19 - Melebur Jarak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

----
Aku menyesali, sendiri
jarak yang kucipta
Namun pesanmu, selalu
terngiang dan membuat ragu

Aku menyesali, sendiri
debar yang tak bisa dibohongi
yang ingin melebur jarak
dan terus melihatnya dalam riak

Lingkaran hubungan yang mungkin
bisa mengisi kekosongan
dirimu
Atau tidak?
----

Aksara mengibas-kibaskan tangannya. Beberapa hari ini ia merasakan jemarinya tak mampu menulis terlalu lama. Bahkan terkadang untuk memegang pena saja seolah tak ada tenaga. Setiap malam pun kadang dirinya terjaga karena rasa nyeri yang muncul di sekitar pergelangan tangan.

"Aksara!"

Suara itu selalu mendebarkan dada setiap kali memanggil namanya. Tak perlu menoleh pun, Aksara tahu pemilik suara itu.

"Kenapa? Tangan kamu sakit lagi?" tanya Rasya sembari duduk di sebelah tas Aksara yang berada di tengah bangku taman.

Aksara menghentikan kibasan tangannya dan mulai memijat bagian sekitar ibu jari dan jari telunjuk. "Paling kecapekan."

"Iya, sih. Kamu tulis terus dan tiap malem part-time di resto. Bawa-bawa nampan cuma pakai satu tangan. Emang nggak bisa dua tangan aja?"

Lelaki berjaket dongker itu menggeleng. "Kalo pakai dua tangan, nanti susah pas mau naruh pesanan di meja. Lagian, saya, kan, bawa nampan di tangan kiri."

"Eh, iya, ya? Itu yang sakit tangan kanan?"

Aksara terkekeh melihat reaksi perempuan di sampingnya. Entah mengapa wajah itu begitu polos dan menggemaskan dalam pandangannya.

"Kamu beneran mau terus pakai 'saya'? Aku jadi berasa ngomong sama orang asing tahu," ujar perempuan berkucir setengah dengan suara sedikit merajuk. "Oh, ya, kamu habis nulis puisi apa?"

Sontak Aksara menutup buku hitamnya dan meletakkan benda itu di samping kiri. Jantungnya berdebar cepat. Terselip harap yang bertolak belakang dalam hatinya. Di satu sisi, ia tidak ingin Rasya membaca puisi yang baru saja tertulis. Namun, sudut hatinya yang lain, ia ingin perempuan itu mengetahui perasaannya. Perasaan yang sebenarnya belum boleh hadir.

Bagi Aksara, menjalin hubungan di saat mereka masih kuliah bukanlah hal yang baik. Ia tidak mau dirinya dan Rasya justru tidak saling fokus pada tujuan dan impian masing-masing. Dirinya pun belum bisa menjanjikan masa depan yang indah untuk perempuan pemilik senyum terindah kedua setelah ibunya. Perkataan ayahnya benar-benar sudah terpatri dalam jiwa dan ia tak mau menjadi penyebab kesedihan Rasya karena sebuah hubungan tak pasti.

"Gimana konsul hari ini?" Aksara mengubah topik pembicaraan. Setiap Sabtu, Rasya masih menjalani konsultasi sebelum keduanya bertemu di taman kota.

"Oh, alhamdulillah lancar. Aku juga udah mulai bisa ngedeskripsiin perasaanku. Itu juga berkat bantuan kamu, Sa."

Ah, senyumnya. Aksara sangat lemah dengan senyuman Rasya yang terasa begitu hangat di hatinya. Wajah sendu yang dulu terlukis jelas sudah mulai memunculkan gurat-gurat kebahagiaan. Meski belum hilang sepenuhnya, setidaknya perempuan ini tak lagi terlihat sesendu malam pertama kali mereka jumpa.

"Kamu mau baca buku hitamku?" Rasya mengeluarkan buku hitamnya yang kembar dengan milik Aksara. "Oh, iya, aku masih amaze banget, lho, karena kita punya buku hitam yang sama persis."

"Emang kamu beli di mana?" tanya Aksara. Sebenarnya hal ini sudah ingin ia pastikan sejak jarak di antara mereka mulai terpangkas sedikit demi sedikit di rumah sakit pekan lalu. Namun, dirinya masih tidak yakin.

"Di toko buku gede di sana. Nggak jauh dari sini."

Hanya ada satu toko buku terbesar di kota yang dekat dengan taman. Aksara tahu itu. "Pas kamu beli, bukunya tinggal dua dan sempet rebutan sama orang nggak?"

Kening Rasya berkerut hingga alisnya hampir menyatu. Matanya mendadak terbuka lebar dan menatap Aksara, mengerjap beberapa kali. "Jangan bilang itu ...."

"Oh, bener berarti. Itu kamu, rebutan sama aku," ucap Aksara saat kalimat perempuan itu terhenti tanpa terlengkapi. Ia tertawa pelan.

"Wah, keren! Habis itu kita ketemu, kan, di taman ini? Makanya bukunya bisa ketuker?"

Mereka menertawai kebetulan-kebetulan yang pernah terjadi tanpa saling menyadari bahwa toko buku adalah tempat pertama keduanya bertemu. Selama ini, keduanya berpikir taman kota merupakan permulaan dari segalanya. Namun, tidak bagi Aksara. Hari ini, dugaannya terkonfirmasi.

Aksara pun menerima buku hitam Rasya dan mulai membaca. Ia ingat, lembar-lembar awal yang pernah dibacanya dulu hanyalah berisi rutinitas yang sama setiap hari. Namun, beberapa tulisan terakhir Rasya terdapat beberapa deskripsi emosi yang turut mengisi. Meski masih terasa kaku dan memaksakan diri, tulisan yang dibacanya mampu membuat dua ujung bibirnya menaik. Terlebih saat ia menemukan beberapa puisinya turut menghiasi lembaran buku hitam.

"Kamu ngasih ini ke Mas Rayen tiap konsul?" tanya Aksara tanpa mengalihkan pandangan dari tulisan-tulisan Rasya.

Perempuan itu refleks mengangguk meski ia tahu Aksara tak melihat anggukannya.

"Hm?" Kali ini Aksara menoleh karena tak mendapatkan respons.

"Aku udah ngangguk, lho."

"Ya, mana aku liat."

Rasya tersenyum hingga giginya yang berjajar rapi terlihat dari balik bibir. "Iya, aku kasih ke Mas Rayen buat di evaluasi."

"Terus katanya apa?"

"Katanya, walaupun masih keliatan maksa dan deskriptif banget, aku udah cukup berkembang. Insight-ku bagus katanya."

"Iya, insight-mu bagus. Kayaknya aku nggak perlu nulis puisi lagi, ya, buat kamu," lirih Aksara hampir seperti sebuah bisikan.

"Eh, jangan! Puisi kamu itu kayak ... kayak apa, ya? Pokoknya, kalo baca puisi kamu rasanya aku bisa jadi lebih paham soal emosi. Apalagi, kamu jelasin emosi-emosi itu pakai analogi yang logis. Nggak seabstrak deskripsi yang kudapat dari website." Nada bicara Rasya terasa meninggi di awal, tetapi sedikit melembut di akhir.

Buku hitam di tangan Aksara sudah mencapai lembar tulisan terakhir. "Aku nggak liat kamu cerita tentang ... Ammar."

Kalimat itu membuat raut wajah Rasya sedikit berubah. Aksara tidak tahu ekspresi macam apa yang terlukis di wajah perempuan itu. Ia sedikit merasa bersalah menanyakan perihal lelaki itu, tetapi rasa ingin tahunya sudah tak mampu dibendung.

"Ehm, maaf. Abaikan aja yang tadi kubilang," lanjut Aksara yang tidak enak melihat Rasya diam terlalu lama. Ia khawatir pertanyaannya justru membuka luka lama yang belum sembuh sepenuhnya.

"Nggak apa-apa. Kamu pasti penasaran, ya, gara-gara di rumah sakit waktu itu Mama nanya soal Ammar. Dia ... mantan aku."

Wajah sendu itu kembali muncul. Aksara mampu melihat guratan sendu yang terbentuk semakin lama Rasya bercerita soal mantan pacarnya. Awalnya, sempat ada gelenyar aneh dalam dada saat mendengar kisah Rasya dengan mantannya. Dirinya pun jadi mengetahui bahwa kondisi Rasya yang sulit mendeskripsikan emosi dan membuatnya selalu bersikap baik-baik saja, ternyata menjadi penyebab berakhirnya hubungan itu. Namun, ia tak mengerti. Mengapa harus diakhiri? Bukannya seharusnya, sebagai kekasih, Ammar menolong Rasya?

"Pas putus itulah, aku bener-bener ngerasa nggak enak badan. Panas-dingin, deg-degan, dan rasanya males ngapa-apa. Apalagi nggak lama aku liat dia sama cewek lain. Nggak tau apa yang aku rasain saat itu. Pokoknya nggak enaklah," terang Rasya mengakhiri ceritanya.

"Kalo sekarang, kamu udah tau itu perasaan apa?"

"Mungkin ... kayaknya tau. Tau sejak kamu jelasin sedikit soal itu dan bikin aku nangis tiba-tiba." Rasya tertawa kecil mengingat pertama kali ia menangis di hadapan lelaki ini.

"Apa?"

"Kehilangan. Mungkin itulah kenapa pas aku baca puisi 'Malam', rasanya bener-bener nusuk, tapi entah gimana bikin aku tenang."

Tubuh Aksara yang tadinya condong ke depan, kini melemas dan bersandar ke bangku. "Puisi itu aku tulis untuk ayahku."

Keterbukaan Rasya perihal lelaki yang menghadirkan rasa kehilangan itu membuat Aksara juga ingin menceritakan perihal ayahnya. Tentang awal mula ia senang menulis. Tentang ayahnya yang selalu mengagumi tulisan-tulisannya. Juga tentang tujuan hidupnya yang sempat hilang saat ayahnya pergi untuk selamanya. Entah mengapa, semua hal itu lancar mengalir dari lisannya. Padahal, dirinya bukanlah sosok yang mampu mengungkapkan seluruh keresahannya pada orang lain, selain keluarga inti.

Pandangan Aksara terus menatap langit biru yang mulai memerah menjelang senja. Birunya langit mengingatkan pada lautan yang telah merenggut ayahnya dari hidup dan keluarganya. Untuk sesaat, hatinya seperti tercubit saat mengenang ayahnya. Ia sadar, kekosongan itu belum benar-benar terisi lagi. Luka akan kehilangan itu belum benar-benar sembuh dari dalam hati.

"Wah, ayahmu keren, Sa! Aku liat berita itu dan sempet ngikutin. Beliau pahlawan negara dan kamu pasti bangga banget, ya, sama beliau. Aku ... turut berduka, ya, Sa." Tangan Rasya menyentuh pundak lelaki yang sedang dirundung kegalauan ini.

Aksara sedikit tersentak dan kembali duduk tegak. Matanya menatap jemari yang masih bertengger di pundaknya. "Makasih."

Perempuan dengan senyum menenangkan ini masih tak menyadari bahwa lelaki di sampingnya tidak begitu nyaman disentuh tiba-tiba. Bola mata lebar itu menatap Aksara dalam, tetapi keningnya lantas berkerut mendapati bola mata Aksara bergerak menatapnya lalu menatap pundak.

"Oh! Maaf! Kamu nggak suka, ya?" seru Rasya saat menyadari maksud dari gerakan bola mata Aksara.

Lelaki dengan tahi lalat di bawah bibir itu tersenyum tipis. "Aku mau pegang tanganmu pas di rumah sakit aja nggak jadi. Kata Ayah, selain Ibu, aku nggak berhak pegang-pegang perempuan lain. Bahasa kerennya, bukan mahram."

Rasya terkekeh. "Ya ampun. Bener, deh. Ayah kamu ngedidik kamu dengan baik. Eh, tapi, kamu sadar nggak, sih? Dari tadi kamu nggak pakai 'saya', tapi pakai 'aku. Apa jarak yang kamu buat mau dihilangin?"

Tertangkap basah untuk yang ke sekian kali, Aksara lagi-lagi salah tingkah. Ia berdiri dan meregangkan lengannya. "Kan, kita udah bukan orang asing. Aku juga nggak mau bikin kamu nggak nyaman dengan pakai 'saya'. Kalo nggak boleh, ya—"

"Boleh banget!" seru perempuan berbaju terusan warna biru pastel itu sembari berdiri menjajari Aksara. "Udah, ya! Jangan ganti-ganti lagi. Pakai 'aku' aja, biar lebih akrab."

Aksara menoleh. Iris cokelat milik Rasya terlihat begitu indah dan penuh binar bahagia. Cepat sekali kesenduan hilang dari wajah itu. Rasanya, Aksara ingin menatap cermin dan memperhatikan, apakah kesenduan di wajahnya juga hilang?

"Boleh nanya sesuatu?" Aksara angkat suara setelah terdiam cukup lama memerhatikan sekitar taman.

"Tanya aja."

"Kamu beneran suka sama puisi-puisi yang kubuat?" Pertanyaan ini sudah disiapkan sejak lama. Aksara belum pernah menemukan waktu yang tepat sebelumnya dan kali ini ia memberanikan diri menyampaikan tanya itu. Memastikan kegundahannya beberapa hari terakhir.

"Perlu banget dijawab?" Rasya berkacak pinggang. "Kan aku udah sering ngomong. Kamu nggak percaya sama aku?"

"Bukan gitu. Selama ini, selain Ayah, belum ada yang bener-bener menikmati puisiku. Kakak dan Ibu cuma jadiin puisiku sarana buat tahu perasaan atau pikiran yang kupunya. Bukan untuk dinikmati dengan sebenar-benarnya. Ehm, paham nggak?" Entah mengapa Aksara merasa kalimatnya berputar-putar dan membingungkan. Hal ini biasa terjadi jika dirinya sedang gugup atau benar-benar tak tahu cara mengungkapkan isi hatinya.

Rasya berdeham pelan. "Iya. Sejak pertama kali baca, aku suka. Alasannya sesimpel ... hm, bikin aku ... tenang? Lega? Entahlah, semacam itu. Aku pun baru bener-bener tau kalo awal mula kamu nulis puisi itu karena sulit ngungkapin secara lisan. Kayaknya, dulu kamu cuma bilang karena mau jadi pujangga kayak Chairil Anwar, kan?"

"Itu harapan Ayah, yang jadi harapan aku juga. Awalnya, aku mau nulis 1000 puisi untuk Ayah dan kujadikan buku. Tapi ...."

Tapi, sepertinya aku ingin terus menulis puisi untuk kamu, lanjut Aksara dalam hati. Ia menatap perempuan di hadapannya dan ada kelegaan yang hadir saat Rasya menjawab kegundahannya. Benar, perempuan di hadapannya ini benar-benar mengagumi dan menikmati puisi-puisinya. Tampaknya, Tuhan memang memberikan pengganti Ayah melalui pertemuannya dengan Rasya. Meski kehilangan ayahnya belum tergantikan, mungkin Rasya adalah salah satu jawaban. Jawaban untuk mengisi kembali lembaran tujuan dengan langkah baru.

Mereka sudah berbagi perihal sebab kehilangan, pun melebur jarak yang pernah dicipta—hanya oleh Aksara. Tampaknya, lelaki penulis puisi ini benar-benar ingin mempersempit jarak antar dirinya dengan Rasya. Tentu, dengan terus mengingat pesan sang ayah dan menjaga batasan wajar.

"Coba, menurutmu rindu itu apa?"

"Lho, tiba-tiba? Kalimatmu tadi belum selesai tau. Tapi apa?" Rasya mengerjap beberapa kali.

"Jawab aja. Aku pengen tau. Kan, katanya kamu udah bisa mendeskripsikan emosi."

Jemari Rasya bergerak-gerak di dagunya. Ia tampak berpikir keras sembari sesekali mencuri pandang ke arah Aksara. Lelaki itu memerhatikannya dengan senyum tipis yang ... entah bagaimana membuatnya ingin melompat-lompat. "Rindu itu ... sebuah emosi yang dirasakan kalau kamu sama orang lain lagi berjauhan dan—"

"Ribet," ledek Aksara dengan senyum lebar di wajahnya.

"Ih, kan, masih belajar." Refleks tangan Rasya memukul lengan lelaki yang meledeknya itu. "Emang apa coba? Emang jawabannya simpel?"

"Simpel, lah!"

Rasya melotot, menunggu jawaban simpel yang dimaksud.

"Rindu itu rasa ingin bertemu. Simpel. Kalo aku rindu kamu, artinya aku pengen ketemu kamu!"

"Kamu rindu aku?"

"Hah?"

Kini, giliran Rasya yang meledek Aksara. Padahal, lelaki itu hanya memberi satu kalimat contoh untuk menjelaskan. Namun, setelah ia menyadari, ternyata memang ada kerinduan yang hadir untuk Rasya. Bahkan saat ini, ia tak tahu mengapa rasanya ingin terus bertemu. Bersama Rasya, waktu terasa berlalu begitu cepat. Langit yang mulai menggelap pun seolah menyadarkan dirinya, kalau sebentar lagi kerinduan yang hadir akan semakin besar.

Tidak hanya untuk ayahnya, tetapi juga untuk Rasya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro