🌷Hilang tanpa jejak🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Apa betul kita akan ditakdirkan bersama? Bukan meragukan tetapi hanya memastikan. Aku tak rela jika nantinya berjalan tak sesuai impian~

***
After the Rain by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

"Kiran!"

Suara yang seharusnya lantang keluar dari bibir laki-laki itu hanya berhenti di bibir saja. Dengan kedua matanya sendiri dari kejauhan, ia melihat dua laki-laki sedang menarik paksa untuk masuk ke dalam mobil yang sekarang melaju dengan cepat.

Adit seperti merasa mimpi buruk itu datang kedua kalinya. Sial! Motor yang ia tumpangi tiba-tiba mati karena mesin tak bisa menyala.

Ia langsung bergegas berlari walaupun itu hal yang mustahil karena mobil itu sudah berada di titik ujung jalan.

Dengan tergesa-gesa ia menghubungi sahabatnya lewat ponselnya.

"Kiran di culik!"

Ia lalu memasukkan gawai tersebut dan kembali menuju motornya. Dengan buru-buru mencoba lagi menyalakan mesin motor yang tiba-tiba mati mendadak.

"Tolong aku, Tuhan," lirih Adit dengan tangan yang sudah terasa kaku. Entah mengapa sudah beberapa hari ini ia mimpi buruk tentang perempuan itu dan sekarang akhirnya terjadi juga.

Suasana jalan yang lengang tak seperti biasanya memudahkan orang-orang jahat itu pergi tanpa meninggalkan jejak.

Deru motor yang sangat keras menghampiri Adit.
Laki-laki itu langsung turun sambil mendekati Anton dan Sony.

"Son, bawa motor aku yang mogok. Aku sama Anton akan cari Kiran. Kalian siap-siap jika nantinya aku butuh bantuan!" perintah Adit dengan wajah yang sudah sangat tegang.

Sony hanya bisa mengangguk, ia sangat paham jika Adit tengah panik apalagi menyangkut seseorang yang bernama Kiran.

Motor Anton melaju sesuai arahan Adit, mengelilingi jalan yang berhubungan dengan jalanan depan kontrakan Kiran.

Hampir dua jam di jalan yang ada tak menemukan apa yang mereka cari. Hampir saja Anton menyerah tetapi tidak dengan Adit.

"Kamu tidak lihat para penculik itu seperti apa?" tanya Anton pada Adit yang sekarang mereka sudah berada di depan supermarket tempat mereka mangkal.

Adit menggeleng.

"Jelas itu bukan Haris atau musuh kita yang lain?"

"Aku gak begitu paham."

Adit meremas rambut di kepalanya dengan sangat keras berharap ia bangun dari mimpi buruknya. Ia tak bisa membayangkan jika orang-orang tersebut sampai melukai Kiran. Ia sendiri saja sangat menjaga perempuan itu bahkan sama sekali tak berani menyentuhnya.

"Mobil yang mereka tumpangi apa?"

Mata Adit terbelalak karena ia baru mengingat jika mobil yang digunakan para penculik itu Alphard warna hitam sama seperti yang ia lihat saat di halaman depan rumahnya di kompleks.

Adit seketika langsung berdiri dengan wajah yang memerah.

"Arya!" pekik Adit dengan keras.

"APA!!" teriak teman-teman karena mereka juga sangat kaget.

"Arya—papah kamu?" tanya Anton dengan syok. Ia tak bisa membayangkan jika papah Adit dalang penculikan ini semua. Peristiwa yang lalu saja saat Adit bersama Dita masih melekat di ingatannya.

"Dia bukan papah aku!" sungut Adit dengan keras. Ia paling tidak suka jika laki-laki itu dikaitkan dengan dirinya.

Adit langsung bergegas pergi menggunakan motor milik Anton. Sebelum menuju ke suatu tempat, lebih baik ia menuju ke kontrakan Kiran siapa tahu ada mukjizat di sana.

Dengan tangan gemetar, ia mengetuk pintu yang tumben terbuka padahal hari sudah larut malam.

Baru membuka suara, tiba-tiba teman Kiran sudah keluar dengan wajah yang sangat panik.

"Dit, Kiran tumben larut malam begini kok belum pulang ya? Ponsel juga tidak aktif lagi?"

Wajah Iffah tampak panik dan bingung. Baru kali ini sahabatnya pergi sampai larut malam sama sekali tak memberi kabar.

Jantung Adit seakan berhenti berdetak, jika ia disuruh memilih mending perempuan itu ada tetapi mereka berjauhan dibandingkan berjauhan tapi tidak tahu keberadaannya.

Adit mengamati wajah di depan yang hampir menitikkan air mata.

"Aku cari dulu. Semoga saja ketemu. Kalau ada apa-apa telepon aku!" perintah Adit sambil mengerahkan secarik kertas yang berisi nomor telepon miliknya.

"Aku juga mau cari sama Bang Ikbal."

Adit mengangguk pasrah. Wajah Kiran kembali melintas di pikirannya. Baru siang tadi mereka berjanji bersama dan berdamai dengan perbedaan, sekarang mereka sudah diputuskan untuk berpisah dengan ketidak pastian.

"Dit, apa kita minta bantuan Hafidz? Polisi itu?" saran Iffah pada Adit. Perempuan itu bisa mengamati wajah Adit yang tampak sedikit terkejut mendengar nama rival Adit yang sama-sama berjuang mendapatkan sahabatnya.

"Tidak usah, aku minta bantuan teman-teman saja."

"Baiklah. Tapi kamu janji ya Kiran harus segera diketemukan. Soalnya kalau ponsel Kiran tidak aktif, abangnya di Solo sering menelepon melalui ponsel aku."

Adit kembali mengangguk sambil berpamitan untuk pergi. Dengan pikiran yang masih rumit, kedua mata Adit menelusuri pinggir jalanan, siapa tahu ia bisa menemukan Kiran.

"Kamu di mana?"  bisik Adit lirih.

Kejadian seperti ini yang Adit takutkan selama ini, harus kehilangan orang yang ia cintai. Jangan sampai nasib Kiran berakhir seperti Dita. Laki-laki itu melajukan motornya menuju tempat yang selama ini ia tinggalkan.

Jujur kalau tidak ada kejadian seperti ini, ia enggan untuk melangkahkan kakinya kembali ke rumah milik Arya. Adit menarik napas dalam-dalam ketika sudah berada di depan gerbang.

Seorang laki-laki paruh baya lengkap dengan pakaian tugasnya segera membuka pintu dan memberikan salam pada anak majikannya.

"Arya ada?" tanya Adit dengan mata yang sudah memerah.

"Tu-tuan Arya ada," jawab satpam tersebut dengan gugup. Sepertinya ia sudah menangkap jika nanti akan ada kejadian di luar batas jika kedua orang itu bertemu setelah sekian lama.

Adit buru-buru berlari, waktunya sangat berarti karena ia tidak mau jika Kiran kenapa-napa.

Suara pintu sengaja Adit dobrak sehingga menimbulkan suara yang sangat keras. Sementara satpam tersebut ikut berlari memasuki ruang utama di depan.

Orang yang pertama kali Adit temui adalah perempuan paruh baya yang meninggalkan dirinya karena lebih memilih kembali kepada Arya.

"DI MANA ARYA!!"

Suara Adit menggelegar karena nadanya yang sangat tinggi dan menggema di ruangan yang cukup luas ini.

"Ada apa, Dit? Kenapa kamu cari papah? Apa ada masalah?" tanya Mamah kebingungan karena tidak mungkin ada sesuatu yang sangat serius jika anak itu mencari ayah kandungnya.

"ARYA MANA!" pekik Adit sekali lagi seperti orang kesurupan.

"Dit, tahan emosi, dia papah kamu!" gertak Mamah tak mau kalah. Ia sudah tak tahan melihat anak kandungnya yang selalu membenci suaminya.

"ARYA! ARYA!" pekik Adit sambil mengitari ruangan ini. Ia berteriak dengan sangat keras berharap orang yang ia cari segera menampakkan diri.

"ARYA!"

"Adit, kecilkan suara kamu. Tante Ria sedang istirahat!"

Mamah memperingatkan putranya agar mengecilkan suaranya.

"Persetan dengan perempuan yang sukanya merebut suami orang!" sahut Adit tak mau kalah. Di matanya sudah terpancar kebencian yang teramat sangat.

Suara derap langkah kaki menuruni tangga utama yang menghubungkan ruangan ini dengan lantai dua. Laki-laki paruh baya yang sudah memakai piyama tidur menuruni tangga karena mendengar suara ribut-ribut di lantai bawah.

Dengan langkah seribu, Adit langsung menghampiri laki-laki itu dengan tangan terkepal kuat siap menghantam wajah Arya. Tak lupa salah satu tangan Adit mencengkeram kerah piyama dengan sangat kencang.

Mamah berteriak kencang memperingatkan agar putranya tidak menyakiti Arya.

"ADIT!!" pekik Mamah yang sudah berurai air mata.

Satpam tersebut langsung segera menarik anak majikan agar menjauh dari atasannya. Dengan tenaga yang kuat, satpam tersebut berhasil melepaskan tangan Adit di kerah majikannya.

Arya tampak terengah-engah karena tak siap menghadapi serangan putranya.

"Di MANA KAMU SEMBUNYIKAN KIRAN!" pekik Adit dengan wajah yang memerah. Jika ia tak ditahan oleh satpam mungkin saja kepalan tangan yang tadi sudah beberapa centi sudah mendarat di wajah laki-laki itu.

Semua yang ada di ruangan itu sangat terkejut.

"Kiran?"

Adit semakin panas dan emosi.

"Tidak usah sandiwara. Kamu yang menculik Kiran kan?"

Adit memberontak hendak melepas cengkeraman satpam di belakangnya yang masih melingkarkan kedua tangannya menahan dirinya.

"Demi Tuhan, Papah tidak tahu," jawab Arya dengan bingung.

"Sekalinya pembunuh ditambah pembohong pula!" Adit tidak bisa mengontrol emosinya.

"ADIT JAGA UCAPAN KAMU!" gertak Mamah karena ikut terbawa emosi.

"Memang apa yang terjadi dengan Kiran? Cepat katakan siapa tahu kami bisa membantu?" sambung Mamah berusaha menengahi Adit yang sudah naik pitam.

"Adit tidak butuh bantuan kalian. Tinggal bilang keberadaan Kiran di mana, nanti Adit akan cari sendiri."

"Kiran di culik?" tanya Mamah tak percaya.

"Ya, Kiran diculik. Sama seperti kejadian Dita waktu lalu yang terpaksa dibawa pergi oleh orang suruhan suami kamu!"

Adit menuding telunjuknya di depan wajah Mamah.

Perempuan paruh baya itu sangat syok mendengar ucapan Adit. Ia lalu menatap Arya yang tengah kebingungan seperti dirinya. Gelengan lemah laki-laki itu mengisyaratkan jika dirinya tak melakukan itu. Namun, sepertinya sia-sia karena anak muda di depannya tak pernah percaya selepas meninggalkan rumah ini yang dulunya penuh cinta dan kasih sayang sebelum badai itu datang.

"Tidak perlu mencari alasan, Tuan Arya. Dengan mata kepala saya sendiri jika mobil Alphard hitam milik Anda yang membawa Kiran itu pergi."

Arya terbelalak kaget, mobil hitam itu memang miliknya tetapi sekarang sedang dipinjam orang lain.

"Mobil itu sedang dibawa pergi oleh seseorang," ucap Arya membela diri.

"Betul. Orang suruhan kamu yang sengaja memisahkan saya dengan Kiran."

Arya menggeleng cepat, entah dengan kata-kata apa lagi putranya percaya pada dirinya.

"Mobil sedang dipakai Haris pergi."

Semua mata memandang pada laki-laki tua itu. Termasuk Adit yang sekarang menatap tajam penuh amarah. Entah mengapa orang-orang baru yang hadir dalam hidupnya terus mengusik urusan pribadinya termasuk memisahkan dengan Kiran.

"MANA HARIS SEKARANG!!"

Suara Adit menggema kembali di ruangan ini, suasana semakin tegang. Tuduhan Adit pada laki-laki brengsek itu terjawab sudah.

"Papah tidak tahu."

"TELEPON SEKARANG!!" perintah Adit menyuruh Arya  untuk segera menghubungi saudara tirinya.

Dengan gerakan cepat, Arya mengambil Smartphone di atas meja tamu. Mengutak-atik ponselnya untuk segera menghubungi seseorang. Namun, sepertinya tidak berhasil karena tak ada jawaban dari seberang.

"Tidak aktif."

Dua kata yang membuat Adit hampir menyerah, entah dengan cara apalagi ia bisa menemukan Kiran apalagi sekarang sudah larut malam.

"Adit akan terus mencari dan kamu harus segera menghubungi anak sialan itu. Jika nanti tidak ketemu, Adit akan memasrahkan pada polisi!" ancam Adit membuat kedua orang di sana sangat terkejut.

"Jangan. Tante mohon."

Suara perempuan lirih datang memasuki ruangan ini. Adit sangat muak melihat perempuan yang masuk ke dalam kehidupan orang tuanya.

Laki-laki itu memilih pergi sama sekali tak menatap ibu kandung Haris yang sekarang hidupnya selalu di atas kursi roda.


🌷🌷🌷🌷

Malam semakin larut, orang-orang sudah berakhir di peraduannya. Hanya beberapa gelintir saja yang masih terlihat dikarenakan masih mencari rupiah.

Sama seperti Adit yang sudah berkeliling mencari Kiran kemana-mana, bahkan sudah memperlihatkan foto perempuan berkerudung itu kepada siapa saja yang ia temui tetapi sama saja nihil.

"Kamu di mana?" bisik Adit lirih dengan mata yang terus menatap ke depan.  Ponselnya sudah seringkali berdering yang tak lain dari Iffah tetapi Adit sengaja membiarkan karena ia sendiri belum menemukan.

Mata sedikit kabur karena lelah yang sudah berada di puncaknya, hampir saja ia menabrak motor yang tiba-tiba melintas, untung saja ia bisa mengerem mendadak.

Adit cukup terkejut melihat siapa yang ia tabrak karena mereka sering bertemu tanpa saling mengenal satu sama lain.

"Habis mabuk? Tawuran? Apa trek-trekan?" sapa laki-laki itu yang masih di atas motornya.

Adit bergeming tak membalas tuduhan laki-laki itu. Sekarang ia mendengar suara mesin motor di depan dihidupkan kembali karena akan segera jalan.

"Bang?" panggil Adit dengan suara sangat berat. Jika tidak dalam kondisi kepepet seperti ini, ia enggan meminta bantuan pada laki-laki di depan.

"Ada apa?" tanya laki-laki itu dengan nada tak bersahabat.

Adit langsung menceritakan semuanya lalu mereka berdua mencari Kiran dengan jalan yang berbeda.


🌷🌷🌷🌷

Wajah kusut dan lelah menghias wajah Adit. Pagi ini datang lagi ke rumah itu dengan putus asa. Pencarian dia dan rivalnya tak membuahkan hasil.

"BRAK!!!"

Pintu depan sengaja ia tendang dengan kuat. Ketiga orang yang sedang berkumpul di ruang tamu langsung menatap kehadirannya.

"Adit, bagaimana Kiran?" tanya Mamah sangat khawatir. Adit bisa menebak jika perempuan itu sama sekali tak istirahat terlihat dari lingkaran hitam di kelopak matanya.

"CEPAT TELEPON LAKI-LAKI BRENGSEK ITU!!" perintah Adit pada papahnya.

Arya langsung melakukan apa yang diperintahkan putranya dengan perasaan cemas dan takut.

"Haris mengangkat Videocall papah!" pekik Arya.

Adit langsung merebut ponsel di tangan Arya, ia melihat laki-laki yang ia cari seperti di dalam rumah kosong dan sedikit gelap.

"DIMANA KIRAN?" Adit kembali terbawa emosi ketika melihat kepala laki-laki itu tengah tersenyum tanpa bersalah. Jika sudah ada di hadapannya mungkin akan ia pukul habis-habisan.

"Kenapa? Kamu mencari kekasih kamu?" tanya dari seberang dengan suara gelak tawa yang menjijikkan.

Adit berpikir keras bagaimana agar laki-laki itu memberikan keterangan dimana Kiran berada. Mata Adit menatap sebuah benda yang terletak di atas piring yang berisi buah-buahan.

Dengan gerakan cepat dan ponsel masih di tangannya, Adit segera mengambil sebilah pisau kemudian ia dekatkan pada leher perempuan di atas kursi roda.

"CEPAT KATAKAN DIMANA KIRAN! JIKA KAMU MENYAKITINYA TAK SEGAN-SEGAN PISAU INI MENEMBUS IBU KANDUNG KAMU!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro