🌷Kita beda🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Perbedaan bukan halangan untuk bersatu. Dari berbeda kita bisa belajar mengesankan bukan menggenaskan. Lihatlah pelangi saja berbeda tetapi bisa menciptakan keindahan~

****
After the Rain by Galuch Fema


Happy reading,  jangan lupa vote

"Aku non muslim."

Entah mengapa kata-kata itu selalu terngiang terus di telinga Kiran. Ia mencubit lengannya berharap ini adalah mimpi semata, ia bisa bangun dan menganggap kata-kata itu tidak ada. Namun, ia harus tetap berpijak sebelum tumbang, ini adalah nyata.

"Ak-aku sa-salat du-dulu," ucapnya terbata-bata. Di manakah suaranya yang lantang seperti biasa?

Canda yang tak pernah lepas saat mereka bersama? Senyum yang selalu menghiasi bibir merahnya? Semua hilang seketika, lima menit lalu setelah kejujuran yang terlalu menyakitkan dari laki-laki itu.

Tatapan mata sayu dan pandangan di depan yang sudah buram karena terhalang air mata yang hampir jatuh begitu saja. Langkah kaki yang terasa berat, ingin sekali lagi bertanya jika apa yang ia dengar adalah salah.

Air wudhu menjadi saksi saat kelopak mata tak bisa membendung bulir yang bening itu. Perih, saat air mata menyatu dengan air wudhu,  sama seperti hubungannya saat ini dengan Adit.

"Ya, Allah? Apa aku kuat menjalani ujian seperti ini?" lirih Kiran sambil terduduk memakai mukena.

"Manusia macam apa aku ini? Baru diuji seperti ini tak ada kekuatan untuk bangkit atau berdiri untuk menghadap-Mu?"

Dengan berpegang dinding masjid, Kiran berusaha bangkit untuk menunaikan empat rakaat. Ia tak peduli apakah salatnya sah karena pipi yang terus basah.

Kamu adalah laki-laki yang pernah aku temui  selama ini.
Selalu menjagaku setiap saat  walaupun selalu menyimpan sesuatu yang amat berat.
Aku tahu ini adalah keputusanmu yang sangat sulit
Berusaha membuat aku tersenyum seolah melupakan jika perbedaan itu di depan mata
Aku pernah menyerah pada perasaan
Bertekuk lutut pada cinta yang kamu berikan
Aku hampir luluh
Tapi, aku masih ingat apa yang dikatakan Abah
Jika tidak ada hubungan laki-laki dan perempuan di luar pernikahan
Aku mengalah karena aku hanyalah putri seorang pemilik pesantren
Mungkin untuk bisa dekat, aku memilih sebagai teman, tak lebih.
Sekarang setelah kau bawa aku terbang tinggi di langit biru
Kau temukan aku dengan badai hitam
Aku jatuh pada cinta pertamaku.
Aku kalah sebelum bertanding

Kiran menangis sejadi-jadinya sambil menutupi wajahnya dengan topi milik Adit. Ia sengaja menyembunyikan di dalam tas sebelum berangkat ke hotel. Ia tak peduli jika topi hitam itu sudah basah air mata, biarkan saja benda itu menjadi saksi bisu tentang perasaannya saat ini. Karena selama ini ia tak pernah mengungkapkan pada laki-laki itu.

Kiran buru-buru melipat mukena dengan asal, memasukkan benda itu bersama topi milik Adit ke dalam tas. Bergegas berdiri mengambil sendal yang ia letakkan sengaja dekat tempat wudhu.
Ia paham tempat ini, masjid ini mempunyai dua pintu depan dan belakang. Ia memilih ke belakang menghindar laki-laki yang pastinya sangat mencemaskan dirinya.

Perasaan yang cemas dan panik ditambah penglihatan yang tak jelas karena air mata membuat dirinya hampir tertabrak motor yang melintas.

“Kiran!” pekik laki-laki itu menginjak rem secara tiba-tiba.

“Antarkan aku pulang!”


🌷🌷🌷🌷

Adit menunggu dengan gusar karena hampir satu jam Kiran belum juga keluar. Apa iya, ibadah yang dikerjakan Kiran sampai satu jam? Terbesit rasa khawatir karena Adit paham betul perubahan wajah Kiran. Ada keraguan sendiri ketika akan memasuki bangunan suci di depan, ini adalah pertama kalinya menginjak di lingkungan seperti ini. Hatinya saling bertentangan namun lebih baik ia masuk untuk mencari pujaan hatinya.

Angin lembut menerpa wajah Adit ketika berada di pintu masjid, ada rasa sejuk ketika berada di tempat ini. Sayup-sayup terdengar suara seseorang melantunkan bacaan di dalam. Entahlah, Adit tak tahu artinya. Ia terus melangkah menuju dua ruangan yang terpisah sehelai kain berwarna putih. Ia sangat panik karena sama sekali tak menemukannya. Buru-buru melangkah ke toilet, sepi tak ada orang.

Adit memukul dinding pagar belakang, ia menduga jika Kiran pergi dari pintu ini makanya ia tak melihat dari pintu depan. Ia lalu meraih ponsel di tasnya berusaha menghubungi sahabatnya untuk ikutan segera mencari Kiran.

🌷🌷🌷🌷

Sepeda motor yang ditumpangi Kiran berhenti di depan kontrakan, perempuan itu terus menunduk. Namun, laki-laki di depan bisa mengetahui jika perempuan itu sedang tidak baik-baik saja.

“Kamu kenapa?” tanyanya dengan cemas.

“Tidak apa-apa. Terima kasih tumpangannya,” sahut Kiran sambil membalikkan badannya.

“Tunggu sebentar,” sahut Hafidz mengambil sesuatu di ransel yang ia pakai. Sebuah buku dengan cover beberapa tulisan Arab di sana.

“Ada titipan Abah. Beliau berpesan agar segera dipelajari dan dihafalkan. Jika nanti kamu pulang setidaknya nanti akan diuji lagi sama Abah.”

Kiran mencoba tersenyum, kitab yang kemarin ia baca sebelum pulang ke sini. Mungkin kalau bukan malam hari, Abah akan memaksanya harus benar-benar bisa membaca kitab ini.

“Masih belum bisa baca Kitab Sulam Taufik?”

“Tepatnya malas.”

“Bukankah kamu—“

“Ya. Kadang aku bosan karena kehidupan pesantren selalu menuntutku untuk selalu seperti ini itu. Aku ingin seperti yang lain, tidak terikat aturan tapi masih berpedoman pada ajaran yang ada.”

Hafidz mengangguk, Ning satu ini sangat berbeda dengan putri Kyai pada umumnya. Termasuk dekat dengan laki-laki bertopi itu.

“Mau aku ajarkan baca Kitab itu?” tawar Hafidz.

“Tidak perlu. Terima kasih.”

Keduanya diam, Hafidz sendiri memikirkan bagaimana cara agar bisa dekat dengan perempuan ini, namun sepertinya agak susah. Melihat ke arah dirinya yang sedang di depannya pun tidak. Ia lebih memilih menatap samping atau pun bawah.

“Aku pergi dulu karena harus tugas,” pamit laki-laki itu dengan perasaan sedikit kecewa.

Kiran mengangguk sambil meneruskan lagi langkahnya ke dalam. Tak peduli jika laki-laki di atas motor masih melihatnya sampai masuk ke dalam.

Di dalam kamar, Kiran menangis sejadi-jadinya. Entah kenapa ia jatuh cinta pada cinta yang salah? Coba ia tahu dari pertama mungkin jatuhnya tidak akan sesakit ini. Apalagi rasa itu sudah benar-benar ada di dalam hatinya.

Ketukan pintu di depan kamar membuat Kiran buru-buru bangkit dan menghapus air matanya. Ia melihat sebuah kepala menyembul dari balik pintu.

“Ada preman di depan,” sahut Iffah.

Kiran diam saja, ia sudah bisa menebak jika laki-laki itu pasti akan menyusulnya. Apalagi di layar ponsel entah berapa puluh kali pesan dan telepon masuk dari orang yang sama.

“Bilang saja aku lagi tidur?” elak Kiran enggan menemui Adit untuk saat ini.

“Lah aku bilang kamu ada, lagian juga ia sangat panik begitu.”

Perempuan itu mendengkus kesal, ia menyambar kerudung di tepi ranjangnya. Sekarang dengan denyut jantung yang sudah di atas rata-rata terpaksa berjalan menuju teras depan.

Ia melihat laki-laki itu yang sudah memakai kaos berwarna putih. Kiran menatap mobil di depan, mobil milik laki-laki itu sendiri tapi tidak mau mengakuinya.

“Ada apa?” tanya Kiran berdiri di depan pintu. Matanya melihat ke samping bukan ke depan.

“Kamu masih tanya ada apa?” seru Adit sambil menahan emosinya.

“Terus aku tanya apa?” tanya Kiran tak mau kalah. Ia menatap laki-laki itu yang matanya sudah memerah seperti dirinya. Sayang mata merah Kiran ia tahan mati-matian agar tak menangis di depan laki-laki itu.

“Aku sudah seperti orang gila mencari kamu!”

Suasana tambah memanas, Adit sangat menyayangkan jika perjuangannya tadi mencari Kiran di sekitar tempat ibadah ternyata tidak ada respons sama sekali dari perempuan yang sama sekali belum mengganti baju yang ia kenakan saat kondangan.

“Aku tadi buru-buru karena ada sesuatu yang penting,” kilah Kiran mencari alasan.

“Apa tidak seharusnya menemuiku di depan untuk mengantarkan  menyelesaikan urusan kamu? Kenapa juga harus menghindar lewat pintu belakang?” tuduh Adit dengan sengit.

Kiran membisu, ia tak bisa berkata-kata karena sangat panik.

“Apa jangan-jangan kamu pergi menghindar karena aku mengungkap jati diriku sebenarnya!” tuduh Adit dengan menggebu-gebu.

Kiran terperanjat kaget.

“Ak-aku—“

“Coba tadi aku bilang kalau lagi malas salat tanpa mengungkapkan jati diri aku sebenarnya, mungkin kamu tidak pergi begitu saja,” cecar Adit dengan kata-kata yang menggambarkan isi hatinya.

“Bukankah kamu bilang kita hanya sekedar teman? Terus kenapa kamu menghindar? Aku dan Anton juga berbeda, tetapi ia tidak masalah dekat dengan aku. Kenapa kamu tidak?”

Kiran menelan ludahnya karena tak sanggup berkata-kata, apalagi ucapan Adit sangat menusuk hatinya.

“Kecuali kamu benar-benar melibatkan perasaan di hubungan pertemanan ini, patut kamu menghindar.”

Lagi-lagi Kiran diam seribu bahasa, ia kalah telak.

“Jujur aku menyesal mengucapkan tadi karena pasti kamu akan pergi. Lebih baik berbohong asalkan kita tetap bisa bersama tanpa tahu kita berbeda.”

Mata Adit terus menatap kedua bola mata di depan yang sudah berkaca-kaca, ia lebih baik mengalah untuk pergi daripada melihat perempuan itu benar-benar menitikkan air mata di depannya.

“Kita bisa tetap dekat seperti biasa kan?” tanya Adit sebelum pergi.

Sayangnya, perempuan itu buru-buru masuk ke dalam dan menguncinya rapat-rapat. Adit masuk ke dalam mobil, ia duduk di samping pengemudi.

“Jalan!” perintahnya pada Anton. Sedangkan, Anton sendiri sudah bisa menebak apa yang terjadi dengan Adit.

“Dia sudah tahu?”

Adit tak menjawab, ia hanya memejamkan mata sambil menyandarkan kepalanya pada sandaran di mobil.

“Aku sudah peringatkan dari awal,” tukas Anton menyetir mobil.

“Dan bodohnya aku tak mendengarkan kamu sampai terjebak dalam rasa ini,” sesal Adit meratapi nasibnya.

“Sangat susah untuk kalian bersatu!”

“Harus ada yang salah satu mengalah, tapi bukan aku,” tukas Adit.

“Dan juga Kiran, ia juga tak mungkin mengalah,” tebak Anton.

“Yah, apalagi dia anak pemilik pesantren.”

Adit pasrah, kenapa tidak dari awal saja ia mengakhiri hubungan yang sudah melibatkan hati dan perasaannya.

“Sudahi saja, jika tidak ada yang mengalah,” saran Anton tetapi malah mendapatkan tatapan tajam dari sahabatnya.

“Jalani saja dulu, siapa tahu ada keajaiban.”

“Cuih, ngomong keajaiban,” ledek Anton.

“Diam Lo.”

“Kuntilanak saja dikejar-kejar.”

“Awas kalau kamu bilang seperti itu lagi!” gertak Adit merasa tak terima.

“Kita pulang ke mana dulu?”

“Ke perumahan saja dulu, aku malas ketemu sama Mamah.”

Adit memikirkan kembali saat mereka tadi di hotel.

“Mamah tak pulang, sepertinya ia ke —“

“Cukup, jangan lanjutkan lagi. Aku sudah muak dengan laki-laki itu!”

Lengkap sudah kesialan Adit hari ini karena dua masalah besar akan ia hadapi.
Anton hanya menggeleng kepalanya. Seandainya saja Adit tahu berapa banyak uang yang dikucurkan dari pemilik kampus itu pada putranya tetapi selalu Adit tolak mentah-mentah.

🌷🌷🌷🌷


Pagi ini terasa mendung gelap gulita. Adit sengaja memilih menggunakan mobil untuk mengantarkan Kiran berangkat kuliah karena hari ini sudah aktif kembali ke kampus. Ia sengaja datang lebih awal untuk memastikan semua baik-baik saja mengingat beberapa kali telepon dan pesan dilewatkan begitu saja oleh perempuan itu.

Di depan kontrakan, ia berpapasan dengan Iffah yang mau berangkat kuliah.

“Kiran di mana?” tanya Adit dengan perasaan cemas karena sahabatnya Kiran itu berangkat sendiri.

“Sudah berangkat.”

“Apa? Berangkat?” Adit hampir tak percaya apalagi ini terlalu pagi.

“Soalnya tadi sudah dijemput. Astaghfirullah,” ucap Iffah keceplosan.

Benar saja, raut muka di depan sudah berubah.

“Jemput sama siapa?” paksa Adit kepada Iffah untuk berterus terang.

Iffah sangat panik apalagi sekarang ia sudah paham sifat laki-laki di depannya.

“Sama laki-laki pakai baju polisi,” tebak Adit dengan dada yang sudah sangat panas.

Perempuan yang sudah memakai helm mengangguk sambil ketakutan.

Adit langsung menaiki mobil dengan perasaan yang sudah hancur.

Aku sudah bisa menebak, jika kamu benar-benar akan pergi menghindar.”


Yakin gak mau ikutan Pre order Unperfect wedding?

Yang mau tanya-tanya dulu sama Author silakan wapri ke nomor 089680710616.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro