🌷Move on🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Kita adalah sepasang manusia yang disatukan perasaan yang sama bukan iman yang sama~

****
After the Rain by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote

Adit menatap langit yang masih setia menumpahkan rintiknya. Tetesan air hujan itu terasa menembus lubuk hatinya. Ia membiarkan air hujan itu menyatu dengan darah yang masih keluar dari pori-pori kulit wajahnya. Sekarang ia sendiri, bersedeku di tengah-tengah lapang. Memikirkan setiap detik yang akan datang.

Apalagi yang akan kita pertaruhkan jika sebelum berperang kamu lebih memilih mengangkat bendera putih.
Apalagi yang akan kita perjuangkan jika pada akhirnya kamu memilih laki-laki yang seiman
Pada akhirnya kita sama-sama tahu kita jika Tuhan kita beda dan tidak mungkin dipersatukan.
Lantas, untuk apa lagi aku lanjutkan?

Tujuan Adit saat ini adalah warung tak jauh dari tanah lapang, mungkin beberapa botol minuman alkohol mampu mengobati rasa dinginnya saat ini. Setelah membaik, nanti akan menyusul Sony me tempat Anton di rawat.

Apa yang direncanakan ternyata hanya sekedar angan saja karena Adit masih asyik dengan minuman keras ditambah rokok yang sudah ia hisap sampai beberapa batang.

Janji pada Kiran untuk berhenti merokok hanya ucapan belaka seperti asap rokok terbang tinggi dan akhirnya menyatu di udara tak kasat mata.

Hampir dua jam di sini, akhirnya laki-laki yang sudah sempoyongan berjalan menuju motornya. Genangan air yang harus ia hindari namun ia biarkan saja sehingga celana jeans bagian bawah semakin basah. Bagaimana menghindari jika pandangan di depan sudah kabur.

Baru beberapa meter di jalan raya, tiba-tiba seorang perempuan melintas di depan. Dengan setengah sadar, Adit menginjak rem kuat-kuat. Motor Adit seketika berhenti dan ambruk begitu saja.

Pandangan Adit kabur dan semua sudah berangsur gelap.

🌷🌷🌷🌷

Lampu menyala menyilaukan retina mata seorang laki-laki yang sedang mengerjap menyesuaikan cahaya di ruangan ini.

Ruangan yang jarang ia lihat, tembok putih dengan lampu kristal menggantung di langit-langit. Sambil memegang kepalanya yang  masih terasa pusing. Ia baru sadar jika ia barusan berbaring di atas sofa di depan televisi LED yang cukup besar.

"Adit, kamu sudah bangun!" pekik seseorang dengan sangat girang.

Adit menoleh ke arah suara yang berasal, mengerjap kembali agar pandangan matanya menjadi jelas.

Sekarang Adit bisa mengenali, seorang perempuan dengan kaos santai rumahan dan rambut yang ia gerai begitu saja.

"Ta-tania," sapa Adit serasa tak percaya dengan perempuan di depan.

"Ya Tuhan, kirain kamu tak mengenali aku!" seru perempuan yang bernama Tania.

Adit mengubah posisi tubuhnya agar berdekatan dengan perempuan itu. Sudah lama mereka tak bersua setelah pertemuan terakhir di pemakaman.

"Belum bisa move on juga dari Dita? Sampai mabuk-mabukan segala!" tuduh Tania sebal.

"Eh, enggak. Baru minum sekali ini."

Adit kembali memijit kening untuk mengurangi efek pusing.

"Mau aku ambilkan obat?" saran perempuan itu yang sudah berdiri.

"Tidak perlu, nanti juga hilang. Lama gak minum alkohol, sekalinya minum malah seperti ini."

"Kapan kamu insyaf, Dit."

"Nanti kalau ketemu jodoh."

"Selalu saja bicara seperti itu. Setelah Dita pergi memang kamu tidak pernah membuka hati untuk perempuan lain? Aku masalahnya sudah nungguin, nih," goda Tania sehingga Adit terbelalak kaget dan mencoba tersenyum.

"Bisa saja kamu."

"Ingat gak gara-gara aku pernah simpan foto kamu dan akhirnya ketahuan sama Dita. Pada akhirnya dia marah dan mendiamkan aku."

Keduanya tertawa mengingat kejadian mereka dulu.

"Aku sedang suka sama cewek tapi sepertinya kita tak bisa bersama.

Tania menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Adit, topik seperti ini tampak sangat menarik. Adit yang terkenal pendiam mau membuka suara perihal perasaannya.

"Siapa perempuan itu? Pasti sangat beruntung karena bisa menjadi orang spesial di hati kamu."

"Namanya Kiran, dia kuliah di perguruan tinggi milik Papah."

Tania kaget seraya berucap," Wow. Satu kampus dong sama aku."

"Anak sastra."

Tania mengangguk walaupun hatinya sedikit kecewa.

"Kenapa kalian tidak bisa bersatu? Bertepuk sebelah tangan? Tidak direstui orang tuanya?" tebak Tania.

"Sama seperti dulu dengan Dita. Kita beda lagi."

Lagi-lagi Tania syok setengah mati, ia tak percaya dengan ucapan laki-laki di depannya.

"Mengulang kembali kisah lalu?"

Adit mengangguk pasrah.

"Lantas apa yang akan kamu lakukan untuk kedepannya?" tanya Tania penasaran.

"Lebih baik aku mengalah dan menjauh. Aku tidak ingin dia seperti Dita, terpuruk dan tertekan sampai akhirnya meninggal."

Keduanya terdiam. Mengingat kembali peristiwa bersama orang yang mereka sayangi.

"Sabar, Dit. Masih ada aku kok," tawar Tania sambil tersenyum. Adit hanya membalas senyum sahabat kekasihnya.

"Aku cabut, mau nengok Anton," pamit Adit bersiap-siap.

"Berantem lagi kalian?" tuduh Tania kesal karena dari dulu Adit bersama geng tak pernah berubah.

"Biasa lah, rebutan kekuasaan parkir."

"Kamu itu orang kaya tapi pura-pura sok miskin," cibir Tania.

"Daripada miskin pura-pura kaya."

Keduanya kembali tertawa, ada rasa lega di hati Adit setelah beberapa hari dilanda kegundahan. Kalau tidak sekarang kapan lagi ia bisa melupakan Kiran.

🌷🌷🌷🌷


Kiran sekarang terlihat lebih baik juga, sudah hampir seminggu sama sekali tak bertemu dengan laki-laki itu. Nyatanya yang bisa melupakan hanya masalah waktu saja.

Baru juga memasuki gerbang kampus, lagi-lagi ia sudah dihadang oleh Haris. Mau sampai kapan ia selalu dibayang-bayangi oleh laki-laki hidung belang seperti dia.

Di saat seperti ini, akhirnya ia sadar jika kehadiran Adit ternyata selalu ia harapkan. Kalau kemarin untung ada Bang Iqbal yang sedang mengantar sahabatnya, entahlah untuk sekarang siapa yang akan menolongnya.

"A-aku mau masuk. Sebentar lagi ada jam mata kuliah gasik."

Dalam hati Kiran terus berdoa agar dibebaskan dari Haris yang tengah menatapnya dengan jijik.

"Tidak segampang itu, manis. Di mana pangeran kamu? Sepertinya sekarang kalian sedang berjauhan? Apa lagi marahan? Atau jangan-jangan sudah bubaran?"

Tawa Haris terdengar sangat keras, sayangnya tak ada mahasiswa yang melintas karena hari ini masih sangat pagi. Kiran sengaja berangkat pagi karena siapa tahu Adit akan mengantarkan seperti biasa, malah sayangnya ia sendiri yang terjebak harus berhadapan dengan singa kelaparan.

"Mana Adit yang selama ini menjaga kamu? Pacar atau bodyguard?"

Kiran semakin terpojok apalagi laki-laki itu terus berjalan ke arahnya. Perempuan itu menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"BUGH!!"

Suara pukulan sangat keras menghantam seseorang. Sekarang suara pekikan nyaring memanggil nama Adit. Kiran mendengarkan kembali suara tersebut, seperti suara perempuan. Dengan perasaan masih takut dan cemas, ia pelan-pelan membuka tangan yang menutupi wajahnya.

Di depan mata Kiran, ia melihat Adit tengah memukul Haris tak kenal ampun. Luka lebam, bengkak dan darah sudah menghiasi wajah Haris. Sayangnya tak ada satpam atau mahasiswa lain yang melihat.

Kiran hendak maju melangkah melerai mereka, tetapi gerakannya kalah cepat. Perempuan yang memakai jaket warna cokelat seperti milik Adit tengah melerai dua laki-laki yang masih terlihat adu jotos.

"Adit, sudah!" pekik Tania kewalahan memegang pergelangan tangan Adit. Bahkan sekarang ia memeluk erat tubuh Adit yang hendak maju lagi menghajar Haris.

"Tan, lepaskan. Biarkan saja laki-laki macam ini mati!" seru Adit yang sudah sangat emosi.

"Ini kampus, Dit. Kalau kalian berantem di sini nanti masalah semakin panjang," nasihat Tania sambil mengatur deru napasnya karena lelah memegang Adit yang hendak melawan.

Kiran, menoleh ke samping. Tepatnya sengaja melihat pemandangan di depan, bukan karena Haris yang sudah babak belur tetapi tangan perempuan itu yang masih melingkar di tubuh Adit.

Haris pergi lari pontang panting ketakutan meninggalkan mereka bertiga.

"Aku jalan saja, biar kamu gak telat berangkat kuliah," seru perempuan itu sambil mengembalikan jaket yang barusan dipakainya.

Kiran meneguk saliva, dugaannya benar jika jaket itu adalah milik Adit. Sama yang seperti ia pakai dulu saat menemani Adit balapan.

"Nanti jemput jam berapa?" tanya Adit memakai jaket cokelat itu.

"Nanti saja aku telepon, takut ada tambahan mata kuliah," seru Tania yang sudah berlari kecil.

Kiran juga bersiap-siap pergi, untuk apa bertahan di sini. Yang ada malah mengembalikan masa lalu saat bersama Adit.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Adit sedikit khawatir.

Kiran menggeleng sambil pura-pura tersenyum. Hatinya yang tidak baik karena ada goresan luka yang tercipta barusan.

"Apa kabar?" tanya Adit salah tingkah. Seminggu tidak bertemu membuat dirinya semakin canggung karena harus berhadapan dengan perempuan yang kedekatannya hampir tergeser oleh sosok Tania. Yah, seminggu ini hubungan Adit dan Tania sangat dekat, apalagi mereka sedang merencanakan sesuatu.

"Ba-baik," sahut Kiran terbata-bata. Jujur ia belum bisa menempatkan perasaannya jika laki-laki di depan adalah orang yang harus ia hindari mati-matian.

"Haris sering menemui kamu?"

Kiran menunduk sambil mengangguk.

"Hampir tiap pagi selalu menunggu di sini."

Adit geram mendengar ucapan barusan, seandainya saja Kiran masih mau menganggap dirinya sebatas teman mungkin akan biasa seperti hari-hari sebelumnya.

"Dit?" panggil Kiran dengan suara yang terdengar sangat kaku.

"Ya," sahut Adit menatap perempuan itu lebih intens. Sampai detik ini sangat susah untuk melupakannya.

"Siapa perempuan itu?"

Adit hanya tersenyum sehingga Kiran dibuat jengkel.

"Pacar kamu?" tuduh Kiran tidak suka, karena belum bisa melihat Adit secepat itu dekat dengan perempuan lain. Mengantarkan kuliah bahkan sampai meminjamkan jaket segala.

"Hemm," sahut Adit bersiap-siap pergi. Mesin motor juga sudah menyala.

"Cepat katakan!" paksa Kiran tak sabar.

"Kenapa? Kamu cemburu?" Adit bergantian menuduh perempuan yang sekarang sudah salah tingkah.

"Eng-enggak, kok," jawab Kiran menahan wajahnya yang sudah merah malu.

"Kita cuman lagi dekat saja," sahut Adit sukses membuat tubuh Kiran seketika membisu.

Perasaan Kiran bergejolak di hatinya, entah mengapa rasa cemburu tiba-tiba hadir.

"Secepat itu?" Kiran keceplosan mengucap kata-kata itu.

"Kamu juga bisa dekat dengan polisi itu. Kenapa aku tidak? Bahkan sebelum  mengenal kamu, aku lebih mengenal Tania."

Ucapan Adit seperti tamparan untuk Kiran sendiri. Selama ini ia hanya memikirkan perasaan sendiri saat bersama Hafidz, tak terlintas sedikitpun memikirkan Adit yang jelas-jelas menaruh hati pada dirinya.


🌷🌷🌷🌷

Siang ini sama seperti kemarin-kemarin, sendiri. Kiran menatap ke arah gerbang kampus yang menjelang tinggi. Setidaknya ia enggan lewat gerbang samping seperti tadi. Takut Haris benar-benar menunggu lagi.

Karena motor sedang dipinjam oleh Bang Iqbal terpaksa hari ini Kiran menggunakan angkot atau taksi. Sayangnya yang berhenti di depan bukan kendaraan tadi melainkan mobil yang pernah ia naiki bersama Adit.

Kiran menahan napas, keputusan untuk lewat gerbang ini ternyata salah besar. Laki-laki itu  sedang berlari ke arahnya. Degup jantung yang sudah tak terelakkan karena detak yang sudah berpacu di atas rata-rata.

"Sudah selesai kuliahnya?" tanya Adit dengan semangat.

"Su—"

"Sudah."

Ucapan Kiran yang lirih bersamaan dengan suara perempuan dari belakang. Ternyata dirinya salah besar, Adit ternyata bertanya bukan pada dirinya. Namun, laki-laki itu sekarang terus berjalan melewati dirinya.

Wajah Kiran memanas, ia sudah salah sangka. Buru-buru ia melangkah cepat  menuju pinggir jalan raya.

"Mau ikut bareng?" tawar Adit dan Tania yang sekarang sudah berdampingan dengan perempuan berkerudung motif polkadot.

Kiran menggeleng lemah.

"Ikut saja tidak apa-apa, daripada nanti diganggu lagi sama Haris. Sepertinya laki-laki itu lagi di seberang jalan," sahut Tania menunjukkan sekelompok orang di depan jalan.

Mau tak mau ia ikut mereka berdua, untung saja Tania memilih duduk di belakang menemani Kiran. Hati perempuan itu sedikit lega karena tak akan melihat dua sejoli itu berdampingan di depan wajahnya. Ternyata Tania terpaksa turun duluan karena rumah tak jauh dari kampus. Sekarang tinggal Kiran sama Adit di dalam mobil. 
Untung saja suara musik di sana mendominasi suasana mobil yang terasa kaku.

https://www.youtube.com/watch?v=s9NoBV_7yVI

Kiran melipat kedua tangannya di depan dada, lagu yang mengalun membuat gelisah. Sepertinya Adit sengaja memutar lagu itu, lagu favoritnya saat mereka naik kereta bersama.

"Aku sudah mencoba mengabaikan perasaan tetapi kenapa kamu belum bisa?" tanya Adit sambil melihat kaca di depan. Ia melihat wajah Kiran yang terlihat cemas.

"Aku biasa saja, kok," elak Kiran dengan suara dibuat-buat.

Adit hanya tertawa lirih.

"Seandainya aku memilih Tania sebagai pengganti kamu, apa kita bisa dekat lagi sebagai teman?" tanya Adit dengan tiba-tiba.


Yuk yang pengin ikutan Pre order Unperfect wedding tapi masih ragu atau bingung pembayarannya bisa japri author 089680710616. Insyaallah saya bisa bantu, masalahnya banyak yang keberatan karena lagi banyak PO yang bersamaan. Ditunggu ya, akhir Pre order Senin besok.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro