20 - Tak Terduga, Tak Diinginkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

----
Tugas mulai banyak. UAS di depan mata. Laporan praktikum udah kayak makanan sehari-hari, apalagi pulang malem. Tadi sempet kepikiran soal omongan Aksara Sabtu kemarin. Dia nawarin buat ikut penelitian tesis kakaknya yang mau angkat tema tentang alexythimia. Oh, aku juga jadi tau, ternyata kondisi yang aku alami ini namanya alexythimia.

Untung itu bukan gangguan mental. Cuma kondisi yang terbentuk karena aku emang nggak pernah diajarin soal emosi dan terbiasa nolak emosi. Aku bersyukur banget bisa ketemu Aksara, juga Mas Rayen. Aku seneng karena udah mulai bisa jelasin emosiku dan lebih terbuka. Katanya, it's okay to be not okay, walau Mama kayaknya masih belum bisa terima.
----

Rasya masih sibuk menuliskan diarinya hari itu. Praktikum yang membuatnya pulang malam, lagi-lagi dijadikan alasan untuk mampir ke restoran dan pulang bersama papanya. Tentu, ia mengabari Aksara tentang kedatangannya dan berharap bisa membaca puisi baru dari lelaki itu. Biasanya, lelaki pujangga favoritnya ini selalu menulis lebih dari 15 puisi baru setiap harinya. Puisi apa pun, tentang emosi, diri, dan hal-hal yang terjadi di sekitar.

"Nggak mau pesen apa-apa?"

Suara seorang lelaki membuat jemari Rasya berhenti menarikan pena di atas lembaran bukunya. Ia menengadah, mencari mata beriris cokelat yang biasanya terlihat sayu semakin malam melarut. "Kasih rekomendasi dong, Sa! Aku nggak tau mau pesen apa."

Aksara tersenyum dan menuliskan beberapa menu di kertas pesanan dan berlalu meninggalkan Rasya di meja bersofa itu.

"Ih, Aksa! Kamu pesenin aku apa?" Rasya membalikkan badannya karena lelaki itu berlalu ke arah berlawanan dari posisi duduknya.

"Minta rekomendasi, kan? Tunggu aja."

"Eh, bentar ... yah, keburu pergi."

Rasya mendengkus sambil mengetuk-ngetuk pena yang terselip di antara jemarinya. Sebenarnya, ia meminta rekomendasi menu supaya bisa mengobrol sebentar dan melihat Aksara lebih lama. Selain itu, perempuan berkucir setengah rambut ini juga ingin menanyakan lebih jauh perihal penelitian tesis yang ditawarkan oleh kakaknya Aksara. Juga, ia ingin meminta puisi hari ini.

Sembari menunggu pesanannya datang, Rasya melanjutkan catatan hariannya di buku hitam. Sesekali, ia membuka lembar emotion wheel yang pernah diberikan oleh Aksara. Meski lembar itu berulang kali ia gunakan, penyimpanan yang rapi dalam map bening membuat lembar tersebut tidak mudah lusuh. Arti dari setiap emosi pun sudah ia tuliskan langsung di lembar itu. Namun, akhir-akhir ini perempuan bermata lebar itu mulai jarang menggunakan emotion wheel karena dirinya ingin mencoba menerapkan hal yang dikatakan oleh Aksara.

"Perasaan itu dirasa, bukan dipikir dan dilogikakan."

Mengingat perkataan lelaki yang sudah dianggap sebagai sahabat itu membuat Rasya melukis senyum dalam wajahnya. Sejak pertemuan terakhir mereka, ada rasa yang masih belum mampu ia bedakan setiap matanya menatap Aksara dan setiap keduanya bertemu untuk berbagi cerita.

Debar jantung yang kadang tak karuan Rasya nilai sebagai rasa tertarik untuk mendengar setiap cerita dan untuk membaca setiap bait puisi yang ditulis oleh Aksara. Hanya saja, debar itu kadang melambat, bahkan sesekali lebih lambat dari detikan jam setiap telinganya mendengar langkah perpisahan mereka. Dirinya pun menyadari bahwa ada keinginan untuk terus berjumpa-yang beberapa hari lalu menjadi sebuah definisi dari rindu versi Aksara.

Apakah Rasya merindukan Aksara? Apa mungkin beberapa perasaan hadir dalam satu waktu dan berganti dengan begitu cepat? Apa mungkin beberapa rasa ini menandakan suatu hal yang lebih besar?

"Udahan nulisnya?"

Rasya otomatis menghentikan ketukan pena di dagunya saat mendengar suara Aksara. Ia menoleh sambil tersenyum dan melihat lelaki itu membawa nampan berisi sebuah piring bulat lebar di tangan kirinya. Tangan kanannya-terlihat sedikit gemetar-menggenggam gelas kaca dengan minuman berwarna merah muda dan sepertinya terdapat es serut sebagai topping paling atas, bersamaan dengan buah cherry merah.

"Wah, kayaknya aku nggak tau kalo di sini ada menu semacam ini," celetuk Rasya sambil memerhatikan lelaki yang menyajikan makanan itu. "Tangan kamu nggak apa-apa? Kok kayaknya gemeter gitu."

"Biasa, ini agak berat dan harus jaga keseimbangan," ujar Aksara yang fokus meletakkan hidangan dengan hati-hati.

"Jadi ... ini menu apa?"

"Aku nggak tau namanya, susah. Yang jelas ini menu spesial karena ada yang mau lamaran dan minta macem-macem."

"Lamaran?"

Aksara mengangguk dan mengalihkan pandangannya ke sisi kiri.

Melihat itu, Rasya sedikit membalikkan badannya untuk mengikuti arah yang ditunjukkan. Sebuah taman yang sering dipakai untuk kumpul keluarga atau pelanggan yang ingin merasakan suasana piknik dan lesehan. "Lamaran di taman?"

"Iya. Katanya, dari siang sudah ribet nyiapin macem-macem. Termasuk meja dan hiasan-hiasan. Di pesen khusus itu sama yang mau lamaran." Aksara melirik jam tangannya. "Belum dateng, sih. Kayaknya bentar lagi."

Tepat saat Aksara mengatakan kalimat itu, terdengar bunyi lonceng dari arah pintu masuk. Lonceng itu tergantung di balik pintu sehingga akan ikut berbunyi setiap ada yang membuka pintu.

"Nah, kayaknya itu! Katanya, yang mau lamaran itu anak geng motor," seru Aksara saat melihat rekan kerjanya langsung menyambut dan mengarahkan pengunjung yang baru datang ke arah taman. Suaranya pun sedikit ia rendahkan saat mengucapkan kalimat terakhir.

Rasya menopang dagunya di atas paha. "Terus, kok aku yang dapet menu spesialnya? Kan bukan kamu yang mau ngelamar aku."

"Latihan."

"Latihan?" Jantung Rasya tiba-tiba berdegup cepat. Tangannya pun kembali ke posisi semula sebelum menopang dagu. Untungnya, pandangan Aksara masih terfokus pada pengunjung yang baru datang itu. "Latihan ... ehm, ngelamar ... orang?"

"Bukan. Latihan nganter pesenan. Nanti aku yang disuruh ngaterin makanannya." Senyum lebar hadir di wajah lelaki yang menggunakan apron hitam di pinggangnya. "Selamat menikmati!"

Mulut Rasya terbuka seolah masih ingin mengatakan sesuatu. Namun, seperti biasa lelaki itu sudah berlalu dan meninggalkan rasa panas di wajahnya yang masih salah tingkah ini. Ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya mendadak gemetar dan debar jantungnya masih tak karuan. Matanya pun menelusuri definisi-definisi emosi yang ada di lembar emotion wheel. Namun, entah mengapa tak ada emosi yang rasanya tepat untuk menggambarkan kondisinya.

"Ini apa, sih, Sya?" gumamnya pada diri sendiri.

Akhirnya, Rasya pun menuliskan keadaannya itu dalam buku hitam. Tentu dengan keterangan bahwa ia masih belum mengerti perasaan apa yang mengusiknya saat pembicaraan soal lamaran itu hadir. Tenggorokannya pun terasa kering dan saat ia bermaksud meminum minuman spesial di hadapannya, ia mendapati sebuah kertas terselip di bawah gelas.

Rasya terkekeh. "Apa nyelipin puisi di bawah gelas juga latihan? Dasar Aksara."

----
Mungkin ada rasa yang tak mampu dijelaskan
Bahkan oleh bantuan dari semesta
Mungkin ada rasa yang hadir tiba-tiba
Tersebab sebuah lakon peran di dunia

Pada akhirnya,
segala rasa adalah tanggung jawab masing-masing
Tak ada yang bisa benar-benar di salahkan
Atas bibit rasa yang terus di siram

Dan mungkin jika kecewa menghampiri,
diri sendirilah yang terlanjur berharap

Pada ketidakpastian yang dicipta
Oleh pikir yang jauh berkelana

Berkenalan dengan,
cinta
----

Helaan napas panjang menjadi satu-satunya cara Rasya melepaskan sesak di dadanya. Sesak ini berbeda, bukan karena sebuah kecewa atau keinginan untuk menguras air mata. Sesak ini datang sesaat ia tenggelam dalam bait-bait puisi Aksara. Sesak ini hadir tersebab debar jantung yang kembali tak berirama, temponya terlalu cepat. Entah musik apa yang sedang dibuat.

Namun, tampaknya sebelum Rasya bisa memaknai puisi itu lebih dalam dan menuliskan segala yang terjadi dalam buku hitamnya, keributan dari arah belakang punggung mengusik telinga. Tak ayal, tubuhnya pun berbalik dan melihat sebuah adegan tak terduga.

"Aksara!"

***

Detik-detik menjelang tugas pengantaran makanan edisi spesial membuat jantung Aksara berdegup cepat. Memang, bukan hanya dirinya yang ditugaskan untuk mengantar pesanan. Hanya saja, kekhawatiran akan ketidaksempurnaan pelayanan membuatnya sedikit cemas. Apalagi, rasa nyeri mulai hadir dari daerah pergelangan hingga telapak tangan kanannya.

Tidak. Dirinya pasti bisa menyelesaikan tugas dengan baik. Lagi pula, Aksara sudah berlatih lebih dulu dengan menyajikan makanan ke Rasya. Sebenarnya, latihan bukanlah alasan satu-satunya ia memesankan menu spesial untuk perempuan bersepatu merah muda itu. Entah mengapa, ia hanya ingin melakukan itu. Memberi yang spesial untuk sosok yang mulai mengambil alih salah satu tempat spesial di hatinya.

Membayangkan reaksi Rasya saat mendapatkan menu spesial berhasil membuat Aksara terus tersenyum. Lelaki bertahi lalat di bawah bibir ini hanya berharap, perempuan yang menyukai puisinya itu menyadari dan membaca secarik kertas yang ia selipkan di bawah gelas. Setidaknya, meski jarak yang pernah dibuat mulai melebur, keduanya sadar bahwa perasaan yang hadir adalah tanggung jawab masing-masing.

"Kalo kamu yang ge-er karena perilaku dia, ya, itu tanggung jawabmu untuk mengontrol perasaanmu. Bisa aja dia emang baik dan seperti itu ke semua orang. Kalo kamu udah bilang kalo nggak mau ngasih harapan, tapi dia masih berharap lalu kecewa, bisa jadi itu karena dia sendiri yang menumbuhkan bibit harapan di hatinya. Intinya, setiap orang bertanggung jawab atas perasaannya masing-masing. Dan kita hanya bisa mengontrol hal-hal yang bisa kita kontrol, Sa. Perilaku kita, juga perasaan yang timbul akibat perilaku itu." ujar Andra panjang lebar saat Aksara kembali mengungkapkan kekhawatirannya atas hubungan dengan Rasya.

"Aksa! Ayo, siap-siap!"

Panggilan dari manajer restoran membuat Aksara mengembalikan jiwa dan pikirannya ke kondisi dan waktu saat ini. Ya, sekarang ia harus fokus dulu pada pekerjaan. Urusan perasaan bisa diurus belakangan. Ia mengibas-ngibaskan tangan kanannya dan meregangkan jari-jari. Semoga semua baik-baik saja dan lancar.

Taman belakang restoran See & Meet sudah dihias sedemikian rupa demi acara lamaran yang akan berlangsung. Bukan lamaran dengan pihak keluarga, tetapi masih berupa lamaran romantis dari sang laki-laki untuk kekasihnya. Lampu warna-warni yang memang sudah menjadi penerangan wajib taman itu telah menyala sejak selepas magrib. Sebenarnya, tak perlu hiasan berlebih untuk membuat suasana taman menjadi romantis. Staf restoran hanya menambahkan beberapa bunga di atas meja dan menghias kursi dengan pita-pita berwarna merah muda.

Ada tiga waiters yang ditugaskan untuk mengantarkan pesanan dan Aksara adalah salah satunya. Ia akan membawa makanan dan minuman untuk gadis yang akan dilamar. Satu hal yang membuatnya gugup adalah ia mendapat giliran terakhir untuk mengantarkan pesanan dengan cincin yang diletakkan di puncak topping minuman yang dibawanya. Dirinya hanya bisa berdoa semoga cincin itu tidak jatuh. Bisa-bisa, tamat sudah riwayatnya.

Setelah mendapatkan aba-aba dari manajer restoran, Aksara dan dua rekan kerjanya keluar dari dapur, lalu berjalan menuju taman. Namun, belum lama ia menunggu gilirannya untuk mengantarkan makanan, tangan kanannya mulai terasa nyeri lagi. Sekuat tenaga ia menahan dan menggenggam erat pegangan gelas agar tetap aman sampai diantarkan ke tujuan. Rasa nyeri itu lantas menjalar ke bagian siku dan tangannya mulai bergetar.

Tahan, Sa. Tahan. Sebentar lagi.

Setelah melihat dua rekannya selesai menunaikan tugas, kini giliran Aksara. Ia pun berjalan dengan percaya diri meski rasa sakit semakin tak tertahankan dan hampir membuatnya mati rasa. Tepat saat ia sampai dan ingin meletakkan gelas minuman di atas meja, tiba-tiba jari-jarinya seperti tertarik dan tak bisa ditekuk. Genggamannya pada pegangan gelas pun terlepas dan membuat isinya membasahi meja serta makanan di dekatnya sebelum jatuh ke rumput taman.

"Apa-apaan ini!" teriak lelaki berkemeja garis-garis di samping kanan Aksara.

"Ma-maaf, Mas." Aksara gugup. Ia ingin segera membereskan tumpahan minuman. Sialnya, ia tak mampu merasakan jari-jari tangan kanannya yang mulai menegang dan gemetar.

"Lo becus nggak, sih, jadi pelayan? Hah? Gua udah pesen pelayanan di sini, udah gua bayar, berani-beraninya lo gagalin rencana gua?" Lelaki berkemeja garis-garis itu menarik kerah baju Aksara dan mendekatkan wajahnya. "Lo tahu, kan, kalo gua mau ngelamar pacar gua?"

"I-iya, Mas. Maaf, ini di luar kendali saya."

"Tio, udah, Yo. Aku nggak apa-apa." Kini perempuan yang menggunakan baju terusan berwarna merah berusaha menenangkan kekasihnya.

"Di luar kendali? Hah! Dasar nggak becus!"

Kesadaran Aksara mendadak berkurang saat ia terlempar karena merasakan bogem mentah dari lelaki berkemeja garis-garis itu. Rintihan tertahan keluar dari mulutnya saat ia menahan tubuh yang akan terjatuh dengan tangan kanannya. Ia merintih sambil memegangi pergelangan tangan kanannya yang gemetar hebat. Nyeri terasa hingga ke siku dan pundak yang turut menjadi titik topang tubuhnya yang terjatuh tadi.

Aksara tidak mampu mencerna situasi yang terjadi setelah itu. Pergelangan tangannya memakan sebagian besar fokus pikiran sehingga yang mampu ia ingat hanyalah suara keramaian di taman. Dirinya merasakan pundaknya dipegang oleh salah seorang rekan kerja yang kemudian membantunya berdiri dan membawanya ke sebuah ruangan di lantai tiga restoran.

"Sa, lo nggak apa-apa?" tanya rekan kerja yang membawanya.

Aksara hanya mengangguk dan memegangi tangan kanannya.

"Tunggu di sini dulu. Nanti gua balik lagi bawa P3K."

Kalimat itu hanya terdengar samar-samar di telinga Aksara. Rasa sakit yang hadir di tangan kanannya sukses mengambil alih seluruh kesadaran. Kepalanya mulai pusing, pandangannya menguning. Keringat mulai membasahi kening dan lehernya, menunjukkan betapa keras usahanya menahan sakit. Ia pun membaringkan tubuhnya sambil memejamkan mata, menahan nyeri di tangan yang mulai mati rasa.

***

Aksara pake apron item :D


Lagi serius bikin puisi buat ... buku hitam Aksara wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro