🌷 Sandiwara🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Jika kita berbeda layaknya minyak dan air yang tak bisa menyatu, setidaknya bisa berjalan beringin tanpa saling bersentuhan~

***
After the Rain by Galuch Fema


Happy reading, jangan lupa vote

Mata Kiran tak pernah lepas melihat pemandangan di depan, jujur hatinya sangat sakit walau bibir pernah berucap jika hati akan baik-baik saja. Nyatanya, air mata yang tak bersalah ikut menjadi korban perasaannya.

Perempuan itu mundur perlahan, setidaknya menjauh adalah cara yang terbaik untuk mengobati sesaat dibandingkan menjadi orang ketiga.

"Tap...tap..."

Suara derap langkah sendal Winnie the Pooh beradu di trotoar yang menuju jalan masuk kontrakannya.

"Cemburu!"

Suara seseorang tiba-tiba terdengar di belakang Kiran, namun perempuan itu enggan menengok ke belakang karena matanya yang sudah memerah. Lagian Kiran lebih memilih menghindar karena sering  ketidakcocokan di antara mereka berdua.

"Bilang saja cemburu," ledek laki-laki itu sekali lagi.

Wajah Kiran yang tadi sedih sekarang berubah kesal, ia menatap ke belakang sambil memasang wajah tidak suka.

"Kenapa sih ikutin aku terus? Tidak ada kerjaan yang lain apa? Parkir? Balapan? Tawuran?"

"Kenapa sih kamu tidak suka banget sama aku?"

"Kamu juga sering ledekin aku," jawab Kiran ketus.

"Pakai panggil aku kuntilanak lagi," sambung Kiran sehingga Anton tertawa terbahak-bahak.

"Mau ke mana? Aku antarkan kamu pulang?"

Dengus kesal dari bibir Kiran seraya berucap, " Tinggal lari saja sudah sampai. Pakai di antar segala."

"Disuruh, Bos. Lagian juga aku ogah antar kuntilanak," tukas Anton kembali ke sifat asalnya.

Kiran geregetan, hampir saja sandal bonekanya mengenai wajah sahabatnya Adit kalau laki-laki itu tak berteriak minta tolong.

"Lagian ngapain Adit sampai memikirkan aku pulang pakai di antar segala, bukannya dia lagi mesra-mesraan sama Tania?"

"Entahlah. Aku nurut saja. Tapi kamu cemburu kan?" ledek Anton sekali lagi sehingga Kiran ingin menyumpal mulut laki-laki itu dengan sandal bonekanya.

Kiran lebih baik mempercepat langkahnya dibandingkan harus berdebat dengan orang itu.

"Adit sama Tania sudah dekat lama, apalagi saat cewek Adit masih hidup."

Kiran langsung menghentikan langkahnya. Ia mengingat kembali kata-kata Anton barusan, entah itu cuma candaan atau sebuah kejujuran karena selama ini mereka tak akur jadi Kiran jarang mengobrol dengan Anton.

"Cewek Adit?"

Kiran membalikkan badannya sambil menatap wajah Anton berusaha menemukan kejujuran di sana.

"Cewek Adit namanya Dita. Tania dan Dita itu sahabat dekat."

"Wow, satu riset lagi yang lebih dalam sepertinya akan menarik dalam part cerita yang sedang ia buat."

"Sekarang di mana Dita?" tanya Kiran penasaran. Selama kenal sama Adit, laki-laki identik dengan topi warna gelap tak pernah membicarakan perempuan yang bernama Dita.

"Dita meninggal, ia bunuh diri."

Seketika tubuh Kiran membeku, wajahnya memucat ditambah bulu kuduk yang tiba-tiba berdiri. Belum semilir angin malam menambah horor suasana sekitar. Kiran menggosok telapak tangannya yang sudah keluar keringat dingin.

"Kok bisa?" tanya Kiran sedikit takut.

"Aku tak bisa menceritakannya, biar Adit saja."

Kiran masih dengan tubuhnya yang kaku.

"Adit penuh misteri dan teka-teki."

"Betul apa kata kamu. Ia tak seburuk yang orang lain pikirkan. Banyak yang enggak tahu kalau dia sebenarnya anak orang kaya. Apalagi kamu ya, antusias banget deketin Adit setelah tahu dia kaya."

Kalimat terakhir yang Anton ucapkan membuat Kiran tambah meradang.

"Memang aku cewek matre!" pekik Kiran sambil berlari menuju kontrakannya yang sudah di depan mata.

Sementara di taman tadi, Adit masih bersama perempuan yang tiba-tiba datang karena ia sendiri yang memanggilnya.

"Dit, kasihan itu Kiran," ucap Tania merasa bersalah.

"Tidak apa-apa. Aku jadi tahu perasaan dia yang sebenarnya," kekeh Adit tersenyum lepas.

🌷🌷🌷🌷

Mata Kiran bagaikan mata panda, bukan karena menangis semalam melainkan menyelesaikan proyek menulisnya yang sudah mendekati deadline. Untung saja semuanya hari ini kelar, tinggal edit sebentar, sebelum file dikirim ke panitia lomba.

Baru saja membuka pintu, ia sudah dikejutkan kehadiran Adit yang sudah menunggunya di depan. Sebenarnya ia enggan melihat laki-laki itu namun kenapa hati berkata lain.

"Ada apa?" tanya Kiran dengan malas.

"Antar kamu kuliah? Aku ada kuliah pagi."

"Aku bisa sendiri lagian hari ini mulai jam sembilan," tolak Kiran sambil terus menghadap ke bawah karena Adit terus memperhatikan wajahnya.

"Sudah ayo, cepetan!" paksa Adit sambil meletakkan helm di atas kepala Kiran.

Mau tak mau Kiran menurut saja, daripada harus bertemu dengan Haris lagi.

Jalanan yang lengang membuat mereka tiba secepatnya di gerbang samping. Dengan buru-buru, Adit mengambil helm di tangan Kiran seraya berucap, "Nanti pulang aku jemput."

Sepeninggal motor Adit, Kiran melangkah menuju di mana ia akan mencari tempat untuk duduk sambil mengerjakan kembali naskahnya. Waktu masih satu jam lebih sebelum mata kuliah pertamanya.

"Hey, kita ketemu lagi," sapa seseorang yang sekarang suaranya sedikit familiar di telinga Kiran.

Perempuan kerudung itu enggan membuka laptop yang sudah di atas  meja kantin. Ia hanya membalas dengan sebuah senyuman saja karena masih kembali teringat ketika perempuan di samping sudah menggeser posisinya di hati Adit.

"Lagi ngapain?" tanyanya dengan sopan.

"Iseng-iseng buka tugas soalnya jam kuliah masih lama karena tadi Adit...."

Kiran menghentikan ucapannya, bukankah kemarin Adit bilang kalau Tania sekarang jarang ke kampus karena mau magang, buktinya sekarang ia sudah sampai di kampus. Kapan Adit mengantar Tania ke kampus? Bukankah seharusnya Adit mengantar Tania bukan dirinya?

"Adit yang mengantar kamu ke sini?" tebak Tania seperti tak ada rasa cemburu di wajahnya.

"Maaf kalau kamu keberatan. Besok aku berangkat sendiri saja," tukas Kiran merasa tak enak.

"Tidak apa-apa. Justru aku yang mau minta maaf sama kamu," ucap perempuan itu sambil mengibaskan rambut panjangnya.

"Minta maaf untuk masalah apa?"

Kiran semakin tak mengerti apa yang diucapkan oleh Tania. Pelan-pelan Tania membeberkan semua yang telah direncanakan bersama Adit.

Sekarang, Kiran terpaku, tak menyangka jika Adit berbuat seperti itu. Perasaan Kiran sedikit lega tetapi terselip juga rasa jengkel karena laki-laki itu sudah membohongi dirinya.

🌷🌷🌷🌷


Waktu yang dinanti tiba juga, mata Kiran menatap laki-laki di atas motor yang tengah tersenyum ke arahnya. Mata Kiran enggan menatap balik karena takut terbius pesona laki-laki bertopi warna gelap itu.

"Tumben pendiam? Lagi ada masalah di kampus?"

Kiran menggeleng lemah, harusnya ia senang karena karyanya yang sudah ia tulis sejak mengenal Adit, barusan ia setor kepada panitia event.

"Haris yang menggangu kamu lagi?" tukas Adit dengan memasang wajah tidak suka.

Lagi-lagi perempuan itu menggeleng sehingga Adit semakin bingung.

"Ada yang usil atau menjahili kamu?"

Kiran menatap Adit dengan intens kemudian ia mengangguk. Laki-laki itu lalu meradang karena otot sudah tercetak jelas di tangan Adit seperti hendak menikam musuh di depan.

"Cepat katakan. Mumpung aku di sini!"

Kiran masih mengamati laki-laki di depan yang sudah bersiap menerkam mangsanya.

"Yakin kamu mau membalas orang yang sudah jelas-jelas membohongi aku?" tantang Kiran merasa tak yakin.

"Pasti. Aku paling tidak suka ada yang jahat atau berani menyentuh kamu."

"Mau ketemu orangnya saat ini juga?"

Adit mengangguk dengan pasti karena akan menghabisi orang itu.

"Orangnya sekarang berdiri di depan aku," tukas Kiran dengan singkat. Tatapan mata Kiran menangkap gelagat Adit yang sekarang terkejut dan syok.

"Maksud kamu, orang itu a-aku?" tanya Adit tak yakin jika dirinya sekarang berubah menjadi tersangka.

Kiran mengangguk dengan mantap.

"Memang aku ngapain sama kamu?"

Adit sepertinya belum sadar dengan kesalahannya.

"Pikir saja sendiri," ucap Kiran sambil menjauh.

Sayangnya, Adit berhasil merebut tas yang dipeluk perempuan itu. Itu trik Adit mencoba menghentikan Kiran yang pergi begitu saja karena ia tak berani menyentuh perempuan itu.

"Hey, aku tak suka tebak-tebakan. Cepat beritahu apa kesalahannya aku?"

Adit merasa tak sabar, apalagi tangan di depan sudah mendekat ke arahnya mencoba mengambil tas yang sekarang ada di tangannya.

"Yakin?  Setelah nanti tahu, mau meminta maaf?"

"Iya, cepat katakan. Jangankan meminta maaf, meminta hati kamu saja akan aku lakukan."

"Aish!"

Wajah Kiran yang ada sekarang bersemu merah.

"Cepat katakan!" paksa Adit selalu tak sabar.

Kiran langsung memasang wajah seriusnya.

"Tania sudah mengatakan semuanya."

Wajah Adit tampak biasa saja, sama sekali tak ada rasa terkejut di sana.

"Masalah apa?"

Kiran semakin geregetan dengan laki-laki macam Adit.

"Masalah hubungan kamu sama Tania."

"Terus kenapa? Ada masalah sama kamu?"

Kiran semakin geregetan, sekarang ia gantian yang emosi menghadapi laki-laki di depan.

"Aku tak suka dibohongi," seloroh Kiran dengan wajah cemberutnya.

Adit hanya bisa menahan senyum.

"Aku lebih baik berbohong asal bisa dekat dengan kamu."

Jawaban yang tak disangka keluar dari bibir Adit.

"Kenapa kamu malah bilang seperti itu?"

"Kamu selalu menghindar saat mengetahui kenyataan kalau kita beda. Bahkan untuk sekedar menjadi teman, kamu tetap menolaknya."

Suasana menjadi tegang, apalagi saat keduanya memilih diam sambil merenungi apa yang sudah terjadi sebelumnya. Perbedaan yang sangat tinggi ditambah Kiran yang memilih jarak agar mereka tak bisa dekat lagi.

"Terpaksa aku meminta bantuan Tania untuk pura-pura menjadi pacar aku supaya kita bisa dekat lagi seperti dulu," sambung Adit membuat Kiran menatap laki-laki di depan.

"Dari situ aku tahu, jika kita bisa dekat kembali  ketika aku sudah bersama orang lain. Sayangnya, kamu sendiri yang sekarang cemburu melihat aku sama Tania," goda Adit.

"Cemburu apaan? Enggak kok," kilah Kiran menutupi rasa terkejut di wajahnya.

"Tak usah berbohong. Tanpa kamu menjelaskan, aku sudah tahu semuanya."

Kiran terpekur kaget, ia tak berani menatap wajah yang sedang menatap ke arahnya.

"Kiran?" panggil Adit sambil melangkah maju.

Kiran sendiri bergeming, jujur ini yang ia takutkan ketika Adit sudah berbicara masalah perasaan.

"Tatap mata aku sekejap saja."

Dengan perasaan takut dan denyut jantung yang sudah lari Maraton, Kiran pelan-pelan menengadah melihat wajah itu.

"Bagus jika kamu tahu apa yang sudah terjadi. Saat ini aku cuma minta satu hal. Jangan pergi menjauh, tetaplah di samping aku, walaupun hanya sebatas teman karena cuman ini saja yang membuat kita bisa bersama. Aku tahu ini sangat berat karena kita akan berperang dengan hati masing-masing agar rasa cinta itu tak lagi muncul di antara kita. Apa kamu mau lagi seperti dulu sebelum aku jujur berterus terang tentang siapa aku sebenarnya?"

Kiran terdiam, ada beban yang sangat berat dalam hatinya. Akhirnya Kiran terpaksa mengangguk tetapi enggan melihat laki-laki itu.

"Bantu aku melewati ini semua karena ini terasa sangat berat," ucap Kiran sangat lirih.

"Tanpa kamu minta, aku akan melakukannya. Terus berada di samping kamu seperti bayangan yang tak bisa lepas."

Kiran mengangguk dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya karena ini semua adalah rencana Tuhan. Bisa saja kita dapat bersatu atau tiba-tiba bisa berpisah secepatnya."

Kalimat Adit terakhir membuat Kiran tersentak, entah kenapa kata-kata itu terasa sangat menusuk hatinya. Apa iya nantinya akan berpisah secepatnya dengan laki-laki itu?

"Kenapa kamu bicara seperti itu?" protes Kiran merasa tak suka.

"Kita tidak pernah tahu rahasia yang di atas."

Jawaban Adit ada benarnya juga karena jodoh, rezeki dan maut sudah di atur.

"Kamu tenang saja, aku akan tetap menjaga jarak agar kita bisa bersama tanpa saling bersentuhan. Aku paham kok, apalagi kamu putri dari pemilik pesantren."

Senyum mengembang di bibir Kiran, sekarang hatinya sedikit lega daripada kemarin-kemarin yang terpaksa menghindari Adit tetapi yang ada pikirannya semakin kacau.

"Dit, boleh tahu siapa itu Dita?" pancing Kiran agar Adit berterus terang.

Mata hitam Adit terbelalak kaget, ia paling sensitif jika ada yang mengorek kembali masa lalunya.

"Siapa yang memberi tahu tentang Dita? Tania? Awas saja nanti itu anak!" sungut Adit wajahnya berubah kesal.

"Eh, bukan Tania?"

"Siapa? Anton pastinya."

Kiran hanya tersenyum, semoga saja mereka tidak adu jotos satu sama lain.

"Dita. Adit. Nama kalian cocok banget ya?" goda Kiran membuat Adit semakin panas.

"Cocok belum tentu jodoh. Siapa tahu malah nantinya kamu yang jadi jodoh aku," sahut Adit meledek Kiran yang sudah malu setengah mati.

"Pulang sekarang!" perintah Kiran sambil menutup kaca helmnya agar Adit tidak tahu jika wajah Kiran sudah kembali lagi memerah.

Motor yang dinaiki mereka berdua melaju menuju kontrakan Kiran. Hati mereka berdua sekarang sedikit tenang dibandingkan kemarin-kemarin.

"Nih, helmnya," ucap Kiran sambil buru-buru hendak pergi.

"Yakin mau aku antar sampai sini saja?"

Ada rasa tidak enak terbesit di hati Adit ketika harus menurunkan Kiran di jalan masuk yang menuju kontrakan.

"Iya, enggak apa-apa. Aku pergi dulu."

Adit menatap perempuan itu yang berjalan menjauh memasuki jalanan yang terasa tampak sepi. Ia lalu melajukan motornya untuk segera menemui Tania karena sudah membantu dirinya. Baru beberapa meter, Adit menghentikan motornya tiba-tiba.

"Cokelat untuk Kiran!"

Adit kembali lagi menuju jalan tadi, sayangnya ia melihat kejadian tidak menyenangkan. Di depan mata sendiri, ia melihat Kiran setengah dipaksa masuk ke dalam mobil oleh seseorang yang tak ia kenal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro