2 - Berharap Pada Ketidakpastian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berita hilangnya KRI Nakula 204 menjadi sorotan di berbagai media. Bahkan, pernyataan dari Panglima TNI membuat hampir seluruh rakyat Indonesia menyatakan berkabung karena belum ada tanda-tanda ditemukannya KRI Nakula 204 pasca hilang kontak kemarin pagi.

"Cadangan oksigen dalam kapal selam kemungkinan masih ada selama 72 jam setelah listrik kapal padam. Sisa 12 jam lagi sebelum cadangan oksigen benar-benar habis dan kami akan mengerahkan seluruh tenaga, memanfaatkan bantuan dari negara-negara tetangga untuk secepatnya menyelamatkan para prajurit kami."

Perhitungan jam yang disebutkan oleh Panglima TNI memunculkan beragam spekulasi hingga sebutan bahwa KRI Nakula 204 sudah dalam status on eternal patrol—patroli laut selamanya dan tak akan kembali—bergema di mana-mana.

Pemberitaan ini menjemukan bagi Aksara. Bisa-bisanya mereka mengatakan bahwa ayahnya dan seluruh awak kapal tak akan kembali. Bisa-bisanya mereka mendahului takdir Tuhan dalam membuat spekulasi. Bisa-bisanya mereka berbicara tanpa memikirkan keluarga yang masih berharap adanya keajaiban dari kejadian ini.

Aksara tidak tahan lagi. Ia ingin segera kembali ke rumah karena yakin bahwa hati ibunya pasti sakit melihat pemberitaan ini. Rasanya, ia ingin memutus segala koneksi yang dapat membuatnya mendengar berita miring perihal ayahnya.

Sayangnya, kuliah siang ini tak bisa ia tinggalkan lagi. Jatah absennya hanya dua, dan ia sudah menggunakannya satu di beberapa minggu lalu karena salah makan. Aksara diare. Miris, perutnya tak bisa diajak berkompromi untuk tenang sehingga ia pun terpaksa tidak masuk kelas.

Pikiran Aksara yang terus menerus teringat ibunya membuat ia memutuskan untuk membuat sebuah panggilan, lima menit sebelum kelas dimulai.

"Assalamualaikum, Bu."

"Waalaikumsalam."

Hanya dari satu kata salam itu saja, Aksara mampu merasakan perih yang disimpan oleh ibunya. Suara wanita kesayangannya itu bergetar dan ada sedikit isakan di akhir.

"Ibu nggak usah nonton berita, ya. Jangan terima tetangga juga. Mereka cuma bisa ngomong yang enggak-enggak," ucap Aksara langsung pada intinya.

"Kalo Ibu nggak nonton berita, gimana Ibu tau ayahmu akan pulang atau tidak?"

"Ayah pasti pulang, Bu. Ayah tangguh. Laut nggak bisa ngambil Ayah gitu aja."

Kini suara Aksara yang bergetar. Ia sadar, perkataannya mungkin akan membuatnya dibenci Tuhan karena seolah tidak mengizinkan Tuhan mengambil apa yang menjadi milik-Nya. Namun, ia ingin tetap percaya pada kemungkinan terbaik karena dirinya tidak siap mendapatkan jawaban terburuk.

"Aamiin, kita doain aja, ya, Nak. Kamu nggak kuliah?"

Bisa-bisanya ibunya masih memikirkan kuliahnya. Dirinya saja tidak bisa memikirkan hal lain selain ayahnya. "Iya, ini udah mau masuk kelas. Nanti habis kuliah, Aksa langsung pulang, Bu."

Telepon pun ditutup usai keduanya berbalas salam.

"Sa, gua turut berduka buat bapak lu."

Suara Tama, teman kuliah yang duduk di sebelahnya membuat Aksara sedikit naik pitam. Ia meremas tangannya sendiri, berusaha menahan diri dan berprasangka bahwa temannya tidak tahu apa-apa.

"Insyaa Allah, ayah gua selamat, Tam. Mohon doanya," sanggah Aksara.

"Tapi, kan ...."

Beruntung, dosen sudah memulai kuliah itu sehingga Aksara tak perlu lagi mendengar kalimat pesimis dari temannya. Ia tidak mengerti, apakah dirinya yang terlalu berharap pada harapan semu atau memang orang-orang itu pesimis dengan keajaiban?

Aksara membuka halaman paling belakang buku catatan kuliahnya. Beberapa hari ini, ia menjadikan halaman belakang itu pelampiasan dari segala perasaan yang muncul dalam dadanya. Seharusnya, buku hitam yang dibawa sang ayah yang menemani hari-harinya dan menjadi saksi atas segala curahan hati. Namun, ia percaya buku hitam itu akan kembali bersama ayahnya sehingga dirinya enggan untuk membeli buku hitam yang baru.

Maka di lembar putih bergaris itulah, menjadi tempat berlabuh sementara Aksara untuk menuangkan segala rasa dan asa.

----

Laut boleh saja menjadi kawan seperjuanganmu
Laut boleh saja merindu kehadiran dan sapaanmu
Tapi, laut tak boleh mendekapmu dalam dingin
Dingin yang membuatmu lupa
Bahwa ada yang menanti peluk hangatmu
Kembali mendekap kami

----

Selepas dosen kuliahnya menutup pertemuan hari itu, Aksara langsung menyabet tas ranselnya dan pergi tanpa berpamitan dengan teman-teman. Harusnya, ia bertukar sapa dengan teman sekelasnya karena tugas yang diberikan sang dosen adalah tugas kelompok. Hanya saja, Aksara tidak peduli. Satu hal yang mengusik pikirannya saat ini adalah pulang.

Sepanjang perjalanan, Aksara berusaha menutup telinga dari suara-suara manusia yang berseliweran membahas kapal selam yang diawaki oleh ayahnya. Rasanya ia ingin memanggil motor milik kakaknya agar dirinya tak perlu menaiki angkutan umum dan bertemu dengan segala bentuk percakapan masyarakat yang terfokus pada pencarian kapal selam.

Keterbatasan biaya keluarga membuat Aksara rela untuk tidak memiliki kendaraan sendiri dan membiarkan kakaknya yang memakai motor satu-satunya. Ia tidak mau praktik kerja profesi yang akan membuat kakaknya menjadi seorang psikolog terhambat hanya karena urusan kendaraan.

Kadang, Aksara sedih melihat kakaknya, Andra, pulang dengan wajah yang begitu lelah karena menangani banyak kasus berat di rumah sakit jiwa. Saat kakaknya praktik di puskesmas, kelelahan itu tidak seberapa terlihat. Entah kapan semua itu akan berakhir, Aksara belum bertanya lagi pada kakaknya.

Sesampainya di rumah, Aksara mendapati ibunya sedang memasak di dapur. Ibunya terlihat baik-baik saja, meski lelaki dengan kepekaan tinggi ini tahu bahwa itu hanyalah benteng pertahanan sang ibu. Ibunya selalu ingin tampak tegar di hadapan anak-anaknya.

"Aksa, udah makan?" tanya ibunya saat menyadari keberadaan lelaki dengan satu tahi lalat di bawah bibirnya ini.

"Udah, Bu."

"Sini duduk. Ibu mau ngomong sesuatu."

Mendadak jantungnya berdebar cepat. Perasaan aneh apa ini? Cemas? Khawatir? Entah. Satu hal yang Aksara sadari, ia tidak nyaman dengan perasaan ini karena sepertinya ia tahu apa yang akan dikatakan oleh ibunya.

Nuri, wanita dengan hidung mancung di hadapan Aksara, tersenyum tipis dan mengembuskan napas panjang sebelum berbicara. Matanya menatap ke arah meja, seolah masih memikirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan pada bungsunya.

Saat netra keduanya saling menatap, Aksara menelan ludah.

"Aksara, sepertinya, kita harus bersiap dengan kemungkinan terburuk," lirih Nuri.

"Maksudnya, Bu?"

"Tadi siang sebelum kamu telepon, Ibu dapat telepon dari posko darurat. Pencarian kapal ayahmu masih belum menemui titik terang. Kemungkinan, kapalnya sudah benar-benar ... tenggelam ...."

Refleks kepalan tangan Aksara beradu dengan meja. Ia masih mencerna kalimat ibunya.

"Jajaran TNI, Polri, dan semua negara yang membantu masih akan terus berusaha mencari. Tapi ...."

"Tapi?" Suara Aksara tercekat. Bahkan rasanya sulit untuk menelan air liurnya.

"Tapi, mungkin Ayah ... Ayah akan benar-benar on eternal patrol."

Aneh. Sungguh aneh ketika Aksara menjumpai senyum penuh getar di wajah ibunya. Ia tidak mengerti, apakah ibunya tidak ingin menangis di depannya atau benar-benar sudah menerima jika suaminya benar-benar tidak akan kembali.

Kedua tangan ia telungkupkan di depan wajah. Air mata di pelupuk mata mulai berebutan meminta jalan keluar. Namun, Aksara berusaha menahannya.

"Kita doakan yang terbaik buat Ayah, ya, Nak."

Entah kapan ibunya bangkit dari duduk dan berjalan ke sisinya. Aksara hanya bisa mengangguk dan memeluk sang ibu erat.

Seolah kepergian dan kehilangan akan terus menjadi sahabatnya mulai hari ini.

***

Kali ini Rasya tidak ingin menunggu. Ia mengabari Ammar bahwa selepas kuliah, dirinyalah yang akan datang ke kampus pacarnya itu. Meski jarak gedung kuliah jurusan farmasi dengan jurusan teknik kimia cukup jauh, Rasya tidak ambil pusing. Asalkan ia tidak harus menunggu tanpa kepastian hanya untuk hal sepele—pulang bersama Ammar.

Saat berjalan menuju gedung kuliah pacarnya, Rasya sedikit pusing. Badannya masih panas dingin dan ia pun mudah lelah akhir-akhir ini. Sepanjang perjalanan ia berusaha mengingat aktivitas yang dilakukan dan rasanya, tidak ada aktivitas berat selama ini. Ia sudah terbiasa dengan jadwal kuliah yang padat, juga pulang sore menjelang magrib. Hanya saja, setiap badannya terasa tidak enak, kalimat ibunya selalu terngiang.

"Kamu harus kuat. Kalau perempuan nggak kuat diri, nanti mudah dipermainkan dan direndahkan sama orang lain."

"Kalau ada yang nakal sama kamu, cuekin aja. Tapi, Rasya nggak boleh marah. Kalau marah, artinya Rasya nggak sabar dan Allah sukanya sama orang yang sabar. Rasya tau itu, 'kan?"

Kalimat itu selalu dilontarkan ibunya setiap Rasya merasakan sakit, pun setiap dirinya mengadu kalau ada teman yang nakal padanya. Ia pun menjadi terbiasa untuk menguatkan diri dan tidak peduli dengan segala hal yang menimpa dirinya.

Namun kali ini, Rasya merasa tubuhnya tidak mampu mentoleransi sakit yang hadir. Mungkin, ia perlu meminta Ammar untuk mengantarkannya ke klinik kampus. Jaga-jaga supaya jika dirinya benar sakit, ia tidak terlambat dalam menanganinya.

Pikiran-pikiran yang terus berputar di kelapa Rasya membuatnya tidak menyadari bahwa ia telah sampai di tujuan. Kata Ammar, lelaki itu bisa di cari di laboratorium kimia yang ada di samping musala. Perempuan ber-sneakers merah muda ini pun mencari-cari musala karena dianggap akan lebih mudah menemukan laboratorium tujuan jika sudah berada di sekitar musala.

"Permisi, Mbak, Mas. Musala teknik di mana, ya?" tanya Rasya pada gerombolan mahasiswa yang lewat di dekatnya. Ia ingin cepat duduk karena kepalanya mulai berdenyut.

"Lurus ke sana aja, nanti belok kanan," jawab seorang perempuan berambut pendek sambil mengarahkan tangannya ke arah tujuan.

"Oh, oke. Makasih, Mbak."

Rasya berjalan cepat menuju tempat yang ditunjukkan. Setelah mendapatkan musala, ia pun bisa melihat papan nama ruangan bertuliskan Lab. Kimia dan seulas senyum muncul di wajahnya.

Namun, senyuman itu memudar tatkala lensa matanya menangkap seorang perempuan yang sedang merangkul Ammar di dalam laboratorium.

"Oh, paling temennya. Nggak usah suuzan, Ras. Nggak baik," ujarnya pada diri sendiri sambil mengelus dada.

Rasya menunggu Ammar di musala sambil mengistirahatkan badan. Meski ternyata lagi-lagi ia harus menunggu, setidaknya ia tahu apa yang sedang dilakukan pacarnya dan hal itu membuatnya sedikit bernapas lega. Hingga akhirnya, telepon dari Ammar masuk dan wajah Rasya begitu semringah saat keluar dari musala—menyusul Ammar ke parkiran motor.

"Kamu sakit?" tanya Ammar saat mereka akan keluar parkiran.

"Nggak tau. Dari kemarin berasa cepet capek sama panas dingin. Suka deg-degan juga. Mau ngecek aja ke dokter."

"Oh, gitu. Oke."

Tujuan mereka adalah klinik kampus terdekat. Namun saat tiba di sana, shift dokter umum sudah habis. Rasya baru sadar ketika ia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan jam setengah enam lewat.

"Coba ke apotek yang ada dokter umumnya gimana, Ras?"

Rasya menyetujui saran lelaki berjaket jeans itu. Mereka pun mencari apotek terdekat yang memiliki layanan dokter umum dan searah dengan jalan pulang menuju rumah Rasya.

Saat tiba di sebuah apotek, Rasya menyampaikan keperluannya pada apoteker yang menyambut. Ia pun langsung diminta ke lantai dua untuk menemui dokter jaga apotek—Dokter Rama. Tadinya, Ammar ingin menemani Rasya. Sayangnya, lelaki itu mendapatkan telepon mendadak yang mengharuskannya kembali ke kampus—entah untuk apa karena Ammar tidak menjelaskan lebih lanjut dan menyuruh Rasya langsung bertemu dokter saja.

Lagi-lagi jantung Rasya berdebar cepat saat melihat pacarnya pergi dan menghilang dari pandangan. "Aku kenapa, sih?" gumamnya sambil berjalan menaiki tangga.

"Ada keluhan apa, Mbak Rasya?" tanya Dokter Rama saat Rasya duduk di hadapannya.

Rasya pun menjelaskan kondisinya yang mudah lelah beberapa hari ini, pusing, dan jantung yang suka berdebar tiba-tiba.

Dokter Rama pun menjalankan prosedur dasar seperti mengecek tekanan darah dan menanyakan beberapa hal seputar pola makan, serta pola tidur Rasya. Rasya juga diminta untuk berbaring untuk pengecekan fisik lainnya.

"Semuanya normal, Mbak. Mungkin Mbak Rasya kecapekan aja," terang Dokter Rama.

"Tapi, Dok, kalo deg-degan itu kayak sesek banget gitu. Kadang panas dingin nggak jelas juga padahal saya istirahat cukup."

Dokter Rama mengerutkan dahi. "Biasanya deg-degannya pas Mbak Rasya ngapain atau habis ngapain?"

Rasya menggeleng. "Nggak tahu, Dok. Tiba-tiba."

Lelaki ber-snelli itu terlihat berpikir sejenak sambil menatap Rasya. Ia pun menyelesaikan catatan medis dan meletakkan pulpen. "Ini dugaan saya aja, ya, Mbak. Secara medis, tidak ada masalah sama Mbak Rasya. Tapi, jika keluhannya berlanjut, mungkin Mbak Rasya bisa coba konsultasikan ke psikolog. Banyak mahasiswa yang datang ke sini mengalami keluhan serupa, tetapi sebabnya bukan fisik. Kalau Mbak Rasya pernah denger, istilahnya somatisasi."

Kini, dahi Rasya yang berkerut mendengar penjelasan sang dokter. Somatisasi? Sepertinya ia pernah mendengar istilah itu saat kuliah. Namun, pikirannya sedang tidak bekerja untuk mengingat definisi dari istilah tersebut. Satu hal yang berputar dalam pikirannya.

Dirinya tidak gila, tidak juga sedang stres. Semua baik-baik saja dan tidak ada masalah berarti yang mengganggunya. Mengapa justru ia harus ke psikolog?

"Saya harap benar tidak ada apa-apa. Ini saya resepkan vitamin saja, ya, untuk menambah daya tahan tubuh. Mahasiswa farmasi pasti sama sibuknya kayak anak kedokteran, 'kan?"

Rasya tersenyum mendengar perkataan sang dokter saat menyerahkan resep vitamin yang perlu ditebus di apotek bawah.

Iya, perkuliahan memang sedang sibuk menjelas ujian akhir semester, tetapi Rasya merasa enjoy menjalaninya. Ia tidak merasa stres, pun kelelahan karena merasa istirahatnya sudah cukup. Justru kondisi mudah lelahnya itulah yang ingin ia konsultasikan ke dokter.

Lagi-lagi Rasya bertanya-tanya, mengapa ia harus ke psikolog ketika dirinya merasa baik-baik saja?

***

Aksara Rasendriya

Rasya Ghaida

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro