🌷 Perseteruan🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Layaknya air hujan yang turun, ia jatuh tak pernah memilih tempat. Sama seperti perasaan karena kita tak bisa memilih kemana cinta itu berlabuh dan menetap~

****
After the Rain by Galuch Fema

Numpang promosi sebelum Pre Order terakhir besok


Yang paket  bundling sama Senandung Hujan langsung ke AE publishing ya ?




Happy reading, jangan lupa vote

Kiran menatap Adit yang tengah menatapnya, tatapan sekarang terlihat sangat berbeda karena di mata itu terpancar rasa kecewa yang mendalam. Apakah karena hubungan dengan dirinya yang sekarang menjauh atau jangan-jangan Adit terpaksa mencintai Tania hanya untuk pelampiasan saja.

"Kamu betul-betul mencintai Tania?" tanya Kiran menemukan kejujuran di balik mata hitam milik Adit.

Adit mengangguk dengan pasti.

Ada rasa kecewa di hati perempuan itu, namun ia berusaha keras untuk tersenyum seolah tak terjadi apa-apa.

"Oke, saat ini kita berteman lagi," ucap Kiran dengan suara dibuat-buat bahagia.

"Teman dengan mengabaikan rasa yang pernah ada," jawab Adit tak mau kalah.

Kiran berusaha menahan rasa terkejut di wajahnya.

"Berarti mulai besok aku bisa antar jemput kamu lagi?" tawar Adit dengan semangat.

"Loh bukannya kamu seharusnya mengantar Tania bukan aku?"

Kiran bingung setengah mati.

"Dia sebentar lagi magang dan jarang masuk kuliah."

"Sepertinya enggak deh, takut dia cemburu?"

"Dia tidak akan cemburu. Justru nanti kamu sendiri yang akan cemburu melihat aku dekat dengan Tania," goda Adit.

"Aish, apaan sih," elak Kiran sambil melempar tatapannya.

Adit tersenyum, ia rindu kata-kata yang diucapkan perempuan itu barusan.

"Aku saja cemburu jika kamu berdekatan dengan Hafidz."

Raut wajah Adit sekarang berubah drastis, gantian laki-laki itu cemburu berat. Apalagi ia kembali teringat jika Kiran pernah mengucapkan jika ia lebih tertarik dengan seorang polisi dibandingkan preman seperti dirinya.

"Aku sama Hafidz tidak ada hubungan apa-apa. Kadang kita ketemu kalau lagi ada kajian saja di Masjid," kilah Kiran sambil berusaha menenangkan hati laki-laki di depan yang wajahnya sudah memerah.

"Enak ya, kalau seiman."

Kiran merasa terpojok dengan ucapan seperti itu. Ia buru-buru mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

"Ini, aku kembalikan."

"Buat kamu saja, jadi kalau kangen bisa pegang atau peluk itu topi," canda Adit membuat Kiran kaget setengah mati.

Bagiamana mungkin Adit bisa tahu jika selama ini benda tersebut menemaninya saat tertidur.

"Enggak ah," sahut Kiran memaksa menyodorkan topi itu kepada Adit.

"Yakin, gak bakalan kangen?" goda Adit sekali lagi membuat perempuan itu merah menahan malu.

"Apaan, sih. Enggak!" seru Kiran sambil memasuki jalan menuju kontrakan.

Adit menahan senyum, hubungannya dengan perempuan tadi sedikit membaik. Pelan-pelan ia bisa mencairkan kembali suasana seperti dulu sebelum masalah itu timbul.

Ia berjalan mendekati mobil sambil bersiul karena bahagia. Tujuan saat ini masih sama, rumah yang selama ini ia tinggalkan. Entah sudah beberapa hari ia tidak pulang ke rumah kecil yang biasa ia tempati bersama Mamah. Apalagi sekarang Mamah memilih tinggal bersama laki-laki itu.

Sesampai di depan rumah,  Adit terkejut ketika melihat sebuah mobil Alphard terparkir di depan rumahnya, apalagi pintu depan terbuka lebar. Dengan hati bertanya-tanya, ia mempercepat masuk ke dalam rumah.

Tatapan Adit terkunci ketika melihat laki-laki yang barusan ada di pikirannya sedang duduk di atas sofa ruang tamu.

"Adit?" sapa laki-laki itu menyambut kedatangan putranya, ia berdiri mendekati pintu masuk.

"Ada urusan apa sampai-sampai Bapak Arya bisa ke tempat ini?" tanya Adit dengan sengit.

Laki-laki yang masih memakai kemeja panjang memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Segitu bencinya Adit pada dirinya.

"Papah sud—"

"Jangan panggil Papah, karena saya tidak sudi memiliki orang tua macam Anda."

Gemuruh dalam dada Adit seakan menabuh genderang peperangan. Seandainya saja di depan adalah musuhnya mungkin ia sudah memukul habis-habisan.

Sementara  Arya hanya bisa terdiam karena ia pantas menerima ini semuanya.

"Bagaimana kabar pacar kamu? Perempuan yang kamu bawa saat resepsi Putri?" tanya laki-laki tua itu mengubah topik pembicaraan. Siapa tahu membahas Kiran, hati putranya sedikit melunak.

"Jangan bawa-bawa perempuan itu ke dalam pembicaraan kita. Saya tidak mau Kiran akan mati seperti Dita karena ulah kamu!" pekik Adit dengan suara yang sudah meninggi.

"Demi Tuhan, Dita meninggal bukan karena Papah," bela Arya pada diri sendiri. Entah sudah berapa ratus kali Adit menuduh dirinya yang menyebabkan Dita meninggal dunia.

"Sekalinya pembunuh tetap pembunuh!" pekik Adit yang sudah sangat emosi.

"Dit, dengarkan Papah?"

Adit menggeleng,  semakin hari ia membenci laki-laki yang mengaku sebagai Papahnya.

"Jika kamu tidak meracuni pikiran Dita untuk meninggalkan saya, pasti Dita tidak akan bunuh diri."

Mata Adit memerah dan berkaca-kaca. Ia kembali teringat peristiwa yang menorehkan sejarah dalam hidupnya. Bagaimana tidak ia menemukan tubuh Dita yang kurus tergeletak begitu saja di dalam kontrakan dengan mulut yang sudah berbusa.

"Dit, Papah saat itu menginginkan jika kamu menemukan perempuan yang layak dan seiman dengan kamu."

"Cihh, perempuan layak? Memang istri simpanan kamu itu perempuan layak hah? Bertahun-tahun menyembunyikan istri simpanan sampai-sampai anak perempuan sialan itu usianya sama dengan Adit. Berapa puluh tahun kamu menyembunyikan ini dari saya dan Mamah?"

Arya semakin terpojok karena ucapannya barusan menjadi bumerang bagi dirinya.

"Dit, Papah sudah minta maaf tapi kenapa kamu tidak pernah bisa memaafkan seperti Mamah?"

"Tak pantas jika saya memaafkan orang macam anda!"

Arya menghela napas panjang. Melunakkan hati putra kesayangannya sama saja menunggu batu itu hancur karena tetesan air hujan.

Adit tidak menyadari jika ada seseorang bersembunyi mendengarkan pembicaraan mereka.

"Kenapa kamu tidak pernah menerima uang yang Papah berikan?" tanya Arya sambil menyerahkan amplop tebal kepada Adit.

"Adit masih bisa cari makan tanpa menunggu belas kasihan dari kamu," jawab Adit dengan sengit.

"Dengan menjadi tukang parkir di jalanan?" Suara Arya meninggi sehingga Adit ikut kembali terpancing emosi.

"Setidaknya itu lebih baik dibandingkan Haris yang kerjanya selalu minta uang dan uang. Kenapa harus malu mempunyai anak yang kerjanya tukang parkir?"

Adit sendiri sudah mendengar desas desus orang-orang atau rekan laki-laki itu yang sering membicarakan dirinya perihal pekerjaan Adit yang hanya sebatas tukang Parkir.

"Cari pekerjaan yang layak. Atau, kalau kamu butuh bengkel nanti Papah akan Carikan. Kamu bisa kerja sambil kuliah."

"Maaf, Adit tidak bisa," jawab Adit dengan sengit.

"ADIT!!" pekik Arya sudah kehilangan kesabaran.

Adit bergeming enggan membalas atau menatap laki-laki itu.

"Mau sampai kapan kamu menurut sama Papah?"

"Kamu tanya sampai kapan? Sampai kamu menceraikan perempuan itu," balas Adit dengan mata yang sudah kembali memerah.

"Dit?" panggil Arya melemah.

"Jangan campuri urusan Adit dengan Kiran. Apalagi melakukan hal yang sama seperti kamu lakukan kepada Dita. Satu hal lagi, ceraikan perempuan lumpuh itu baru Adit kembali berkumpul bersama kalian. Camkan itu!"

Adit melangkah menuju pintu depan, sayangnya ia tidak berpapasan dengan orang yang menguping pembicaraan mereka karena orang tersebut sudah bersembunyi di balik pepohonan di depan.

"Awas kamu, Dit. Sebelum kamu berbuat lebih, aku akan menghancurkan kamu terlebih dahulu. Apalagi titik kelemahan kamu ada pada Kiran," janji seseorang yang merasa tersakiti.

🌷🌷🌷🌷


Kiran termenung sendiri sambil menimang sekotak martabak dari seseorang yang sekarang sedang mendekatinya. Kiran memilih menghindar dengan  mencari alasan,  pura-pura istirahat sehingga laki-laki itu menitipkan makanan ini pada Iffah.

Hatinya merasa tak tenang memikirkan kata-kata Adit saat sore tadi. Begitu mudahnya laki-laki itu mengisi hatinya yang kosong dengan menempatkan Tania menggantikan posisinya.

"Kiran!" panggil seseorang yang tengah berlari terburu-buru mendekatinya.

Mata Kiran langsung tertuju pada Anton yang tampak lelah karena berlari.

"Ada apa malam-malam mencari aku?" tanya Kiran sedikit sewot. Entah mengapa ia tidak bisa sedikit akur dengan laki-laki yang memanggilnya kuntilanak atau nama-nama hantu.

"Adit."

Wajah Kiran berubah, ada apa dengan laki-laki itu? Bukankah tadi sore sepertinya baik-baik saja?

"Adit minum, sepertinya dia sedang ada masalah."

Kiran menghirup napas dalam-dalam, satu hal yang membuat ia benci pada laki-laki itu adalah alkohol sama merokok.

"Tania saja, aku tidak mau," elak Kiran. Ia berpikir jika ada Tania yang lebih berarti untuk Adit dibandingkan dengan dirinya.

"Kamu saja. Cepat, keburu mabuk dia!" perintah Anton.

Perempuan yang sudah memakai piyama tidur langsung berjalan cepat mengikuti Anton. Ia menuju taman samping sebelum masuk ke gang kontrakan yang menuju ke tempat Kiran. Anton memilih menunggu di tepi jalan karena di sana sudah ada Sony dan geng mereka.

Kiran menapaki rumput taman yang sudah mulai tumbuh tinggi karena sudah memasuki musim hujan.

Pandangan Kiran tertuju pada laki-laki yang duduk di bawah lampu taman. Ia tampak menyandar pada  bangku di sana dan membiarkan wajahnya terkena sinar rembulan.

"Adit?" panggil Kiran hati-hati. Ia takut jika laki-laki itu sudah mabuk berat.

Adit tersadar dari lamunannya, membetulkan letak topi yang sedikit menghalangi penglihatannya karena tak menyangka siapa yang datang. Adit lalu menatap teman-teman yang sedang duduk tak jauh dari tempatnya duduk.

"Kamu minum?"

Adit mengangguk membuat Kiran kecewa berat.

"Aku tidak suka laki-laki yang suka minum alkohol," sahut perempuan itu to the poin.

Tangan laki-laki itu mengambil sebuah botol yang ia letakkan di sampingnya. Menyerahkan pada perempuan itu seraya berucap, "Kalau kamu mau minumlah. Belum aku buka, aku tadi minum botol yang satu."

"Ak-aku tidak mau minum alkohol," jawab Kiran panik. Bisa-bisanya Adit menyuruh minum begituan.

Senyum mengembang di bibir Adit.

"Soda bukan alkohol."

Mata Kiran menatap botol yang berada di tangan Adit, benar saja minuman soda bukan alkohol. Kiran mendengus kesal, bisa-bisanya ia kena tipu Anton. Sudah bikin jantungan saja itu orang.

"Anton tadi yang bilang," tukas Kiran dengan wajah kesal.

"Terima kasih ya, kamu sudah peduli sama aku sampai dibela kemari malam-malam."

"Eh, aku—"

Wajah Kiran langsung panik, jangan sampai Adit tahu bagaimana ia buru-buru kemari sampai masih memakai piyama seperti ini.

"Aku tahu jika kamu masih menyimpan perasaan seperti aku kan?" tebak Adit merasa benar.

"Aish, kata siapa?"

"Wajah kamu tak pernah bisa berbohong."

Kiran buru-buru menyembunyikan rasa malu di wajahnya.

"Kata Anton kamu sedang ada masalah?"
Sengaja perempuan itu mengalihkan pembicaraan.

Adit menghirup napas dalam-dalam sebelum mengucapkan sesuatu yang sangat berat.

"Laki-laki itu datang ke rumah."

Kiran terkejut dan penasaran.

"Laki-laki siapa?"

"Suaminya Mamah," sahut Adit dengan berat.

"Pap...."

Kiran tidak jadi meneruskan ucapannya karena Adit tengah menatapnya dengan tatapan tidak suka.

"Apa definisi seorang  Ayah untuk kamu sendiri?" tanya Adit dengan wajah yang sangat serius.

"Abah adalah orang yang berperan sangat penting di lingkungan pesantren dan keluarga. Apapun yang ia ucapkan pasti semua akan mematuhi beliau."

"Termasuk menikah dengan pilihan Abah?" seloroh Adit tak pernah lepas melihat perempuan yang beberapa hari kemarin selalu menghindar.

"Entahlah. Itu baru rencana."

Keduanya kembali diam sambil menikmati langit malam yang bertabur bintang. Untung saja di sekitar mereka sangat ramai, jadi mereka tak berduaan. Kiran sendiri juga duduk memilih paling ujung di kursi taman.

"Untuk kamu sendiri apa definisi seorang Ayah?" Kiran berbalik bertanya.

Cukup lama Adit terdiam sebelum berkata.

"Laki-laki yang sebelumnya pernah membawa kebahagiaan dan juga kebohongan. Sejak orang itu mengatakan menikah lagi dan mempunyai anak, hubungan di keluarga semakin retak.

"Apa hubungan kamu sama Haris dan Putri?"

"Saudara satu Papah."

Kiran tidak cukup terkejut karena ia sudah menduga sebelumnya. Pantas saja mereka saling membenci satu sama lain.

"Aku orang pertama yang akan menghancurkan Haris jika dia berani menyentuh kamu."

"Tidak perlu seperti itu. Insyaallah aku bisa jaga sendiri. Kuliah aku juga sebentar lagi selesai lagian sekarang kan juga ada Tania yang harus kamu jaga."

"Kamu cemburu jika aku bersama Tania?" paksa Adit agar Kiran berterus terang.

"Eh ....."

Wajah Kiran lagi-lagi berubah, untuk kedua kalinya Adit berbicara menyinggung perasaan mereka.

"Katakan saja!"

"Aku menyesal telah masuk ke dalam kehidupan kamu,  jika pada akhirnya harus seperti ini," ungkap  perempuan itu dengan jujur. Ia meremas jemarinya untuk mengurangi efek gugup dan panik.

Adit malah tertawa sehingga Kiran semakin jengkel.

"Kirain aku saja yang terluka ternyata kamu juga ya?" kekeh Adit.

Dalam hati Kiran sangat dongkol, bagaimana mungkin sedang membicarakan masalah perasaan malah bisa-bisanya tertawa seperti itu. Andai saja ia bisa menarik lagi apa yang ia ucapkan barusan.

Terdengar suara tapak berlari mendekati mereka. Adit dan Kiran langsung menatap siapa yang datang. Jelas sekali perempuan karena sekarang sedang duduk di samping Adit sambil memegang lengan laki-laki itu, tak lupa menyandarkan kepalanya tepat di hadapan Kiran.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro