⚘Titah Abah⚘

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


~ Jika tak sekuat hujan yang menyatukan langit dan bumi, jadilah selembut doa yang menyatukan harapan dan takdir~

***
After the Rain by Galuch Fema




Ada salam dari Mas Adit buat readers After the Rain. Ganteng gak? 😂

Happy reading,  jangan lupa vote

Seandainya saja waktu bisa diputar mundur, mungkin  bisa melihat bagaimana takdir tersusun. Hampir dua jam menyendiri di dalam kamar, bahkan ketukan pintu disertai panggilan dari umi belum mampu menggerakkan raga yang masih lemah di atas ranjang.

Wajah perempuan itu datar namun ia tak lagi menangis. Mungkin saja, sudah lelah menitikkan air mata setelah ia tumpahkan di pangkuan Abah tadi siang.

Umi akhirnya masuk ke dalam kamar karena rasa khawatir yang berlebihan dengan putrinya. Abah sudah menceritakan semuanya tadi sore. Jujur ia sangat kecewa dengan apa yang terjadi tetapi takdir tak dapat dielakkan apalagi ini kejadian yang tak terduga dan bukan disengaja.

"Makan, Nduk. Sudah ditunggu di meja makan!" perintah Umi sambil membuka selimut yang menutupi tubuh Kiran.

Mata umi sendiri melihat pipi di sana masih basah dan tercetak jelas linangan air mata.

Mau tak mau Kiran beranjak dari tempat tidurnya, dengan malas mengambil sehelai kerudung untuk segera ia pakai. Umi sendiri belum berani bertanya atau membuka suara perihal masalah putrinya.

Baru  beberapa langkah dari pintu kamar yang di depannya terdapat meja makan, Kiran seketika berhenti karena melihat dia ada di sana sedang menunduk. Duduk di tengah-tengah Abah dan kakaknya. Spontan, Kiran langsung berbalik tetapi ia ditahan oleh lengan umi.

"Cuma makan sebentar, setelah itu kamu boleh masuk lagi ke kamar."

Mau tak mau, Kiran melanjutkan lagi langkah beratnya. Menarik kursi meja makan yang kebetulan kursi mereka saling  berhadapan.  Namun, Kiran sendiri enggan menaikkan satu senti pandangannya ke depan.  Ia yakin pasti mereka bertiga tengah mengamati kehadirannya.

Buru-buru Kiran mengambil sepucuk centong nasi untuk ditaruh di atas piring dan mengambil sedikit kuah untuk menemani makanannya.

"Ambil yang banyak, Nduk. Ibu sengaja masak thengkleng karena itu makanan favorit kamu," rayu umi agar Kiran makan yang banyak seperti biasanya saat pulang ke rumah.

Gelengan lemah dari Kiran mengisyaratkan jika ia tak mau dipaksa apalagi untuk situasi seperti ini.

"Silakan dicoba, thengkleng ini enak loh, Mas," perintah Umi pada Adit. Laki-laki itu hanya tersenyum sambil mengambil makanan favorit Kiran.

Suasana makan malam hari sangat dingin, semua sibuk dengan apa yang di depannya. Hanya denting sendok yang mendominasi malam di ruangan ini, selebihnya suara derit kursi perempuan yang menyudahi makanannya yang masih ada beberapa di piring.

"Kiran,  mau balik lagi ke kamar. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," tukas umi sambil melihat abah yang tengah menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

Alif sendiri ikut menyudahi makanannya, ia pergi begitu saja karena masih kecewa dengan sikap abah yang membiarkan preman itu tetap  bertahan di pesantren. Abah benar-benar seperti membuka  pintu maaf untuk orang yang menyakiti adiknya.

Adit sendiri masih bertahan di kursi makan, jujur ia sangat bingung apa yang harus ia lakukan. Apalagi di tempat baru seperti ini yang baru pertama kali dikunjungi.

"Mi, temani Kiran lebih dulu, abah ada perlu dengan anak muda ini," titah Abah sehingga membuat Adit semakin cemas dan panik menghadapi sidang berikutnya.

Umi mengangguk sambil tersenyum, ia paham maksud suaminya. Mengambil beberapa piring kotor untuk diletakkan di wastafel dan kemudian menuju kamar putrinya yang sudah kembali menutup tubuhnya rapat-rapat dengan selimut. Umi sendiri melihat tubuh itu terlihat bergetar, perempuan paruh baya tersebut menduga jika Kiran tengah menangis kembali.

"Ada yang ingin umi tanyakan."

Kiran yang sedari tadi menimbun tubuh dalam selimut tahu jika umi yang mendekat,  gadis itu paham sekali langkah itu.

Tangan Kiran langsung menghapus air mata dan langsung memeluk  umi dengan sangat erat. Suara isak tangis terdengar kembali, umi merasa hatinya tersayat karena sudah  lama anak perempuannya tak menangis di pelukannya.

"Kenapa sebelumnya tidak cerita? Kenapa dipendam sendirian? Apa sudah tak peduli lagi sama abah dan umi sehingga masalah berat seperti ini disimpan rapat-rapat sendirian?"

Suara umi terdengar parau seakan hendak menangis karena beban di dada sama-sama berat.

"Kiran malu sudah mengecewakan dan membuat nama abah sama Umi jelek di pesantren," lirih Kiran sambil terus memeluk umi mencari perlindungan.

"Manusia tidak ada yang sempurna, pasti semua pernah melakukan kesalahan."

"Tapi kesalahan Kiran sangat besar, entah dari mana Kiran harus meminta maaf kepada Allah."

"Setelah salat, minta ampun dan ucap istighfar sebanyak-banyakan. Insyaallah pasti Allah akan mengampuni dosa-dosa kita."

Suara umi yang lembut membuat hati Kiran sedikit tenang. Entah hati orangtuanya terbuat dari apa bisa setegar seperti sekarang. Ia sendiri yang menjalani sudah hampir kehilangan setengah tujuan hidupnya.

"Apa Hafidz tahu masalah ini?" tanya Umi hati-hati.

Kiran mengangguk sambil menatap manik mata di depannya.

"Mas Hafidz sudah tahu semuanya, ia ingin bertanggung jawab atas apa yang dilakukan laki-laki itu."

"Apa kamu mencintainya? Apa Hafidz juga akan menerima kamu apa adanya dan tidak akan mengungkap kembali masalah ini setelah kalian menikah?"

"Insyaallah tidak."

Umi menarik napas panjang untuk memantapkan hatinya menerima calon menantunya.

"Sudah memikirkan baik-baik?"

"Sudah."

"Umi minta penjelasan dari kamu? Di mana kalian bertemu dengan Adit? Ada hubungan apa kalian berdua?"

Kiran merasa terpojok, mengungkapan sebenarnya sama seperti membongkar tentang kedekatan dirinya dengan Adit.

"Dia, dia—"

Umi sedikit kecewa karena Kiran tak jujur dan tidak berterus terang dengan ibunya sekalipun.

"Dia laki-laki yang pernah kamu ceritakan?" tuduh umi merasa lebih baik mengalah dan membuka  cerita hubungan Kiran dengan laki-laki itu.

Gadis yang sudah tak lagi berkerudung mengangguk lemah sambil menatap jemarinya yang memegang tangan umi dengan erat.

"Sebatas teman atau apa?" pancing umi tak sabar.

"Kita cuman teman dan tidak lebih."

"Walaupun masing-masing menyimpan perasaan yang sama satu sama lain?"

Keduanya kembali terdiam hanya terdengar suara abah di balik pintu sedang berbincang dengan seseorang.

"Kita beda keyakinan, Bu. Kiran hanya bisa memendam perasaan karena kami tak mungkin bersatu," sesalnya.

"Setelah kejadian ini, apa yang kalian lakukan? Apa tidak kasihan sama Hafidz yang akan menanggung semua ini termasuk menjadi ayah dari bay—"

"Kiran tidak akan hamil anak Adit, saat ini Kiran tengah datang bulan," sahutnya mantap. Entah rasa lega atau bahagia yang hadir ketika harus mengucapkan itu.

"Pikirkan kembali semuanya sebelum kalian bertindak. Jangan sampai menyesal atas apa yang telah kalian pilih untuk menjadi masa depan kalian."

"Kiran sudah memikirkan kembali masak-masak, pilihan Kiran tetap pada Mas Hafidz."

"Salat istikharah dulu, minta petunjuk sama yang di atas. Istirahatlah, besok kita bicarakan lagi masalah ini."

Umi berjalan meninggalkan rasa kecewa teramat dalam. Ia melihat suaminya sendiri tengah termenung, sepertinya ia memikirkan sama yang seperti dirasakannya.

"Bukankah biasanya Abah yang mengisi pengajian malam jumat?"

Abah berdiri sambil menatap istrinya seraya berucap, " Abah sudah menyerahkan semuanya sama Alif untuk mengelola pesantren ini. Abah sudah tak pantas menjadi pemimpin yang disegani santri sedangkan masalah di keluarga ini sangat rumit."

Umi menatap punggung itu menuju tempat peristirahatannya. Baru kali ini mereka dihadapkan pada masalah yang sangat rumit, akhir dari ujung masalah itu sepertinya enggan mereka gapai karena sesuatu yang mustahil terpampang jelas atas perbedaan di depan mata.

Kiran menutup pintu dengan berderai air mata karena tak sengaja mendengar ucapan orang tuanya, lagi-lagi ia membuat semuanya kecewa.


⚘⚘⚘

Udara pagi tersaput dingin yang pekat karena embun terus menyesap ke dalam tanah. Pelan-pelan matahari telah menyingsing menggantikan rembulan.  Sinar emas menembus awan berarak dan langit menguapkan embun yang berat.

Dhuha ini terasa sangat menggetarkan hati para santri tersenyum cerah dengan wajah berseri menyambut pagi ini.

Gadis yang memakai kerudung cokelat tengah memasuki gerbang pesantren setelah membeli kebutuhan di minimarket depan pondok.

"Kiran!"

Ada suara memanggil dari belakang, ia sangat mengenal dan merindukan suara itu tetapi enggan kembali menengok karena takut terjatuh kembali pada lubang yang sama.

Ia lalu kembali melangkah, samar-samar mendengar tapak kaki di belakang juga mengikutinya.

"Kiran, ada sesuatu hal yang ingin aku jelaskan!" seru Adit sambil berlari dan sekarang posisinya menghadang Kiran.

Gadis itu mundur, ia harus menjaga jarak apalagi di lingkungan seperti ini. Banyak santri sepulang salat dhuha sedang menuju kelas untuk pembelajaran.

"Dengarkan aku sebentar saja," pintanya sambil memelas.

"Aku tidak ada waktu," kilah gadis itu sambil mencari jalan samping agar ia bisa  berlari menghindar.

"Aku tidak melakukan hal seburuk apa yang kamu pikirkan. Kita dijebak dalam sandiwara Haris sehingga aku melakukan hal sebodoh itu," ungkap Adit secara jujur.

"Aku tak peduli karena yang sekarang aku pikirkan adalah menikah dengan Mas Hafidz."

"Aku akan tanggung jawab, aku akan menebus semua dosa dan kesalahan aku."

Kiran menatap Adit dengan mata yang sudah  berkaca-kaca.

"Seandainya saja kamu mengucapkan barusan setelah kejadian buruk itu mungkin aku memaafkan. Keputusan  sudah bulat,  aku akan menikah dengan Mas Hafidz."

"Please, aku mohon," tukas Adit sambil berjalan mendekat.

"Saudara Adit, ini pesantren. Tak seharusnya berdekatan dengan perempuan yang bukan mahram," peringat Kiran sambil memandang penuh kebencian pada Adit. Ia lalu berlari menggenggam keresek dengan erat.

Dengan napas terengah-entah, ia dikejutkan oleh kehadiran Hafidz yang sudah berada di ruang tamu.  Di sana tak sendiri karena ada abah dan umi yang menemaninya.

"Kebetulan, Nduk. Duduklah. Ada yang ingin abah sampaikan."

Suara abah terdengar sangat berat dan wajah tegang seperti ada sesuatu hal yang penting ingin disampaikan.

Kiran memilih duduk di dekat umi, ia terus memegang lengan umi karena bisa menangkap akan sesuatu hal buruk yang akan terjadi.

"Hafidz, ada sesuatu yang ingin abah sampaikan."

"Kebetulan Pak Kyai, saya juga ingin menyampaikan tentang perihal pernikahan saya dan Kiran yang akan dilaksanakan setelah acara sidang pra nikah di kantor saya. Untuk selanjutnya acara akad dan resepsi di laksanakan di pesantren ini tetapi dengan sederhana karena itu permintaan Kiran."

Abah manggut-manggut, ia sendiri lupa apa yang akan disampaikan pada calon menantunya. Dengan sekali tarikan napas, abah langsung menatap umi yang sedari tadi terus menatap ke arahnya.

"Abah mau minta maaf."

Hafidz langsung menatap guru yang pernah mengajarinya selama di pesantren. Untuk apa seorang kyai seperti abah meminta maaf pada dirinya? Sepertinya abah tak pernah melakukan salah.

"Minta maaf untuk apa, Abah?"

Hati hafidz terus bertanya-tanya, apalagi dilihat dari raut wajah abah yang terlihat sangat tegang dan menyimpan sesuatu.

"Batalkan pernikahan kalian."

Hafidz dan Kiran langsung bertatap muka sambil bertanya-tanya. Apalagi Hafidz syok habis mana mungkin bisa dibatalkan, ia sendiri sudah memasukkan dokumen perihal pernikahannya kepada kantor untuk urusan sidang pra nikah.

"Pernikahan di batalkan?" tanya Hafidz tak percaya tetapi wajahnya kemudian  berseri-seri. Senyum tak mengenakkan dari wajah Hafidz, ia terkekeh dan kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Tidak mungkin, Pak Kyai yang saya hormati," tukas Hafidz dengan masih sopan walaupun dadanya terbakar penuh amarah karena merasa tak terima.

"Batalkan pernikahan kalian," ulang abah dengan menaikkan nada bicaranya.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro