21 - Memaki Rasa Bersalah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aksara membuka matanya dengan sedikit rintihan yang keluar dari lisan. Memar yang didapat dari sebuah bogem mentah masih terasa berdenyut dan nyeri. Tidak hanya itu, tangan kanannya pun terasa sulit untuk digerakkan. Perlahan, lelaki berhidung mancung ini bangun dan duduk di pinggir kasur sembari memegang pelan telapak tangannya.

Kejadian kemarin malam sungguh sulit dilupakan. Pikiran Aksara masih saja menyalahkan diri sendiri dan berandai-andai, jika tangannya mampu bertahan sedikit lagi, tentu bogem mentah itu tak akan mendarat di wajahnya. Sialnya, Rasya ternyata melihat semua kejadian itu. Telinganya sempat menangkap teriakan perempuan yang memanggil namanya—siapa lagi kalau bukan Rasya?

Kesenduan yang ingin Aksara hapus dari wajah Rasya kembali hadir dan ia melihat gurat itu dengan jelas. Saat dirinya sedang diberi pertolongan pertama oleh rekan kerjanya, Bima dan Rasya berdiri di hadapannya.

"Bener nggak mau ke rumah sakit aja?" tanya Bima pada pegawai sekaligus teman dari putrinya itu.

"Enggak, Pak. Nanti ibu saya malah khawatir," jawab Aksara yang meringis menahan nyeri. "Nanti juga sembuh."

"Tapi, tanganmu ...."

Suara lirih Rasya berhasil membuat hati Aksara ikut nyeri. Saat ia melirik sang pemilik suara, wajah sendu itu hadir di sana. Hadir karenanya.

"Nanti juga baikan." Aksara berusaha tersenyum seindah dan setenang mungkin. Berharap kesenduan dan kekhawatiran yang tersirat di wajah Rasya sirna saat itu juga karena ketenangan yang ia bagi lewat senyumnya.

"Kamu libur kerja dulu aja, ya, sampai baikan. Nanti kalo udah sembuh, bisa mulai part-time lagi."

Begitulah perintah dari Bima yang membuat Aksara semakin menyalahkan diri sendiri. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan tangannya? Apa karena ia terlalu sering menulis? Ya, setiap hari jemarinya terus menulis selama ada kesempatan demi memenuhi tujuan menulisnya. Tangannya hanya benar-benar beristirahat jika ia terpejam dan masuk ke alam mimpi.

Lagi pula, sejak kecil tak ada masalah berarti dengan tangan Aksara. Meski sesekali terasa pegal dan nyeri ketika ia terlalu lama menulis, ia merasa itu adalah hal yang wajar bagi penulis. Ia benar-benar tidak mengerti. Haruskah dirinya memeriksakan tangan ke dokter?

"Aksa, gimana? Udah baikan?" Suara ibunya langsung menyambut saat Aksara sampai di dapur.

"Alhamdulillah, masih agak nyeri di pipi."

"Eh, nggak usah." Ibunya mencegah Aksara yang sedang mengambil piring untuk ditata di meja makan—tugasnya di pagi hari sebelum sarapan.

Aksara berkelit dan tetap mengambil tiga piring. "Nggak apa-apa, Bu."

Namun, tangan Aksara masih belum mau bekerja sama. Saat ia meletakkan piring di meja makan, tiba-tiba piring itu lepas dari genggaman dan beradu dengan meja makan. Mengeluarkan gema yang mengundang derap lari mendekat ke arah dapur.

"Kenapa, Bu?" Andra yang belum selesai mengancing kemejanya terlihat begitu panik saat tiba di dapur karena mendengar suara dentang piring.

Beruntung, tidak ada piring pecah di sana—hanya sedikit beradu dengan meja makan yang terbuat dari kayu. Ibunya berjalan mendekati meja makan. Wanita itu menepuk pelan pundak Aksara yang perlahan menurunkan dua piring lainnya dengan tangan kiri.

"Aksara, habis sarapan kita ke dokter, ya."

Tak ada yang bisa terucap lagi dari lisan lelaki pujangga itu. Aksara hanya mengangguk lemah dan mendengkus kasar sambil duduk di salah satu kursi. Dalam hatinya ia merutuki diri yang tidak bisa menjaga diri dengan baik. Bagaimana bisa ia membuat ibunya memunculkan raut khawatir yang begitu jelas di wajah? Bagaimana bisa ia merepotkan ibunya yang harus mengurus dua anak laki-laki sendirian?

"Kamu anak Ibu, Aksa. Sudah kewajiban ibu buat memberi kamu perawatan terbaik. Ibu nggak bisa liat kamu dengan kondisi kayak gini. Jangan ditahan kalau sakit. Ya?"

Kalimat ibunya seolah menjawab kegelisahan Aksara. Ia merasakan dua tepukan pelan di pundaknya yang mulai bergetar. Satu dari ibunya dan satu dari kakaknya, Andra. Mungkin, keduanya mengerti bahwa saat ini dirinya sedang menyesali banyak hal tanpa perlu diungkapkan. Mungkin, keduanya pun tahu bahwa lelaki yang selalu mengungkapkan rasa lewat puisi ini sedang tak mampu menciptakan puisi apa pun dan itu melemahkan semangatnya.

Maka, tak ingin membuat kedua orang yang dicintainya khawatir lebih jauh, Aksara pun berusaha kuat untuk tetap tersenyum dan mengangguk. Menyerahkan dirinya untuk apa pun yang ingin ibunya berikan agar kondisinya lekas membaik. Matanya sendiri tak sanggup melihat warna biru keunguan yang mulai tampak di sekitar pergelangan tangan. Tangannya benar-benar tak bisa difungsikan lagi, untuk saat ini.

Setelah sarapan, Aksara lantas bersiap-siap untuk pergi ke dokter bersama ibunya. Tadinya, lelaki dengan rambut sedikit bergelombang ini ingin agar kakaknya saja yang mengantar. Menurutnya, biarlah hanya dirinya dan Andra yang tahu kondisi sebenarnya karena tak ingin menambah pikiran sang ibu. Namun sayang, Andra masih ada tugas praktik kerja di puskesmas dan terpaksa ia berangkat bersama ibunya.

Awalnya, mereka pergi ke dokter umum yang buka praktik pribadi di dekat rumah. Setelah pemeriksaan singkat dan menanyakan perihal sebab sakitnya tangan Aksara, dokter itu menyarankan agar Aksara melakukan pemeriksaan X-Ray guna mendapatkan gambaran lebih lengkap perihal kondisi tangannya.

"Ini bisa saja keseleo tangan biasa. Tapi, kalau mendengar penuturan Mas Aksara, sepertinya perlu dicek dengan beberapa tes penunjang karena kemungkinan terjadi pergeseran sendi atau bahkan ada keretakan tulang. Dua hal itu bisa jadi penyebab memar yang terlihat di luar karena ada yang menghambat peredaran darah dan menyebabkan inflamasi di dalam tangan," jelas dokter tersebut panjang lebar.

"Apa perlu ke dokter ortopedi langsung?" tanya Nuri dengan intonasi yang begitu tenang.

"Bisa, Bu. Saran saya, langsung ke spesialis ortopedi, sekalian rontgen di rumah sakit. Ini saya kasih surat rujukannya, ya."

Sementara untuk penanganan awal, dokter umum tersebut membalutkan perban elastis di telapak hingga pergelangan tangan Aksara. Setelah mendapat surat rujukan, keduanya pun pergi ke Rumah Sakit PMI untuk melakukan pengecekan lebih lanjut di spesialis ortopedi.

Setelah menunggu antrean selama hampir satu jam, Aksara dan ibunya pun masuk ke ruang dokter dan kembali menjalani pemeriksaan. Aksara juga langsung diminta untuk melakukan tes rontgen setelah Dokter Pandu membaca surat rujukan yang dibawa.

"Sebelum jatuh kemarin, apa Mas Aksara pernah ada keluhan nyeri di tangan sekitar bagian ini?" Dokter Pandu menunjuk bagian telapak tangan sekitar ibu jari hingga jari tengah.

Aksara mengangguk. "Biasanya nggak apa-apa. Paling nyeri kalo kelamaan nulis, Dok. Dan akhir-akhir ini semakin sering berasa nyerinya."

Dokter Pandu mengangguk sambil menuliskan catatan medis. "Oke. Kalau dari sebab jatuh, kemungkinan Mas Aksara mengalami cedera FOOSH atau falls on outstreched hand karena sepertinya saat jatuh, tangannya menahan tubuh supaya nggak terbentur. Akibatnya, bisa ada pergeseran sendi atau keretakan tulang.

"Untuk Mas Aksara ...." Dokter Pandu memperlihatkan hasil rotgennya, "ada keretakan di tulang kecil di telapak tangan ini, ya. Selain itu, soal nyeri yang dirasakan sebelum jatuh, dugaan lainnya ada CTS juga, Mas."

"Carpal tunnel syndrome?"

"Iya, benar. Sebenarnya penyakit ini jarang diderita sama usia muda dan sangat jarang terkena di laki-laki. Mungkin, ada turunan yang punya carpal tunnel kecil. Jadi, turunan ini meningkatkan kemungkinan terkena CTS. Ini baru diagnosis sementara saja. Nanti kita lihat perkembangannya setelah seminggu, ya," tambah Dokter Pandu.

Alis Aksara hampir menyatu. Raut khawatir tergambar jelas di wajahnya. "Apa artinya saya nggak bisa nulis lagi, Dok? Saya pernah baca, CTS itu ... cukup parah kalo diderita penulis."

"Oh, Mas Aksara penulis?"

"Ah, enggak. Cuma—"

"Iya, Dok. Anak saya hampir setiap hari nulis berlembar-lembar puisi. Dia seneng nulis dan saya seneng baca puisinya," sela Nuri yang dari tadi hanya memerhatikan percakapan dua lelaki itu.

"Wah, berarti Mas Aksara perlu istirahat dulu, ya. Untuk sementara, tangannya nggak boleh dipakai ngapa-ngapain. Biar nggak bandel, saya pasangkan gips saja biar tangannya istirahat total."

"Tapi ... Senin nanti saya ada UAS, Dok. Saya juga ...." Aksara menjeda karena tiba-tiba wajah Rasya terlintas dalam benaknya, "harus nulis puisi."

Dokter Pandu sedikit membelalakkan mata. Tampaknya beliau bisa mengerti kekhawatiran pemuda di depannya ini. "Semakin baik tangannya beristirahat, semakin cepat pemulihannya. Kalau Mas Aksara mau cepet nulis lagi, nurut aja, ya, sama terapi yang saya rekomendasikan."

Aksara hanya bisa mendengkus kasar dan ibunya menepuk pelan pundaknya untuk menenangkan. "Nggak apa-apa. Nanti kita cari solusinya buat UAS-mu, ya."

Sepertinya memang tak ada yang bisa Aksara lakukan selain menuruti tindakan pengobatan. Tidak ada menulis. Tidak ada puisi. Juga sepertinya, ia tidak sanggup bertemu Rasya dalam keadaan seperti ini. Hatinya tidak sanggup melihat wajah itu mengeluarkan gurat kesenduan karenanya. Bukankah lebih baik ia menjauh daripada membuat Rasya khawatir dan sedih? Terlebih, tak ada puisi yang mampu dibuatnya untuk memunculkan senyum di wajah Rasya.

"Bu, Aksa boleh ke laut?" tanya Aksara seusai melakukan pemeriksaan. Kini, tangan kanannya terbungkus gips dan seharusnya ia menggunakan arm sling untuk menggantung tangannya di depan dada. Namun, lelaki pujangga ini merasa itu berlebihan dan menolak.

"Mau dianter?" Nuri tampak ragu untuk melepas bungsunya ini pergi sendiri. Wanita ini seolah mengetahui tujuan anak laki-lakinya pergi ke laut.

"Nggak usah. Ibu duluan aja. Nanti Aksa bisa naik bis dan mungkin pulang agak malem," jawab Aksara sambil memerhatikan perubahan raut wajah ibunya. "Nggak apa-apa, Bu. Aksa bisa jaga diri, insyaa Allah."

Ibunya pun mengangguk dan Aksara pamit harus berpisah di rumah sakit. Ia pun bergegas ke terminal bis untuk membawanya ke laut. Mengunjungi pria yang ia rindukan untuk mengeluhkan segala rasa bersalahnya, segala kekhawatirannya tersebab ketidakmampuannya menjaga tangannya dengan baik.

Harusnya gua bisa jaga tangan ini. Harusnya gua nggak maksain diri. Ibu khawatir karena gua. Rasya juga khawatir karena gua. Semua salah gua. Nggak berguna, lu, Aksa!

Sepanjang perjalanan, hanya makian yang terlisan pelan dan rasa bersalah yang semakin membesar dalam hati lelaki pujangga ini. Aksara benar-benar menyesali segala yang terjadi dan terus menyalahkan diri, juga keadaan. Setelah 90 menit perjalanan, dirinya pun tiba di terminal bis dekat laut.

Aksara berjalan pelan di pasir pantai. Mencari tempat yang nyaman untuk duduk dan melanjutkan kegiatan menyalahkan diri sendiri. Ya, lelaki ini benar-benar merasa tak berguna. Tujuannya menulis untuk membuat 1000 puisi untuk ayahnya pupus sejak sang ayah direbut oleh lautan. Ketika ia berhasil bangkit, ia mengubah tujuan menulisnya untuk menghilangkan kesenduan dari wajah Rasya. Dirinya juga tidak ingin menjadi penyebab kesenduan itu hadir kembali di wajah. Namun, tujuan itu pun tampaknya gagal.

Keinginan Aksara untuk membantu ibunya dengan bekerja part-time justru menimbulkan malapetaka bagi tangannya. Ia tak bisa bekerja lagi untuk waktu lama dan dirinya pun mencoreng nama restoran tempatnya bekerja karena kejadian semalam. Lelaki pujangga ini merasa hidupnya benar-benar dipenuhi kegagalan.

"Ayah, kalo semuanya gagal, untuk apa Aksa bertahan?" lirihnya pada riuh gelombang lautan. Saat ini, pikirannya kabur. Segala kekhawatiran hadir dan ia hanya mampu menghakimi diri sendiri. Ia merindukan buku hitamnya. Ia merindukan puisi-puisi yang tertulis dengan jemarinya. Ia merindukan ... Rasya.

"Ayah, kalau Aksa jadi penyebab kesedihan Rasya, artinya Aksa bukan laki-laki yang baik, kan? Aksa emang nggak pantes buat Rasya. Percuma. Semuanya percuma, Yah!"

Entahlah. Aksara benar-benar kehilangan dirinya. Ingin rasanya memukuli tangan yang berbalut gips putih itu. Namun, kewarasannya kembali saat ia teringat wajah khawatir ibunya.

Tidak. Dirinya sudah membuat dua perempuan berharga itu khawatir. Tidak boleh kekhawatiran itu melebihi ini. Apakah tidak ada jalan keluar untuk mengatasi semuanya?

Lelaki dengan iris mata cokelat ini teringat perkataan ayahnya.

"Aksara, kamu nggak akan menghadapi hidup yang mulus. Ada tantangan, ada rintangan. Ada keberhasilan, ada kegagalan. Semua akan dialami dan harus dihadapi, apalagi kalau mau membahagiakan orang tersayang. Kalau kamu ada di kondisi itu, cobalah memutar sudut pandang dan melihat sisi lain kehidupan. Ayah yakin, kamu akan menemukan jawaban dan makna dari setiap kejadian," ujar ayahnya saat Aksara duduk di bangku SMP. Saat itu, Aksara begitu terpukul ketika mengetahui ia gagal memenangkan lomba puisi tingkat kabupaten/kota.

Maka, kewarasan Aksara akhirnya mengambil alih. Hempasan ombak yang menyentuh kaki telanjangnya seolah mendinginkan hati dan pikiran. Ya, ada jalan keluar dari semua ini. Ada jalan keluar untuk tetap menulis puisi dan membuat tawa hadir di wajah ibunya juga Rasya.

Aksara merasakan satu tangannya yang bebas dari balutan gips. Ia pun mengangkat tangan kirinya ke depan wajah dan tersenyum. "Ayah, makasih. Aksa tahu jawabannya!"

Lelaki itu pun berlari menjauhi lautan dan bergegas menuju terminal bis. Aksara harus segera pulang dan melatih tangan kirinya agar bisa menatap wajah Rasya yang tersenyum bersama lembar-lembar puisi buatannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro