3 - Semua Hilang Pada Saatnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aksara membuka lemari bajunya dengan tangan gemetar. Mencari baju terbaik dari semua baju yang ia miliki terasa sulit siang itu, terlebih baju itu diperuntukkan bagi sang ayah. Gemetar di tangannya menjalar ke seluruh tubuh, hingga bibirnya. Gemuruh di dada yang datang tanpa permisi, debar jantung yang melonjak-lonjak seolah membuatnya akan meledak, mengumpulkan air mata di ujung kelopak mata.

"Apa keajaiban nggak akan datang, Mas?" tanyanya selepas subuh pada Andra, kakaknya.

Andra menarik napas dalam dan menggeleng. Kedua lengannya menarik Aksara dalam pelukan, erat, tetapi menyakitkan.

Seluruh media yang memberitakan penemuan puing-puing kapal selam, tumpahan minyak, dan barang-barang awak kapal membuat mereka semakin gelisah. Apakah Bayu selamat bersama awak kapalnya? Apakah penemuan itu menjadi pertanda baik atau buruk?

Hingga pagi ini, telepon dari posko pencarian kapal menjawab seluruh kegelisahan dan tanya. Aksara menggenggam erat lengan kakaknya sembari menyimak telepon dengan mode loud speaker.

"Seluruh penemuan puing KRI Nakula 204 menjadi bukti otentik kapal itu tenggelam. Siang ini, kami akan memberi pengumuman resmi terkait perubahan status hilangnya kapal menjadi subsunk."

Aksara merasa pandangannya kosong. Harapannya untuk bertemu kembali dengan sang ayah telah ikut tenggelam ke dasar laut. Ia ingin berteriak, menangis, dan menyalahkan segala keadaan. Namun, ia tidak tahu pada siapa kemarahan dan kekecewaan itu akan ia tujukan.

Siang itu, keluarga kecilnya akan langsung diajak berkunjung ke lokasi tenggelamnya kapal. Memberi penghormatan terakhir untuk para prajurit laut yang gugur saat bertugas.

Dan Aksara benar-benar tidak tahu, pakaian apa yang sanggup ia gunakan untuk bertemu laut yang dengan egoisnya tidak mau mengembalikan Bayu ke dalam pelukannya lagi. Kakinya melemas. Ia terduduk sembari memegang erat daun pintu lemari. Telapak tangannya memerah, begitu pula wajahnya yang menahan amarah. Pada akhirnya, lelaki yang amat merindukan ayahnya ini hanya bisa mengizinkan air mata jatuh. Berkali-kali, tanpa mampu berhenti.

"Aksara, kamu udah siap?"

Suara Andra diabaikan oleh Aksara. Tenggorokannya tercekat, tersumbat, hingga tak mampu mengeluarkan kata selain suara isakan. Ia pun mendengar pintu kamarnya terbuka dan langkah kaki seorang lelaki mendekat padanya.

"Ayah ...." Satu-satunya kata yang mampu lolos dari tenggorokannya.

"Insyaa Allah, Ayah dapat tempat terbaik, Sa," ujar Andra dengan suara bergetar. Lelaki yang telah mengenakan kemeja putih dan celana jeans itu lantas menarik adiknya dalam pelukan.

Pelukan yang biasanya terasa hangat, justru seperti duri yang menusuk setiap bagian tubuh Aksara.

"Ayo. Ibu udah nunggu di depan."

Setelah mengumpulkan kembali kekuatannya, Aksara perlahan bangkit. Ia keluarkan sebuah kemeja biru dari dalam lemari dan memakainya berpasangan dengan celana jeans. Hanya kemeja biru itu yang tertangkap iris cokelatnya karena kemeja itu menyimpan banyak kenangan bersama ayahnya.

Ayahnya memberikan kemeja biru itu sepulang berlayar di ulang tahunnya ke delapan belas. Ayahnya selalu meminta ia memakai kemeja biru itu setiap ingin pergi berdua dan biru ... adalah warna kesukaan ayahnya.

Saat Aksara keluar dari rumah, dua prajurit TNI AL sudah menunggu. Ia melihat ibunya mengenakan seragam biru Jalasenastri-nama organisasi para istri perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut-yang telah memudar warnanya. Seragam yang kerap kali digunakan oleh ibunya setiap mendampingi ayahnya menghadiri acara resmi dari satuan tugas. Seragam yang kini harus digunakan untuk melepas sang suami bertugas dalam tugas yang abadi.

Seluruh keluarga dari awak kapal KRI Nakula 204 dibawa ke titik yang diduga menjadi tempat tenggelamnya salah satu kapal selam kebanggaan Indonesia itu. Di teriknya siang, upacara tabur bunga berlangsung dari atas kapal KRI Antareksa, dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Laut.

Aksara dan Andra menggandeng kedua lengan ibunya berjalan ke pinggir geladak kapal. Bersama dengan keluarga kru kapal Nakula lainnya, mereka menabur bunga ke lautan sebagai bentuk penghormatan terakhir pada para prajurit yang tenggelam. Isak tangis dan air mata yang berjatuhan mengiringi jatuhnya bunga-bunga yang kini ikut naik turun bersama gelombang laut.

Perlahan, Aksara menjauh dari ibu dan kakaknya. Ia menjauhi keramaian dan berjalan ke arah buritan kapal. Lautan yang membentang luas di depan matanya kembali memanggil gemuruh bertalu dalam dada. Tak ada ekspresi yang terlukis di wajah Aksara, pun air mata yang menetes seolah kering bersama dengan angin laut.

Pada saat yang sama ketika Aksara meletakkan kedua lengannya di pagar buritan, matanya menangkap sebuah benda berwarna hitam yang mengambang di lautan. Ia membelalakkan mata untuk memastikan penglihatannya. Entah benar atau tidak, lensa mata itu mengenal benda hitam yang terombang-ambing karena ombak.

"Pak, apa itu bisa diambil?" tanya Aksara pada kru kapal yang ada di dekatnya. Tangannya menunjuk ke benda hitam yang masih terjangkau pandangan.

"Hitam-hitam itu? Kenapa mau diambil?" tanya kru kapal itu.

"Saya ... sepertinya saya ... bukan." Aksara terlalu gugup untuk menjelaskan segala kemungkinan. "Tolong diambil, Pak, kalau bisa."

"Apanya yang diambil?" Salah satu prajurit TNI AL menghampiri Aksara yang sedang memohon dengan dua tangan menelungkup di depan wajah.

"Pak, saya mohon. Sepertinya itu barang ayah saya."

"Ayah kamu?"

"Letkol Bayu Ambarama."

Prajurit TNI AL itu terenyak mendengar nama yang Aksara sebutkan. Ia mengangguk dan segera memerintahkan kru kapal untuk mengambil benda hitam yang ditunjuk oleh Aksara.

"Ayah kamu prajurit sejati, Nak. Kamu harus bangga sama ayahmu," ujar prajurit itu menepuk bahu Aksara dan berlalu, menghampiri kru kapal yang sedang berusaha mengambil benda hitam tadi.

Aksara menyaksikan proses itu dari tengah buritan. Jantungnya berdebar cepat. Ia menggosok-gosokkan tangannya yang mulai berkeringat. Lalu dari kejauhan, ia melihat kakaknya celingak-celinguk seperti mencari seseorang.

"Mas Andra!"

Teriakan Aksara tenggelam oleh semesta. Ia harus teriak berulang kali sampai akhirnya Andra mendengar dan menghampirinya.

"Ibu nyariin kamu."

"Mas, buku hitam Aksa yang dibawa Ayah ...."

Andra mengernyitkan dahi.

"Itu ... buku hitam Aksa ..."

"Nak!" Prajurit TNI yang tadi membantu Aksara memanggil. Ia mengangkat tangannya yang memegang sebuah buku hitam-buku yang amat dikenal oleh memori Aksara.

"Ini buku saya yang dibawa Ayah, Pak," ujar Aksara saat menerima buku hitam itu. "Boleh saya bawa?"

"Tapi, barang-barang awak kapal perlu diidentifikasi dulu, Nak."

"Pak, saya mohon ...."

Entah karena iba atau tak ingin mendebat, prajurit TNI itu mengangguk dan membiarkan Aksara membawa buku hitam yang ditemukan.

"Cuma bukunya yang balik, Mas. Ayah ...."

Andra langsung memegang bahu Aksara, menenangkannya. Lelaki ini sangat mengerti betapa dekatnya hubungan Aksara dengan sang ayah. Aksara yang pintar dengan kata-kata selalu membuat ayahnya bangga setiap kali beliau membaca puisi yang dibuat Aksara. Kadang, Andra iri akan hal itu, tetapi ia selalu tahu bahwa ayahnya tidak pernah pilih kasih.

Sampai upacara tabur bunga selesai, Aksara terus diam. Kini, ia duduk di samping ibunya yang memegang buku hitam penuh dengan tinta yang pudar. Tak ada tulisan yang tersisa di sana.

"Ibu selalu bertanya-tanya pada ayahmu, kenapa bukunya harus hitam?" gumam Nuri. "Kamu tau apa jawaban Ayah?"

"Aksa suka hitam," jawab Aksara datar dengan tatapan kosong ke arah lautan.

"Itu salah satunya. Jawaban lainnya adalah hitam itu penuh kehangatan. Walaupun gelap, ia menyimpan hangatnya sendiri. Ayah selalu berharap supaya Aksa bisa leluasa mengungkapkan isi hati terdalam, tergelap, dan terhangatmu, Nak. Dengan begitu, kamu bisa benar-benar mengerti dirimu dan mungkin tulisanmu bisa menjadi kehangatan untuk orang lain."

Lagi-lagi tenggorokan Aksara seperti tersumbat. Ada ngilu terasa di sudut hatinya.

"Besok, Aksa beli buku hitam baru, ya. Ibu masih ingin menikmati puisi-puisi Aksara, seperti Ayah. Dan Ibu akan terus mendukung kamu supaya bisa mewujudkan mimpi menjadi pujangga terbaik, seperti Ayah." Nuri tersenyum getir, lalu mengelus pipi bungsunya itu.

Menjadi pujangga? Untuk siapa? Ayah udah nggak ada ... Apa aku masih bisa menulis seperti biasanya?

***

Cerah terpancar di wajah Rasya yang begitu bahagia mendapatkan telepon dari Ammar. Tidak biasanya lelaki itu meneleponnya lebih dulu dan meminta bertemu di sebuah restoran mahal. Terlebih, kali ini Ammar yang sudah menunggunya. Benar-benar tidak seperti biasanya.

"Maaf, Mar. Kamu nunggu lama, ya?"

"Enggak, kok."

"Kita mau makan apa? Oh, ya, katanya kamu mau ngomong hal penting?" Rasya mulai membuka pembicaraan sebelum memesan makanan.

"Makan dulu aja."

"Aku keburu penasaran kamu mau cerita apa," bujuk Rasya dengan mata yang berbinar-binar.

Ammar menghela napas panjang. "Kamu ... nganggep aku apa, sih, sebenernya?"

Dahi Rasya berkerut. "Ya, pacar. Kamu pacar aku, 'kan?"

"Aku pacar kamu tapi serasa kayak cuma tukang ojek yang antar jemput kamu aja, Ras. Kamu nggak pernah ngungkapin perasaanmu."

"Emang aku harus ngungkapin gimana, Mar?" Rasya benar-benar tidak mengerti.

Selama ini ia pikir tidak ada yang salah dengan sikapnya. Ia pikir, bersikap baik dan perhatian saja cukup dalam sebuah hubungan. Ya, memang, Rasya sadar kalau mereka sering bertemu hanya karena Ammar mengantar jemputnya untuk kuliah. Menurutnya, perbedaan jurusan dan kesibukan pun menyulitkan mereka untuk bertemu selain saat berangkat dan pulang kuliah saja.

"Katamu, kamu harus ke psikolog?"

Ah, Rasya memang langsung memberi tahu Ammar bahwa dokter yang memeriksanya menyarankan agar ia berkonsultasi ke psikolog. Apakah ini juga masalah?

"Iya, tapi aku nggak apa-apa, Mar. Aku sehat, kok."

"Kayaknya kita break aja, Ras."

"Hah? Kok gitu?"

"Hubungan kita datar. Nggak ada yang terasa spesial. Bahkan kamu pun setiap kutanya kesulitan dan masalahmu, kamu selalu jawab baik-baik aja. Seolah nggak ada ruang buat aku bantuin kamu, selain antar jemput aja. Kamu nggak pernah cerita kesedihanmu, kesulitanmu, dan ... entahlah, Ras. Aku nggak ngerti kita ini ngejalanin hubungan apa."

"Tapi ... apa yang salah dari itu, Mar? Aku emang baik-baik aja dan ... kalau pun sedih, ya udah. Emang apa yang perlu dilakuin?"

Lelaki di hadapan Rasya menggeleng-geleng. "Udah, Ras. Kita udahan aja."

"Mar, tapi ...."

Rasya belum mendapatkan penjelasan yang mampu ia mengerti, tetapi Ammar sudah pergi begitu saja. Ada nyeri yang terasa di dadanya, ada pula kekosongan yang hinggap bersamaan dengan nyeri itu. Lagi-lagi, ia tidak tahu kondisi macam apa yang ia alami.

"Kenapa, sih, sakit lagi?" lirihnya sambil memukul-mukul dada yang mulai terasa sesak.

Semua terasa kosong. Hampa. Hingga Rasya berpikir untuk segera memenuhi rekomendasi dari Dokter Rama agar ia berkonsultasi dengan psikolog.

Setelah menelusuri google maps, layanan psikolog terdekat yang bisa Rasya kunjungi ada di RS PMI. Ia baru tahu jika di rumah sakit umum ada layanan psikolog seperti ini. Sejauh pengetahuannya, layanan seperti ini hanya ada di rumah sakit jiwa atau biro konsultasi swasta yang melayani seleksi kerja.

Beruntung, Rasya dapat langsung menemui psikolog yang bertugas di rumah sakit hari itu. Biasanya, kata petugas registrasi, layanan psikologi perlu mengantre satu sampai dua jam karena sesi yang dijalani bukanlah sesi singkat layaknya dokter umum. Hari ini, baru satu pasien yang meminta datang ke layanan psikologi sehingga Rasya menjadi pasien kedua di hari itu.

Perempuan berbaju terusan sebetis itu menyusuri lorong layanan rawat jalan dan menjumpai ruang pemeriksaan psikologis. Baru saja ia akan duduk untuk menunggu namanya dipanggil, petugas registrasi langsung memintanya masuk karena sudah tidak ada antrean lain.

Rasya pun masuk ke ruangan bercat putih itu. Ia melihat ada sofa panjang di sisi kanan ruangan dan kursi relaksasi di hadapannya.

"Silakan, Mbak," ujar seorang lelaki ber-snelli yang menggunakan nametag bertuliskan Psikolog Rayendra.

"Saya datang karena direkomendasikan dokter klinik ... em, Mas Rayen." Rasya sedikit tidak yakin apakah benar caranya memanggil seorang psikolog seperti itu atau harus dengan titel psikolognya. Ia tidak pernah bertemu dengan psikolog sebelumnya.

"Direkomendasikannya kenapa, Mbak Rasya?"

Rasya pun menceritakan segala keluhannya, sama seperti saat periksa ke Dokter Rama. "Tapi, kata dokter, saya nggak kenapa-napa. Katanya, kemungkinan somatisasi."

"Oh, begitu ... Kalo sekarang, gimana perasaannya Mbak Rasya?"

"Baik-baik aja, sih. Cuma tadi sempet sesak lagi."

"Kenapa sesaknya?"

"Nggak tau."

"Apa ada kejadian yang terjadi sebelum itu?"

Rasya mengerutkan dahi dan memutar bola matanya. "Pacar saya ... Tadi dia habis mutusin saya, sih, Mas. Tapi, ya udah. Mungkin emang nggak cocok," tuturnya ringan.

Rayen menatap perempuan di hadapannya seolah menanti kalimat lanjutan yang akan dipaparkan Rasya lebih jauh.

"Kenapa, Mas?" Rasya bertanya karena bingung dengan tatapan itu.

"Mbak Rasya sedih habis diputusin?"

Kini Rasya mendongakkan kepalanya dan mengangguk-angguk. "Iya, kayaknya."

"Kayaknya?"

"Nggak tau, Mas. Saya nggak apa-apa, sih, diputusin. Mungkin masih bingung aja sama alasannya."

Rayen mengangguk-angguk dan menulis beberapa hal di catatannya. "Oke, boleh nggak Mbak Rasya cerita ke saya hubungan Mbak dengan keluarga seperti apa?"

Kok jadi nanyain keluarga? Rasya membatin tidak mengerti. Entah berapa hal yang tidak ia mengerti hari ini, tetapi tampaknya konsultasi ini akan berjalan lama.

Selama Rasya menceritakan hubungannya dengan keluarga, Rayen tidak banyak menanggapi. Meski sesekali ada pertanyaan yang diajukan seperti apa yang dirasakan saat itu terjadi, bagaimana tanggapan Rasya mengenai kejadian itu, hingga apa yang Rasya pikirkan tentang keluarganya.

"Sebenarnya, ada beberapa tes lagi yang perlu saya lakukan buat Mbak Rasya. Apa mau dilakukan hari ini langsung atau habis ini Mbak Rasya ada keperluan?"

"Saya nggak ada rencana tadinya buat ke sini. Kalo besok lagi, bisa nggak, Mas? Saya masih harus ngerjain tugas sama nggak boleh pulang sore-sore."

Rayen mengangguk dan bersama Rasya menentukan jadwal konsultasi berikutnya.

Kayaknya aku baik-baik aja. Kenapa harus ada tes-tes segala, ya?

Sepanjang perjalanan pulang, Rasya hanya bisa menduga-duga tes apa yang akan ia jalani, dan apa yang terjadi pada dirinya. Ia tidak tahu dan tidak mengerti. Ia merasa baik-baik saja dan hanya ingin sesak yang sering hadir hilang dan tak lagi mengganggunya.

Tapi ... apa benar semuanya baik-baik saja?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro