Dugaan: 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pemandangan di depan mata Indah berhasil menimbulkan perasaan aneh di dalam hati, di sisi lain gadis itu memperdebatkan keanehan itu. Indah memang nyaman berada di dekat Gie, senang jika melihat Gie ada di depannya, tapi Indah masih tidak bisa mengakui apa yang dia rasakan saat ini. Cemburu? Tidak mungkin, meskipun dia pernah mengatakan sesuatu yang menjurus ke hal serius, tapi dia tidak bermaksud seperti itu.

"Si asem! Aku ngajakin dia makan ke sini, bukan peluk-peluk cewek." Susah payah Indah mengenyahkan perasaan aneh yang terus merasuki. Mencoba terlihat santai, dia berjalan mendekati Gie. "Setelah kebelet tiba-tiba, sekarang muncul sama ... pacar kamu?" Indah menaikkan sebelah alisnya.

Gie menengok ke belakang Indah, hendak memastikan apakah gadis itu bersama kakaknya. Sadar orang yang dicari tidak di sana, dia menghela napas lalu mengecek keadaan gadis yang memeluknya erat. "Can. Cani tenangin diri kamu." Tak kunjung direspons, dia mengguncang-guncang bahu Cani yang masih terus menangis. Gie sampai lupa ada Indah di sebelahnya.

"Gie! Aku di sini loh." Indah merasakan wajahnya memanas, tangannya mengepal kuat barang bawaannya.

Gie gelagapan, bingung bagaimana membujuk Cani dan menanggapi Indah saat bersamaan. Sekali lagi Gie membuktikan satu teori kalau cowok benar-benar sulit multitasking.

"Iya kemasan sachet. Bentar, ini temenku lagi ada masalah," ucapnya dengan muka iba. Dia khawatir kondisi Cani, tapi lebih mengkhawatirkan dirinya ketika mendapati wajah murka Indah. Mampus, ucapnya dalam hati.

"Siapa yang kemasan sachet?" Indah mendelik, tidak terima dikatai kemasan sachet meski beberapa jam lalu dia santai saja dipanggil seperti itu. Bodo amat, dia sensi sekarang.

"Kamu, kan, mini. Panggilan spesial aku untuk kamu, Ndah. Kemasan sachet seperti kecap manis, untuk orang manis."

Indah semakin sulit mengontrol wajahnya. "Masih berani gombal."

"Aku gak gombal, kok, aw," adunya ketika Cani memukul bahunya. "Can, kamu kenapa, sih? Aku gak ngerti kalau kamu nangis terus."

"Dasar gak bisa ngerti perasaan cewek," omel Indah. Dia bermaksud menyinggung Gie karena tidak paham akan perasaannya, tapi Gie malah salah paham.

"Ya gimana, Ndah. Dia nangis aja, aku gak tau Cani nangis karena apa."

"Terserah, Gie. Aku lapar, daripada di sini nungguin kamu dan berakhir kamu yang aku makan, lebih baik aku pergi sekarang."

Gie mulai panik, dia tidak mau kehilangan tiket makan gratisnya. Bagaimanapun juga, sebagai anak kost makanan gratis adalah harta karun layaknya di anime One Piece. "Ndah tunggu. Tiket makanku gak hangus, kan?"

Indah misuh-misuh, tidak mau menjawab Gie. Setelah perbuatannya barusan, seenak jidat cowok itu meminta makan. Sebelum sempat memasuki resto, Indah berteriak kaget karena kehadiran Gie yang tiba-tiba berada di sebelahnya seraya menggandeng tangan cewek yang masih terisak.

"Janji gak boleh dilanggar, Ndah. Gak baik."

Enggan menyahut, Indah langsung masuk ke resto dan mencari tempat yang tak jauh dari jendela. Dari sini, dia bisa melihat jalanan Jakarta malam hari tetap padat. Dia menengok Gie ketika menarik kursi untuk diduduki oleh cewek tadi. Dalam hati, Indah menyumpahi Gie agar sakit perut sehabis makan nanti. Biarkan saja.

"Cani? Udah baikan?"

Indah menghela napas lelah lalu kembali melihat keluar jendela. Dia tidak mau menguras energi hanya karena kesibukan Gie sekarang. Namun, telinganya tidak akan tinggal diam. Dia tetap mau tahu apa yang terjadi.

Cani mengangguk lalu melirik Indah, meminta penjelasan Gie. Gie langsung memperkenalkan Indah dan Indah merespons sekenannya.

"Oh, Indah yang selalu kamu ceritain?" Cani menatap Indah sambil tersenyum. "Namamu selalu disebut-sebut Gie, lho."

Indah menatap Cani seakan-akan meminta penjelasan lebih. Namun, ketika Cani hendak menjelaskan, Gie mengambil alih percakapan.

"Gak usah didengar, Ndah," ringisnya sambil melirik Cani yang malah tersenyum kecil, padahal tadi cewek ini habis nangis. Gie tersenyum lega saat pelayan menghampiri meja mereka. Dia langsung memesan makanan dan tidak membiarkan percakapan tadi berlanjut.

Mereka menunggu makanan tidak cukup lama. Selama menunggu pun hanya Gie dan Cani yang berbincang ringan tanpa menyinggung alasan Cani menangis. Indah menghela napas, merasa menjadi obat nyamuk di sini. Dia menatap Cani dalam diam. Selama berteman dengan Gie, dia sama sekali tidak pernah tahu teman-teman cowok itu, bahkan ada yang sampai sedekat Cani.

Sehabis makan, mereka memilih duduk sejenak. Kali ini perbincangan mulai menarik Indah ke dalamnya, itu pun karena dipancing terus oleh Gie. Indah masih kesal sama cowok ini.

"Kalau gitu aku pamit Gie, Indah. Makasih makanannya, lain kali kalau ketemu lagi aku yang bayar."

Indah mengangguk dan menatap kepergian Cani. Sebelumnya, Indah sempat mengatakan kalau makanannya dia yang bayar. Kini hanya ada mereka berdua di sini. Indah melemparkan tatapan tajam hingga membuat Gie merinding. Tanpa basa-basi, Indah meninggalkan kursi dan pergi membayar pesanan. Gie mengekor di belakang gadis itu.

"Makasih, Ndah. Besok-besok aku yang bayar." Gie pindah posisi di sebelah Indah.

"Harus. Aku pastiin kamu yang bayar besok-besok." Indah berhenti berjalan sambil terus melayangkan tatapan menghunus. Kekesalannya tidak akan melayang sebelum Gie menjelaskan apa yang terjadi.

Gie menarik Indah duduk di salah satu kursi pengunjung di depan toko. Dia sadar kalau Indah membutuhkan penjelasan meskipun sebenarnya dia merasa tidak perlu menjelaskan. "Soal kejadian tadi, pasti kamu kaget liat aku dipeluk cewek."

"Kamu yang meluk, Gie."

"Kamu cemburu?" Gie tidak bisa menahan senyumnya, bahkan dia ingin tertawa sekarang.

Indah melirik tajam cowok di sebelahnya. "Cemburu? Ngapain aku cemburu."

Daripada memperpanjang masalah, Gie mengiyakan saja. "Iya, gak cemburu. Cani itu temen seruangan aku. Dia salah satu cewek di ruangan yang dekat sama aku. Selain karena kami sama-sama orang Jogja, aku juga tau kisah hidup dia."

Indah belum bereaksi, Gie pun kembali melanjutkan ceritanya. "Jadi Cani gak mudah, Ndah. Aku emang suka ngeluh atas kehidupan yang aku jalani, tapi kalau sama Cani seolah-olah beban hidupku gak ada apa-apanya."

Indah mulai menaruh perhatian pada cerita Gie. Selama berteman, Indah memang tidak begitu tahu latar belakang kehidupan Gie. "Kamu ada masalah apa, Gie?"

Gie tersenyum sebelum menceritakan semuanya. Untuk pertama kali, Gie akan menceritakan beban yang dia rasakan, bahkan teman seruangannya pun tidak ada yang tahu. "Sebenarnya orang tua aku berutang banyak untuk bayar kuliah dan kebutuhanku di sini, Ndah. Akhir-akhir ini, aku selalu cari kerjaan biar bisa ringanin beban orang tua, minimal biaya hidup aku." Gie menghela napas sejenak. "Setiap bulan orang tua harus bayar utang demi aku, dan usaha bengkel papaku gak serame dulu."

Indah mematung, tidak menyangka kalau Gie sedang kesulitan. "Gie kenapa kamu gak pernah bilang?"

"Aku gak mau bawa beban itu kalau ketemu kamu, Ndah. Biar aku selalu bahagia sama kamu, biar aku bisa lupa sejenak sama beban itu."

Indah tidak tahu harus merespons bagaimana lagi. Dia sadar, sebagai anak yang selalu merasa serba ada, dia tidak pantas berkata-kata, atau bahkan memberi semangat.

"Dan masalahku gak seberat Cani. Dia bahkan lebih berjuang dari aku. Orang tuanya udah gak ada, dan hanya tinggal sendiri di sini. Kali ini, aku gak tau dia lagi ada masalah apa, aku gak berani bertanya lebih jauh. Besok-besok kalau dia siap, dia pasti cerita." Gie tersenyum geli ketika melihat wajah kesal Indah tadi, dan kini wajah itu berubah jadi raut bersalah. "Aku juga gak tau kenapa Cani ada di sini, mungkin dia gak sengaja liat aku di sini."

Sekarang di kepala Indah bukanlah tentang Cani lagi, melainkan masalah Gie dan perkataan kakaknya tadi. Kalau memang kakaknya pernah mengatakan hal yang tidak-tidak ke Gie, dia tidak bisa membayangkan rasa sakit yang Gie sembunyikan darinya.

"Gie kamu jawab dengan jujur, aku gak mau kamu bohong."

Mendengar keseriusan Indah, Gie terkejut dan juga bingung. Tiba-tiba udara di sekitar mereka terasa berbeda, apalagi saat dia melihat raut sedih Indah. "Kenapa, Ndah?"

"Kak Sultan pernah ngomong apa sama kamu Gie?"

Detik itu juga Gie merasakan lidahnya kaku. Selama ini, dia memang tidak pernah mau menyinggung kata-kata menyakitkan Sultan kepada Indah. Dia takut tidak dapat bertemu Indah.

"Gie ... jujur."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro