jalan belakang bukit. Suasana tampak sangat ramai, apalagi tempat ini didominasi oleh kaum Adam yang sedang duduk di atas motor mereka masing-masing.

"Dit?" tanya Kiran meminta penjelasan agar laki-laki itu menjelaskan kenapa dirinya dibawa ke tempat seperti ini.

"Sebentar saja," pinta Adit menatap perempuan yang tengah kebingungan.

"Tempat apa ini?"

"Balap motor."

Raut wajah Kiran langsung berubah seraya berucap, "Jangan bilang kamu mau ikutan balapan ini!"

Nada suara Kiran meninggi sambil menatap tajam laki-laki dengan wajah bersalahnya.

"Se-sebentar saja."

"Antarkan aku pulang," paksa Kiran dengan wajah tak suka.

"Sebentar lagi mau mulai."

"Aku mau pulang!" hardik Kiran dengan suara sangat keras.

Para penonton yang tak jauh dari mereka langsung menatap ke arah mereka berdua. Bisik-bisik dari bibir mereka tak lain menyoroti sosok Adit yang dikenal sebagai sang Juara bersifat dingin dan tak pernah membawa seorang perempuan, sekarang terpaksa bertekuk lutut pada perempuan berkerudung.

Adit hanya bisa menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

"Kamu mau pulang sama Anton?" tawar Adit mengalah pasrah.

"Nanti kalau kamu mati ikutan balap motor seperti itu gimana?" pekik Kiran dengan khawatir.

Adit sontak tersenyum sehingga membuat Kiran sangat jengkel setengah mati.

"Malah ketawa!"

"Oke, oke. Tidak apa-apa aku mati, setidaknya aku pernah menitipkan sepotong hati sama kamu," rayu Adit.

"Bercanda lagi," geram Kiran sangat kesal.

"Memang kamu berani?"

"Ini duniaku. Menyusul kamu ke Solo saja berani, apalagi cuman ikut balapan seperti ini," ucap Adit menyombongkan diri. Sebenarnya Adit hanya menguji seberapa perhatian perempuan itu pada dirinya.

"Dit?" panggil Kiran kehabisan kata-kata.

"Cepetan, aku ditunggu Anton," ucap Laki-laki itu sambil melepas jaket dan dipasang pada tubuh Kiran karena tadi di kereta perempuan itu mengembalikannya.

"Pakai! Angin di sini sangat kencang!" perintah Adit ketika melihat Kiran mau melepaskan jaket yang di pasangkan. Dengan terpaksa Kiran berjalan pelan di belakang Adit daripada terus bertahan di tempat tadi dengan mendapatkan sorotan tajam dari orang-orang di sana.

Adit melihat Anton yang sedang memasang helm, sedang Sony tengah mempersiapkan motor yang akan dipakai.

"Gue datang!" pekik Adit mendekati mereka. Wajah mereka berdua seketika langsung berbinar melihat seseorang yang diandalkannya datang. Namun, itu tak sekejap karena wajah mereka langsung berubah melihat perempuan di belakang Adit.

"Dit?"

Adit menatap perempuan itu lagi saat kedua tangan memegang helm untuk segera di pakai.

"Sebentar saja." Entah sudah berapa kali Adit mengucapkan kata-kata itu.

"Setelah itu kamu harus nurut sama aku loh?"

Anton dan Sony muak mendengarkan ocehan perempuan yang sudah mengubah Adit walaupun baru pelan-pelan.

"Kuntilanak di bawa," seloroh Sony sehingga Kiran menatap tajam tetapi Sony tak pernah takut. Dari pertama ia sudah tidak menyukai kehadiran Kiran yang terus mendekati Adit.

"Iya, janji aku nurut. Kamu mau minta apa? Hati aku saja sudah ada sama kamu," jawab Adit sengaja membuat Kiran tidak tegang.

"Aish."

"Anton, nitip Kiran sebentar!"

"Kalau gue ogah dititipin kuntilanak," seloroh Sony mengantarkan Adit ke garis start. Suara riuh para penonton bersorak sorai karena orang-orang yang bertanding adalah musuh bebuyutan yang terkenal dengan konflik dan tawuran.

Kiran menatap Adit dengan perasaan cemas, ia mengikuti Adit jauh dari belakang menuju kerumunan di depan.

Dalam hitungan detik, motor yang sudah berjejer melaju sesuai aba-aba perempuan dengan pakaian mininya. Entah mengapa Kiran dapat merasakan tatapan tak suka perempuan itu pada dirinya.

Adit masih memimpin di barisan paling depan. Jantung Kiran berdegup sambil melihat pemandangan pertama kali balapan seperti ini.

"Adit habis diculik kemana? Hari gini baru nongol," sindir Anton.

"Salahnya siapa dia ngikutin aku pulang kampung?" tukas Kiran dengan mata yang tak pernah lepas dari motor yang dikendarai Adit.

"Lagian kamu macam-macam sama Adit, dia bakal melakukan apa yang ia mau."

"Termasuk tidur di hotel bintang lima?" tuduh Kiran sambil menyerahkan kertas yang Kiran simpan rapat-rapat.

Anton menerima dengan sigap menerima kertas dari perempuan yang dianggapnya seperti kuntilanak. Ia membaca catatan di sana dan kemudian tersenyum.

"Jadi kamu sudah tahu dia siapa?"

Kiran menggeleng.

"Ada sesuatu yang Adit sembunyikan," jawab Kiran.

"Bukan hanya satu tapi ribuan."

Perempuan itu terperangah kaget sambil berucap, "Jadi kamu tahu siapa itu Adit."

Anton mengangguk.

"Cepat katakan siapa Adit itu sebenarnya," paksa Kiran.

"Kalau gue mengatakan sebenarnya nanti Lo tambah ngejar-ngejar Adit."

Kiran mendengkus kesal, bicara sama Anton sama saja bicara pada Adit yang terus merahasiakan identitasnya.

Kiran dan Anton fokus melihat Adit yang hendak memasuki garis finish, sayangnya kejadian kemarin kembali terulang. Pengendara motor di belakang seakan tak mau kalah, ia menendang motor Adit sehingga hilang keseimbangan.

"Adit!" pekik Kiran dengan cemas, ia menutup mata dengan kedua tangannya. Anton juga sudah sangat khawatir. Ia akan menjadi orang yang paling bersalah jika Adit terluka karena selama ini ia diperintahkan oleh seseorang untuk menjaga Adit.

"MENANG!!" pekik Anton dengan keras. Jemari Kiran pelan-pelan terbuka melihat pemandangan di depan.

"Adit menang," sorak Anton dengan bahagia di depan Kiran.

"Sejak kapan kita akur," sindir Kiran melihat Anton pura-pura baik pada dirinya.

Anton mencibir dengan kesal. Ia berlari ke depan menjemput Adit di garis finish.

"Lo pacar Adit?" pekik seorang perempuan yang sudah berdiri di belakang.

Kiran menatap perempuan yang sedari tadi menatap tajam ke arahnya.

"Jauhi Adit jika kamu tak mau berurusan dengan aku," ancam perempuan yang berpakaian mini.
Apalagi di belakang sudah terdapat beberapa laki-laki dengan tato di lengannya.

Terpaksa, Kiran pergi sambil terus merapatkan jaket milik Adit. Sepertinya ini lebih baik daripada berurusan dengan orang yang tak dikenal.

Perempuan itu tersenyum penuh kemenangan apalagi sosok Adit tiba-tiba datang menghampirinya.

"Kiran!" pekik Adit setengah mati mendapatkan Kiran sudah pergi dari tempat ini begitu saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro