15 - Terurai, Lalu Kusut

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tujuh hari dalam seminggu yang biasanya terasa begitu cepat berlalu, kini seolah berjalan seperti siput. Kuliah, kerja, membantu tesis kakak, dan rutinitas itu terus berulang dalam hidup Aksara hingga akhirnya ia mendapatkan satu hari spesial sebagai penghibur dari rutinitas itu. Hari Sabtu menjadi hari yang paling ia tunggu untuk kembali bertemu dengan Rasya dan mendengar riang suara perempuan itu menggelitik telinga. Tawarannya untuk membantu Rasya mendapat sambutan baik dan ia pun sudah banyak berdiskusi dengan kakaknya perihal cara membantu perempuan berwajah sendu itu.

Selain karena perbedaan jadwal kuliah dan jarak rumah mereka yang tidak dekat, Rasya memahami bahwa Aksara hanya bisa meluangkan waktu di akhir pekan karena harus bekerja selepas kuliah. Lelaki yang terbiasa menghabiskan waktu bersama keluarganya ini pun butuh waktu agar tetap bisa menunaikan kewajiban di rumah sebagai seorang anak. Akhirnya, Kedua pemilik buku hitam ini bersepakat untuk menjadikan hari Sabtu sebagai waktu khusus bagi mereka bertemu dan berdiskusi. Lalu untuk Aksara, hari Minggu akan ia manfaatkan untuk berkumpul bersama keluarganya.

Namun, ternyata Aksara tak harus menunggu selama itu untuk kembali bertemu Rasya. Hari-hari yang berjalan seperti siput seolah menghilang saat ia mendengar salah satu rekan kerjanya bertanya tentang perempuan yang bertemu dengannya akhir pekan lalu.

"Kayaknya dia ada di depan, tuh, di meja 14. Lu janjian sama dia, Sa?" tanya salah satu rekan waiter sebelum akhirnya membuat kaki Aksara menggerakkannya menuju meja yang dimaksud dengan sedikit berlari.

Ada debar yang membuat lelaki dengan apron hitam ini gugup saat tiba di meja nomor empat belas. Netranya mendapati perempuan berkucir setengah, seperti biasanya, dengan baju terusan berwarna biru dongker dan sepatu merah muda. Masih ada dua belas jam sebelum waktu pertemuan yang dijanjikan. Namun sepertinya, sang waktu sedang memahami isi hatinya yang ingin buru-buru bertemu sosok itu.

"Mau pesan apa?" Suara Aksara sedikit berat saat bertanya karena menahan kegugupan yang muncul tanpa permisi. Ia tetap berusaha untuk terlihat profesional dalam melayani, meski yang ada di depannya adalah seorang Rasya Ghaida-perempuan berwajah sendu yang berhasil membuat pikirannya sibuk dengan segala tanya.

Kepala berkucir itu mendongak. "Eh, Aksa!"

Senyum terkembang di wajah itu membuat Aksara mengalihkan bola matanya ke kertas pesanan yang ia pegang, pura-pura mencatat nomor meja atau apa pun yang bisa ia catat.

"Aku nggak pesen. Lagi nunggu papaku aja di sini. Kamu nulis apa?"

Seperti pencuri yang tertangkap basah, gerak-gerik Aksara mulai tidak beraturan. Ia menurunkan pulpen dan kertas pesanan itu dengan pandangan yang bergantian ke segala arah. "Bukan. Enggak nulis apa-apa," racaunya sedikit gagap. "Permisi kalau begitu."

"Eh, bentar!"

Belum sempat berbalik sempurna, Aksara kembali di posisi semula dan diam di tempat menghadap Rasya. Kaku seperti batu, menanti kata yang akan terucap dari bibir yang juga berwarna merah muda itu. Perempuan ini suka warna lembut, merah muda yang lembut, batinnya.

"Soal tawaran bantuanmu ... jadi, kan, besok Sabtu?"

"Jadi."

"Kita mau ngapain?"

Kening Aksara berkerut. "Maksudnya?"

"Em ... enggak. Nggak jadi. Sampai ketemu besok!"

Lagi-lagi senyum itu memunculkan debar yang hampir mereda. Aksara merasa wajah dan telinganya memanas. Rasanya tidak sanggup berhadapan dengan perempuan dengan senyum yang terlihat begitu menawan dalam pandangannya. Lebih baik ia kembali bekerja dan membiarkan waktu berlalu hingga Sabtu datang dengan cerah.

Setelah jauh dari meja nomor empat belas, Aksara bergegas melihat catatan di kertas pesanan yang spontan tertulis dengan jemarinya.

----
Apa kakimu tidak sakit?
Flatshoes itu ... sudah sobek kan?

Ke mana saja kau membawanya?
Masa lalu?
Masa depan?

Kurasa, bukan masa kini karena netramu tak berkata demikian

(Flatshoes - Buku Hitam Aksara)
----

Mumpung belum ada panggilan dari pelanggan, Aksara menyalin tulisannya ke dalam buku hitam yang selalu ada dalam kantong apronnya. Sedikit bait ia tambahkan dan dua ujung bibirnya menaik saat membaca bait terakhir yang dituliskan.

----
Ah, andai bisa kutanyakan langsung
Namun, aku terlalu malu untuk sekadar berkata,
"Berapa ukuran sepatumu?"
----

"Dasar, pengecut," ledeknya pada diri sendiri.

"Sa!" Seorang waiter lelaki menyentuh pundak Aksara dengan pundaknya karena tangan lelaki itu penuh dengan piring pesanan. "Tolong, itu ada yang manggil."

Aksara mengangguk dan segera memasukkan buku hitamnya kembali ke kantung apron. Ia mengarahkan pandangannya ke seorang pelanggan yang mengangkat tangan dan menghampiri sambil tersenyum. Pelanggan itu meminta pesanan tambahan yang langsung dicatatnya di kertas pesanan. Namun, saat dirinya akan kembali ke dapur untuk menyampaikan pesanan, sudut matanya menangkap seseorang yang tidak asing duduk berhadapan dengan Rasya di meja nomor empat belas-Pak Bima, pemilik restoran ini.

Sambil berjalan ke dapur dan menyerahkan pesanan tambahan dari pelanggan, lelaki bersepatu putih ini mengingat perkataan Rasya tadi, bahwa perempuan itu sedang menunggu papanya. Kalau yang ditunggu adalah papanya, berarti Pak Bima itu papanya Rasya? pikir Aksara yang kemudian mengambil buku hitamnya lagi dan menulis beberapa kalimat.

----
Aku tidak pernah percaya pada kebetulan

Namun, jika segala kebetulan itu membuatku bertemu denganmu,
lagi dan lagi
Kurasa, akan kujamahi segala kebetulan di dunia ini

Agar dapat terus melihat senyum itu
----

Rasanya, meski sudah bertemu hari ini dan bahkan masih ada dua belas jam menjelang pertemuan yang dijanjikan, Aksara tidak ingin menunda lagi untuk mengurai banyak hal yang tertahan dari perempuan itu. Kalau saja ada yang mampu mempercepat waktu, ingin rasanya ia gunakan untuk menjadikan sedetik kemudian menjadi waktunya berhadapan dengan Rasya Kemudian bersamanya, mengurai hal-hal yang menahan senyum menawan hadir menggantikan kesenduan di wajah itu.

***

Sebenarnya Rasya hanya beralasan untuk pulang bersama papanya. Saat tahu papanya sedang ada di restoran See & Meet, lisannya cepat berkata agar mereka bisa pulang bersama. Sebuah alasan klasik untuk bertemu lelaki yang memberinya sebuah puisi indah. Ia tidak terkejut saat melihat Aksara menghampiri dan menanyakan pesanan. Semua sudah sesuai dengan dugaan dan imajinya selama perjalanan menuju restoran. Hanya, dirinya pun merutuki pertanyaan yang keluar dari lisan.

Kita mau ngapain? Ya ampun, Sya, ambigu banget itu pertanyaan. Bikin malu diri sendiri aja, batinnya sesaat setelah Aksara menghilang dari hadapan.

Ada percikan emosi seperti kembang api dalam dada perempuan penyuka merah muda ini. Selama perjalanan pulang bersama papanya, ia tak pernah berhenti tersenyum. Pikirannya berkelana ke masa depan, membayangkan apa yang akan Aksara lakukan untuk membantunya mengurai permasalahan dalam diri terkait emosi. Apakah akan ada puisi-puisi indah lagi?

Anehnya, bayangan Rasya tercampur dengan memori bersama mantan pacarnya, Ammar. Kenangan akan kebersamaan mereka muncul dan dua pikiran itu bak dua layar tancap berbeda yang memutar film berbeda dalam satu waktu. Mendadak kepalanya terasa pening dan terantuk helm papanya saat motor berhenti perlahan di lampu merah.

"Rasya, kamu ngantuk?" Papanya menoleh dan membuka penutup wajah helm.

"Eh, enggak, Pa. Tadi ngelamun," ujarnya dengan tawa kecil di akhir.

Papanya tidak bertanya lebih lanjut karena lampu merah sudah berubah hijau. Motor yang dikendarai itu melaju dengan kecepatan sedang dan tidak sampai sepuluh menit, keduanya sudah tiba di rumah. Rasya izin untuk masuk rumah lebih dulu karena ia sudah tidak tahan untuk bersih-bersih.

"Kamu akhir-akhir ini jadi sering pulang sama Papa, ya, sayang." Mamanya menyambut di depan pintu dan mengelus pelan puncak kepala gadisnya itu.

Rasya tersenyum. "Di kampus lagi sering ada kerja kelompok, Ma. Jadi, kayaknya bentar lagi Rasya bakal sering pulang malem."

Alasan itu bukanlah sebuah kebohongan. Kesibukan Rasya di kampus memang mulai sering menuntutnya untuk pulang lepas magrib. Sedangkan mamanya selalu khawatir jika ia pulang sendiri di malam hari. Yah, anggap saja menjadi alasan pelengkap agar ia bisa mengunjungi restoran ayahnya di malam hari dan bertemu dengan Aksara.

Ah, kenapa sejak itu jadi sering mikirin Aksara?

Rasya menggelengkan kepala karena sedang lelah untuk berpikir. Mungkin karena dirinya penasaran cara apa yang akan dilakukan oleh lelaki penyuka puisi itu untuk membantunya berkenalan dengan emosi. Orang yang penasaran akan terus mengejar rasa penasarannya itu, 'kan?

Selepas mandi dan salat, seharusnya Rasya membuka catatan dan laptopnya untuk mengerjakan laporan praktikum. Akan tetapi, suara keributan di luar kamar mengalihkan konsentrasinya, bahkan sebelum ia mulai berkonsentrasi mengerjakan tugas.

"Janjinya kemarin pinjem uang buat ngelunasin tunggakan SPP-nya Sarah, kenapa sekarang bilang belum lunas?"

Suara papanya langsung terdengar jelas saat Rasya membuka pintu kamar. Ia keluar dari kamar dan mendekati pusat keributan di ruang tengah rumahnya.

"Iya, tapi ternyata harus benerin atap kamar mandi, katanya sempet rubuh tiba-tiba."

Kini, Rasya melihat mamanya yang berusaha tetap berbicara dengan tenang. Namun, ia tahu ketenangan itu tidak akan bertahan lama seperti sebelum-sebelumnya.

"Aku itu nggak tega liat kamu dimintain uang terus tanpa ada niat dari mereka buat balikin. Kamu tau? Kemarin aku pakai uang simpananku buat beliin Rasya motor buat bantu kamu. Kupikir, aku bisa percaya karena mereka itu kakak kamu. Tapi, apa ini?!" Suara Bima meninggi. Pria itu sudah berkacak pinggang sambil mengacak-acak rambutnya yang masih basah.

"Ya, aku juga nggak minta kamu bantuin aku, Mas! Kan, kamu sendiri yang nawarin diri."

"Tapi nggak gini maksud aku! Kamu, tuh, jangan terlalu baik sama orang! Liat, tuh, anak kamu. Tiap hari kamu suruh ngehemat cuma gara-gara uangmu kepake buat orang lain! Apa kamu nggak mikirin keluargamu? Mikirin orang lain terus gitu? Mau sampai kapan kamu biarin mereka bergantung sama kamu?"

Keributan itu terus berjalan seolah akan menjadi perdebatan panjang semalaman. Biasanya, Rasya berusaha tidak peduli karena ia rasa pertengkaran orang tuanya adalah hal yang wajar dalam rumah tangga. Namun, entah mengapa saat ini kepalanya pening dan jantungnya menghantam dada dengan keras berulang kali.

Rasya tidak tahan.

"Argh!"

Tiba-tiba keributan dua orang tua itu berhenti tatkala mereka mendengar suara teriakan Rasya bersamaan dengan suara pecahan kaca.

"Rasya!"

Keduanya berteriak dengan mata membelalak sembari menghampiri anak perempuan mereka satu-satunya yang terduduk lemas. Perempuan yang rambutnya terurai menutupi wajah itu memukul kepalanya dengan tangan yang sudah dipenuhi darah.

"Rasya! Rasya, kamu kenapa, sayang?" Badan Nuri gemetar melihat darah yang mengalir dari tangan anaknya. Pecahan kaca dari salah satu vas bunga berceceran di sekitar gadis malangnya itu.

"Ayo, bawa ke rumah sakit!"

Rasya hanya bisa mendengar samar-samar suara kedua orang tuanya. Pandangannya berputar, pendengarannya berdeging nyaring. Ia berusaha menghilangkan suara berdenging itu dengan terus menerus memukul dua telinganya. Namun anehnya, justru ada suara baru dan beragam ingatan yang bertubi-tubi mendesak masuk ke telinga dan pikirannya.

Rasya, kamu harus kuat!

Rasya, jadi perempuan jangan lemah, nanti kamu mudah dibohongi sama orang.

Rasya, Mama nggak mau punya anak yang mentalnya lemah.

Rasya, kamu harus berbagi sama sepupumu. Dia keluargamu juga. Jangan marah, ya.

Rasya, jangan nangis. Jangan kesel sama orang. Terus berbuat baik sama orang, ya. Mama seneng punya anak yang mau mengutamakan orang lain di atas kepentingan pribadinya.

Rasya ... Rasya ...

Kepala Rasya menggeleng kuat, berusaha menghilangkan segala hal yang hadir. Ada apa dengan dirinya? Mengapa ia seperti ini? Bukankah biasanya semua akan dan terus baik-baik saja? Mengapa suara dan pikiran itu membuat dadanya sesak lagi?

Lalu perlahan, kesadarannya hilang ditelan malam.

***

A/N:
Halow, selamat hari kemerdekaan Indonesia! 🇮🇩

Semoga, kita bisa mendapat sebenar-benar kemerdekaan, ya. Seperti merdeka dan bebas dari segala tuntutan, keharusan, ekspektasi, dan impian orang lain yang membelenggu diri.

Terus percaya pada impian dan keajaiban karena Allah akan selalu ada untuk mewujudkan sebaik-baik kemerdekaan 😊

Oh, ya, aku hanya ambil sedikit bait puisi dari "Buku Hitam Aksara". Kalo mau baca lengkapnya, langsung aja ke work aku dengan judul "Buku Hitam Aksara".

Anggap aja, semua yang di situ adalah kumpulan puisi Aksara tentang kehidupannya :)

Makasih buat kamu yang udah baca Aksarasya sampai sini. Terus dukung dan ikuti kisah Aksara dan Rasya, ya! 💖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro