🌷 Wedding🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Jika kamu memilih pelangi, aku akan melarangnya. Karena aku tak mau hadirmu hanya sekejap tetapi banyak yang menantikan~

*****

After the Rain by Galuch Fema


Sebelumnya terima kasih untuk sebagian pembaca cerita ini yang udah ikutan PO Unperfect wedding. Author sampai terharu, dari Sumatra sama Kalimantan ternyata banyak yang order. Insyaallah selesai PO nanti akan naik cetak. Kita tunggu dulu teman² yang lain untuk ikutan PO Unperfect wedding.


Happy reading, jangan lupa vote

Adit berlari kencang menyusul perempuan itu yang sudah berjalan jauh di depan. Laki-laki itu tak peduli rasa letih usai balapan tadi. Pokoknya ia harus menemui perempuan itu, titik.

Dengan wajah santai, Kiran tengah berdiri menyeruput es teh dalam plastik. Ia membalikkan badannya saat ada yang memanggil namanya.

"Ke-kenapa kamu pergi?" tanya Adit yang sudah ngos-ngosan.

Kiran memperhatikan wajah di depan yang sudah bercucuran keringat.

"Kamu cemburu?" tanya Adit ketika tadi sempat mendengar ucapan perempuan di sana yang selalu mengejar dirinya.

"Cemburu?" tanya Kiran bingung.

"Bukannya kamu tadi cemburu karena perempuan tadi melarang kamu berdekatan dengan aku?" tanya Adit berbalik bertanya. Ia menatap ke belakang karena ternyata Anton juga mengejar dirinya.

"Enggak."

"Lah terus kenapa kamu pergi?"

"Haus. Beli es teh," sahut Kiran sambil menunjukkan apa yang sedang ia pegang.

Adit memukul keningnya dengan keras. Coba saja Kiran mengucapkan kata cemburu gara-gara perempuan tadi mungkin Adit akan bahagia setengah mati, ternyata tidak.

"Dasar kuntilanak! Dibela-belain ikutan lari enggak tahunya cuma beli es teh!" pekik Anton dengan sangat kesal. Masalahnya tadi ia yang dipasrahi menjaga Kiran selama Adit balapan.

"Ya, sudah. Ayuk pulang," ajak Adit dengan wajah kesal bercampur emosi.

"Memang kenapa?" tanya Kiran masih belum paham.

"Jangan pulang dulu. Ada yang mau aku bicarakan!" seru Anton pada dua hati di depan yang tak pernah bisa bersatu.

"Apaan?" tanya Adit masih dengan wajah ditekuk.

"Mamah menyuruh kalian datang ke pernikahan Putri."

"Gue tidak mau datang," ucap Adit tegas.

"Putri siapa?" tanya Kiran yang masih ragu dengan nama itu.

"Kakak perempuan Haris," jawab Anton.

Wajah Kiran seketika langsung berubah. Mendengar nama laki-laki itu sudah membuat peredaran darah seketika berhenti.

"Ak-aku—"

"Aku yang akan jaga kalian berdua selama di sana," potong Anton menyela ucapan Kiran.

"Tapi, nanti dia tahu—"

"Tidak apa-apa tahu. Sepertinya dia juga sudah tahu dikit-dikit," sela Anton pada Adit.

Laki-laki itu hanya membalas ucapan Anton dengan tatapan tajam matanya.

"Besok kita ke hotel jam sebelas," saran Anton.

Mata Kiran memerah. Ia memukul Anton dengan ransel milik Adit yang masih berada di dirinya.

"Ngapain kamu ngajakin ke hotel! Mau macam-macam sama aku! Sini lawan aku kalau berani!" ancam Kiran yang sudah pasang kuda-kuda.

"Buset, Dit. Lo nyari cewe apa titisan genderuwo?

Anton mengaduh kesakitan. Ternyata perempuan yang ia sangka lemah ternyata punya nyali melawan dirinya.

"Acara pernikahan Putri di hotel."

Wajah Kiran langsung sangat malu. Ia lalu menatap Adit yang masih diam membisu.

"Pulang, yuk!" ajak Kiran menghindar tatapan tidak suka pada wajah Anton.

"Nanti saja, gue pikir-pikir dulu," sahut Adit membuka suaranya membalas ucapan Anton.

"Ayuk pulang, pasti kamu capek," sahut Adit lirih. Ia membiarkan Kiran berjalan dulu di depan.

Kiran mengamati perubahan wajah Adit dan ia langsung berbalik ke belakang.

"Kenapa? Ada yang dipikirkan?" tanya Kiran menghentikan langkahnya sehingga laki-laki itu juga buru-buru berhenti karena posisinya persis di depan Kiran.

Adit menggeleng lemah, sambil mengambil minuman di tangan Kiran dan langsung menyeruputnya.

"Itu kan sudah aku minum," ucap perempuan itu tetapi sudah telat karena Adit sudah meminum dari sedotan yang sama.

"Tidak punya penyakit menular kan," ledek Adit.

"Aish," ucap Kiran sewot.

"Beneran kamu tidak cemburu jika ada perempuan yang mendekati aku?"

Spontan gelengan lemah kepala Kiran tambah memporak-porandakan hati laki-laki itu.

"Sedikit pun?" tawar Adit dengan penuh harap.

"Enggak. Memang kenapa aku harus cemburu?" tanya Kiran dengan wajah polosnya.

"Ayo, pulang!" Pekik Adit dengan kencang. Lebih baik ia menghabisi semua musuhnya dibandingkan harus menahan emosi menghadapi perempuan macam ini.

Kiran diam-diam tersenyum, ide gila entah darimana tiba-tiba muncul begitu saja.

🌷🌷🌷🌷

Pagi ini, Kiran sudah mematut di depan cermin. Baju yang sekarang pakai brokat  warna biru tua dipadu padankan dengan kain modern di bagian bawahnya. Sepertinya ini cocok mengingat ia akan mendatangi resepsi di hotel.

"Gimana nanti naik motornya!"

"Udah ditungguin tuh sama cowok Lo di depan," sahut Iffah merapikan kerudung sahabatnya yang sedikit berantakan.

"Siap."

"Tapi dia enggak sendiri, bareng sama temennya cowok."

"Nah loh, gimana nanti naik motornya?" tanya Kiran bingung setengah mati. Ia kembali teringat jika Anton akan ikut.

"Siapa yang bilang naik motor? Tuh ada mobil di depan."

"Mobil?"

Perempuan itu berjalan dengan cepat walaupun langkahnya terhambat dengan kain yang dikenakan.

Di depan, ia melihat Adit tengah berbincang dengan Anton. Mereka tampak berbeda, Kiran sendiri menahan senyum karena seperti ada yang aneh saja dengan mereka. Coba bayangkan saja jika seorang preman tiba-tiba memakai pakaian batik panjang lengkap dengan celana kain warna gelap. Tak ketinggalan topi legendaris yang tak pernah lepas dari kepala laki-laki itu.

"Kenapa dilepas!" pekik Adit dengan keras. Reaksi yang sama ketika barang berharga itu sekarang sedang berada di pegang dan sengaja di sembunyikan di tubuh perempuan itu.

"Aneh, tau. Kondangan pakai topi."

Anton menahan senyum melihat kejadian di depan.

"Kembalikan tidak?" hardik Adit.

"Tidak."

Adit menyadari kesalahan ucapannya.

"Please!"

"Gantengan kaya gitu tau. Apalagi habis potong rambut," puji Kiran sehingga perasaan laki-laki itu melambung.

"Cepat berikan!"

"Kalau mau pakai topi, berarti aku enggak ikut," ancam Kiran sambil menahan senyum.

Adit mengacak rambutnya sehingga sedikit berantakan.

"ADIT!!" seru Mamah sambil membuka kaca jendela mobil.

"Ya, udahlah terserah," sahut Adit mengalah walaupun berat hati.

"Yee, sama kuntilanak saja baru ngalah. Kemarin kemana saja?" ledek Anton sehingga menambah perasaan Adit semakin tak karuan.

Kiran mengikuti dua laki-laki yang hendak naik mobil. Ia memilih duduk di belakang bersama Mamah, tak lupa Adit membuka pintu untuk perempuan yang sangat cantik dan berbeda dari biasanya.

"Mobil siapa?" bisik Kiran lirih, tidak enak kedengaran perempuan di dalam.

"Sewa sama Bang Joni," jawab Adit asal bahkan suaranya terdengar ke telinga Mamah. Perempuan itu hanya geleng-geleng melihat aksi putranya, mau sampai kapan Adit menyembunyikan jati dirinya.

🌷🌷🌷🌷


"Ayok masuk!" perintah Mamah pada Adit yang masih bertahan di dalam mobil.

"Tunggu di mobil saja. Mamah sama Kiran masuk saja ke dalam," elak Adit dengan wajah yang masam.

Kiran sendiri sangat heran melihat sifat Adit yang dari tadi memilih diam tak mau membuka suara saat di perjalanan menuju hotel.

"Kenapa? Kamu takut ketemu Papah kamu?" tuduh Mamah berterus terang.

Kiran syok, ia terus menatap Adit yang tiba-tiba sedang melihat ke arahnya. Namun, sayang hanya beberapa detik saja.

"Mau sampai kapan kamu memutuskan dan menghindar sama Papah kamu sendiri?"

Suara Mamah meninggi dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Bukankah Papah sudah minta maaf dan Mamah sudah memaafkannya juga," sambung Mamah terus berdiri di dekat pintu mobil.

Tubuh Kiran kaku karena konflik keluarga ini pelan-pelan terbuka. Ia mendengarkan tiap kata dengan cermat, mungkin kejadian ini bisa jadi menjadi konflik di ceritanya nanti.

"Adit belum bisa memaafkan," tukas Adit mulai terpancing emosi.

"Terserah kamu. Mamah sudah lelah mengikuti jalan pikiran kamu," sahut Mamah yang memilih pergi memasuki hotel.

Suasana menjadi canggung, lebih-lebih untuk Kiran yang notabene baru mengenal keluarga ini.

Anton mendekati Kiran sambil berbisik, " Biasanya Adit bertekuk lutut sama Kuntilanak."

Kiran melirik ke arah Anton, entah mau sampai kapan sahabatnya Adit selalu memanggil dirinya dengan kata-kata itu. Apa tidak tahu kalau hari ini ia sudah dandan maksimal.

"Kamu mau kemana?" tanya Kiran karena sepertinya Anton juga mau pergi.

"Kasihan Mamah sendirian, ia jauh lebih membutuhkan seseorang yang bisa menguatkan batinnya.

Kiran mengangguk, ia kemudian memutari mobil agar bisa berdiri di samping laki-laki yang tengah bersandar sambil memejamkan matanya.

"Dit?" sapa Kiran tetapi laki-laki itu bergeming. Ia tetap menikmati posisinya dan menghiraukan Kiran.

"Aku mau masuk ke dalam sama Mamah dan Anton," pancing Kiran.

Benar saja, Adit sekarang membuka matanya. Kiran percaya jika Adit tak akan membiarkan ia berjalan sendirian.

"Aku tidak bisa masuk ke dalam," sahutnya lirih seperti menahan beban di pikirannya.

"Aku tahu ini berat, walaupun aku sendiri tak tahu apa permasalahan keluarga kamu setidaknya bisa bergabung dengan mereka sebentar saja," nasihat Kiran.

"Sekarang posisi gantian, aku yang akan menemani kamu melewati sesuatu yang dianggap buruk sama kamu," sambung Kiran.

"Tapi setelah nanti kamu tahu semuanya, aku harap kamu jangan pergi," lirih Adit.

"Insyaallah. Kita kan teman," ucap Kiran tersenyum.

"Shitt, cuma sebatas teman!"

Adit turun dengan wajah kesal, ia membanting pintu mobil dengan kencang. Untung milik sendiri bukan milik orang lain.

Mereka berdua berjalan beriringan di atas karpet yang membentang dari pintu luar menuju ruang resepsi. Suasana sangat ramai mengingat para tamu undangan sudah memenuhi ruangan ini.

Kiran tampak takjub melihat ruangan yang di desain warna merah hati dan gold yang menyatu indah.

"Jangan bilang mau ikutan pengin nikah. Aku belum siap," ucap Adit membuyarkan lamunan Kiran.

"Siapa juga yang mau nikah sama kamu!"

"Hati-hati, ucapan adalah doa," nasihat Adit.

Mereka melihat Mamah dan Anton yang sedang berdiri dengan laki-laki separuh baya. Adit buru-buru berbalik hendak mencapai pintu keluar lagi.

"Adit!" panggil Mamah yang sudah menyadari kehadiran putranya.

"Dit, mau sampai kapan kamu menghindar?" bisik Kiran lirih. Mau tak mau ia membalikkan badannya lagi menatap ke depan.

Laki-laki tua itu langsung menghampiri putranya yang selama ini terus menghindar.

"Adit, apa kabar?" tanya Papah dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca.

Kiran terus mengamati sosok di depan karena ia sudah berulangkali melihat laki-laki ini wara Wiri di kampusnya.

"Siapa ini, Dit? Pacar kamu?" tanya Papah yang sekarang menatap perempuan di samping Adit. Ada rasa terkejut sendiri ketika melihat perempuan berkerudung itu menjadi orang dekat dengan putranya.

"Iya," sahut Adit dengan tegas. Siapa tahu jika Papah mengerti nantinya putra Papah yang lain tak mengganggu Kiran lagi di kampus.

"Sepertinya Bapak ini pemilik kampus—"

"Iya. Apa kamu kuliah di sana?"

Kiran mengangguk sambil menahan rasa terkejutnya. Ternyata Adit selama ini adalah anak pemilik kampus.

"I-iya. Ambil sastra."

Laki-laki yang sudah ada kerutan di wajah mengangguk pelan.

"Kenapa kamu memilih tinggal di kampung? Padahal Papah sudah menyediakan satu unit rumah yang layak di perumahan?"

Kiran mengatur deru napasnya, hari ini laki-laki ini terkuak siapa jati dirinya.

"Adit belum bisa,"sahut Adit dan terus menatap ke arah Kiran.

"Kita pulang sekarang!" perintah Adit buru-buru pergi.

"ADIT!" panggil Papah.

"Maaf, Pah. Untuk hari ini Adit belum bisa seperti dulu lagi. Ini terlalu menyakitkan."

Laki-laki melangkah menjauh, sayangnya di depan ia sudah dihadang oleh Mamah yang tengah mendorong perempuan di atas kursi roda.

"Cuma orang bodoh yang mau berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan!" pekik Adit dengan kasar.

Mamah dan perempuan itu menitikkan air matanya.

"Temani Adit dulu, takut tidak bisa mengontrol emosi," sahut pemilik kampus itu pada Kiran yang masih membisu.

"Baik, Pak," sahutnya sambil berpamitan pergi.

"Tenang saja , Om. Biasanya Adit bertekuk lutut pada kunti... eh ceweknya."

Anton mengelus dada, hampir saja salah menyebutkan orang.

Kiran berjalan pelan ketika Adit tengah duduk di taman depan hotel. Suasana yang rindang karena sejuk pepohonan ditambah alunan merdu suara azan dari masjid samping hotel.

"Dit, kamu tidak apa-apa?" tanya Kiran lirih sambil duduk di samping laki-laki itu yang sudah menghisap rokoknya.

Kiran meraih puntung rokok yang berada di bibir Adit dengan paksa, alhasil jemarinya terkena ujung rokok yang masih menyala.

"Aduuh," pekik Kiran keras.

Adit panik, ia lalu membuang rokok tersebut dan hendak meraih tangan Kiran tetapi perempuan itu menolaknya.

"Aku janji tidak merokok lagi."

Kiran tersenyum, melunakkan hati Adit sungguh sangat mudah apalagi ia tahu triknya.

"Salat yuk, mumpung sudah azan. Siapa tahu hati kamu lebih tenang," ajak Kiran yang sudah berdiri.

Adit menatap mata Kiran dengan penuh penyesalan, kenapa ia tak terus terang dari pertama.

"Aku non muslim."



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro