30. Akhir (Tamat)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Satu minggu berlalu, Manda tidak juga masuk ke dalam sekolahnya. Dia masih belum bisa menata hatinya dan bertemu dengan Niko. Terlebih lagi setelah mendapatkan hasil pemeriksaan dirinya. Manda menatap langit-langit kamarnya, mengulurkan tangannya ke atas. Hatinya terasa hampa sekaligus nyeri yang teramat dalam. Badannya gemetar, keningnya berkerut, matanya memanas dan air matanya mulai bercucuran.

Dia baru saja pulang dari rumah sakit, sekalian menjenguk mantan isteri Pak Nareswara. Kondisinya jauh lebih baik sekarang, wanita itu sudah lebih tenang dibandingkan pertama kali dia bertemu dengannya. Dia wanita yang baik dan cantik, pantas sekali bersanding dengan pria setampan gurunya itu. Mereka berbagi cerita, tertawa bersama hingga Manda pamit untuk pulang karena sudah waktunya pasien istirahat.

Manda masih ingat percakapan mereka, apalagi saat wanita itu membagikan kisahnya.

"Kamu tahu? hidupku sudah lama hancur. Kami sudah lama menantikan bayi itu. Tentu saja begitu aku hamil, kami senang sekali. Sayangnya, kondisi tubuhku terlalu lemah, ditambah lagi aku dan Nareswara bertengkar, aku keluar dari mobil dan menyebrang jalan. Tentu saja kecerobohan itu yang membawa malapetaka, ada mobil yang melintas dan tabrakan itu terjadi. Pada akhirnya, kami kehilangan bayi kami. Nareswara punya cara sendiri untuk melampiaskan rasa kecewanya, rasa sedihnya. Dia bekerja terlalu keras dan aku menangis sepanjang hari sekaligus kesepian. Hingga ide itu terlintas, aku tidak mau mengekang Nareswara dalam ikatan ini. Dia pasti tersiksa karena aku tidak segera hamil, dia pasti kecewa karena istrinya tidak becus menjaga bayinya sendiri. Lalu, aku memaksanya untuk bercerai. Aku kira kondisiku akan baik-baik saja selepas perceraian kami. Ternyata tidak, aku semakin terpuruk dan aku lost contact dengan Nareswara. Akhirnya, seperti yang kamu lihat sekarang, aku meminum banyak obat antidepresan dan berakhir seperti ini."

"Bu, kalau saya tidak akan rela melihat orang yang saya sayangi bersama wanita lain," ucap Manda pelan. Entah kenapa yang dibayangkannya malah Niko dan Claudia, rasanya ada nyeri yang dirasakannya, perasaan tidak rela itu semakin jelas dan dia semakin sadar akan perasaannya itu.

"Kamu benar. Tidak seharusnya aku berpikiran pendek seperti itu. Yah, beruntung masih ada kesempatan kedua. Nareswara terus menyempatkan waktu untuk menemaniku. Sekarang rasanya jauh lebih ringan," ucapnya sambil tersenyum.

"Bu, jaga diri ibu baik-baik ya. Selagi masih ada waktu, jangan disia-siakan. Sepertinya sudah habis waktu berkunjungnya, pasti ibu mau istirahat juga. Saya permisi ya," pamit Manda sambil tersenyum tulus.

"Kamu juga ya, Nak."

Manda tidak menjawabnya, dia masih ragu akan hal itu. Namun, dia tetap tersenyum dan pergi dari sana. Selepas itu dia segera pergi ke ruangan dokter yang menanganinya. Jantungnya berdegup semakin kencang. Dia takut dengan hasilnya, meskipun selama ini dia sudah berpikir yang buruk-buruk, tapi tetap saja dia masih takut.

Manda sudah masuk dan menatap ke arah dokter yang masih menulis sesuatu di kertas. Setelah itu, dia baru tahu kalau dia mengidap penyakit Aneurisma otak.

"Anerisma, dok?"

"Iya. Ada pembesaran di pembuluh darah otakmu akibat melemahnya dinding pembuluh darah."

"Kalau terus terjadi pembesaran, apa yang terjadi?"

"Kalau terjadi pembesaran bisa menyebabkan pecah dan kerusakan otak. Biasanya terjadi pada wanita yang berumur empat puluh tahun ke atas, tetapi ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan hal ini, salah satunya cedera kepala. Gejala yang kamu sampaikan juga mengarah ke sana, seperti nyeri di sekitar mata, pusing atau sakit kepala. Aneurisma yang kecil cenderung tidak bergejala, kalau aneurisma sudah membesar baru ada terasa gejalanya. Itulah mengapa saya mengarahkan kamu untuk mengikuti pemeriksaan, untuk menunjang diagnosa saya. Ternyata memang benar, Manda."

"Jadi, aneurisma saya sudah besar?"

"Sudah. Kamu bisa melakukan operasi."

"Kalau operasi, apa kemungkinan yang terjadi? Kalau tidak operasi, apa yang terjadi?"

"Operasi aneurisma itu tindakan pembedahan untuk memperbaiki aneurisma atau penonjolan pembuluh darah untuk mencegah pecah atau robek. Tidak semua aneurisma perlu tindakan operasi, ada faktor penentunya seperti usia, riwayat medis, ukuran aneurisma dan lokasi aneurisma. Operasi dilakukan jika aneurisma otak sudah pecah atau memiliki kemungkinan untuk pecah. Setelah melihat dari hasil pemeriksaan, kamu perlu melakukan operasi karena sudah membesar dan resiko tinggi untuk pecah, Manda."

Gadis itu terdiam untuk beberapa saat, menunduk lalu tersenyum. Mungkin keinginannya sudah dikabulkan, dia selalu berkata jika dia hanya menjadi beban sebaiknya dia tidak usah ada di dunia ini. Setelah berdiskusi lebih lanjut mengenai dampak baik dan buruk dari setiap keputusan akhirnya dia menemukan keputusan yang diinginkannya. Dia tidak perlu operasi, dia hanya perlu menghabiskan sisa waktunya dengan bahagia. Setidaknya dia tidak ingin ada penyesalan lagi kedepannya di sisa waktunya yang tidak banyak ini.

Ini sudah satu minggu Manda masih diam di kamar, dia beralasan tidak enak badan sehingga tidak pergi ke sekolah. Tentu saja berita itu sudah sampai ke telinga Niko. Cowok itu ajaibnya datang ke rumah Manda, tetapi Manda masih tidak ingin menemuinya. Setelah mengetahui kenyataa itu, gadis itu langsung mengenyahkan sakit hatinya karena taruhan yang dilakukan Niko. Hari sudah pagi dan Manda sudah bangun untuk bersiap-siap.

"Niko nggak salah, wajar saja. Dia butuh uang dan mendekatiku membuatnya dapat uang. Tidak ada yang salah," ucapnya pelan. 

Manda menatap dirinya di kaca, hari ini dia jauh lebih rapi dibandingkan sebelumnya dan wajahnya juga sudah dipoles dengan bedak. Hari ini dan seterusnya dia mau terlihat cantik. Manda baru saja mau keluar kamar begitu merasakan nyeri di sekitar matanya, sakit kepala itu masih saja menyerangnya. Manda langsung mengambil obat pereda nyeri lalu memejamkan mata untuk beberapa saat sembari menenangkan dirinya. Sekarang sudah jauh lebih baik, gadis itu lansung keluar dari kamarnya.

"Pagi, Ma, Pa, kak Gabriel," sapa Manda girang.

"Hei, gimana kondisimu?"

Manda sudah memberitahukan kondisinya pada keluarganya dan memberitahu keputusannya. Setidaknya mereka berhak tahu meskipun dia hanya menambah beban saja bagi mereka.

"Sudah lebih baik, kok. Tenang aja," ujarnya girang.

"Kalau ada apa-apa segera bilang ke kakak ya. Kakak akan siap sedia untuk bantuin kamu, Manda." Ucapan Gabriel begitu menyentuh hatinya, dia senang sekali diperhatikan dan disayangi oleh kakaknya ini.

"Siap kapten!" 

Mereka tertawa lalu melanjutkan sarapan bersama-sama. Entah sampai kapan mereka bisa bersama, tetapi tidak ada gunanya meratapi dan khawatir akan hari esok, lebih baik memanfaatkan apa yang bisa dilakukan hari ini supaya tidak ada penyesalan.

Selepas itu Manda dan Gabriel segera pergi ke sekolah. Ternyata Niko sudah menunggu di depan rumah mereka. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, seragamnya pun kusut, dia tidak sebugar terakhir kali Manda melihatnya.

"Niko? Kok di depan rumah?" 

"Kamu kenapa tidak mau menemuiku? Kamu menghindariku?"

Gabriel lansung paham mereka butuh waktu untuk berdiskusi.

"Kakak pergi dulu, deh. Niko, kamu sekalian bonceng nih bocah ya. Hati-hati, nyetir yang fokus."

Gabriel lansung pergi dan masuk ke mobilnya meninggalkan dua orang yang canggung itu. Pagi itu angin cukup kencang, Niko langsung melepaskan jaketnya dan mengenakannya pada Manda. Di matanya Manda seperti gadis yang rapuh, dia takut melukainya. Tidak dapat melihat Manda selama satu minggu saja sudah membuat perasaannya jadi berantakan dan hidupnya jadi kacau.

"Niko, mau pergi ke taman di dekat sini? Aku ceritain di sana."

Cowok itu mengangguk pelan lalu memegang erat jemari Manda, dia takut Manda pergi lagi darinya. Sesampai di taman itu, Niko terus menatap ke arah Manda sementara gadis itu menunduk.

"Aku tahu kamu taruhan untuk mendekatiku. Kalau berhasil, dapat uang, kan? Tidak apa-apa, tidak usah kaget begitu. Aku tidak marah. Wajar kok, lagipula kamu nggak salah. Jangan menatapku dengan tatapan mau nangis gitu, dong," ujar Manda sambil tersenyum.

"Jadi, kita bisa berhenti, kan? Kamu juga nggak ada perasaan khusus, kan? Mau mendekatiku, mau menerima tawaran Pak Nareswara juga karena itu. Nanti aku akan sampaikan ke Pak Nareswara kalau kamu tidak perlu mengajariku lagi. Kamu bebas, Niko."

"Kamu salah. Awalnya memang seperti itu, tapi lama-lama aku jadi mau membuka diri untuk kamu. Aku mau mengajari kamu, aku mau, Manda. Aku tidak terpaksa sama sekali, tolong jangan pergi dari aku," ucap Niko memohon, nadanya begitu menyayat perasaan Manda.

"Aku takut kamu kembali terluka. Aku tahu kamu punya trauma, kamu juga pernah cerita ke aku mengenai masa lalumu. Aku tidak mau dengan dekat denganku malah membuatmu kembali trauma, jauhi saja aku."

"Memangnya kenapa? Apa yang salah? Aku suka sama kamu, Manda. Jangan minta aku menjauhimu."

"Su-suka?"

"Iya, aku suka sama kamu. Tapi, kamu suka sama Pak Nareswara," ujar Niko pelan.

"Tidak lagi, sejak dekat sama kamu perasaan itu memudar. Aneh ya? Aku lebih sering bayangin kamu," ujar Manda pelan. Wajahnya sudah memerah.

"Berarti kita bisa dong pacaran?" tanya Niko lagi.

Manda tidak menjawab pertanyaan itu, wajahnya berubah murung.

"Aku sakit, waktuku mungkin tidak akan lama. Buat apa berhubungan dengan orang seperti aku? Lebih baik kamu pergi saja dariku, lupakan aku. Aku cuman jadi beban untukmu."

Niko memegang erat tangan Manda, "Aku tidak akan melepaskanmu. Jangan menyuruhku pergi karena aku tidak akan pergi. Aku akan menjagamu sebisaku, kamu harus berjuang, Manda."

"Bukankah lebih baik aku pergi? Aku cuman jadi beban untuk kamu dan keluargaku, Nik."

"Kamu bukan beban, kamu berharga Manda. Jangan berpikiran seperti itu. Tolong berjuang demi aku, kalau kamu tidak mau berjuang untuk dirimu sendiri, tolong berjuanglah demi aku dan keluargamu. Kami sangat menyayangimu."

"T-tapi kondisiku sudah parah, buat apa bertahan?"

"Pasti ada cara. Pasti ada cara, Manda. Kamu tidak boleh menyerah."

"Ada cara, operasi. Tapi, selalu ada kemungkinan terburuk dan aku nggak siap, Niko."

Mereka terdiam begitu lama, wajah Niko sudah memucat, membayangkan Manda meninggalkannya saja sudah sangat suram baginya. Namun, mereka tidak punya pilihan lain.

"Kita harus percaya selalu ada jalan. Kalau belum mencoba, kita nggak akan tahu apakah berhasil atau tidak. Tolong cobalah saran itu, aku akan menemanimu. Kamu tidak akan sendirian."

Manda tersenyum, dia tidak mengira dia akan mempunyai orang yang sayang padanya. Cowok tampan yang diidolakan satu sekolah sekarang begitu lembut padanya.

"Oke, Mas Pacar. Mari dicoba, apapun yang terjadi biarlah terjadi," ucap Manda sembari memeluk erat Niko.

Badan Niko menegang, lalu mereka tertawa bersama.

"Mbak Pacar yang cantik harus berjuang, demi aku. Jangan tinggalin aku, Manda."

Manda memutuskan untuk dioperasi, perasaan takut yang menyelimutinya sudah sirna. Dia tidak lagi pesimis akan masa depannya, tidak lagi pesimis akan statusnya sebagai beban keluarga dan teman-temannya, dia percaya dia berharga dan ada orang yang ingin dia bertahan hidup, salah satunya Niko, orang yang baru saja menjadi pacar pertama dan mungkin yang terakhir baginya. Apapun yang terjadi, mereka sudah dan harus siap karena mereka sudah melakukan yang terbaik.

-Tamat-








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro