16 - Menunda, Tak Tertunda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dalam lelapnya, Rasya seperti menonton siaran ulang memori hidup sedari kecil. Dimulai dari pertama kalinya penolakan itu hadir dari Mama, hingga pertama kalinya ia mendapat sebuah frasa 'tak mengapa jika tidak baik-baik saja' dari dua orang yang baru dikenalnya.

Kala itu usia Rasya masih delapan tahun. Meski masih anak-anak, ia bisa melihat dan mengerti bahwa keluarganya bukanlah orang yang leluasa dalam hal finansial. Ada kalanya gadis bermata lebar ini tak mendapatkan uang jajan, pun diharuskan menahan keinginan untuk membeli barang-barang yang disukai. Namun, gadis kecil ini tak pernah membantah dan merengek karena tahu hal itu akan menyulitkan kedua orang tuanya.

Satu hari, ada sebuah makanan yang sangat ingin Rasya beli. Kata teman-temannya, makanan itu sangat enak dan terbatas dalam penjualan. Hanya saja, perlu biaya yang lebih besar dari uang jajan hariannya untuk bisa membeli makanan favorit itu. Gadis berambut lurus ini pun menahan diri selama beberapa hari. Ia menabung uang jajannya agar bisa membeli makanan tersebut tanpa harus merepotkan kedua orang tuanya.

Sayangnya, ketika keinginan itu tercapai, Rasya harus menghadapi kenyataan bahwa sepupunya merebut paksa makanan favoritnya saat acara keluarga. Ia ingin membela diri dan merebut kembali makanannya, tetapi keraguan muncul dalam hati. Bagaimana jika perilakunya justru membuat mamanya marah? Bagaimana jika nanti justru dirinya yang terlihat salah?

Gadis delapan tahun ini pun mengitari ruangan dan mencari mamanya. Saat melihat mamanya melintas dan menuju sebuah bangku di ujung ruangan, Rasya berlari menghampiri.

"Ma ...," lirihnya ketika menghampiri mamanya.

Wanita yang rambutnya disanggul itu lantas tersenyum lembut dan mengelus kepala putrinya. "Kenapa Rasya sayang?"

"Emang boleh, ya, ngerebut makanan punya orang? Sarah ngerebut makanan Rasya, Ma ... Padahal Rasya udah nabung lama buat beli itu biar nggak nyusahin Mama."

Lisa terdiam, seolah sedang menyusun kata-kata. Sembari terus mengelus puncak kepala putrinya, wanita itu berkata, "Rasya, jangan sedih. Berbagi makanan, kan, perbuatan yang baik. Rasya harus berbuat baik sama saudara."

"Tapi, Ma, dia ngerebut paksa."

"Udah, diikhlasin aja. Bikin saudara bahagia itu hal baik, Rasya. Jadi, nggak boleh sebel apalagi marah kalo mau dapet pahala berbagi. Rasya mau, kan, jadi anak baik yang suka berbagi dan nggak gampang marah?"

Saat itu, Rasya hanya bisa mengangguk dan untuk ke sekian kali, menyampingkan perasaannya demi membuat mamanya bahagia. Namun, kali ini dalam mimpinya ia menolak untuk mengangguk. Gelengan kuat membuat kepalanya pusing.

"Nggak mau! Itu punya Rasya! Rasya nggak suka makanan Rasya direbut!"

Setetes bening jatuh dari ujung mata perempuan yang sedang terbaring di kasur rumah sakit ini. Samar-samar, telinganya mendengar suara lain yang memanggil namanya. Suara itu bukan dari dunia mimpi yang sedang ia kunjungi. Perlahan, kelopak mata Rasya terbuka.

"Rasya! Kamu udah sadar, sayang?"

Suara wanita paruh baya yang baru saja Rasya jumpai dalam mimpi kembali terdengar. Kini, suara itu terasa lebih nyata dalam gendang telinganya. "Di ... mana?"

"Kamu di rumah sakit, sayang," jawab wanita itu.

Rumah sakit?

Rasya berusaha mengingat sebab dirinya bisa sampai ke rumah sakit. Seingatnya, ia baru saja akan mengerjakan tugas kuliah, tetapi mendengar suara keributan orang tuanya. Setelah itu ... setelah itu kepalanya amat sangat pusing dan tidak ada lagi ingatan terlintas dalam benak.

"Rasya kenapa, Ma?" tanyanya pada wanita yang duduk di samping kasur, sembari menggenggam tangannya erat.

"Harusnya Mama yang tanya, kamu kenapa? Kok bisa sampai kayak gini, sayang?"

Ada getar yang terdengar dari suara mamanya. Tidak, Rasya tidak suka melihat mamanya sedih. Matanya yang telah terbuka sempurna, kini menangkap kondisi telapak tangannya yang diperban. Ada apa dengan dirinya?

"Selamat pagi."

Kali ini suara laki-laki yang familier di telinga Rasya. Ia memalingkan wajahnya ke arah sumber suara dan matanya membelalak. "Mas Rayen?"

Lelaki itu tersenyum. "Gimana perasaannya sekarang, Rasya?"

"Oh, aku—"

"Anak saya baik-baik aja, Dok. Anak saya nggak butuh psikolog atau semacamnya. Dia anak yang kuat mentalnya!" Lisa berdiri dan menatap nanar lelaki ber-snelli dengan nametag bertuliskan Psikolog Rayendra.

"Ma, jangan gitu. Itu psikolognya Rasya," lirih Rasya sambil perlahan bangun dan duduk di atas kasurnya.

"Iya, Ibu. Saya pun berharap Rasya baik-baik saja," ujar Rayen lembut. "Untuk memastikan, boleh saya bicara dengan Rasya dulu, Bu?"

Lisa menggeleng. Tampaknya ia masih tidak terima jika putri satu-satunya sampai harus berurusan dengan psikolog yang notabene dikenal sebagai perawat orang gila—walau itu adalah anggapan yang kurang tepat.

"Ma, nggak apa-apa. Rasya cuma mau ngobrol aja, kok."

Kalimat itu membuat Rasya mendapat tatapan dalam yang terasa seperti ancaman bagi dirinya. Mendadak jantungnya kembali berdebar cepat dan kini merambah ke kepalanya juga. Ia sedikit memejamkan mata. Dahinya pun ikut berkerut menahan denyut di kepala yang sedikit menyakitkan.

Setelah mamanya keluar dari ruang rawat itu, Rayen duduk di bangku sebelah kasur Rasya. "Gimana perasaanmu sekarang?"

"Entahlah, Mas. Sedikit pusing, sama deg-degan tadi pas Mama pergi."

"Kamu takut? Atau khawatir sama sesuatu?"

Perempuan bermata lebar ini terdiam. Ia berpikir keras mengenai perasaannya dan apa yang terjadi dalam dirinya. Namun, tidak ada hal yang terlintas selain rasa yang tidak enak dalam hatinya. "Kayaknya, iya. Mungkin aku takut."

"Kenapa?"

Rasya menggeleng.

"Rasya, perasaan dan emosi itu bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan pikiran. Kalau kamu mikir kamu lagi merasakan apa, tentu nggak akan ketemu jawabannya. Perasaan itu dirasakan, bukan dipikir. Paham maksud saya?" Rayen berusaha menjelaskan dengan intonasi yang begitu rendah. Mungkin ia ingin agar kliennya ini bisa memahami maksudnya perlahan-lahan.

"Oh, ya. Mas Rayen kok bisa di sini?"

"Saya dikabarin sama dokter jaga IGD karena di data rumah sakit, kamu tercatat sebagai klien saya. Apalagi pas kemarin orang tuamu nganter ke sini, mereka pun bingung kamu kenapa. Kamu inget nggak semalam kenapa?"

"Inget, sih ...," desis Rasya sambil mengelus tangan kanannya yang diperban. "Semalem, Mama sama Papa berantem. Terus tiba-tiba kepalaku pusing dan aku nggak tau ini tanganku kenapa kok sampai diperban gini."

"Katanya kamu mecahin vas bunga. Makanya tanganmu kena pecahannya juga."

"Hah? Masa, sih?" Rasya terkejut dengan fakta itu. Ia sama sekali tidak ingat dan tidak menyadari bahwa semalam tangannya bisa sampai memecahkan barang di rumah. "Kok bisa ...."

Rayen bangkit dari duduknya. "Sepertinya saya perlu bicara sama orang tua kamu. Boleh saya ceritakan kondisimu ke orang tua?"

"Oh, harus, ya?"

"Nggak juga. Maka dari itu, saya meminta persetujuan kamu. Kalau kamu nggak bersedia juga tidak apa-apa. Artinya, saya tidak akan menceritakan apa pun pada mereka. Meminta persetujuan klien adalah etika tersendiri dalam pelayanan psikologi," terang lelaki beralis tebal ini.

Rasya menimbang-nimbang segala kemungkinan. Memang, sebelumnya ia sudah membicarakan perihal kondisinya ke orang tua. Namun, yang ia dapatkan hanyalah sebuah penolakan. Dirinya tak bisa menjelaskan kondisinya dengan baik pada orang tuanya. Mungkin memang perlu bantuan orang lain yang lebih mengerti. Setidaknya, agar semua sama-sama paham dan bisa bekerja sama untuk memperbaiki keadaan.

"Ya udah. Kayaknya emang lebih baik mereka tahu dari sudut pandang ahlinya juga, Mas," ujar perempuan ini dengan anggukan kepala pelan.

"Oh, iya. Buku catatanmu ada?"

"Di rumah, Mas."

"Apa boleh dibaca sama orang lain selain saya? Orang tuamu misalnya."

"Kalo diperlukan, nggak apa-apa, sih. Saya ngikut baiknya aja menurut Mas Rayen."

Berbicara soal buku hitam, sepertinya Rasya melupakan satu hal penting. Pikirannya berusaha mengingat-ingat hal apa yang sudah ia lupakan dan laci ingatan itu pun terbuka tepat saat Rayen sudah menghilang dari pintu ruang rawat.

Perempuan yang masih mengenakan baju tidurnya semalam lantas turun dari kasur. Pandangannya sedikit berputar, membuat ia harus diam sesaat sebelum melanjutkan aksinya. Ia berharap orang tuanya sudah membawa ponselnya ke rumah sakit karena ada satu orang yang harus dihubungi.

***

Hari Sabtu.

Nama hari itu sudah terbayang-bayang di benak Aksara sejak semalam. Pertemuannya dengan Rasya di restoran, juga wajah cerita yang memiliki gurat sendu khas itu terus menghantui pikirnya. Ia tidak sabar untuk bertemu lagi dengan perempuan yang berhasil menggelitik rasa penasaran dalam hatinya.

Sejak pagi, semangat yang menggebu-gebu membuat lelaki berhidung mancung ini terlihat sedikit terburu-buru. Entah apa yang merasuki dirinya hingga tatapan aneh dari ibu dan kakaknya tidak terlalu ia hiraukan. Mungkin karena kepekaannya mendadak hilang.

"Lu kenapa, sih, Dek?" Andra tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya karena perilaku sang adik yang tidak biasa.

"Kenapa apanya?"

"Dari pagi kayaknya nggak bisa diem. Mondar-mandir terus, ribet di dapur tapi nggak masak apa-apa, bolak-balik kamar, liat hape terus. Kenapa coba kenapa?"

"Lagi jatuh cinta kali, Mas." Kini ibunya yang sedang menggoreng telur ceplok bersuara sedikit mengejek.

Desahan panjang keluar dari mulut Aksara dan akhirnya lelaki ini duduk diam melemaskan kaki. "Kenapa, ya, rasanya gugup banget. Padahal biasanya nggak apa-apa."

Sontak kalimat itu mengundang tawa seisi rumah. Aksara yang merasa kalimatnya tidak lucu menatap ibu dan kakaknya dengan bingung. "Kenapa, sih?"

Belum sempat mendapat jawaban yang menjelaskan letak kelucuan dari kalimatnya, perhatian Aksara teralihkan. Bersamaan dengan tanya yang terlontar dari lisan, ponselnya yang ada di atas meja makan berdering. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk.

From: 0822-xxxx-xxxx
Aksara, ini Rasya. Maaf ini aku pakai nomor perawat. Kayaknya aku nggak bisa ketemu dulu hari ini. Semalem ada kejadian di rumah dan sekarang aku di PMI, hehe.
Maaf ya...
Padahal aku pengen baca puisi-puisi barumu.
Mungkin lain kali, semoga kamu sehat selalu :)

Gurat senang yang bertahan sejak bangun tidur mendadak berubah. Membaca pesan singkat itu, seperti ada yang hilang dari dada Aksara dan garis kesedihan mulai tampak di matanya yang menjadi sayu.

"Dari siapa, Sa? Batal ketemu, ya?" Andra melihat perubahan air muka adiknya saat membaca pesan yang masuk itu.

Lagi-lagi Aksara menghela napas panjang dan mengiyakandugaan kakaknya. Pikirannya menelusuri segala kemungkinan tentang perempuanpengirim pesan itu. Ada apa dengan Rasya? Kalau ada sesuatu di rumahnya,berarti bukan kecelakaan. Terus dia kenapa sampai harus ke PMI?

Seketika pikiran Aksara sampai pada sebuah jurnal yang pernah ia baca saat membantu kakaknya. "Mas, emang bener orang yang kena ale-ale itu bisa sampai ngelukain diri sendiri? Kayaknya waktu itu sempet baca di jurnal."

Andra menyeruput tehnya dan mengangguk. "Bisa aja. Kalo yang di jurnal yang lu dapet itu, karena dia mendam emosi dan nggak mengekspresikannya dengan sehat, bikin ada tekanan dalam dirinya. Terus jadi kayak bom waktu."

"Meledak tiba-tiba?"

"Semacam itu. Kadang mungkin dia nggak tau alasan dia menyakiti atau melukai dirinya kenapa. Nggak sadar gitu. Cuma sebenernya itu jadi manifestasi pendaman emosi yang bikin dia tertekan tanpa sadar," tutur lelaki yang memiliki lalat di bawah bibir seperti adiknya ini. "Kenapa? Cewek itu?"

"Kayaknya. Dia lagi di PMI."

"Samperin sana!"

Ingin hati menghampiri Rasya, seperti saran kakaknya. Namun, Aksara ragu. Ada beberapa ketakutan yang muncul mengiringi keinginan itu. Ia takut jadi memupuk harapan. Ia takut akan menjadi sebab kesakitan Rasya di masa depan. Ia takut mengecewakan. Ia takut kehilangan lagi, bahkan kekosongan yang ditinggalkan ayahnya belum benar-benar sembuh.

"Kalo ragu, kamu bisa tanya aja, Nak." Ibunya sudah selesai memasak dan kini duduk di hadapan para bujangnya. Ia tersenyum dan melanjutkan, "Lebih baik tanya dan konfirmasi daripada kamu menduga-duga sendiri."

Ah, benar juga. Tidak ada yang didapat dari prasangka yang tak terkonfirmasi. Sesaat Aksara ingin membalas pesan itu, tetapi itu adalah nomor perawat. Kalau ia balas, belum tentu bisa langsung dibaca Rasya. Akhirnya, ia memutuskan untuk menelepon nomor itu.

Satu, dua suara dering sambungan panggilan terdengar. Aksara harus menunggu beberapa detik—yang terasa seperti berjam-jam—hanya untuk mendengar suara perempuan yang sangat ingin ditemuinya hari ini.

"Halo."

Ah, suara ini. "Halo. Ehm, ini Aksara."

"Iya, tau. Aku hafal nomermu."

Sontak seperti ada yang berdebum di dada Aksara. Mengapa dua kata terakhir itu membuat dirinya merasa ... spesial? Tidak. Mungkin memang perempuan di seberang sana hobi menghafalkan nomor telepon orang lain. "Boleh saya jenguk?"

Ada suara tawa kecil di seberang sana. "Boleh aja. Bawa puisi, ya!"

"Habis ini saya kirim."

Singkat, tetapi mampu membuat lelaki penyuka puisi ini lega. Setelah mendapat izin untuk menjenguk dan menutup telepon, ia pun berlari ke kamar. Buku hitam di atas meja segera ia buka dan jemarinya menari bersama pena. Menuliskan beberapa bait puisi sebelum mengirimkannya pada Rasya.

----
Meski kelopaknya jatuh dan batangnya merapuh
Mawar tetaplah indah di bawah gemuruh

Dengan duri yang melindungi dari perusuh
Kau tetap terus bertumbuh

Menjadi dirimu yang kian tangguh
Meski sesekali melemah penuh peluh

Tidak apa-apa...

Semua akan baik-baik saja, tanpa harus
dipaksa untuk baik-baik saja
----

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro