03

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku dan Morgan mengikuti pak Azel dari belakang. Beberapa kali pak Azel memperingati kalau ada sesuatu seperti akar atau ranting yang tertutupi dan juga untuk memperhatikan langkah kami. Baru beberapa menit rasanya nafasku sudah panjang-pendek, sedangkan Morgan terlihat sangat bahagia. Jadi aku abaikan saja, sampai akhirnya kami sampai di sebuah tempat yang di tengahnya terdapat tanah kosong yang tidak begitu lebar.

"Ini tempat apa?" tanya Morgan sedangkan aku melihat-lihat di sekeliling.

"Ini adalah tempat pohon merah itu sebelumnya berada."

"Kenapa bapak tahu tujuan kami?" tanya Morgan yang membuatku bingung. Jadi, Morgan belum cerita?

Terlihat ekspresi pak Azel yang panik. "Karena ... banyak orang yang datang ke sini untuk melihat pohon merah itu," kata pak Azel yang menurutku terlalu jelas bahwa ia menutupi sesuatu.

Banyak orang yang datang? Hm....

Keadaan hening sejenak sebelum akhirnya Morgan kembali berbicara. "Apa benar ini tempat pohon merah itu?" tanya Morgan yang mulai berjalan perlahan mendekati tengah-tengah bagian yang kosong.

"Itu benar." Ekpresi pak Azel menjadi lebih santai. "Saat itu ada pohon merah yang berdiri tegak di sini. Entah dari kapan pohon itu sudah tidak ada," jelas pak Azel.

"Apa bisa bisa diperkirakan berapa lama? Apa sebelum kejadian saat berita mengenai desa sebelah disiarkan?" tanya Morgan dengan ekspresi serius.

"Wah, kejaidan itu masuk berita?" tanya pak Azel lalu tertawa pelan. "Siapa yang memberitahukannya? Apakah ia adalah anak kecil?" tanya pak Azel yang tertawa lebar.

"Tidak, melainkan seorang yang bernama Ridho," kata Morgan yang membuat senyuman lebar pak Azel menghilang perlahan.

"Ridho .... " suara pak Azel sangat pelan dan aku bisa mendengarnya menggeram saat memanggil nama itu.

"Apakah anda mengenalnya?" tanya Morgan. Mulai ni anak keponya gede.

"Begitulah, aku hanya sekedar mengenal namanya saja," kata pak Azel acuh. Sedikit aneh jika mengenalnya tetapi memanggil nama itu dengan penuh geraman.

"Lalu bagaimana dengan anak yang tadi bapak jelaskan?" tanya morgan yang sudah mirip seperti detektif yang sedang mewawancara.

"Haha, abaikan saja. Anak itu pasti lupa mengenai tempat ini," kata pak Azel dengan senyuman lebar.

Aku terdiam melihat pak Azel sebelum akhirnya kembali melihat ke depan. "Morgan, coba liat ini," panggilku.

Morgan berjalan mendekatiku. Mataku tetap melihat sebuah objek yang akan membuatnya berteriak. "Akar Merah!!" Inilah yang kita cari!!" seru Morgan ceria.

Tuhkan, dia teriak.

Morgan langsung berdiri. "Kita hanya perlu mengikuti akar merah ini! Dengan begitu-"

"Maaf, tetapi aku pikir itu bukan ide yang bagus," potong pak Azel. "Pertama, langit sudah mulai gelap dan itu bukan pertanda bagus. Lalu yang kedua, arah itu adalah arah hutan yang lebih dalam lagi, aku tidak bisa menemani kalian sampai ke dalam sana," jelas pak Azel.

Aku hampir terbahak melihat Morgan yang mirip anjing yang gagal main keluar.

"Kelau begitu ... masa penyelidikan berhenti sampai di sini?" tanya Morgan sedih.

"Kamu benar-benar tidak bisa menyembunyikan ekspresimu ya," kataku yang menahan tawa.

"Habisnya! Aku sudah penasaran dari awal aku melihat berita itu! Aku sudah kasih tau'kan?!" seru Morgan.

"Iya-iya."

"Bagaimana kalau kalian kembali menyelidiki desa itu lagi? Mungkin kalian bisa mendapatkan sesuatu, atau kalian bisa bertanya kepada kami semua," tawar pak Azel dengan senyuman.

"Baiklah, aku rasa itu bukan ide yang buruk," kata Morgan yang masih terdengar lemas.

Setelah itu kami bertiga kembali ke tempat pemukiman sebelumnya. Sesampai kami di sana ternyata langit sudah gelap. Pak Azel langsung kembali ke penginapan sedangkan aku dan Morgan memilih untuk mengisi perut kami sebelum akhirnya kembali ke kamar. Sesampai di kamar aku memilih untuk langsung menuju ke kamar mandi.

Setelah dari kamar mandi aku duduk sejenak, memikirkan apa yang telah terjadi. Sebelum aku mulai mengumpulkan pikiran, ada suara ketukan dari pintu kamarku. Aku berjalan ke pintu dan menemukan Morgan di sana.

"Mau ke kamarku? Ada yang ingin aku bahas," kata Morgan setengah berbisik.

"Kenapa harus ke kamarmu? Ini di depan kamarku loh," kataku yang entah mengapa seru menjahilinya.

"Katanya tidak sopan kalau sampai aku masuk ke kamar gadis, jadi aku mengajakmu ke kamarku aja. Lagi pula ada beberapa data di kamarku kalau kamu mau liat," jelas Morgan.

"Okelah, ada cemilan tidak?" Morgan menggeleng. "Kalau begitu aku ambil cemilanku dulu," kataku sebelum kembali masuk.

Ternyata Morgan masih menungguku di depan pintu kamarku dan kami masuk ke dalam kamar Morgan Bersama-sama. Morgan langsung menunjukkan koran yang memuat berita dan poin yang ia dapat di berita dan penjelasan ayahnya.

"Niat banget ya," kataku sambil melihat buku kecilnya. Banyak catatan yang berisikan rasa penasaran Morgan di buku ini.

"Tentu saja! Ini adalah berita yang pertama kali belum bisa ayah selesaikan, jadi aku ingin membuktikan kalau aku bisa menjadi detektif sehebat dia!" seru Morgan.

"Tidakkah merasa salah jurusan?" tanyaku, mengingat ia mengambil jurusan keuangan.

"Diamlah," kata Morgan kesal.

Aku tertawa pelan. "Lalu apa yang ingin dibahas?" tanyaku sambil membuka bungkus cemilan.

"Ada beberapa hal mengenai orang-orang di sini yang membuatku curiga," kata Morgan yang duduk di kursi, bersebrangan dengan kasur yang aku duduki.

"Curiga mengenenai?"

"Banyak hal." Morgan terdiam sejenak. "Padahal mereka terlihat sangat baik tetapi entah mengapa lama-lama rasanya menjadi sangat aneh," kata Morgan yang menatap lantai dengan serius.

"Apa tadi pagi kamu benar-benar tidak mengatakan mengenai tujuan kita?" tanyaku.

Morgan menggeleng. "Aku hanya sempat berbincang sedikit. Katanya mereka cukup lama tinggal di tempat ini dan mereka mengenal satu sama lain karena orang-orang di sini tidak begitu banyak."

"Tetapi selama apa sampai-sampai mereka tidak tahu bahwa desa yang hanya beberapa langkah dari sini sudah masuk berita?" tanyaku sebelum kembali meraih cemilan.

"Itu yang membuatku bingung!" seru Morgan. "Tidakkah mereka setidaknya terkena sedikit dampak dari akar-akar merah itu? Tetapi kalau yang aku lihat di sini sama sekali tidak terkena dampaknya. Boleh aku minta?" tanya Morgan sambil berdiri.

"Ambilah," kataku sambil menyodorkan bungkus cemilan.

"Lalu mengenai pak Ridho sebagai narasumber dari berita ini. Sepertinya pak Azel mengetahui sesuatu," kata Morgan yang kembali duduk. Matanya melirik ke arah koran lama yang ia bawa.

"Aku setuju, tidak ada yang akan memanggil nama orang yang tidak kita ketahui sambil menggeram begitu," kataku dengan anggukan. "Selain itu apakah orang-orang biasa boleh datang ke sini?"

"Tidak, harus ada persetujuan yang ketat. Kita saja bisa datang karena kasus ini masih di pegang oleh ayahku. Ada yang aneh di sini," kata Morgan dengan ekspresi serius.

"Aku setuju." Mataku kini menerawang di balik jendela yang gelap.

"Bagaimana dengan anak yang pak Azel katakan itu?" tanya Morgan yang membuatku kembali melihatnya.

"Entahlah, lagi pula apa saksi matanya hanya ada satu saja?" tanyaku sambil melihat lembaran berita dengan tatapan sedih.

"Helena," panggil Morgan yang membuatku melihatnya. "Apakah kamu pernah ke sini sebelumnya?" tanya Morgan yang membuatku terdiam. "Maaf, ini pertanyaan aneh. Seharusnya aku tahu bahwa orang-orang tidak boleh ke sini," kata Morgan yang langsung mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Iya, itu benar," kataku sambil tertawa kecil. Tidak ada yang boleh datang ke sini, setelah berita ini tersebar.

"Tadi Jo mengatakan seakan-akan dia kenal denganmu, jadi aku sedikit bingung," kata Morgan terdengar menyesal.

"Ho, cemburu mas?" tanyaku jail dengan senyuman lebar.

"Untuk apa aku cemburu?" tanya Morgan datar.

"Ck. Ayolah, biarkan aku bahagia sedikit!" seruku kesal.

"Tetapi apa benar kamu tidak mengenalnya, Na?" tanya Morgan serius.

Aku terdiam. "Entahlah. .... Aku juga tidak yakin." Masih banyak yang terlalu misteri dan membuatku penasaran.

"Ya sudahlah, pembahasan sampai di sini. Sekarang Helana istirahat saja, sepertinya kamu kelelahan," kata Morgan sambil berdiri.

"Woaah, ada lelaki yang mengerti isi hati wanita di sini sungguh membuatku terharu," kataku dengan nada suara dan ekspresi yang dilebih-lebihkan.

"iya, iya, iya, terserah apa katamu," kata Morgan yang membukakan pintu kamar. Entah ini namanya pengertian atau di usir keluar.

"Ngomong-ngomong ada kepikiran mau ngapain untuk besok?" tanyaku sebelum benar-benar keluar dari kamar Morgan.

"Mungkin akan menjelajah toko-toko di Desa Laka itu lebih dalam? Bisa saja kita mendapat informasi lainnya mengenai sang pemilik buku harian," kata Morgan.

Aku mengangguk. "Kalau begitu selamat malam," kataku sambil kembali berjalan.

"Selamat malam," kata Morgan.

Sesampai di kamar aku langsung berbaring. Kepalaku memikirkan kembali apa yang di dikatan Jo dan perasaan-perasaan yang sudah aku rasakan dua hari ini. Entah mengapa aku merasa harus kembali bersiap untuk terkejut lagi. 

.
.
.
.
.

Jadi mulai sekarang saya akan update setiap minggu.

Ini dia list ceritanya:

1. The 7 Element Controllers

2. New Daily Life Royal Twins

3. A Little Hope [Revisi]

4. As Blue Sea

5. My Family is Perfect But I'm Not

6. Akar Merah

Itu dia urutannya, bisa dicari setelah saya posting.

Mungkin ada perubahan dari tata bahasa dsb-dsb tapi semoga kenyamanan dalam membaca masih bisa dinikmati yaa~

Sampai jumpa kembali :3

-(27/07/23)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro