3.Fase Air

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hidup memang seperti itu, pahit."
-Nareswara-

Hidup tidak seindah yang dibayangkan. Bahagia itu pasti datang, membawa kebahagiaan. Namun, kesedihan lebih sering menghampiri.

Kesedihan yang mengubah senyuman menjadi tangisan. Tidak semua orang dapat dipercaya di dunia ini, tidak. Berharap pada manusia tidak membawa pada kesejahteraan, melainkan kekecewaan, inilah yang selalu diingat pria bernama Nareswara Mahendra.

Dia akan pergi ke kelas tempatnya mengajar. Tentu saja ditemani oleh kepala sekolah, ini kali pertamanya mengajar di sekolah ini sebagai guru honorer.

Lorong sekolah sudah sepi, semua siswa sudah masuk ke kelasnya masing-masing. Perasaannya campur aduk sekarang, setelah sekian lama akhirnya dia bisa melakukan hal yang disukainya.

Pak Niel mengerutkan keningnya tatkala melihat senyuman di wajah guru itu. Senyumannya agak aneh di mata pria itu.

"Kelihatannya Pak Nareswara udah nggak sabar mau ngajar, ya?"

Mendengar itu membuat senyumannya semakin lebar. Ada hal yang lebih menarik dari mengajar dan hanya dia yang tahu.

"Ah, iya. Sudah lama saya menantikan hari ini, Pak Niel."

"Mantap, nih, semangatnya. Bapak akan ngajar di kelas 12-IPA-1. Agak bandel anak-anaknya, sih."

"Lho? Bukannya 12-IPA-1 itu kelas unggulan, ya?"

"Iya, benar," jawab Pak Niel sambil tersenyum kikuk. Gerak-gerik Niel membuat Nareswara menebak-nebak sebandel apa anak di kelas unggulan itu.

Tidak ada percakapan lebih lanjut. Langkah Niel terhenti pada dua orang yang lagi bercakap di ujung lorong. Salah satu dari mereka, lebih tepatnya pada gadis yang dikuncir rambutnya, dan seragamnya terlihat kusut serta badannya lebih besar dari orang di sampingnya.

Tatapan Niel terlihat begitu sendu, hingga Nareswara berdehem menyadarkan pria itu dari pikirannya.

"Pak? Ini kita udah sampai ya di kelas IPA-1 ?"

"Ah, iya benar. Maaf, saya hilang fokus tadi."

Nareswara tersenyum tipis, dia menduga ada sesuatu yang disembunyikan kepala sekolah itu. Namun, dia pura-pura tidak menyadari itu saja.

"Tidak apa-apa, Pak. Lagian wajar, kok. Namanya juga manusia pasti berpikir. Tapi, jangan kebanyakan pikiran juga. Bahaya."

"Memangnya kenapa, Pak? Bukannya bagus karna ada yang dipikirkan?"

Nareswara tersenyum lebar. "Bahaya, pikiran mempengaruhi semua. Teman saya karena kebanyakan pikiran, akhirnya jatuh sakit. Banyak orang yang membutuhkan bantuan bapak sebagai kepala sekolah, jadi jaga kesehatan ya, Pak."

"Oke, kita bahas lagi nanti, Pak Nares. Sekarang sebaiknya kita masuk biar bapak bisa mulai mengajar."

"Siap, Pak."

Niel mengetuk pintu, membuat atensi anak-anak di kelas terarah padanya. Kelas itu tidak seberantakan yang Nareswara kira. Mereka juga tidak sedang belajar melainkan tidur di lantai, ada yang mengepang rambut temannya, ada yang mengoleskan lipstik pada pipi temannya yang yang tidur.

"Selamat pagi, anak-anak. Yuk, udah kelas 12 kok masih nggak inisiatif belajar sendiri, sih? Kalian udah mau ujian, lho ini. Belajar mandiri, dong, kalau gurunya belum dateng."

Ceramah yang sering mereka dengar murid SMA Bina Lestari atau sering disingkat Bistar.

Tatapan jengah tertuju pada Niel, sementara sebagian menatap Nareswara dengan tatapan heran. Heran ada guru super tampan yang nyasar ke kelas mereka.

Menyadari tatapan penasaran itu membuatnya tersadar tujuannya datang ke kelas ini.

"Ini guru baru, dia yang akan membantu mengajar selama beberapa lama. Yah, Bu Hanna lagi ada urusan yang cukup rumit jadi belum bisa balik mengajari kalian."

Kabar itu membawa angin segar bagi penghuni kelas IPA-1. Akhirnya guru yang super killer itu tidak akan mereka temui untuk beberapa lama.

"Oke, silahkan Pak Nares bisa memperkenalkan diri."

Bunyi jarum menjadi backsound memecah keheningan. Jemarinya diangkat ke arah rambutnya, menyisir sebentar rambut berwarna biru tua itu.

"Nama saya Nareswara Mahendra. Saya akan menjadi wali kelas sementara kalian sekaligus mengajar kimia. Mohon bantuannya."

"Oke, saya tinggal dulu ya. Selamat belajar semua."

Sepeninggal Niel, pria itu langsung menghampiri meja dan menatap mereka.

"Terakhir belajarnya sampai mana?"

Keheningan kembali menyelimuti kelas itu, mereka kembali melakukan aktifitas mereka tadi. Tidak seorang pun peduli dengan pertanyaan Nareswara.

"Terakhir belajarnya sampai mana?" ulang Nareswara sekali lagi.

Mereka hanya melirik sekilas lalu melanjutkan aktifitas mereka tanpa menyadari tangan pria itu sudah terkepal.

"Ya sudah."

Pria itu duduk dan menyandarkan punggungnya. Kalau mereka tidak mau berbicara, maka dia yang berbicara.

"Kalian sadar nggak kalau sifat kalian mirip kayak air?" tanya Nareswara random.

"Nggak sadar, Pak. Hubungannya dimana, Pak?" tanya siswi di pojok kelas.

"Satu wujud tapi bisa punya tiga fase. Fase padat, fase gas, fase cair. Keadaan yang dipengaruhi oleh tekanan dan suhu. Yah, kayak kalian gini. Entah kenapa malah cuekin guru, asik dengan aktifitas sendiri padahal lagi jam belajar mengajar."

"Kalian tertekan belajar? Atau karena suhu di kelas ini panas?"

"Tertekan belajar. Memangnya penting belajar? Lagian tanpa belajar juga nilai kami baik-baik saja," ucap seorang cowok dengan rambut diikat. Dia terlihat seperti preman, siapa sangka dia termasuk penghuni kelas unggulan.

"Yah, penting atau nggaknya tergantung kalian juga. Kalau nggak digunakan ilmunya untuk kehidupan ya nggak berguna."

"Bapak jangan mbulet. Memangnya siapa yang nggak pakai untuk kehidupan. Kan dipake juga buat ujian nasional, ujian kenaikan kelas. Itu ujian kehidupan juga, untuk hidup masing-masing."

"Nah, bener. Hidup dengan tekanan dan tuntutan harus sesuai yang diharapkan. Kami bukan robot yang bisa mengabulkan semua itu. Jadi, belajar atau nggak belajar juga sama-sama dapat perlakuan tidak adil, kan? Mending nggak usah belajar," ucap siswi lainnya.

"Kalian ingat tiga fase tadi? Padat, cair, gas. Padat itu jarak antara partikel air rapat dan teratur, bentuk volume tetap. Kalau cair jarak antara partikel air renggang dan tidak teratur, bentuknya menyesuaikan wadah. Kalau gas, jarak antar partikelnya berjauhan, tidak teratur, memiliki bentuk dan volume tidak tetap."

"Kalian nangkap hubungannya sama kalian?"

Mereka kompak menggeleng. Nareswara tersenyum senang melihat ekspresi bingung di wajah anak-anak itu.

"Kalau kalian berpikir belajar itu nggak berguna, kalian sama seperti fase padat. Kalian mengeraskan hati dan pikiran. Tidak mau menerima hal baru, padahal ilmu selalu dikembangkan."

"Kalian kira kalian tidak butuh orang lain? Tidak butuh guru? Sama aja kayak fase gas, tidak memiliki volume tetap, terombang-ambing oleh ego menganggap diri sendiri pandai."

"Jadilah seperti fase air, tahu bagaimana bersikap dan menyesuaikan diri. Tahu cara menghargai keberadaan orang lain. Tahu dan sadar jika kalian butuh ilmu dari guru meskipun kalian sendiri sudah jenius."

Wajah mereka berubah jadi pucat. Tidak ada lagi yang melanjutkan aktifitas sebelumnya. Hanya menatap dengan wajah pucat dan kaki yang semakin dingin.

Pria itu mulai mengambil spidol dan menggambar diagram fase air.


"Nah, ini diagram yang tadi kita bahas. Kalau garis C-D itu namanya garis didih, perubahan fase cair dan gas. Pada tekanan yang berbeda, zat akan mengalami titik didih yang berbeda."

"Sama kayak kalian, pada tekanan yang berbeda maka puncak kesabaran kalian berbeda juga. Hati-hati, tidak ada yang tahu apa yang ada di pikiran seseorang. Jangan sampai perkataanmu menjadi bumerang untuk kalian sendiri."

Tepat setelah Nareswara berhenti berbicara, terdengar ketukan pelan. Pria itu tersenyum ketika tahu siapa yang ada di depan pintu, gadis berantakan yang tadi dijumpainya.

-Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro