AKTARI || 03. Jangan. Ganggu. Dia.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Entah hanya dirinya atau berlaku untuk semua orang, kembali beradaptasi dengan orang yang baru di sekolah yang baru bukanlah hal yang menyenangkan. Jika bisa Tari memilih, dia tak ingin pindah sekolah. Dia ingin tetap tinggal di rumahnya yang lama. Hidup bersama kenangan yang ada hingga dia menua.

Tapi, keputusan orangtua selalu menjadi yang utama. Dan dia selalu tahu, keputusan mereka akan menjadi yang terbaik untuknya. Maka di sinilah Tari berdiri. Memandang pagar besi hitam menjulang bertuliskan SMA Pertiwi.

Untuk sejenak, ekspresi bingung sangat kentara di sana. Lalu dengan keraguan sebelumnya, tangan kanan itu menepuk pelan bahu seorang siswi yang melewatinya.

"Permisi," sapa Tari. Siswi dengan rambut sedikit bergelombang itu membalikkan badan sepenuhnya. Melirik atribut yang menempel di seragam putihnya, Tari lanjut bertanya, "Ruang kepala sekolah ... di mana, ya?"

Terdiam sejenak, siswi bernama Yasmin itu menjawab dengan cengiran kecilnya. "Oh ... mari saya antar."

Sampai di tempat tujuan, Tari menyempatkan mengucap terima kasih pada Yasmin. Lalu tangan kanannya tergerak mengetuk pintu yang sedikit terbuka seraya mengucap permisi.

"Nak Tari, ya? Anaknya pak Ghani?" tanya ramah seoranng bapak tambun berkumis dengan kaca mata yang sedikit melorot dari tempatnya. Masih berdiri kikuk, Tari mengiyakan lalu dipersilakan masuk setelahnya.

Menunggu waktu upacara selesai, Tari diantar kepala sekolah sekaligus sahabat kecil ayahnya. Keriuhan suasana kelas mendadak hening saat pak Roland berdehem mengambil atensi dari para murid kelas XI MIPA 2 itu.

Memperkenalkan diri, Tari menelusuri seisi kelas dan berhenti di salah satu wajah yang menurutnya familier, Yasmin. Mendapati kursi di sebelahnya kosong, Tari menghampiri setelah dipersilakan duduk seiring lambayan tangan yang menyambutnya di sana.

***

Debas terdengar seiring tangan yang membentuk sikap hormat seraya pandangan yang tertunduk malu. Selain malu, dia tak tahan dengan panas matahari pagi yang menyengat menyorot sempurna ke arahnya.

"TEGAAAK, GRAK!" Pemimpin upacara memberi komando. Menyiapkan seluruh peserta upacara di lapangan SMA Pertiwi. Dilanjutkan oleh pembacaan Undang-Undang Dasar 1945.

Tari menguap untuk ke sekian kali. Keringat dingin mulai bercucuran di pelipis. Perut yang terasa melilit menambah ketidaknyamanan meruak di sana. Jangan sekarang, please, Tari membatin.

Ini semua karena Olive. Jika saja dirinya tak mengajak Tari untuk maraton drama korea sampai pagi buta, Tari tak akan melewatkan sarapan dan berakhir seperti ini. Berbaris di barisan khusus orang yang kesiangan. Terlebih, ini hari senin. Hari senin kedua dirinya bersekolah di SMA Pertiwi sekaligus hari senin pertama dia mengikuti upacara bendera.

Pandangan Tari mulai menguning. Dirinya mengabsen tiap kepala yang tertangkap oleh mata kala sayup-sayup indera pendengaran itu menangkap sebuah suara di balik mikrofon. Tapi pandangan kabur mulai menyelimutinya. Saat dirinya menengadah menatap matahari pagi di atas sana ...

Bruk.

... Tari terjatuh dengan pekikan samar dari orang-orang di sekitarnya.

***

"Lo ... nggak papa?"

Sedetik setelah Tari membuka mata dan mengerjap pelan, dirinya disambut oleh pertanyaan sarat nada kekhawatiran. Sejenak, Tari memutar pandang menelusuri ruangan serba putih dengan beberapa piagam penghargaan yang menempel di dinding.

Waktu seminggu terhitung cukup untuk Tari mengakrabkan diri. Dirinya melirik salah satu dari tiga teman terdekatnya lalu berujar, "Gue ...,"

Harap cemas Yasmin menunggu. Mengangguk gemas, Yasmin berdecak kala Tari melanjutkan membuka suara. "Gue ... laper."

"Pantes pingsan. Lo belum sarapan, Tar?" Yasmin mencibir kesal.

Yang ditanya menggeleng samar seraya berkata, "Nggak sempet, Min."

Karena Tari tersadar saat denting pertama bel istirahat menggema, jadilah dia mengunjungi kantin dengan Yasmin yang mengiringi langkahnya. Masih dalam tahap beradaptasi, Tari tak bosan merekam suasana istirahat yang hampir selalu sama. Namun, dia menyuarakan kebingungannya kala menangkap hal tak biasa mengganggu kenyamanannya.

"Kok gue ngerasa aneh, ya?" Ketiga orang di sana saling pandang mendengar ungkapan ambigu yang dilontarkan Tari.

"Aneh kenapa?" imbuh Sofa, mewakili kedua temannya.

"Nggak biasanya orang-orang natap gue kayak gitu," jelas Tari seraya menunduk dan mengaduk asal soto di mangkuknya. Sedang ketiga orang temannya memandang sekeliling lantas saling pandang lagi sejenak.

"Mungkin karena lo pingsan, tadi, Tar."

"Emang salah, ya, kalo gue pingsan?" Tari langsung sewot tak habis pikir. Menatap satu per satu temannya, dia semakin bingun kala Hilda berujar santai dan menujuk Tari dengan sendoknya.

"Masalahnya, yang bopong waktu lo pingsan itu ... kak Aksara."

Belum sempat menyuarakan kebingungannya, suara lain menyusul membuat Tari melirik sumber suara.

"Pasti lo belum tau kak Aksara." Setelah Tari mengangguk samar, Yasmin lanjut berdongeng menarik seluruh atensi dari Tari. "Aksara Althaff Wirdana. Siswa kelas dua belas di SMA Pertiwi. Soal fisik, lo bisa nilai sendiri kalo ketemu dia nanti. Yang jelas, kak Aksara itu ganteng, keren, cool ... selalu masuk juara umum di angkatannya. Ya ... meskipun dia jarang ngomong plus pelit senyum, kayak tokoh-tokoh yanng sering gue temuin di Wattpad ...,"

Yasmin mengambil jeda untuk menyeruput es jeruknya. "... justru di sanalah letak menariknya, bukan? Gue aja nggak nyangka cowok dingin kayak kak Aksara beneran ada di dunia nyata. Nggak heran kalo cowok bentukan kak Aksara fans-nya di mana-mana. Jadi, wajar aja lo diliatin gitu sama orang-orang."

Yasmin melirik sekeliling mendapati beberapa orang masih memperhatikan meja mereka dengan bisikan yang kentara. "Karena setau gue, lo adalah cewek pertama yang berhasil tidur di pangkuannya," imbuh Yasmin santai. Tari mengernyit mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan.

"M-maksudnya, dibopong sama kak Aksara," imbuh Hilda meralat ucapan Yasmin yang terdengar sedkit ambigu.

Tari terdiam dengan pikirannya. Dia jadi tak berselera makan tiba-tiba. "Tapi ... kenapa kak Aksara ada di sana? Apa karena kesiangan juga?"

"Mungkin, sih. Tapi lo tenang aja, Tar. Fans-fans kak Aksara nggak sebrutal yang ada di pikiran lo, kok. Gue jamin, mereka cuma berani ngomongin lo di belakang. Nggak bakal ada buly-bulyan sampe sekujur badan lo basah karena diguyur mereka karena pas-pasan di toilet. Cuekin aja tatapan mereka mah. Lagian, bukan lo juga yang pengin dibopong kak Aksara, bukan? Mereka sirik aja sama lo."

Tari bernapas lega. Setidakanya, dia tetap merasa aman tanpa merasa terancam saat belum sebulan dia bersekolah di sekolah barunya.

***

Niatnya pergi ke perpusatakaan hanya untuk mengembalikan buku. Tapi mengabaikan banyak novel dengan aroma buku baru sama sekali bukan keahliannya. Dia sampai meringis malu saat penjaga perpustakaan mengusir secara tidak langsung menanyai kapan dirinya akan pulang. Karena itu, mendapati koridor yang cukup sepi di jam setengah lima sore menjadi akibat yang harus diterimanya.

Tari merogoh saku menarik keluar sebuah gawai. Mengetuk layar dua kali tapi tak kunjung menampilkan lock screen seperti biasanya. Dapat dipastikan gawai itu kehabisan daya baterai. Melengos pelan, dia meneruskan langkah berniat menunggu angkutan umum lewat di halte dekat sekolah.

Pukul lima lewat sepuluh, Tari masih setia menunggu angkutan umum yang tak kunjung lewat. Apa emang ... nggak ada angkutan umum yang lewat halte di jam segini? Lagi-lagi Tari mendesah. Bangkit dan duduk kembali berulang kali, Tari berubah waspada saat dilihatnya dua orang pria urakan seperti preman berjalan menghampiri.

"Belum pulang, Neng?" Tari refleks berdiri saat mereka hampir mendudukkan bokong di sampingnya.

Pria dengan tindik di salah satu telinga ikut berdiri. "Mending ikut kita ke kosan aja dulu, yuk. Siapa tau betah."

Tari semakin risi. Lalu menepis kasar saat pria bertindik itu memegang pergelangan tangannya. "Jangan pegang-pegang!"

Mereka tertawa. Semakin mendekati Tari saat cewek itu ciut dengan langkah yang bergetar. Pria bertato menghadang langkahnya, sedang pria bertindik berdiri di belakangnya. Kini Tari terjebak di tempatnya.

Tari gemetar. Dalam hati ia merapal doa agar seseorang datang untuk menolongnya. Lalu jeritan ketakutan akhirnya keluar saat pria bertato tadi hendak menyentuh pipi kirinya. Tapi Tari tak merasakan sentuhan apapun kala mendengar suara familier di belakang sana.

"Jangan. Ganggu. Dia."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro