⚘After the Rain ⚘

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Aku merindukanmu seperti bumi memandang awan, dengan kata yang paling rahasia ia mendoakanmu menjadi hujan ~

****

After the Rain by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote 🙏

Bulir bening lagi-lagi mengiringi kepergian perempuan yang sudah meremas kertas pemberian Adit. Kepalanya terkulai lemas sambil terus terisak sambil menempelkan tulisan laki-laki yang dicintainya agar dekat dengan hatinya. Biarkan aksara itu dulu yang menyatu tetapi tidak dengan raganya yang hanya bisa memohon agar impian mereka terwujud.

Jemari tangan merogoh tas mencari benda yang selalu ia pakai untuk menemani ibadah, menempelkan ke ujung bibir untuk mengecupnya sambil berbisik lirih.

"Aku mencintaimu."

Seandainya saja laki-laki yang masih bertahan di stasiun Balapan bisa mendengar ucapan itu, mungkin dai akan membatalkan kepergian dan memilih mengejar perempuan itu dalam satu kereta yang sama.

Namun, Adit sendiri hanya bisa pasrah dengan semua takdirnya. Punggung ia sandarkan pada dinding stasiun sambil menatap ke depan.

"Kereta pasti akan kembali ke tempat yang sama setelah lelah berjalan menuju yang ia tuju. Sama saja dengan dirimu yang akan kembali dan berdiri di sampingku saat seperti dahulu."


⚘⚘⚘⚘

Suasana pemakaman tampak ramai, karangan bunga sudah berjejer menampilkan nama seseorang yang sekarang sudah terbujur kaku dan tak bernyawa.

Tampak Mamah tengah menangis di pusara yang basah bertabur bunga. Ia tak sendiri, di sana juga ada perempuan yang terkulai lemas di atas kursi roda. Sama seperti Mamah, wajahnya sudah basah dengan air mata.

Pandangan Adit tertuju pada laki-laki di ujung sana yang memakai baju tahanan dengan tangan diborgol. Wajahnya tampak sedih dengan penuh penyesalan terbesarnya. Mereka sempat saling bertatap sekilas, tetapi Adit langsung membuang tatapannya karena ia belum bisa menerima semuanya.

"Adit?" panggil Mamah dengan mata sembab memandang kehadiran putranya. Senyum tercetak tipis untuk mengobati rasa duka walaupun sekejap. Mamah sempat berpikir jika putranya tak akan datang.

Merasa di panggil Adit pun berjalan ke tengah kerumunan orang-orang yang memberi jalan agar orang yang baru datang untuk bergabung dengan mereka.

Tangan Adit meraup beberapa helai bunga dari keranjang bunga untuk ditaburkan di atas makam papahnya.

Tangis Mamah semakin deras dengan linangan air mata. Seandainya saja putra semata wayangnya mendengar permintaan maaf dari papahnya, mungkin tarikan napas terakhir kemarin mengantarkan kepergian suaminya dengan damai.

Adit memilih menyingkir ketika para pelayat hendak pergi dari peristirahatan terakhir ini. Mamah menyalami semua yang memberikan ucapan bela sungkawa.

Ia hanya menatap batu nisan yang di ujung, sudah lama ia tak mengunjungi atau memberikan bunga favorit untuk Dita, masa lalunya.

"Di mana Kiran?" tanya seseorang dengan mata yang merah menahan amarah. Perempuan itu tak sendiri ada suami yang mendampinginya.

Adit hanya menatap sekilas ke arah yang mengajaknya berbicara kemudian menatap lagi ke nisan di depan.

"Aku tak bisa mendapatkan semuanya. Dita pergi selamanya dan Kiran juga akan pergi."

"Kamu ke sana dulu, abang ada perlu sama Adit."

Istri pun mengangguk menuruti suaminya, ia lebih baik berkumpul dengan teman-teman alumni kampus yang sama-sama datang untuk melayat.

"Iffah sudah menceritakan semuanya jika kamu -"

"Saya salah, Bang. Sudah menghancurkan masa depan Kiran," sesal Adit.

Iqbal tersenyum. Dari pertama mereka bertemu, Iqbal sudah menebak jika Adit bukan preman pada umumnya. Tampangnya saja sedikit urakan tetapi dalam hatinya tak sekeras sifatnya, ia memiliki rasa tanggung jawab dan bukan pecundang atau pengecut yang bisa lari dari masalah.

"Apa kamu sudah bertemu dengan orang tuanya? Dengan Pak Kyai?"

Nada suara Iqbal terdengar lebih menekankan di kata bagian akhir.

"Sudah."

"Lantas apa yang akan kamu lakukan?"

Adit termenung sambil memainkan sehelai rumput di tangannya.

"Aku ingin meyakini apa yang diyakini Kiran dan keluarganya," sahutnya lirih.

Iqbal menepuk punggung Adit lirih sambil tersenyum.

"Niatkan semuanya dari hati bukan karena paksaan atau menebus kesalahan. Sebelum kamu mengucapkan syahadat setidaknya kamu mengenal apa yang akan kamu peluk dan yakini."

Adit termenung mencerna semua kata-kata Iqbal.

"Apa kamu yakin akan bersungguh-sungguh untuk berhijrah?"

Adit mengangguk dengan mantap, Iqbal dapat melihat kesungguhan laki-laki di depannya.

"Hijrah itu tak mudah, tidak hanya terucap di lisan saja tetapi harus melalui proses yang tidak mudah."

"Apa saja itu, Bang. Aku ingin tahu."

"Yang pertama adalah niat. Semua perbuatan berasal dari niat. Jangan lupa berdoa dengan Allah. Berusaha berkumpul dengan orang yang sholeh, orang yang menuntun kita agar bisa membawa bersama ke surga. Usahakan menyisihkan waktu untuk mengunjungi majelis. Jangan menunda untuk hal-hal yang baik. Yang terakhir, terus belajar untuk lebih baik. Tidak mudah bukan?"

Adit kembali termenung, ia sendiri ragu apakah bisa menjalankan itu semuanya karena paham jika proses itu sangat sulit.

⚘⚘⚘⚘


Kiran mengamati air yang jatuh dari atap rumah menimbulkan suara gemericik. Ia duduk sendirian di kursi dengan beberapa koper yang sudah tertata rapi di sampingnya. Terdengar juga suara Alif tengah memanaskan mesin mobil yang dipakai nanti saat mengantarkan menuju Jakarta. Umi dan abah juga turut mengantar.

"Sudah siap?" tanya Abah yang sudah tiba-tiba berdiri dan mengusap kepala putrinya.

Kiran mengangguk dan ibu jari langsung menghapus titik air mata yang hendak jatuh.

"Apa dia datang, Abah?" tanya Kiran dengan penuh harap.

Abah menggeleng lemah sambil senyum dipaksakan, ia menyerahkan sesuatu dari saku bajunya.

"Dulu sebelum pergi, dia menitipkan sesuatu. Selama ini abah menyimpannya tetapi sepertinya dia tidak akan datang. Lebih baik abah menyerahkan sama kamu."

"Apa ini?" tanya Kiran sambil mengamati dua benda pipih di tangannya.

"Adit sengaja meninggalkan itu, katanya kalau kamu butuh bisa memakainya. Ia berpesan jika PIN kedua kartu tersebut adalah tanggal lahir kamu."

Ada rasa nyeri tiba-tiba berdesir di hatinya. Lagi-lagi perasaan itu datang kembali. Benda pemberian untuk kedua kalinya setelah tasbih yang selalu ia simpan rapat-rapat.

"Kiran tidak bisa menerima ini, Abah?" tolak Kiran sambil mengulurkan kembali dua kartu itu.

"Lebih baik kamu simpan dulu. Abah tidak pantas menyimpannya karena jumlah di dalamnya sangat besar."

Kiran memegang dengan sangat kuat dengan pikiran yang langsung tertuju pada dia.

"Teka-teki apalagi yang kamu sembunyikan dari aku? Kenapa sampai saat ini belum terus terang siapa kamu sebenarnya?"

Dari kejauhan kakaknya tengah berjalan mendekati mereka, hati Kiran pasrah karena sudah saatnya harus pergi. Bukankah ini impiannya untuk kembali menempuh pendidikan di sana? Dengan sekali tarikan napas, ia berusaha bersikap biasa.

"Abah, kita berangkat sekarang. Takut nanti malam ketinggalan pesawat. Sepertinya juga tidak bisa memakai mobil pesantren karena tiba-tiba mogok. Sudah berapa kali mesin dinyalakan tetapi selalu saja tak bisa. Mungkin karena mobil sudah lama tidak dioperasikan."

"Sudah mendapatkan mobil lain untuk ke sana?" tanya Abah dengan sedikit khawatir.

"Sudah, sebaiknya abah siap-siap dahulu. Umi juga tengah menyiapkan barang-barang yang akan dibawa."

Abah dan Alif menuju ruang utama di pesantren. Mereka memberikan amanat kepada orang yang selama ini mereka percaya untuk selama nanti ditinggalkan ke Jakarta.

Kiran kembali menatap ruangan yang dijadikannya ia beristirahat. Pasti di sana akan merindukan suasana di kota Solo.

"Maaf, mana saja yang akan dibawa menuju mobil," seru seseorang yang sekarang berdiri di depan kamar.

Kiran menatap tak percaya, ia kenal suara itu. Suara yang selalu datang dalam mimpinya. Orang itu menyerahkan sebuah payung dengan tatapan datar. Selanjutnya meraih koper yang sudah diletakkan di dekat pintu.

"Aku benci hujan."

Laki-laki itu mengurungkan niatnya untuk pergi, membalikkan tubuhnya dan menatap perempuan yang terpekur memegang sebuah payung.

"Kenapa?"

"Seandainya saja saat itu tidak terjebak hujan mungkin hubungan kita tak sedekat kemarin."

Adit tersenyum dan meletakkan kembali koper di atas lantai.

"Aku malah ingin mengulangnya kembali karena saat itu aku sudah menyerahkan hatiku pada perempuan yang tengah ketakutan gara-gara tidak bisa membayar parkir."

"Gombal."

"Asal kamu tahu, diam-diam aku sudah menitipkan harapan yang sama dalam beribu rintik hujan dan berharap kamu lah masa depanku."

Perempuan itu bersemu merah karena sudah lama laki-laki itu tak memujinya.

"Ayo cepat kita berangkat!" seru Kiran karena tidak ingin terjebak lagi dalam perasaan yang sama.

"Semudah itu mengucapkan perpisahan, aku sebenarnya juga takut hujan. Aku takut kamu bagai hujan terakhir sebelum kemarau panjang karena datangnya pasti akan membutuhkan waktu yang lama," bisik Adit lirih.

Adit benci sekali perpisahan seperti ini, sebenarnya kemarin ia sudah datang ke Solo tetapi ia memilih bertahan di hotel untuk menenangkan hatinya, menguatkan jika perpisahan ini hanya sementara bukan selamanya.

"Aku dengar," jawab Kiran sambil menatap Adit. Wajah Kiran sedikit terkena air hujan karena angin menerbangkan rintik itu jatuh di wajah dan menyatu dengan air mata sehingga tak terlihat jika sebenarnya ia sedang menangis.

⚘⚘⚘⚘

Ruang chek in tiket sebagai tempat terakhir perpisahan abah dan umi dengan Kiran. Umi tak kuasa membendung air matanya melepas kepergian putrinya. Wanita paruh baya tersebut menangis terisak di dada abah karena tak kuasa menahan rasa kesedihannya.

"Mas, titip abah dan umi," pamit Kiran pada kakak laki-lakinya yang ikut mengantarkan sampai Bandara Sukarno Hatta.

"Tanpa kamu minta, mas akan melakukan kewajiban itu. Jaga diri baik-baik di sana. Konsentrasi menuntut ilmu tidak usah dekat-dekat lagi dengan laki-laki. Mas berharap kejadian kemarin tak terulang lagi," pesan Alif dengan hati-hati.

Kiran mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca.

"Mas bukan mau menyindir masa lalu kamu, cuma mau mengingatkan jika di sini ada satu laki-laki yang penuh harap menunggumu kembali."

Alif melirik laki-laki bertopi yang tengah menatap dirinya dari tadi. Dari sorot mata Adit, Alif sudah bisa menangkap jika dia ingin menghabiskan waktunya sekejap dengan adiknya. Alif pun sadar diri dan mundur menemui umi yang masih terisak.

Kiran sendiri sengaja berjalan menjauh dekat jendela kaca lebar dengan pemandangan pesawat terbang yang akan mengantarkannya ke Jepang. Adit mengikuti langkah itu sehingga mereka sekarang berhadapan dengan saling menatap satu sama lain.

"Apa kamu akan mencegah kepergianku?" tanya Kiran sambil terus menatap Adit.

Laki-laki itu tersenyum seraya berucap, " Bukankah kamu sendiri yang pernah mengatakan jika aku sempat menggagalkan kamu untuk mengejar masa depan? Aku tak akan mencegah selagi itu impian kamu."

Kiran mengangguk dengan kecewa, ia mengira Adit akan menahannya tetapi ternyata tidak.

"Jaga diri baik-baik di sana. Aku tak bisa mengantarkan sampai Jepang, bukan karena aku pecundang dan tak menyayangi kamu, tetapi aku harus memantapkan diri terlebih dahulu agar bisa berjalan berdampingan dengan kamu tanpa perbedaan yang selama ini menjadi ketakutan kita."

Mata Kiran berbinar dengan hati sedikit lega, ia tak menyangka jika akan seperti ini.

"Serius?"

Adit mengangguk sambil tersenyum.

"Bantu aku dengan doa agar doa kita bisa sama. Agar kita bisa dalam satu tempat yang sama."

Kiran mengangguk sambil menitikkan air mata bahagianya.

"Aku sudah memikirkan baik baik sekaligus memantapkan niatku. Oleh karena itu aku baru menemuimu sekarang, kamu pasti berpikir jika aku meninggalkanmu ya setelah pertemuan terakhir kemarin di kereta, ya?"

Kiran mengangguk sambil menahan senyum karena sudah suudzon dengan Adit.

"Dapatkah kamu berjanji akan tetap setia menunggu aku pulang dari Jepang?" pinta Kiran dengan penuh harapan.

Adit menatap ke bawah, meraih telapak tangan Kiran dan meletakkannya di dada Adit, membiarkan tangan mereka bersatu di depan dada Adit. Kiran sendiri dapat merasakan jika debaran di sana seperti apa yang ia rasakan sekarang.

"Aku akan berjanji seperti air hujan yang selalu jatuh di atas tanah. Mereka adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan, sama halnya dengan kita. Senja ini akan menjadi saksi dalam rasa sayang yang tak pernah hilang."

Mereka lalu menatap cahaya senja yang sudah menggantikan langit hitam karena mendung menggelayutinya. Sekarang terpancar warna jingga di ufuk barat.

Deheman keras membuat dua sejoli itu terlonjak karena Alif sudah berdiri di dekat mereka.

"Akad saja sekalian mumpung ada abah di sini," sindir Alif merasa iri terhadap kedekatan mereka berdua.

"Eh, enggak. Saya belum....," sahut Adit dengan wajah bingung.

"Kiran?"

Mereka bertiga menatap sepasang manusia yang tengah mendekat. Laki-laki yang baru datang langsung menjabat tangan Alif dengan erat.

"Selamat menempuh pendidikan di Jepang, jaga diri baik-baik. Jangan kecewakan abah dan umi. raih prestasi yang baik agar dapat nilai yang baik pula," nasihat Hafidz.

"Insyaallah," jawab Kiran sambil terus memperhatikan perempuan yang pernah ia temui di stasiun saat ia keberangkatan ke Solo.

"Jaga diri baik-baik. Walaupun nantinya tidak ada yang mengingatkan karena kalian harus berjauhan. Setidaknya mulai saat ini berubah, jangan jadi preman terus," sindir Hafidz sambil menepuk bahu Adit.

Suara pengumuman keberangkatan pesawat membuat Kiran langsung kembali berpamitan dengan abah dan umi untuk yang terakhir.

Di pintu masuk, Adit masih berdiri melepaskan perempuan itu benar-benar pergi.

"Jangan benci hujan karena sudah mempertemukan kita sejauh ini. Mungkin pelangi belum muncul saat ini tetapi percayalah ia akan hadir di hati kita."

Kiran tersenyum sambil terus melangkah menuju pesawat yang akan membawanya menggapai masa depannya.

Adit masih bertahan di tempat itu, menyaksikan sendiri jika burung besi itu benar-benar mengantarkan kekasih hatinya.

"After the Rain," bisik Adit lirih sambil tersenyum.



*The End*

Purwokerto 17 Agustus 2020

Galuch Fema

Alhamdulillah cerita After the Rain selesai, terima kasih suportnya selama ini. Jika tidak ada teman teman mungkin cerita ini tidak akan lanjut. Terima kasih buat Edha__2326 RiskaPutri972 amatul_20. Terima kasih buat kak Brian yang udah mau jadi cast Adit dan juga anggota TEMAN SATU ATAP love you all.

Author minta sarannya dong jika cerita After the Rain ini :

1. Tetap di wattpad

2. Naik cetak biar nanti author usahakan penerbitnya.

Setelah baca cerita After the Rain dari awal sampai akhir, author minta kritik dan saran dari teman teman karena author sendiri perlu masukkan untuk tulisan ke depannya.

Terima kasih ya? Ditunggu cerita selanjutnya ya 🤗




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro