Mulai Sadar: 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gie menarik tangan Indah dan mengenggamnya kuat-kuat, takut gadis itu hilang arah. Selama mengenal Indah, Gie yakin kalau kebanyakan perempuan memang memiliki masalah navigasi. Namun, ketika mengingat anime yang ditontonnya, ada satu perempuan yang mampu menentukan arah perjalanan dengan baik sehingga karakter anime itulah yang mematahkan dugaannya kalau sebenarnya perempuan tidaklah begitu buruk membaca peta jalan. Akan tetapi, Indah tetaplah Indah, gadis ini memang sedikit bermasalah.

Gie yakin, sekali melepas Indah di keramaian dan membiarkannya kelayapan tanpa pengawasan, Indah tidak akan dapat menemukan tempatnya semula. Dia tidak ingin hal itu terjadi dan mengusik kesenangan mereka hari ini.

"Denger, Ndah. Jangan pernah lepas tangan aku apapun yang terjadi," titahnya seraya mengangkat tinggi genggaman tangannya.

Indah meringis, tapi juga menggerutu. Menurutnya Gie terlalu berlebihan. "Aku bukan anak kecil, Gie."

"Memang bukan, tapi untuk menentukan jalan kamu lebih dari anak kecil."

Indah mulai memasang wajah tidak terima. "Enak aja!"

"Diem kemasan sachet." Kali ini Gie berjalan sambil sedikit menyeret Indah karena tiba-tiba gadis itu jadi ogah-ogahan melangkah.

Hari ini mereka sudah membuat janji untuk menghabiskan waktu di toko buku di salah satu mal. Memang bukan hari libur, tapi hanya ini waktu yang mereka punya.

"Kamu pengen beli berapa novel hari ini, Ndah?" Gie mulai mencari buku buruannya dan juga berniat menambah koleksi komik. Tak kunjung mendapat respons Indah, Gie melirik ke belakangnya. "Hah! Ngapain si Sachet di sana?" Gie tidak dapat menahan tawa ketika melihat orang yang dicari menggaruk-garuk kepala, kebingungan di antara tumpukan buku diskon yang terpajang di depan toko buku.

"Indah, kamu ngapain di sini?" Gie menutup matanya menggunakan salah satu tangan sambil tertawa.

Indah menggerutu, tapi bingung juga kenapa malah berakhir kembali ke depan toko. Padahal tadi dia memasuki pintu yang yang juga terdapat rak-rak buku di dalamnya. "Kamu, sih, Gie lepasin tanganku. Aku jadi tau kalau yang bisa lepas genggaman kamu itu buku."

Gie mulai meredakan tawanya. Betul juga, saking girangnya melihat-lihat buku, dia jadi lupa kalau sedang pergi dengan Indah. Alhasil gadis itu jalan sendiri mengitari toko buku. "Ya maaf. Sepenting itu buku daripada kamu."

"Aku sakit hati, nih, lama-lama. Aku gak suka loh diginiin. Aku marah, nih. Aku pulang aja kalau gitu."

Bukannya khawatir Indah benar-benar pergi, Gie malah tertawa karena terhibur. "Dasar kemasan sachet."

"Berhenti panggil aku kemasan sachet. Aku gak mini-mini banget, kok."

"Eits, tungguin. Aku temenin milih buku, nanti nyasar lagi." Mau tidak mau, Gie mendahulukan Indah memilih bukunya.

Mereka menghabiskan waktu hampir sejam lebih di toko buku. Selain karena betah berlama-lama, pemandangan dari sini sangat cantik, apalagi di hadapan mereka terdapat jendela kaca besar yang langsung menghadap gedung-gedung tinggi ibu kota. Dari lantai tiga, kendaraan di sore hari menjelang malam begitu memesona. Lampu-lampu jalan, kendaraan, gedung serta perpaduan langit orens sempat membuat keduanya berhenti memilih buku dan justru menikmati momen itu, tak lupa mengambil beberapa foto masing-masing.

"Udah gak ada tambahan?" Gie memastikan sekali lagi sebelum meninggalkan toko buku.

Indah mengangguk setelah mengecek judul-judul novel yang dibelinya. Akhir-akhir ini, otaknya sangat berat memikiran tugas kuliah dan praktikum. Otaknya ingin dibawa santai di tengah kesibukan membaca banyak hal mengenai obat-obatan. Membaca novel selalu menjadi pelarian paling menyenangkan, dan juga membakar semangatnya untuk menuliskan ide-ide tulisan yang terkadang didiskusikannya bersama Gie.

"Aku juga udah aman. Makan malam?" ajak Gie. Dia belum mau pulang dan mengakhiri kebersamaan ini. Baginya, bersama Indah waktu seperti berjalan lebih cepat. Jika tidak bersama gadis itu, hari-harinya terasa lebih lama. Tidak dapat dipungkuri kalau sebenarnya Gie bukan hanya nyaman lagi bersama Indah, bahkan sudah lebih dari itu. Namun, entah kenapa dia tidak mampu mengungkapkan, seperti ada sesuatu yang menahannya dari dalam.

"Iya, nih. Aku lapar. Makan di resto itu, yuk. Aku traktir, lain hari kamu yang traktir aku." Indah menarik tangan Gie, buru-buru mendekati resto.

Gie tersenyum memandang gadis yang menariknya sekarang. Sampai detik ini, Gie tidak tahu apa yang membuatnya terus menginginkan Indah di hidupnya. Satu hal yang dia tahu, bahwa sebenarnya Indah juga merasakan hal yang sama. Dia tahu setelah beberapa minggu lalu Indah mengatakan bahwa hubungannya bisa dibawa kejenjang yang lebih serius. Sekali lagi, Gie senang, tapi juga sedikit gentar.

Gie melambatkan langkah ketika melihat orang di depan resto itu hingga membuat Indah menengoknya dan melayangkan protes. Namun, Gie buru-buru memalingkah wajah yang tiba-tiba terasa kaku, matanya membulat sempurna.

"Indah, aku ke toilet sebentar."

"Loh? Gie!" Tanpa tahu kenapa, Indah membuang napas kesal dan lanjut berjalan, berniat menunggu Gie di depan resto. Ketika mengangkat pandangannya ke depan, dia melihat kakaknya berada di sana sedang menyalimi tangan seseorang, mungkin client. "Deng Sultan!" teriaknya.

Sultan berbalik ke sumber suara dan melihat kehadiran adiknya. "Indah? Sama siapa ke sini?"

Indah yang tidak tahu-menahu perbincangan panas antara kakaknya dan Gie menjawab dengan riang. "Sama Gie, teman aku yang dari jurusan sastra, calon penulis hebat itu," ucapnya dengan bangga.

Sultan yang tadinya tersenyum, tiba-tiba memasang wajah datar. "Kakak sudah bilang Indah kalau jangan terlalu sering main sama dia. Pelajaran kamu nanti tergganggu."

Indah hendak protes, tapi langsung disambungi oleh kakaknya dengan cepat.

"Itu novel lagi, kan? Padahal dulu kamu beli novel sebulan sekali dan cuma 1 buku saja. Kenapa sekarang belinya banyak? Kamu habisin waktu kamu, Ndah. Gak ada gunanya baca kaya gituan."

Indah mulai tersinggung. Kakaknya tidak pernah tahu kebiasaan Indah semenjak kakaknya merantau lima tahun lalu, terus dengan seenaknya mengomentari kebiasaannya. "Kakak yang gak tau aku. Ini Indah, kok. Aku memang suka baca novel, Kak. Aku stress, cuma ini cara aku melarikan diri."

"Melarikan diri? Bukannya farmasi itu keinginan kamu? Kenapa sekarang malah tersiksa kayak gini?"

Indah mulai berkaca-kaca. Lagi, batinnya berkecamuk. Sudah lama dia menekan egonya untuk memenuhi permintaan keluarganya, mengambil jurusan farmasi, berkutat dalam dunia medis, padahal Indah tidak mau. Dia ingin seperti Gie. Berada di jurusan Gie.

"Sejak kapan itu jadi keinginan aku, Kak. Aku gak pernah bilang. Gak ada satu pun orang-orang rumah yang menanyakan aku pengen jadi apa! Gak ada, Kak." Indah mulai meninggikan suaranya, air matanya mulai membanjiri pipi.

Sultan menunduk, malu melihat kelakuan adiknya. "Sini kamu!" tekannya lalu menarik paksa tangan Indah. "Kelakuan kamu jadi tidak terkontrol semenjak kenal Gie. Kakak sudah mewanti-wanti kamu supaya menjaga jarak, tapi ternyata kamu memang perlu disadarkan pakai kalimat yang lebih jelas dari sebelumnya."

Indah menghempas tangan kakaknya, dia menatap tidak percaya sosok di depannya. Indah merutuki diri, berusaha yakin bahwa perkiraannya salah. Sultan tidak mungkin membenci Gie, kan? Selama ini Sultan tidak pernah bersikap keras padanya, tapi sekarang ucapan kakaknya membuat hatinya patah.

"Kak? Gie temanku, Kak. Aku pikir Kakak gak keberatan aku temenan sama siapa aja, tapi ternyata aku salah."

Sultan membuang napas kasar, kembali meraih tangan Indah, tapi gadis itu langsung menepis tangan kakaknya.

"Kakak pikir kamu cukup pintar, Indah. Sadar! Kamu berbeda dari dia. Kamu dari keluarga terpandang, kaya, dan dihormati. Kenapa malah berteman sama dia yang masa depannya tidak jelas."

Indah mengepalkan tangan kuat-kuat. "Siapa yang tidak jelas masa depannya? Kakak tau apa tentang masa depan?"

"Kakak tau. Kamu lihat Kakak sekarang. Kakak ambil jurusan arsitek dan jadi arsitek terkenal sekarang. Andai kata kamu dekat sama orang yang jurusannya kayak Kakak atau bukan dari jurusan sastra, Kakak setuju aja, Ndah. Orang-orang rumah pun juga sependapat."

Indah menggeleng kencang, berlari sekuat tenaga meninggalkan kakaknya yang hanya bisa mengepal melihat kepergiannya. Indah jadi tahu sekarang apa arti pertanyaan Gie beberapa minggu lalu, mungkin saja ada kaitannya dengan sang kakak. Dia harus segera bertemu Gie untuk mencari tahu kebenarannya.

Indah berhenti di depan resto yang tadi. Tangannya yang sedari tadi menutup mulut untuk mencegah isakannya terdengar kini jatuh ke sampling badan ketika melihat pemandangan beberapa meter di depan sana. Matanya tidak mungkin salah mengenali orang. Di sana, Gie memeluk seorang cewek sambil menepuk-nepuk punggung orang itu. Ada apa ini? Kenapa hari ini? Beberapa jam lalu semua baik-baik saja, lantas kenapa berakhir begini?


*Deng: Kakak

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro