6.Sakit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Otak itu dipake. Kalau nggak dipake, jangan nyusahin orang lain."

-Claudia-

Claudia menatap Manda dengan penuh kecurigaan. Tidak biasanya sahabatnya itu sering tersenyum. Biasanya dia akan murung dan mengelupas kukunya. Tipe orang yang takut bersosialisasi dan lebih memilih menyendiri, Claudia paham seperti apa Manda.

"Kenapa, nih? Kok tumben senyam-senyum?"

Manda melirik Claudia balik. "Memangnya aku nggak boleh senyum? Sejak kapan ada aturan dilarang senyum?"

"Heh, santai. Sarkas amat."

"Lagian, orang lagi diem-diem malah diajak debat. Ada-ada aja emang."

Wajah berseri Manda langsung berganti dengan ekspresi kesal. Dia menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangannya.

"Heh, ini udah bel masuk. Masa ditinggal tidur?"

"Gurunya aja belum masuk. Lumayan bisa merem bentar," balas Manda pelan.

Claudia menggeleng heran, entah apa yang dipikirkan Manda. Orang yang paling santai dari sudut pandangnya.

"Bukannya belajar malah tidur-tiduran. Harusnya kamu sadar diri kalau kamu itu beban di kelas. Bikin nilai kelompok jadi jelek setiap ada kamu di dalamnya. Kamu nggak capek apa dimarahin terus sama anggota kelompok? Apa masuk telinga kiri, keluar telinga kanan?" Claudia ucapannya memang tajam, Manda tahu itu dan semakin ke sini dia semakin tidak perduli dengan semua ucapan itu.

Manda tidak berkutik, dia masih tetap pada posisinya sebelumnya. Gadis itu sudah lelah, bukan maunya juga untuk menjadi beban di hidup orang lain. Bukan maunya juga untuk hidup, kenapa juga harus dia yang dimarahin kalau memang kapasitasnya sebatas itu saja?

"Bagi kalian, aku memang nggak pernah benar," gumamnya pelan. Matanya memanas, dia menahan diri untuk tidak menangis. Percuma juga dia menangis di hadapan mereka, sebab mereka tidak akan tersentuh dan memahami dirinya. Yah, dia juga tidak berharap mereka akan memahaminya. Berharap pada manusia hanya akan berujung pada kekecewaan.

"Kamu nggak capek ngomel, Clau? Dia juga nggak dengerin tuh," ucap Arsya. Arsya si ketua kelas yang paling suka mencari perhatian guru-guru. Yah, pantas saja karena Arsya memang rajin, dia sering mewakili sekolah untuk ikut perlombaan. Arsya tidak sekedar mengikuti lomba saja, melainkan membawa pulang medali juara untuk sekolah. Dia adalah salah satu aset berharga di sekolah ini.

"Kamu juga ngapain, sih, masih aja deketin tuh anak? Ntar kamu jadi kebawa sial, lho. Inget dia cuman beban kelas, doang. Si anak manja yang bebal." Arsya di depan guru memang terlihat sempurna, mereka hanya tidak tahu betapa tajam ucapannya kepada orang lain yang menurutnya tidak berguna alias hanya menjadi beban saja.

Yah, Manda mewajari hal itu. Semua orang akan mendekati orang yang menguntungkan mereka. Secara umum, hal itu logis sebab tidak ada yang mau dirugikan oleh orang lain. Kalau orang lain bisa melakukan hal itu, kenapa harus repot-repot mengerjakannya sendiri? Lebih baik memanfaatkan orang lain, kan? Memanfaatkan kepolosan orang lain dan menggunakan untuk keuntungan diri sendiri.

Tidak ada yang salah dengan hal itu, semuanya wajar. Di dunia yang penuh dengan teka-teki ini, Manda tidak percaya adanya ketulusan, hanya orang tuanya yang tulus merawatnya. Kalau orang tua tidak tulus merawatnya, dia pasti sudah dibuang sejak lahir. Ah, mungkin sejak masih di kandungan dia sudah ditiadakan dengan berbagai cara.

"Sampai kapan mau ngerumpi di sini? Ini kelas bukan pasar."

Ucapan seseorang membuat tiga orang ini menatapnya dengan ekspresi yang berbeda-beda. Manda menatapnya dengan wajah berseri-seri, sementara Arsya dan Claudia sudah pucat sekarang.

"A-ah tidak ngerumpi, Pak. Ini saya negur Manda karena tidur di kelas. Seharusnya kami sebagai siswa, sudah seharusnya untuk belajar meskipun tidak ada guru," ujar Arsya. Dia berusaha untuk membersihkan citranya di hadapan Pak Nareswara. Apalagi dia adalah guru sekaligus wali kelasnya. Jika pria itu menceritakan kejadian ini pada guru lain maka citra yang sudah dibangunnya dengan baik bisa runtuh. Bagi Arsya, citra baik di hadapan guru adalah segalanya meskipun harus mengorbankan temannya sekalipun dia tidak perduli.

"Oh gitu."

Singkat, pria itu menatap lekat Manda seolah meyakinkan sesuatu yang dipikirkannya. Lalu, menghembuskan napas panjang.

"Sudah, sekarang balik ke kursi masing-masing. Kelas akan dimulai."

"Lho, Pak? Manda nggak dihukum? Dia, kan, tidur di kelas." Entah apa yang dipikirkan Arsya. Manda sudah muak dengan keegoisan itu, emosinya sudah ditahan sedari tadi. Lagipula percuma beradu debat dengan murid kesayangan semua guru, meskipun dia benar maka dia tetap akan dipandang sebagai orang yang bersalah. Memangnya ada guru yang mau murid kesayangannya disalahin?

Nareswara berhenti melangkah, selang beberapa menit barulah dia kembali bersuara.

"Saya bilang sudah cukup. Ini sekolah tempat belajar, bukan tempat saling menyalahkan."

Singkat, tetapi mampu membuat Arsya tersentak. Dia tidak pernah menerima ucapan seperti itu dari guru-guru sebelumnya. Setiap kali dia mengucapkan hal seperti itu, pasti Manda yang akan dihukum dan dia yang dipuji. Ucapan dengan nada sedingin itu, baru kali ini dia mendengarkan hal itu.

Manda juga sama terkejutnya, dia sudah mengira akan dihukum oleh Pak Nareswara sama seperti kejadian yang dialaminya sebelumnya. Menurutnya wajar karena di pandangan guru-guru dia bukanlah murid yang pintar dan dibanggakan. Wajar mereka lebih memihak dan berpikir positif pada murid yang membanggakan, kan? Namun, kali ini berbeda. Pria itu tidak memihak siapapun, dia tidak menghukumnya karena tidur saat menunggu guru datang ke kelas. Hati Manda tersentuh oleh sikap pria itu, lagi-lagi orang yang sama membuatnya bersemu merah. Orang yang berstatus sebagai gurunya sendiri.

Nareswara tersenyum menatap anak didiknya, dia meletakkan buku panduan yang dibawanya di meja.

"Oke, hari ini kita belajar tentang hukum Faraday. Hukum Faraday itu ada Hukum Faraday I dan II. Kalau Hukum Faraday I itu massa zat yang dihasilkan pada suatu elektrode selama elektrolisis (G) berbanding lurus dengan jumlah muatan listrik yang digunakan (Q)."

Pria itu menatap wajah serius mereka, rasanya pertemuan kali ini selangkah lebih baik dibanding pertemuan sebelumnya dimana mereka tidak mau mendengarkan penjelasannya.

"Cara mudahnya, apa yang kalian ucapkan itu sama dengan massa zat yang dihasilkan, sementara apa yang kalian pikirkan itu sama dengan muatan listrik yang digunakan. Kalau yang kalian pikir itu hal negatif, maka yang kalian ucapkan dan lakukan pasti berbanding lurus dengan yang kalian pikirkan. Ingat, yang mengatur semua itu dari pikiran. Berpikirlah yang positif supaya energi, apa yang kalian ucapkan dan lakukan itu positif. Lagian kalau kalian mikir yang negatif, yang rugi itu diri kalian sendiri. Paham sampai di sini?" jelas pria itu.

"Maaf, Pak. Saya masih nggak paham karena menurut saya meskipun kita berpikir A, tetapi kita bisa bertindak B. Bukankah benar begitu, Pak?" ujar Arsya.

Nareswara tersenyum. "Namun, tindakanmu akan mencerminkan apa yang kamu pikirkan. Ekspresimu juga demikian. Dari mata, orang lain bisa tahu apa yang kamu rasakan."

Mata itu lebih jujur dibandingkan lidah. Lidah mungkin bisa mengatakan hal yang manis, tetapi mata tidak pernah bohong. Hati dan mata selalu jujur pada perasaan masing-masing.


-Bersambung-




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro