🌷Luruh🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Kita adalah dua orang yang saling berharap dan mendoakan satu sama lain, tetapi belum tentu dipersatukan oleh Tuhan~

****
After the Rain by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

Adit memilih menunggu di depan kampus, sambil menunggu Kiran keluar dari pintu depan. Ia tak mau kehilangan perempuan itu kembali, mengabaikan ujian demi bisa bertemu dengan Kiran.

Sebenarnya bisa saja, ia menemui gadis itu di dalam. Lagian semua dosen dan orang-orang di sini banyak yang paham dengan dirinya. Namun, ia urungkan karena enggan bertemu dengan laki-laki yang pernah dekat dengan dirinya sebelum diam-diam menikah dengan wanita lain.

Mata Adit memperjelas siapa yang tengah keluar dari pintu gerbang, tak sia-sia ia menunggu berjam-jam di sini. Ia bergegas membuka pintu mobil dan mendekati perempuan itu sebelum benar-benar pergi.

"Kiran!" panggil Adit sehingga perempuan berkerudung soft pink merasa terkejut. Bahkan jika lengan tak ditahan oleh Adit mungkin benar-benar lolos kembali sama seperti di masjid.

"A-ada apa?" tanya Kiran gugup karena ternyata harus bertemu lagi.

"Aku antarkan kamu pulang," pinta Adit menatap wajah yang terus berpaling darinya.

"Aku bisa pulang sendiri," elak Kiran menolak.

Adit berpikir keras bagaimana ia bisa membujuk agar mau pulang bersama karena tak mungkin menyentuh atau menggendong perempuan itu. Tangan Adit meraih tas yang sedang di peluk oleh Kiran lalu ia berjalan menuju mobil.

Alhasil Kiran berteriak karena tas diambil Adit, mengingat di dalam tas terdapat laptop yang berisi file tentang naskah ia yang sedang dilombakan.

"Adit?" panggil Kiran mengejar laki-laki yang sudah masuk ke dalam mobil.

Rencana Adit berjalan sempurna, Kiran mendekati mobil dan Adit sendiri sengaja menaruh tas tersebut ke dalam. Mau tak mau, Kiran masuk ke dalam mobil dengan terpaksa.

"Adit?" panggil Kiran agar laki-laki itu mau membiarkan ia pulang sendiri.

"Seperti biasa saja, sebelum kamu menjauhi aku."

Kiran enggan melihat laki-laki di samping karena takut hatinya semakin kecewa.

"Aku tak bisa," elak Kiran menatap ke samping.

Adit yang hendak menyalakan mesin mobil mengurungkan niatnya karena tak paham maksud perempuan berkerudung ini.

"Apa maksud kamu?" cecar Adit merasa ada yang janggal.

"Aku tak bisa seperti kemarin."

Adit terbelalak kaget.

"Kenapa kita tak bisa berteman seperti kemarin? Bukankah berteman bisa bebas dengan siapa saja?"

Kiran menunduk, memainkan ruas jemarinya untuk mengurangi efek gugup dan cemas.

"Atau jangan-jangan kamu memiliki perasaan yang sama seperti aku?" tuduh Adit dengan bersemangat. Kiran lebih menundukkan lagi wajahnya.

"Tolong katakan!" paksa Adit merasa tak sabar.

Anggukan lemah dari kepala Kiran sudah mengganti jawaban pertanyaan dari laki-laki itu.

"Ya, Tuhan?" pekik Adit bingung. Entah ini kabar bahagia atau duka setelah perempuan itu mengakui perasaannya.

Embusan napas kasar terdengar jelas dari bibir yang suka mengisap rokok.

"Lantas apa yang harus kita lakukan?" tanya Adit pasrah.

Kiran yang sudah berkaca-kaca menggeleng lemah. Ia lalu membuka pintu mobil bermaksud pergi tetapi di cegah oleh laki-laki itu.

"Aku antarkan kamu pulang," sahut Adit terpaksa memegang lengan baju milik Kiran.

Keduanya terdiam membisu dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Ternyata jatuh cinta pada orang yang salah lebih menyakitkan dibandingkan bertepuk sebelah tangan.

Kiran tersadar dari lamunannya, ini bukan tempat ia pulang.

"Kenapa kita ke sini?" tanya Kiran dengan wajah bingung.

"Sudah waktunya kamu ibadah."

Kiran mendengar sayup-sayup suara azan di masjid yang sekarang berada di depannya. Dengan ragu, ia membuka pintu sambil menatap lagi laki-laki di samping.

"Jika kamu masih menganggap aku teman, setelah salat kamu akan kembali bersama ku di sini. Jika kamu pergi lagi seperti kemarin, aku akan memutuskan hubungan pertemanan ini."

Kiran hanya menatap Adit dengan tatapan datar. Suasana sekarang terasa canggung dan kaku. Ia ingin semuanya kembali lagi seperti dulu.

🌷🌷🌷🌷

Adit menunggu Kiran dengan perasaan harap-harap cemas, es krim yang sudah ia persiapkan untuk perempuan itu sudah meleleh seperti hatinya yang sangat kecewa.

"Apa aku harus mengulangi lagi seperti kemarin dan harus menelan kekecewaan kembali?" batin Adit bergejolak.

"Ya, Tuhan, susah sekali menjalin hubungan jika rasa itu benar-benar ada di dalam dada?" keluh Adit sambil membuang es krim tersebut yang sudah tak berbentuk.

Dengan lunglai ia masuk ke dalam mobil, sepertinya Kiran benar-benar pergi. Untuk apa ia menunggu dalam ketidakpastian?

Melajukan mobil sambil menelan kekecewaan bulat-bulat. Benar saja yang dikatakan oleh Anton jika ia dan Kiran tak akan bersatu jika tidak ada yang mau mengalah.

Sepeninggal mobil itu, Kiran keluar dari persembunyiannya. Ia sudah selesai salat setengah jam yang lalu. Sengaja melakukan ini karena hati dan perasaannya belum bisa menerima ini semua.


🌷🌷🌷🌷

Tiga hari berlalu begitu saja tanpa pertemuan dua orang tersebut. Bukan membaik malah mereka saling memendam perasaan satu sama lain.

Seperti sore ini, Kiran tengah memilih beberapa roti di supermarket. Entah sudah beberapa hari terakhir ia hanya makan nasi beberapa suap saja. Mungkin sepotong roti bisa mengganjal perutnya yang lapar tetapi tenggorokan enggan untuk menelan makanan.

Setelah mendapatkan apa yang dibutuhkan, ia langsung segera menuju pintu keluar. Alangkah kagetnya saat harus melihat laki-laki bertopi cokelat tua sedang asyik dengan ponselnya. Padahal tadi pas datang, laki-laki itu belum ada.

Kiran mengeluarkan koin untuk diserahkan kepada Sony, tetapi laki-laki itu sepertinya sedang sibuk dengan pengendara motor yang lain.

"Sudah bawa saja!" pekik Sony dari kejauhan.

Mata Kiran tertuju lagi pada Adit yang masih asyik dengan ponselnya tanpa menghiraukan kehadirannya. Agak sakit tetapi bukankah ini yang diharapkan Kiran? Bertemu tanpa bertegur sapa seperti tak kenal satu sama lain.

Baru juga melangkah mendekati motor, tiba-tiba turun hujan deras. Terpaksa Kiran mundur dan berdiri di pojok depan supermarket. Sebenarnya tadi ia mengurungkan untuk datang ke sini tapi mengingat stok makanan habis akhirnya ke tempat ini juga.

Kiran memandang tetesan air hujan yang jatuh membasahi bumi, menyatu dengan tanah yang kering. Seandainya saja ia bisa bersatu dengan orang yang ia pikirkan.

Sudah setengah jam, bukan tambah berhenti yang ada tambah deras disertai angin kencang. Terpaksa Kiran mundur menempel pada dinding kaca supermarket sambil melipat tangannya di depan dada.

Sebuah jaket hitam tiba-tiba sekarang sudah berada di bahu Kiran. Siapa lagi kalau bukan milik laki-laki itu yang sekarang sedang berdiri di sampingnya. Aroma parfum Adit membuat Kiran lebih sedikit tenang walaupun jantung sudah berpacu dengan sangat kencang.

"Apa kabar?" tanya laki-laki itu dengan dingin.

"Baik," jawab Kiran singkat.

Keduanya bergeming menikmati tiap tetes air hujan. Rintik itu yang pernah mempertemukan dan juga sekarang malah menjadi jurang pemisah di antara mereka.

Karena obrolan tak berlanjut, Adit memilih menyingkir kembali ke tempat tadi. Dunia game lebih asyik dibandingkan harus bercakap-cakap dengan perempuan yang berubah dingin.

Suara knalpot tetap memekakkan telinga walaupun saat hujan deras. Kiran menatap seseorang yang sudah basah kuyup menghampiri Adit dan Sony.

"Anton dikeroyok lagi!" pekiknya terbata-bata sambil menahan dinginnya air hujan.

"Cabut!" pekik Sony pada semua. Tak lupa Adit juga bersiap-siap menembus deras air hujan. Sebelum pergi tak sengaja tatapan laki-laki itu menatap kedua mata yang tengah khawatir memandangnya. Gelengan lemah dari perempuan itu tak menyurutkan Adit untuk tetap pergi membalas perlakuan geng sebelah yang sudah mencelakai sahabatnya.

Kiran sangat khawatir, lebih-lebih jaket yang sedang ia pakai seharusnya membungkus tubuh laki-laki itu, bukan dirinya.

🌷🌷🌷🌷

Tatapan Adit memerah ketika melihat tubuh Anton yang terkulai lemas masih mendapatkan tendangan dari musuh bebuyutan selama ini.

"Berhenti!" pekik Adit tak gentar. Ia berlari menerobos lawan yang menghadang di depannya. Namun, Adit melewati saja walaupun jegalan orang-orang di depan membuatnya limbung. Namun, ia tetap berlari menuju Anton yang sudah terkapar.

Adit sendiri sudah muak dengan perkelahian semacam ini hanya untuk memperebutkan daerah kekuasaan dan menjadi pemenang di antara semuanya. Namun, ini terpaksa dilakukan karena memang sudah menjadi bagian hidupnya. Pukulan demi pukulan ia terima dan balas satu persatu, pertemuan sengit tak terelakkan.

"BERHENTI!!"

Suara  terdengar sangat lantang untuk menengahi dua kubu yang tengah bertikai. Kelompok sebelah langsung lari terbirit-birit ketika melihat seseorang di atas sepeda motornya.

Adit hanya menatap sekilas, Sony sendiri sudah gemetar melihat siapa yang datang. Namun, kedua kakinya tak ada kekuatan untuk berlari seperti yang lain. Ia pasrah menemani Adit yang tengah berusaha mengangkat Anton yang tak berdaya.

Laki-laki di atas motor itu turun mendekati ketiga orang yang masih bertahan di depannya. Suara petir bersahutan menambah suasana menjadi sangat seram dan tegang.

"Anton...Anton. Bangun!" pekik Adit sambil menepuk pipi Anton yang sudah lebam.

Erangan kecil di mulut yang sudah mengeluarkan darah ditambah rintik air hujan memaksa masuk mata yang masih berat untuk dibuka.

"Son, bawa Anton ke Pak Mantri seperti biasa!" pekik Adit pada Sony agar segera mungkin membawa sahabatnya agar secepatnya tertolong.

Pandangan Sony tak pernah lepas pada sosok yang memakai jaket hitam. Dengan perlahan menuntun Anton menuju motor. Dada Sony sangat lega karena polisi tadi membiarkan dirinya bersama Anton pergi begitu saja. Namun, tidak dengan Adit yang masih bertahan  di sana.

Selepas motor Sony pergi, sekarang dua laki-laki yang membiarkan tubuhnya basah terkena air hujan saling berhadapan satu sama lain dengan tatapan yang sulit diartikan. Terlebih mereka mempunyai satu visi yang sama yaitu memperebutkan satu hati perempuan.

Hafidz sendiri tak sengaja lewat tempat yang di jadikan ajang pertikaian. Ia kali ini tak akan menangkap siapapun karena memang tak ada perintah dari atasannya.

"Mau sampai kapan kamu seperti ini terus? Ini bukan untuk pertama kali tetapi berulang kali. Bahkan saya sudah jenuh mendengar laporan pertikaian kalian," seru laki-laki itu membalas tatapan tajam laki-laki di depan yang sudah penuh luka tonjokan di wajahnya.

"Bukan urusan kamu," balas Adit merasa tak suka.

"Seandainya saja, Kiran tahu seperti apa laki-laki macam kamu!"

Adit yang hendak selangkah lagi menuju motor langsung membalikan badannya menatap polisi di depannya.

"Jangan bawa-bawa Kiran dalam masalah ini!" gertak Adit tak mau kalah.

Ia kembali teringat lagi pada perempuan dengan jaket miliknya di depan supermarket. Menarik gas pelan-pelan untuk mengindari laki-laki yang sudah dipersiapkan menjadi pendamping Kiran oleh keluarga di pesantren.

Adit sadar betul ia siapa, cuma laki-laki yang pernah berhenti kuliah, anak broken home dan separuh hidupnya di habiskan di jalan. Tidak seperti laki-laki tadi yang jelas-jelas seiman dengan Kiran.

Dalam benak Adit, ia sudah menduga jika perempuan itu sudah pergi apalagi rintik ini sekarang sudah berkurang. Untuk apa menunggu laki-laki macam dirinya seperti ini.

Dugaan Adit ternyata salah, perempuan itu masih berdiri di tempat yang sama sambil merapatkan jaket miliknya. Ada rasa bahagia tersendiri melihat ia masih di sana.

"Dit, luka kamu?" tunjuk Kiran pada pelipis yang masih mengeluarkan darah.

"Luka ini tak sebanding dengan luka di hati saat kamu memilih pergi sendiri dan meninggalkan aku seperti kemarin-kemarin," sahut Adit menyindir Kiran.

Kiran hanya menggigit bibirnya, kenangan beberapa hari yang lalu diputar kembali di otaknya.

"Ak-aku—"

"Sudahlah tak perlu dibahas. Aku tahu kelanjutannya," potong Adit sambil menyeka darah yang sekarang berpindah ke tangan.

Kiran melepas jaket dan menyerahkan kepada Adit.

"Bahkan jaket itu pun kamu kembalikan karena tak mau berdekatan dengan hal-hal yang menyangkut aku," jawab Adit sambil mengambil paksa dari tangan yang masih terjulur di depannya.

"Bukan seperti itu, kamu yang pantas mema—"

"Sudahlah, tidak ada artinya."

Adit kembali menuju motor, semakin lama di sini yang ada semakin sakit. Begitupun Kiran melakukan hal yang sama seperti Adit.

"Kiran, aku ada perlu sama kamu," sahut seseorang yang datang begitu saja.

Adit mendengkus, tanpa melihat siapa yang datang, ia sudah menebak dari suaranya. Laki-laki yang ia temui barusan.


Maaf numpang promosi lagi ya, jika tak suka skip saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro