⚘Pergi⚘

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Perpisahan yang kita jalani, memberi ruang untuk sebuah kesempatan membentuk momen terindah di lain waktu~

***
After the Rain by Galuch Fema

Happy reading,  jangan lupa baca sampai bawah karena ada info penting.

Amarah Hafidz meluap,  meletup-letup tak terkontrol. Dadanya panas seakan ada api yang menyalakan di dadanya. Ia tak peduli lagi siapa yang ada di hadapannya.

"Tidak bisa, Pak Kyai. Saya sudah mempersiapkan sampai detik ini.  Dokumen sudah masuk untuk acara sidang pra nikah. Izin juga sudah saya dapatkan dari orang tua saya."

"Maaf."

Suara Abah sedikit melunak karena ia sudah membayangkan jika akan terjadi seperti ini. Derap langkah Kiran berjalan mendekati pasangannya dengan tatapan tidak mengerti ditujukan  pada Abah.

"Maksud Abah apa? Kenapa pernikahan Kiran dengan Mas Hafidz dibatalkan?"

Gadis itu bertanya-tanya sambil sesekali menatap wajah di sampingnya.

Abah menarik napas dalam-dalam sambil menatap istrinya yang masih menunduk ke bawah.

"Ada laki-laki yang lebih berhak menjadi pendamping kamu, dia yang akan bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya."

Keduanya terperanjat kaget, syok bahkan kedua lutut Kiran lemas seakan tak percaya apa yang ia dengar. Ia mengira abah akan sejalan dengan rencana pernikahan ini, tetapi nyatanya tidak.

Mata terpejam untuk membendung bulir yang sudah memaksa ingin menyeruak keluar dari kedua netranya.

"Siapa laki-laki itu, Abah?"

Suara Kiran terdengar parau karena isak tangis sudah mendominasi di ruangan ini.

Dengan sekali tarikan napas, Abah berucap, " Aditya."

"Tidak mungkin, Abah," elak Kiran menolak sambil menggeleng kepalanya.

Laki-laki lain yang ikut mendengar pembicaraan itu hanya terkulai lemas, tubuhnya ia sadarkan pada tembok luar ruangan itu. Hatinya sakit bagai ribuan pisau menusuk isi hatinya.

Baru kali ini, pujaan hatinya menolak kehadiran setelah tragedi itu. Padahal awalnya hubungan mereka sangat erat tak terpisahkan walaupun hanya sebatas teman, tidak lebih. Adit mengusap wajahnya dengan kasar, ia tak peduli beberapa pasang mata santri menatap ke arahnya.

"Tidak mungkin, Pak Kyai,  saya sangat mencintai Kiran melebihi mencintai diri saya sendiri," bela Hafidz sambil meraih pergelangan Kiran dengan sangat erat.

"Carilah perempuan yang lebih bagus akhlaknya dibandingkan putri saya. Kamu orang baik dan bertanggung jawab, pantas mendapat orang baik pula."

"Tidak, keputusan saya tetap sama. Menikah dengan Kiran, apapun yang menghalanginya, termasuk abah sekalipun," tukas Hafidz dengan tegas. Dari garis wajahnya terlihat laki-laki itu sedang tidak main-main.

"Abah tetap akan menikahkan Kiran dengan laki-laki itu."

Hafidz kembali naik pitam, ia menggenggam tangan Kiran sangat kuat sehingga ujung bibir Kiran terangkat untuk menahan nyeri di tangannya.

"Apa jadinya orang terpandang seperti Abah menikahkan putrinya dengan laki-laki preman macam dia, apalagi jelas-jelas beda. Apa yang membuat mata anda tertutup sehingga tidak bisa membedakan mana yang benar atau tidak?"

Kiran seketika kaget mendengar ucapan Hafidz yang terdengar tidak sopan pada abahnya.

"Bukan masalah benar atau tidak? Di sini abah menentukan siapa yang tepat dan bertanggung jawab untuk menikahi Kiran."

"Apa jadinya orang-orang tahu jika abah lebih memilih laki-laki brengsek dibandingkan santrinya sendiri," ejek Hafidz semakin menjadi dan lepas kontrol karena harapannya telah musnah.

Suasana semakin tegang, baru kali ini ia dipermainkan seperti ini. Tangan Hafidz menarik tubuh Kiran dengan kasar sehingga jatuh dalam pelukan, perempuan  itu sendiri langsung memberontak tetapi tenaga laki-laki itu sangat kuat. Abah dan Umi ketakutan.

"LEPASKAN KIRAN!" pekik seseorang yang muncul dari persembunyiannya. Laki-laki itu  berjalan menuju orang yang wajahnya masih tegang.

Kiran sendiri sudah pucat, ia teringat kembali kejadian di rumah tua dulu saat dirinya disekap oleh Haris.

Hafidz tersenyum sinis melihat siapa yang datang,  tangannya mengendurkan cengkeraman tangan. Tanpa hitungan detik,  Kiran langsung berlari menuju umi. Memegang lengan umi kemudian meletakkan kepala pada bahu yang melahirkannya sambil meneteskan air matanya.

"BUGH!!!!"

Tiba-tiba Hafidz langsung meninju rahang Adit dengan keras. Tubuh Adit tersungkur mengenai kursi yang tak jauh darinya. Tidak hanya sekali laki-laki itu meninjunya, Hafidz terus memukul Adit yang sama sekali tak melawan. Teriakan abah tak mampu membuat Hafidz melepaskan Adit.  Di ujung ruangan, umi dan Kiran saling berpelukan erat karena ketakutan.

Untung saja Alif segera datang berserta dua orang santri yang tak sengaja lewat, Alif langsung melerai tepatnya menahan Hafidz yang sudah kelewatan memukul Adit. Mereka langsung membawanya menuju ruangan Alif.

Adit sendiri meringkuk di atas sofa sambil memegang perutnya yang terasa sangat nyeri. Pagi ini ia sama sekali belum ada sesuap makanan masuk, pikiran masih tertuju pada kesepakatan bersama Pak Kyai semalam.  Namun, malang yang dirasakannya karena ternyata ia harus menerima sarapan pukulan dari rivalnya.

"Cepat ambil kotak P3K di atas lemari!" perintah abah pada Kiran yang masih memeluk umi.

Abah sendiri mendekati Adit yang berusaha bangkit untuk duduk dengan tangan yang sudah berlumuran darah karena bibir bagian bawahnya terus mengeluarkan darah.

Kiran gemetar menyerahkan kotak itu pada Abah, menaikkan pandangan menatap ke depan yang tengah sama-sama melihat ke arahnya. Jantung mereka kembali merasakan hal yang sama tetapi harus dipendam dalam-dalam  bersama impian mereka.

"Kiran sama Umi ke ruang samping, siapa tahu ada santriwati yang perlu bantuan!" perintah Abah.

Umi mengapit lengan Kiran untuk mengajaknya pergi, lagi-lagi mata Kiran dan Adit kembali bertemu dengan alasan yang tak dapat dijelaskan.

"Nduk, orang tadi apa tidak apa-apa? Umi takut?"

Kiran menggeleng sambil tersenyum seakan-akan tidak terjadi yang buruk padahal dalam hatinya berkecamuk rasa khawatir yang berlebihan.

"Biasa berantem, Umi?"

Umi langsung cemberut dan berjalan lebih cepat.

Di ruangan tadi, Adit masih di temani Abah yang belum beranjak pergi dari sana. Beliau masih mengamati Adit yang tengah menahan selembar tisu di bibirnya. Entah sudah berapa helai di atas lantai tetapi tisu sudah berubah merah karena darah.

"Apa tidak sebaiknya ke klinik. Di pesantren ini ada klinik untuk merawat santri yang sakit."

"Tidak perlu, Pak Kyai. Nanti juga sembuh sendiri," tolak Adit.

Suasana kembali kaku karena dua orang tersebut sibuk dengan lamunannya masing-masing.

"Kenapa Pak Kyai memberi kesempatan saya untuk maju selangkah, bisa saja menolak keinginan saya. Hafidz lebih bagus segala-segalanya dari saya. Baik dari budi pekerti, akhlak dan pekerjaan," tutur Adit membuka suaranya.

"Saya hanya berusaha bersikap adil untuk semuanya. Hafidz  berhak mendapatkan perempuan yang akhlaknya lebih bagus biar bisa mengimbangi dia. Bisa saja saat ini dia menerima putri saya apa adanya tetapi kita tidak tahu hati manusia yang sering berubah. Abah takut nantinya ada masalah di kemudian hari gara-gara masalah ini."

"Apalagi saya lihat kamu begitu tulus mau  bertanggung jawab atas apa yang telah kamu perbuat. Jarang-jarang ada orang yang sengaja datang ke sini untuk menebus semua kesalahannya. Tetapi...."

Irama jantung Adit langsung berpacu dengan cepat karena ucapan Pak Kyai yang terasa menggantung.

"Tetapi kenapa?"

"Semua tetap ada di tangan Kiran, abah tak bisa memaksa. Apalagi ini menyangkut urusan hati dan masa depannya."

Adit mengangguk pasrah. Ia siap menerima apapun yang akan menjadi keputusannya.


⚘⚘⚘⚘

Di ruangan sebelah sepertinya Hafidz belum bisa meredakan emosinya, ia memukul meja Alif dengan sangat keras.

"Aku masih enggak terima, Lif? Kenapa abah bisa berbuat tidak adil seperti itu? Kamu tahu sendiri kan aku sangat mencintai adik kamu?"

Alif mencoba tersenyum, ia ingin mengikuti semua sifat abah yang sama sekali belum ada pada dirinya.

"Abah sudah memikirkan semuanya dengan baik. Beliau ingin kamu mendapatkan pendamping yang paling baik bukan adikku."

"Dan abah lebih memilih preman itu?" sanggah Hafidz dengan kesal.

"Dia yang lebih berhak mendapatkan Kiran untuk menebus kesalahannya."

"Entahlah apa yang merasuki otak kalian sehingga bisa berpikiran seperti itu."

Alif hanya bisa tersenyum, ia jadi bisa mengerti sifat sahabatnya ini. Hafidz mengambil gawai di celana, ini adalah panggilan ketiga kali karena ia tadi malas mengangkat telepon.

"Kapan berangkatnya, Pak. Posisi saya masih di Solo."

Hafidz menutup telepon setelah mengakhiri pembicaraan, wajahnya kembali kesal karena ia terpaksa harus pergi dari tempat ini. Ia lalu mengutak atik ponselnya untuk mendapatkan tiket sesegera mungkin.

"Aku harus balik, ada tugas mendadak," pamit Hafidz kepada Alif.

"Ke stasiun? Biar aku antar."

Hafidz mengangguk sambil berjalan di belakang Alif. Sebelum masuk ke dalam mobil, tak lupa menatap kembali ke belakang. Cinta dan impiannya akan ia kubur rapat-rapat di pesantren ini. Manusia tak bisa melawan takdir jika nama Kiran tidak tertulis dalam takdirnya.

Suara hiruk pikuk mendominasi suasana stasiun yang tengah terburu-buru sama seperti dirinya.

"Sampaikan ke Abah, aku minta maaf karena telah lancang berkata kasar pada beliau. Mungkin kedepannya  aku akan menerima ini semuanya," lirih Hafidz sambil menjabat tangan sahabatnya.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu sudah mempelajari apa itu ilmu ikhlas. Banyak orang yang hanya bisa bertahan di lisannya tetapi belum sampai hatinya. Semoga menemukan jodoh yang baik."

Hafidz mengangguk, ia buru-buru berpamitan karena kereta api sudah menunggunya dan sebentar lagi akan berangkat.

"Eh, kamu?" sapa Hafidz ketika mendapati seseorang yang sudah duduk berhadapan dengan tempat duduknya.

"Iya, kak. Habis ada liputan olahraga di stadion Manahan," jawabnya sambil tersenyum.

"Sekarang mau ke mana lagi?"

"Langsung ke Jakarta karena mau meliput demo besar-besaran di sana."

"Sama, saya juga mau ke Jakarta tetapi harus pulang dulu ke pos karena nantinya berangkat bareng bersama rekan-rekan."

"Oke, kak. Nanti kita ketemu lagi di Jakarta."

Keduanya langsung tersenyum satu sama lain.

⚘⚘⚘⚘

Wajah kusam lelah dengan lingkar hitam di bawah menghiasi kelopak mata Adit tetapi tak menggeser satu senti pun ketampanannya.  Laki-laki itu masih sama seperti dulu, diam dan lebih memilih tersenyum bagi untuk yang ia kenal saja.

Setelah cobaan beberapa kali bertubi-tubi menghampiri dirinya membuat laki-laki itu tambah matang jalan pikirkan dan pola kedewasaan mulai terbentuk. Jika para santri di sini identik dengan peci warna putih, Adit masih setia dengan topi hitam miliknya yang tak pernah ia tanggalkan.

"Tok ... Tok ..."

Suara pintu depan ia ketuk, berharap Pak Kyai ada di rumah karena ada sesuatu yang sangat mendadak yang mengharuskan Adit pergi dari sini.

Mata Adit terbelalak karena yang membuka pintu ternyata bukan pak kyai atau putranya tetapi putri kyai yang telah mengubahnya dan berani berdiri di pesantren ini.

"Pak Kyai?"

Hanya itu saja yang terucap karena Adit masih saja terbius pesona Kiran yang sudah lama menghindarinya.

"Sebentar," sahutnya datar tetapi masih melihat luka di dekat bibir Adit.

Adit dalam hati  bertanya-tanya sepagi ini perempuan  itu sudah sangat rapi.

"Ada apa, anak muda?" tanya Abah sambil mengamati wajah Adit.

"Saya mau izin pulang. Barusan dikabari oleh Mamah jika Papah saya meninggal di penjara."

"Innalillahi wa innailaihi rajin. Pulang lah, tetapi setelah itu kamu datang ke pesantren lagi."

"Siap, Pak Kyai," balas Adit sambil buru-buru pergi.

"Tunggu!"

Adit kembali berbalik karena ternyata laki-laki wibawa itu memanggilnya.

"Jaminan apa biar  percaya sama kamu jika akan kembali ke sini. Abah mau kamu menepati janji yang sudah diucapkan semalam."

Adit berpikir keras, jaminan apa agar orang tua Kiran percaya pada dirinya. Sedangkan di sini ia tidak mempunyai kerabat, paling hanya teman. Ia kemudian merogoh dompet dari saku celananya dan menyerahkan dua lembar kartu untuk diserahkan pada Pak Kyai.

"Apa ini?"

"Maaf saya tidak tahu apa yang harus dijadikan jaminan. Saya hanya membawa itu, salah satunya ada kartu kredit dan ATM. Di sana jumlahnya lumayan banyak, uang dari hasil bisnis saya selama ini. Jika Kiran mau memakai silakan,  PIN kartu itu adalah tanggal lahir Kiran. Mulai saat ini saya akan menanggung semua kebutuhan Kiran."

"Yakin jumlahnya banyak?" canda Kyai menguji Adit.

"Ada sekitar lima mil—"

"Abah percaya sama kamu, pergilah. Titip salam untuk ibu kamu, kapan-kapan ajak beliau kemari."

"Terima kasih," pamit Adit sambil mencium tangan Abah.

Suasana stasiun masih sepi apalagi kereta yang akan dinaiki Adit ternyata masih satu jam lagi karena ada keterlambatan. Pandangan laki-laki itu menyapu para penumpang, barangkali ia bertemu dengan Bayu.

Sayangnya, yang ia temui bukan Bayu. Adit lalu  bergegas mendekatinya.

"Mau ke mana?"

Gadis itu berjingkat karena kaget, tak menyangka akan bertemu di sini.

"Mau ke Semarang," sahutnya singkat, itupun tanpa menoleh kepada yang  bertanya.

"Untuk apa?"

Suara Adit meninggi, mengimbangi suara kereta yang sudah berhenti di depan mereka.

"Mau ke kantor imigrasi,  aku harus mengurus paspor dan visa."

Adit terbelalak sangat kaget.

"Kamu mau ke mana?"

"Aku mau kuliah lagi ke Jepang."

Laki-laki itu benar-benar syok, ia sengaja melepas topi dan mengacak rambut. Bukan hanya mengacak tetapi sedikit menjambak agar ia terbangun dari mimpi buruknya. Namun, ia sedang tak tidur. Semua nyata, sebelumnya ia berpikir tinggal selangkah lagi mereka  bersama, kenyataannya jarak ribuan kilometer akan menjadi penghalangnya.

"Aku harap batalkan rencana kamu," bisik Adit sangat lirih tetapi terdengar jelas gadis yang sudah berkaca-kaca.

"Tidak. Ini impian aku selama ini, kemarin hampir saja kamu menggagalkannya."

"Kiran, aku janji aku akan berubah dan akan memilih sama seperti apa yang kamu yakini bersama keluarga kamu."

Kiran menatap Adit sambil tersenyum sayangnya bulir bening ikut turun dari matanya.

"Jangan kamu memilih karena sebuah kesalahan atas apa yang kamu perbuatan. Yakinlah yang kamu pilih itu benar-benar dari niat dan lubuk hati yang dalam, tanpa ada paksaan dari luar atau kamu sendiri yang memaksa untuk seperti aku. Pikirkan baik-baik, aku harap kamu tidak akan menyesal di kemudian hari."

Suara lonceng kereta berbunyi, Kiran langsung mengambil sesuatu yang ia bungkus rapi dengan kertas kado  berwarna hijau dan menyerahkan pada Adit.

"Simpan baik-baik sebagai kenang-kenangan!" perintah Kiran.

"Apa kamu masih menyimpan tasbih pemberian aku?" Adit bertanya sambil menyerahkan secarik kertas yang terlipat.

Kiran mengangguk sambil memperlihatkan barang yang ia simpan rapat di saku jaketnya sembari menaiki anak tangga kereta.

"Aku tidak salah menitipkan separuh hatiku sama kamu," bisik Adit lirih, sayangnya Kiran sudah masuk dan duduk di kursi penumpang.

Dengan tangan gemetar, ia membuka kertas yang  berisi coretan tangan Adit sambil menitikkan air mata.

(Putar multimedia di atas ya? Adit membaca curahan hatinya melalui sebuah tulisan. Harap memakai headset, suara Adit sangat kecil dan jangan baper setelah mendengarkan. Author jamin setelah melihat video multi media di atas bakal nangis berjamaah😭)

-Tbc-

Assalamualaikum ada kabar gembira nih,  kak briawn yang jadi cast Adit, insyaallah akan datang ke group WA Teman Satu Atap. group itu banyak readers After the Rain.

Kalau ada yang mau, baca baik-baik banner di bawah yaa.

Jangan lupa follow akun instagram  @briawh_bonanza

Jangan lupa ikutan, kita ketemu di Group

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro