PROLOG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kita bukanlah siapa-siapa

Tak saling kenal atau sapa

Pertemuan rutin menjadikan kita mengamati satu sama lain

Sampai akhirnya tumbuh rasa entah itu apa

Sulit untuk mengungkapkan dan menjabarkan dalam kata-kata

Karena ini yang pertama untuk aku

Semoga saja juga yang terakhir karena aku tak ingin terjebak dalam rasa yang salah

Pernah menyebut satu nama dalam tiap bait doa

Berharap jika nama yang ku sebut bakal menjadi bagian dalam hati

Membawa dalam satu ikatan yang halal
Semoga saja, sampai waktu itu tiba.

🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️🌧️

~ jika tidak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan setidaknya jangan mengambil milik orang lain~

****
After the rain by Galuch Fema

Matahari bersinar sangat terik membuat peluh bercucuran membanjiri wajah seseorang yang sudah setia dari pagi berdiri di tepi jalan. Menunggu motor para pengendara jalan yang terparkir di depan minimarket.

Ketika ada seorang perempuan yang sudah mendatangi motornya selepas dari minimarket, laki-laki tersebut menghampirinya.

Wajah syok perempuan itu ketika melihat laki-laki dengan carut luka menghiasi wajahnya. Terpaksa Adit menurunkan topi hitamnya yang dipakai untuk menutupi wajahnya. Ia paling tidak suka dengan tatapan ngeri orang lain yang lebih memperhatikan carut luka di wajahnya.

"Parkir, Mbak?" sahut Adit sambil menyodorkan tangannya agar perempuan itu tersadar dari lamunannya.

"Eh, sebentar," sahut perempuan itu sambil mencari koin di pouch yang dijadikannya gantungan kunci motor.

Wajah perempuan itu sangat panik ketika tak mendapati satu logam koin pun di sana. Yang ada hanya nota pembelanjaan barusan di minimarket.

"Astagfirullah!" pekik Kiran dengan wajah yang sangat panik.

Adit sudah menduga jika perempuan itu tak memiliki untuk ia berikan kepadanya.

"Maaf aku lupa membawa koin. Uangku habis buat beli ini di dalam," sahut Kiran sambil menunjukkan kantung keresek yang tergantung di motor.

Tiba-tiba datang empat orang laki-laki yang diduga teman-teman tukang parkir itu. Wajah mereka lebih menyeramkan, belum baju yang mereka kenakan sangat lusuh dan kotor.

"Ada apa, Dit!" gertak laki-laki jangkung yang sudah berdiri di dekat motor Kiran.

Jangan tanya bagaimana raut wajah Kiran yang sudah memucat karena ketakutan. Melihat satu laki-laki dengan luka di wajah itu sudah ketakutan setengah mati belum ditambah empat orang lagi.

"Dia gak ada uang buat bayar parkir," sahut Adit lirih. Keempat pasang mata langsung menatap Kiran seperti seorang tersangka.

"Bagaimana sih!" gertak laki-laki bertubuh gempal.

"A-aku ambil uang dulu di kost," sahut Kiran terbata-bata.

"Yakin mau balik lagi kesini cuma mau bayar parkir?" pekik laki-laki yang lain.

"Hust, tidak boleh kasar-kasar sama perempuan," bela Adit kepada temannya.

"Dit, sekarang sudah siang. Kalau kita tidak bayar setoran sama Bang Joni bisa mampus kita!"

Adit termenung, ada benarnya juga ucapan temannya. Apalagi Bang Joni sudah terkenal preman paling galak di sini.

"Sudah kita pikirkan nanti saja," sahut Adit menengahi temannya yang terus memberikan tatapan tajam pada perempuan di atas motor.

"Kamu pergi saja!" perintah Adit dengan suara yang halus.

"Hey, tidak bisa seperti itu dong!" sangkal temannya yang masih tak mau rugi kehilangan berapa rupiah saja.

"Cepat pergi!" perintah Adit mengusir perempuan yang sudah hampir menangis.

Kiran langsung menstarter motor dan cepat-cepat pergi. Tatapan mata pada laki-laki carut luka itu sebagai pengganti ucapan terima kasih karena lidahnya kelu untuk berucap.

"Adit!" pekik Dino karena laki-laki itu seperti melindungi perempuan barusan.

"Apa?" jawab Adit santai sambil menghitung beberapa lembar rupiah di tangannya.

"Lu suka sama perempuan tadi?" tanya Dino tak suka.

Adit menatap sekilas perempuan itu yang masih tertahan di perempatan lampu merah di depan. Ia menggeleng pelan sambil berucap, " Enggak, kenal saja tidak."

"Tapi kenapa lu lepas begitu saja? Kita mau bayar pakai apa buat Bang Joni?" tanya Sony dengan khawatir.

"Nih," ucap Adit sambil meletakkan yang barusan ia hitung ke tangan Dino.

"Segini mana cukup?" geram Dino sangat kesal.

"Hitung dulu yang benar," ucap Adit sambil menaiki motornya bersiap untuk pergi.

Dino langsung menghitung dua ribuan di tangannya, hal yang mengejutkan ada selembar berwarna biru yang diselipkan di tengah-tengah.

"Dit, serius kamu dapat segini?" pekik Dino kegirangan.

Adit mengangguk sambil membuang puntung rokok yang tinggal sedikit.

"Bang Joni bakal tambah sayang sama kita," sahut Sony tertawa gembira.

"Gue cabut dulu," pamit Adit kepada temannya. Melajukan motor dengan suara knalpot memekikkan telinga yang mendengar.

" Lu pada curiga gak sih sama anak baru itu?" tanya Dino pada kedua temannya.

"Adit maksud lu?"

"I-iya," sahut Dino mantap.

" Sepertinya dia bukan orang biasa," tebak Sony.

"Betul itu. Gue jadi curiga."

"Sudahlah yang penting dia bisa diandalkan buat menyelamatkan kita dari amukan Bang Joni," seloroh Anton menengahi mereka.

🌧️🌧️🌧️

Langit yang tadi cerah tiba-tiba mendung gelap gulita. Daerah di depan sepertinya juga sudah turun hujan mengingat pengendara yang berada dari sana sudah menggunakan mantel.

Lampu merah di perempatan seakan sedang tidak bersahabat dengan hati para pengendara motor yang sudah tak sabar untuk segera pulang mengingat rintik gerimis sudah mulai turun.

Adit tampak santai berhenti, tak seperti pengendara sepeda motor tadi yang wajahnya sudah sangat panik. Tak disangka tatapan mereka bertemu sesaat sebelum lampu hijau menyala.

Baru beberapa meter melaju, deras air hujan sudah mengguyur jalanan. Terpaksa Adit menepikan motornya di halte samping. Banyak pengendara yang lain terpaksa berlindung di halte. Tatapan Adit tertuju pada sosok yang tengah menyeka wajahnya karena air hujan.

"Perempuan tadi," bisik Adit di dalam hati.


Purwokerto, 3 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro