Atreo 0.1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Atreo bersusah payah melangkah menuju sisi lain ruang bawah tanah. Kruk yang menyelip di kedua ketiak tidak banyak membantu mempercepat langkah karena rasa nyeri sering masih menyambangi perut dan pahanya ketika ia bergerak, meski kini kepalanya tak lagi sering merasakan pening seperti beberapa hari lalu.

"Atreo, kurasa ini yang menjadi sumber masalahnya," ucap seorang pemuda yang Atreo tuju.

Pemuda yang Atreo lupa namanya itu dengan inisiatif berdiri dari posisi berjongkoknya, menunjukkan kejanggalan yang ia temukan. Salah satu tangan Atreo terulur, meraba bagian dalam benda yang disodorkan padanya, mengamati.

"Benar. Kamu bisa memperbaikinya? Bagian logam yang lebih halus ini tinggal digeser saja, dekatkan dengan tembaga yang ada di ujung. Kalau yang ini sudah beres, lanjut bongkar dengan hati-hati. Jika perkiraanku benar, karena masalah di sini kamu akan menemukan bagian yang hangus di inti," tutur Atreo.

Pemuda itu mengangguk. "Akan kucoba perbaiki."

Atreo menoleh saat pemuda lain memanggil namanya. Sekali lagi, dengan usaha yang bisa ia lakukan, Atreo melangkah mendekati pemuda yang memanggilnya barusan. Pemuda itu tampak kesulitan mengatasi alat besar yang membuatnya tidak dapat bergerak dan berpindah tempat sembarangan.

Beberapa hari ini, ruang bawah tanah rumah Atreo tidak lagi sepi. Tempat rahasia itu tidak lagi sunyi. Yang mengetahui keberadaan ruang bawah tanah pun tidak lagi hanya Atreo seorang diri. Ada sekitar tujuh pemuda yang masuk atas seijin Atreo, membantunya melakukan apapun sebanyak yang mereka bisa dalam kurun waktu yang tersisa.

"Selama tiga bulan terakhir, atmosfer menjadi semakin tipis. Cuaca masih cukup stabil, tetapi kalau dari apa yang kuamati, ada yang berubah. Aku yakin itu karena tidak ada yang menjaganya. Aku sungguh-sungguh, kalau kamu sampai mengorbankan diri keluar atmosfer, hal tersebut sama dengan menyerahkan kehidupan kota ini kepada takdir. Tidak ada yang mampu paham dan bisa menggantikanmu, Atreo."

Ucapan pengawas kota lima hari yang lalu terus terngiang dalam rongga kepala Atreo.

Di hari yang sama sejam setelah Atreo sadar, dengan bantuan kepala dan pengawas kota, Atreo mengumpulkan penduduk kota yang sekiranya bisa menjadi sumber daya yang ia butuhkan. Ia menawarkan pada para pemuda yang dulu pernah berkesempatan untuk sekolah cukup tinggi, terutama di bidang fisika, elektronika, dan antek-anteknya yang masih berhubungan dengan sains terapan untuk kembali belajar.

Atreo juga menawarkan pada para bapak dan ibu yang dulu sekiranya pernah bekerja di pemerintahan atau perusahaan untuk mengurus sistem dalam bidang fisika, elektronika, dan antek-anteknya yang masih berhubungan dengan sains terapan untuk memanggil kembali skill yang pernah mereka banggakan. Atau bahkan untuk orang awam, asal mereka memiliki antusias belajar tinggi dan siap serta mampu memahami apa yang akan Atreo jelaskan, mereka juga diterima dengan tangan terbuka.

Tanpa disangka, Atreo mengumpulkan lebih banyak orang dari yang ia kira. Ia pikir warga kota membencinya, tetapi tampaknya tidak begitu. Wajah orang-orang itu tampak tertarik dan senang ketika akhirnya mendengar Atreo berbicara pada mereka.

Maka, dimulai pada hari itu juga, Atreo membuka kembali perpustakaan milik Akra. Ia memulai pelajaran singkat tentang alat pembentuk kubah atmosfer. Gambar rancangan alat itu—yang untungnya ada versi cetaknya—kembali dibuka, dipelajari hingga bagian-bagian terkecilnya. Butuh waktu dua hari penuh hingga setidaknya cukup orang mampu memahami poin-poin penting yang dibutuhkan untuk dapat melanjutkan pekerjaan Atreo tanpa asistensinya di kemudian hari.

Di hari kedua juga, setelah pelajaran teori dirasa cukup, Atreo kemudian membuka ruang bawah tanahnya. Akra pernah menyimpan satu alat pembentuk atmosfer yang rusak. Para pemuda yang berhasil mendapat izin masuk ke ruang bawah tanah, Atreo minta untuk memperbaiki alat tersebut. Mereka berhasil mengidentifikasi kerusakan apa saja yang ada, dan itu cukup baik Atreo. Dengan empat kepala yang berbeda, mereka pasti akan berhasil memulihkan alat yang rusak itu ke depannya.

Para pemuda sisanya diajari secara langsung bagaimana mengamati perkembangan atmosfer melalui Laplace's Demon, membaca kode-kode rumit yang sukses membuat salah satu di antara mereka muntah—dalam artian harfiah—namun untuknya tak menyerah, hingga membaca diagram-diagram aneh berwarnah hijau, merah, kuning, dan lain sebagainya yang justru tampak seperti peta. Berwarna-warni layaknya pelangi.

Halaman rumah Atreo menjadi markas bagi para bapak dan ibu yang kini sedang tekun merangkai monitor dengan arahan Atreo. Mereka memanfaatkan barang-barang bekas yang menumpuk di pembuangan alat elektronik berhubung dulu semua orang mengira alat-alat itu tak akan bisa lagi digunakan.

Selain menjadi guru dan mentor dadakan, Atreo sendiri juga rajin bergadang setiap malam, mengotak-atik sebuah alat kuno yang menjadi tanggung jawabnya. Alat tersebut dalam kondisi cukup mengenaskan. Beberapa bagian dalamnya berkarat dan banyak kabel-kabel putus. Butuh konsentrasi penuh baginya untuk mengembalikan alat itu agar dapat kembali seperti semula. Terkadang, trauma luka di perut dan pahanya mendistraksi, membuat Atreo frustrasi sendiri karena ia tengah dikejar waktu untuk menyelesaikan reparasi benda ini.

Dulu, saat masih di sekolah dasar, Atreo pernah mendapatkan pelajaran survival. Di pusat kota sana, kota besar utama yang berada di bawah bukit tempat Atreo tinggal, kota yang dulunya menjadi pusat peradaban negara bagian ini, terdapat lima tiang pendek yang tersebar di segala penjuru. Tiang itu setinggi betis orang dewasa dan sering diabaikan. Tetapi, sesungguhnya, tiang itu adalah harapan jika bencana mungkin terjadi. Sial bagi Atreo, baru mengingat keberadaan tiang itu sekarang.

Tiang survival itu terbuat dari logam dengan lapisan luar dari batu intan. Meski tidak ada gunung berapi aktif di negara bagian ini, tetapi, andaikata letusan terjadi dan tiang itu terkena lahar, jika Tuhan menghendaki ia akan masih bisa bertahan. Meski tampak hanya setinggi betis di atas tanah, sesungguhnya tiang itu menancap dalam ke bumi, jadi tidak akan goyah meski ada tsunami. Kecuali bom nuklir, Atreo tidak tahu apakah tiang itu tetap dapat bertahan karena pada praktiknya, tidak pernah benar-benar ada bencana untuk mengfungsikan tiang-tiang tersebut. Itulah alasan orang-orang mengabaikan keberadaannya.

Tiang survival itu akan aktif ketika dipasangkan dengan alat pembangun sinyal, alat yang tengah berusaha Atreo perbaiki sekarang. Tancapkan alat pembangun sinyal ke tiang, kemudian sebuah sinyal akan menyebar hingga radius tertentu. Sinyal itu akan muncul berulang kali layaknya riak air dan akan memengaruhi alat elektronik apapun yang ditemuinya. Poin dari keberadaan sinyal itu adalah ia tida membutuhkan gelombang elektromagnetik untuk menyebar.

Selanjutnya, jika ada alat elektronik yang merespon, akan langsung terhubung dengan monitor yang saat ini masih dirakit ulang oleh para bapak dan ibu di luar sana. Pasangan dari tiang survival itu sebenarnya bermacam-macam tergantung kebutuhan, tetapi sinyal inilah yang sekarang Atreo butuhkan. Sebenarnya, ia tidak terlalu yakin apakah cara ini akan berhasil menyelamatkan kehidupan di kota ini, tetapi ia tidak ingin memutus harapan.

Alasan Atreo yakin cara ini memiliki peluang adalah karena satu kota di ujung selatan sana yang menjadi salah satu tempat percobaan atmosfer buatan selain kota yang Atreo tinggali ini. Dari kota ini, menuruni bukit, melewati kota utama, dan terus berjalan ke selatan, ada seorang ilmuwan yang tinggal di sana, tak lain dan tak bukan adalah ilmuwan yang pertama kali menciptakan alat pembentuk atmosfer itu sendiri. Akra yang menceritakannya.

Atreo tidak terlalu ingat siapa ilmuwan tersebut karena saat itu ia tidak tertarik. Baginya, Akra adalah yang terbaik dan itu sudah cukup, ia tidak membutuhkan siapa-siapa lagi. Syukurlah otaknya cukup berguna juga merekam suatu ingatan meski tanpa Atreo kehendaki. Dari ingatan kecil itulah Atreo melakukan pertaruhan.

Jika ilmuwan itu beruntungnya masih hidup, atau minimal masih bisa bernapas meski fisiknya keropos dimakan usia, Atreo yakin ilmuwan itu memiliki kemampuan yang mumpuni untuk memperluas wilayah jangkauan atmosfernya, memperbesar kesempatan hidup orang-orang yang tersisa di kota sana. Dan karena dia berhasil menciptakan alat tanpa membutuhkan listrik—yaitu set alat pembentuk atmosfer buatan, beliau pasti juga entah bagaimana menemukan cara untuk membuat alat-alat elektronik lainnya bisa bekerja tanpa membutuhkan listrik ataupun medan elektromagnetik.

Alat elektronik itulah sasaran Atreo. Dan ilmuwannya juga, tentu saja. Jika ia berhasil menghubungi ilmuwan itu, maka kotanya memiliki harapan meski ia tinggalkan.

Ah, sebenarnya itu semua hanya harapan-harapan yang berdasarkan pada kemungkinan-kemungkinan, bukan fakta-fakta yang jelas menunjang. Hal itu juga membuat Atreo cukup frustrasi karena dia selalu mempunyai prinsip untuk 'mengambil peluang hanya ketika lebih dari 50% yakin akan menang'. Tetapi, menggenggam harapan yang tak jelas wujudnya masih jauh lebih baik daripada tidak memiliki harapan sama sekali.

Atreo mengambil napas dalam, kemudian mengembuskannya dengan cukup panjang. Tidak ada waktu untuk berpikir yang tidak-tidak. Tidak ada waktu untuk frustrasi atas pikiran-pikiran tidak berguna. Ada lebih banyak orang yang lebih frustrasi di sekitarnya yang lebih membutuhkan perhatian Atreo, terbukti dari panggilan-panggilan yang sekarang ia dengar.

Saatnya berusaha. Semua orang bergantung padanya, dan pada harapannya.

°†°†°†°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro