Atreo 0.0

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Atreo membuka mata perlahan. Dunia yang tampak buram membuatnya mengejap pelan beberapa kali hingga buram itu menghilang. Ia kemudian mengerling saat bayangan seseorang mengusik di sudut mata, sepersekian detik menggali memori yang beku sebelum kemudian mengenalinya sebagai salah satu orang yang amat dibencinya, dulu.

Sosok perempuan itu tampaknya baru sadar bahwa Atreo telah bangun dan kini menatapnya. Dengan spontan dia berdiri dari kursi yang terletak di samping ranjang, sedikit gelagapan.

"Uh, oh ... ku-kupanggilkan Kepala Kota," ucapnya di antara panik dan canggung, kemudian cepat-cepat berlari keluar ruangan.

Setelah mengiringi kepergiannya dengan kerlingan seadanya, Atreo kembali memejamkan mata. Rasa perih merambat di sana. Cahaya terasa lebih terang dari cahaya yang biasa ia terima, membuat matanya membutuhkan adaptasi untuk sementara. Atau mungkin karena, Atreo hanya telah memejamkan mata terlalu lama.

Namun, hanya butuh sedikit waktu, pemuda itu segera terbiasa. Setelah mengejap beberapa kali lagi, Atreo bisa mengedarkan pandangan jernih ke seluruh sisi ruangan yang tak lain dan tak bukan adalah kamarnya. Menilik dari sorot mentari yang menerobos masuk melalui jendela yang dibuka lebar, hari mungkin sudah siang. Bisa jadi beranjak sore.

Berapa lama Atreo tidur? Kenapa perempuan itu ada di sisinya ketika bertahun-tahun mereka tidak saling bertegur sapa dan saling menganggap keberadaan satu sama lain tiada? Dan, sejak kapan Atreo ada di kamar? Bukankah terakhir kali ia sedang ....

Jatuh ke jurang?

Ah, mana mungkin. Tidak ada manusia yang bisa menggunakan sihir, memiliki kekuatan fisik tak masuk akal, dan tidak ada makhluk-makhluk mitos kecuali dalam dongeng pengantar tidur. Atreo benar-benar telah bermimpi cukup panjang, membuatnya bertanya-tanya berapa lama waktu yang ia habiskan untuk tidur dan bermalas-malasan.

Pemuda itu mengembuskan napasnya pelan. Ia lalu bergerak bangkit, bermaksud untuk menutup jendela, tetapi sesuatu menahan gerakannya. Atreo meringis merasakan perutnya sangat nyeri disertai paha kiri yang bagaikan ditusuk-tusuk, seolah sesuatu merajamnya. Segera saja ia kembali membaringkan diri dengan napas terengah, tetapi perutnya sekarang justru terasa seperti terbelah.

Rasanya ada yang salah.

Atreo menggigit bibir. Tangannya bergerak naik ke atas wajah. Keduanya tampak begitu kasar seolah habis digunakan untuk melakukan pekerjaan berat seperti latihan berpedang. Salah satu tangannya kemudian menuju kepala, meraba kain yang membebat di sana. Ketika Atreo nekat menekan kening kirinya, jutaan jarum terasa menikam tengkorak, membuatnya langsung merasa lemas dengan pandangan yang memudar.

Perutnya seolah terbelah, terasa begitu nyata nyerinya. Luka yang sama seperti yang ia dapat saat terhempas ke atas kereta. Paha kirinya terasa berlubang, terasa kosong hingga dalam, seolah sebelumnya ada benda tajam yang mengoyak dagingnya hingga tercipta ruang. Cedera yang sama seperti yang didapatnya di saat-saat terakhir, luka yang membuat Atreo tak lagi berfungsi dan justru membebani teman-temannya di tengah situasi yang mempertaruhkan hidup dan mati. Luka di kepalanya juga, sama seperti luka yang ia dapat yang membuat Jaac menyuruhnya mundur dari pertarungan jangka panjang yang mereka lakukan.

Atreo mengatur napas yang tersendat-sendat, mengatur pula emosinya yang mendadak meluap-luap.

Semua yang telah terjadi ternyata nyata. Semua yang telah ia alami bukanlah mimpi belaka. Acacio Academy sungguhan ada. Liam, Jaac, Alka, Elsi, Lea, Zeeb, Aalisha, Hiroki, Kepala Sekolah ... semuanya nyata. Kejadian di atas kereta juga adalah hal yang benar-benar telah terjadi. Semua itu bukanlah ilusi semata.

Atreo memejamkan matanya rapat-rapat.

Kalau begitu, kenapa ia kembali? Kenapa Atreo justru kembali ke dunianya ketika ia seharusnya mati?

Ah, tunggu. Di dunia ini, Atreo seharusnya juga mati.

Suara langkah yang berat namun terburu-buru membuat Atreo membuka mata. Ia menatap ke pintu dan tak lama kemudian mendapati sesosok tambun tergopoh-gopoh mendekat diikuti sosok jangkung di belakangnya. Kepala dan Pengawas Kota.

"Atreo," sapa Kepala Kota dengan raut khawatir dan lega di saat yang sama.

Atreo mengerutkan kening. Telinganya merasa asing ketika mendengar namanya sendiri disebutkan dengan lengkap karena berbulan-bulan lamanya orang-orang hanya memanggilnya dengan nama Treo. Aalisha yang memulainya, membuat semua orang sepakat untuk memanggil Atreo menggunakan nama kecilnya. Padahal, Aalisha tidak pernah tahu bahwa Treo adalah nama kecil Atreo. Ia membuat nama panggilan itu karena merasa nama Atreo terlalu panjang, memerlukan tiga suku kata untuk diucapkan. Lucu karena Aalisha juga memiliki nama yang terdiri dari tiga suku kata, meski akhirnya dipepatkan hingga menjadi Aal saja.

"Atreo, kamu baik-baik saja?"

Suara kepala kota mendistraksi Atreo dari kenangannya yang melintas sekilas lalu. Pria lanjut usia berperut buncit itu menarik mundur kursi di sisi ranjang dan duduk di sana. Sepasang matanya mencermati setiap bagian tubuh Atreo tanpa terkecuali, membuat Atreo menarik napas dan menguatkan diri untuk bangkit. Sesaat, sebelah matanya terpicing saat nyeri kembali menyeruak di bekas luka melintang di perutnya.

Ah, kalau tahu ia akan kembali, seharusnya Atreo menyambar beberapa ramuan obat milik Kaori jadi ia tidak tersiksa oleh semua rasa sakit ini.

"Hati-hati, hati-hati. Berbaring saja jika memang sebegitu sakit." Kepala kota dengan sigap membantu Atreo.

"Tidak apa-apa, Pak," ucap Atreo. Tangan kanannya memegangi perut untuk menahan rasa nyeri yang masih berkedut sementara tangan kirinya digunakan untuk menopang duduk. Setelah berhasil mendapat posisi duduk yang nyaman bersandarkan bantal, Atreo mengatur napas yang tertahan. Ketika akhirnya ia kembali menatap kepala kota, yang ditatap justru menatapnya balik dengan raut tak percaya.

"Pak?" Suara pengawas kota akhirnya menginterupsi, sepertinya menyuarakan hati sang kepala kota karena beliau kini juga menatap Atreo seolah menuntut jawaban. Atreo memandang keduanya bergantian.

Apa? Kenapa? Adakah yang salah?

Ah, nyaris saja Atreo menepuk dahinya sendiri andai memiliki satu tangan lagi. Ia baru sadar bahwa sekarang ia telah kembali ke dunia aslinya. Tatapan aneh nan bingung bagaikan tengah melihat alien yang dipancarkan kedua orang di depannya kini adalah hal yang sungguh dapat dimaklumi.

Atreo belum pernah memanggil siapapun dengan kata sapaan apapun. Ia selalu menghindari pengucapan kata sapaan sehingga ucapannya terkadang menjadi terkesan apatis. Kalapun terpaksa menggunakan kata ganti orang kedua, yang ia pakai adalah kata 'kamu' kepada siapa pun ia berbicara.

Satu-satunya alasan kenapa Atreo sekarang mengenal kosa kata lain selain 'kamu' untuk merujuk pada lawan bicaranya dengan lebih sopan adalah karena pelajaran tata krama yang ia terima di akademi ketika bulan pertama ia tiba dulu.

Atreo menahan napas sebentar agar tidak salah tingkah, kemudian menelan ludah. Sebenarnya ia sedikit malu. Namun, kalau nasi sudah menjadi setengah bubur, lebih baik diteruskan saja hingga menjadi bubur yang enak dimakan, kan?

"Pak?" Atreo akhirnya mengulang ucapannya untuk menyadarkan kepala kota, seolah menegaskan bahwa tidak ada yang salah dalam ucapannya. Sekuat tenaga Atreo menebalkan muka, memasang wajah tanpa dosa. Ya, nasi sudah berubah menjadi bubur. Anggap saja sejak awal memang berniat untuk membuat bubur.

Kepala dan pengawas kota saling melempar tatapan dan kemudian salah tingkah untuk beberapa saat sebelum akhirnya memperbaiki ekspresi wajah diikuti deheman beberapa kali. Keduanya terlihat menarik napas, lalu kepala kota kembali menyapa Atreo.

"Nak, kamu tidak apa-apa?"

'Nak'. Sapaan itu mengingatkan Atreo pada kepala sekolah, secara aneh merambatkan rasa hangat ke dalam dada. Pesan-pesan yang beliau berikan pada Atreo terpatri dengan sempurna sepertinya.

"Secara keseluruhan, saya pikir saya baik-baik saja," jawab Atreo akhirnya.

Namun, wajah kepala kota kembali menegang. Beliau kembali bertukar pandang dengan pengawas sebelum memperhatikan Atreo secara bersamaan, seolah ingin memastikan bahwa yang ada di hadapan mereka adalah Atreo sungguhan.

Ah, salah lagi. Atreo tidak pernah menggunakan kata 'saya' di sini. Ia selalu menggunakan kata 'aku' yang membuatnya jadi terkesan begitu angkuh. Atreo tidak akan kaget kalau tiba-tiba kepala kota berteriak menuduhnya sebagai kloningan atau alien yang menyamar. Enam bulan ternyata bukan waktu yang sebentar. Atreo tidak sadar ternyata ia telah berubah sebegini banyak dalam waktu enam bulan.

"Pak, bisa tolong fokus?" tanya Atreo menyembunyikan rasa geli. Beliau berdua gelagapan sebelum masing-masing menarik napas panjang dan mulai menatap Atreo dengan serius.

"Apa yang terjadi padamu, Nak? Ke mana saja kamu selama ini?" tanya Kepala Kota.

Jika ditanya begitu, Atreo juga tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin ia menjawab Acacio Academy ketika ia sendiri tidak tahu di mana tepatnya letak akademi tersebut di dunia ini.

"Pak, justru itu yang ingin saya tanyakan. Apa yang terjadi pada saya?" ucap Atreo setelah diam sesaat, memutuskan untuk membalikkan pertanyaan.

Kepala kota mengerutkan kening sejenak, sebentar kemudian akhirnya memahami apa maksud pertanyaan yang Atreo lontarkan.

"Kamu menghilang selama hampir tiga bulan terakhir. Lia yang terakhir kali melihatmu, katanya kamu sedang akan mengecek atmoser—mungkin—karena pergi menuju hutan timur kota. Kami tahu kamu terkadang memang pergi ke sana. Namun, kamu tidak pernah kembali ke rumah. Kami, seluruh warga kota, mencarimu ke mana-mana, tetapi kamu tidak ada. Kami pikir kamu keluar dari atmosfer, tetapi diagram di balai kota menunjukkan namamu masih ada, masih bernapas, dan masih menggunakan udara yang sama seperti yang kami hirup. Seolah-olah, sebenarnya kamu ada, tetapi wujudmu tak kasat mata." Kepala kota mengambil jeda.

"Empat hari lalu, Pak Raka menemukanmu pingsan di hutan bagian timur kota. Beliau sedang akan mencari buah di dalam hutan. Keadaanmu kacau balau saat ditemukan. Robekan di dahi, luka melintang di perut, dan luka bekas tusukan di paha. Sungguhan berdarah-darah. Kepalamu mengalami pendarahan tetapi untungnya tidak berbahaya. Beliau langsung membawamu ke sini. Empat hari terakhir, Nak Rakea dan Bu Raka bergantian merawatmu. Helena juga sesekali datang kemari ... sebenarnya, banyak yang bergantian datang untuk menjenguk," tutur kepala kota.

"Empat hari?" Atreo terkesiap.

Luka Atreo memang sangat parah, jadi tidak aneh kalau dia membutuhkan empat hari untuk sadar. Tetapi, tetap saja, empat hari adalah waktu yang cukup lama baginya. Atreo belum pernah pingsan selama itu sebelumnya, mengingat setiap luka yang ia dapatkan selalu segera dirawat oleh para senior atau anggota pasukan Tentara Langit sehingga ia segera membaik. Sekarang, perbedaan dunia jadi benar-benar sangat terasa.

Pemuda itu mengangkat sebelah alis ketika menyadari kepala kota kembali menatap dirinya dengan pandangan aneh, mungkin akibat 'reaksi orang normal' yang baru saja ia tunjukkan. Reaksi seharusnya dari seorang Atreo adalah diam saja, seolah empat hari tidak sadarkan diri bukanlah hal yang mengejutkan atau apa. Tetapi, berbulan-bulan menghadapi Jaac dan Hiroki, Atreo belajar terbiasa menunjukkan perasaannya agar bisa mengusir mereka berdua yang hobi mengusik ketenangan hidupnya.

Atreo memilih tidak mengindahkan lagi reaksi kepala kota, memutar kepala memikirkan sesuatu yang mengganjal perasaannya.

Jadi, 'mereka' yang menemukan dan merawat Atreo selama ini. Itulah alasan kenapa perempuan tadi ada di sisinya ketika ia akhirnya sadarkan diri.

Tidak tidak. Bukan itu yang mengganggu Atreo. Ada sesuatu yang lain yang sepertinya telah ia lewatkan. Sesuatu seperti,

"Pak, Anda bilang saya menghilang selama tiga bulan?" tanya Atreo ragu.

"Kurang lebih tiga bulan, karena kami tidak tahu kapan tepatnya kamu hilang." Kepala kota mengangguk mantap, membuat Atreo mengerutkan kening dalam.

Bukankah Atreo tinggal di akademi selama enam bulan? Tiga bulan pertama sebagai calon siswa jurusan dan tiga bulan selanjutnya sebagai siswa jurusan Tentara Langit. Bagaimana mungkin dunia ini baru melewatkan waktu tiga bulan ketika Atreo sudah pergi selama enam bulan?

Pemuda itu menghalau pikirannya, kembali fokus menatap kepala kota.

"Bagaimana dengan pengurangan muatannya? Saya masih mempunyai sisa waktu?"

Kepala dan pengawas kota saling melempar pandangan, kemudian menatap Atreo dengan redup.

"Seminggu lagi, Nak. Dan kami masih belum bisa menemukan penggantimu."

°†°†°†°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro