13.Tetap Bernafas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Angin berhembus kencang, membuat bulu kuduk kedua insan itu jadi merinding. Niko menghembuskan napas sementara Manda memeluk dirinya sendiri, pagi itu jadi lebih dingin dibanding sebelumnya.

"Kamu mau sampai kapan bengong disitu?" tanya Niko lagi sambil melirik ke arah jam tangannya. Matanya terbelalak begitu menyadari dia sudah di jam-jam kritis, bisa-bisa dia dihukum. Sementara Manda masih memandangi Niko dengan tatapan terpana.

" Udahlah, capek ngomong sama batu. Bye!" pekik Niko lalu memakai lagi helmnya. Dia sudah menstarter motornya dan meninggalkan Manda. Manda hanya tersenyum menatap kepergian Niko, gadis itu tidak berharap apapun.

"Bye ganteng," ucap Manda pelan.

Gadis itu tetap masih berdiri di posisi yang sama untuk beberapa saat lalu melangkah meninggalkan halte.

"Mau ditunggu sampai jam berapa juga, pasti nggak ada bus yang lewat. Mungkin seharusnya nggak usah masuk ke sekolah aja."

Terdengar bunyi klakson mobil, tidak begitu kencang. Manda berhenti dan menatap ke sumber suara. Di dekatnya ada mobil sedan berwarna hitam, lalu kaca mobil itu diturunkan. Manda langsung menutup mulutnya karena kaget.

"Kamu mau bolos?" tanya orang itu.

"N-nggak, kok, Pak."

"Jadi asisten saya itu harus rajin. Masa udah mau bolos, sih? Sini naik ke mobil, biar kamu nggak bolos sekolah."

"E-eh? Saya nggak bolos, Pak. Serius."

"Terus kenapa kamu masih di sini? Ini sudah jam berapa? Alesan aja pasti, nih. Dasar anak muda."

Manda tidak bisa mengelak lagi, akhirnya dia berjalan mengitari mobil dan naik ke kursi di sebelah kursi kemudi. Begitu Manda membuka pintu mobil, aroma buah leci langsung tercium. Manda suka sekali dengan aroma buah leci, gadis itu langsung tersenyum.

"Senyum-senyum mulu. Cepat masuk, nanti ada mobil lewat malah berabe pintu mobil saya ketabrak."

Gadis itu langsung menatap pria itu dengan tatapan horor, membayangkan hal itu saja sudah membuatnya merinding. Biaya mengganti pintu mobil yang rusak, dia tidak akan sanggup membayar ganti rugi itu.

Manda sudah duduk di dalam mobil dan mengenakan sabuk pengaman. Gadis itu tetap diam dan mendengar alunan lagu dari radio mobil. Lagi takut yang dinyanyikan oleh Idgitaf membuatnya merenung. Menjadi dewasa ternyata tidak seindah yang dibayangkannya.

"Kenapa mendengkus gitu? Ini masih pagi, masa udah ngeluh capek?" tanya pria itu heran.

Manda menatap ke sebelahnya dan dia terpana sekali lagi. Pak Nareswara terlihat berkali lipat lebih tampan dalam balutan kemeja dan celana kainnya itu, apalagi dia menggunakan kacamata. Di kelas dia tidak pernah pakai kacamata, hal yang menambah kadar kegantengannya.

"Saya memang ganteng. Udah nggak usah dipandangin gitu."

Wajah Manda langsung memerah menyadari dirinya terpana untuk kesekian kalinya.

"Parah ya, Pak? Padahal cuman jalan dari rumah ke halte doang, tapi rasanya capek banget. Nggak banget, sih. Dibanding orang lain yang bekerja keras supaya bisa hidup dan makan, mereka hebat banget."

"Tentu saja. Hidup itu butuh perjuangan. Kalau tidak tetap bernafas, tidak terus berusaha dan mencoba, kamu tidak akan tahu kemana hidup akan membawamu. Kalau kamu tetap dengan pemikiran pesimis dan tidak tahu arah, kamu tahu kemana hidup akan membawamu, kan? Kamu hanya akan berakhir kecewa. Memangnya kamu nggak ada mimpi?"

"Mimpi ya? Mimpi saya jadi dokter, Pak. Tapi, saya tidak dapat undangan untuk masuk ke fakutlas kedokteran seperti teman-teman yang lain."

"Memangnya harus jadi dokter? Kamu nggak mau mimpi yang lain?"

"Hanya itu mimpi saya dari kecil, Pak. Sudah lama saya hidup dengan mimpi itu. Sepertinya hidup saya bakal hancur, sih, kalau tidak berhasil masuk ke fakultas kedokteran."

Pria itu berpikir sejenak, seperti ada yang ganjal di pikirannya. "Kenapa mau jadi dokter?"

"Saya mau melayani pasien, membantu pasien. Saya juga pengen bertugas di tempat pelosok, pengen bantuin mereka yang membutuhkan."

"Kamu yakin? Hidup di pelosok itu tidak mudah, lho. Memangnya udah pernah hidup di pelosok? Udah tahu gimana perjalanan biar bisa jadi dokter?" tanya Nareswara lagi.

Manda menggeleng pelan lalu menunduk. "Aneh ya, Pak? Saya nggak tahu apa-apa, tapi ngotot mau jadi dokter. Di kelas bahkan saya tidak bisa banyak jawab pertanyaan seperti anak-anak lainnya. Kemampuan selayaknya debu tapi mimpi setinggi langit. Nggak tahu diri banget ya?" ujar Manda sambil tersenyum.

Pria itu tahu senyuman dari anak didiknya itu bukanlah senyuman tulus melainkan senyuman terpaksa.

"Kalau bahas mimpi memang berat, Manda. Kamu hanya perlu berjuang sekuat tenaga, tapi harus menyiapkan diri juga karena hidup tidak seindah yang kamu kira."

Manda menangguk pelan, lalu ada hal yang terlintas di pikirannya.

"Pak, menurut bapak menjadi dewasa itu menyenangkan atau tidak?"

Pertanyaan random yang jarang didengar pria itu.

"Oh, kenapa nanya kayak gitu?" tanya balik Nareswara.

Manda mengalihkan tatapannya ke depan dan tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Pak. Tiba-tiba kepikiran aja."

"Menjadi dewasa itu kayaknya nggak seindah yang saya kira, Pak. Padahal saya juga masih sekolah, belum kuliah dan belum bekerja. Dunia yang sebenarnya bahkan belum saya hadapi, dunia kerja yang katanya lebih kejam. Tapi, sekarang saja sudah membuat saya lelah," tuturnya pelan.

"Jadi, kamu pengen balik jadi anak-anak?" Pria itu melirik ke arah Manda sesekali.

"Kalau bisa. Namun, mustahil."

"Yah, sebenarnya nggak ada yang mustahil, sih. Bisa aja ada ilmuwan yang buat mesin waktu, kan? Nah, bisa dong kalau mau balik ke masa lalu."

"Bisa aja, sih. Kalau bisa, saya pengen bilang ke diri saya di masa lalu."

"Pengen bilang apaan?"

"Manda, banyak-banyak main. Nikmati masa kecilmu, jangan melawan sama mama dan papa. Jangan sering berantem sama kakak. Jangan pengen cepat dewasa karena jadi dewasa tidak seindah yang kamu kira."

Mendengar itu membuat pria itu tertegun lalu tersenyum. "Lalu, kedepannya kamu mau ngapain? Tetap dengan kondisi seperti ini?"

Manda mengerutkan keningnya, tidak paham dengan pertanyaan pria itu.

"Maksudnya, Pak?"

"Kondisi tidak tahu arah. Mau seperti ini terus?"

"Aslinya nggak mau, tapi saya bingung harus bagaimana. Saya tidak secantik orang lain, saya tidak seramping orang lain, nilai saya juga jelek. Dari segi fisik dan otak, jelas saya kalah jauh. Saya cuman jadi beban keluarga, Pak."

Untuk beberapa saat tidak ada pembicaraan diantara mereka, hanya alunan lagu yang memecah keheningan.

"Kalau suatu hari nanti ada guru yang kasih kamu tantangan dan bantuan biar kamu berubah. Kamu mau berusaha?"

Manda menatap pria itu lekat-lekat lalu mengangguk. "Tentu, Pak. Saya mau berubah, saya tidak bisa seperti ini terus."

Nareswara tersenyum lalu memberhentikan mobilnya.

"Bagus, ini kita udah sampai. Sana masuk duluan, kita datang tepat waktu."

Manda tersenyum lalu mengangguk. "Terima kasih sudah memberi tumpangan, Pak!"

Seusai itu Manda turun dan segera pergi ke kelasnya. Nareswara menyusul dan pergi ke ruang guru. Tidak jauh dari sana ada sepasang mata yang menatap kedua insan itu dengan heran. Entah kenapa perasaannya jadi agak kacau, padahal dia hanya menganggap gadis itu sebagai penghalang.

-Bersambung-



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro