BAB XLVIII (PERTARUNGAN)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ALDORA WESTON

Saat ini sampailah kami di depan ruangan kepala sekolah. Untuk bisa masuk atau bahkan memegang pintu ruangan itu, kami harus melewati tiga anak tangga yang terbuat dari kepingan tegel dengan ukuran kecil yang hanya memuat satu orang, terlebih dahulu. Hal itu mengharuskan kami berbaris untuk bisa menuju ke ruangan tersebut. Baru saja Kak Naion melangkahkan kakinya di anak tangga pertama, sementara kami masih menunggu mendapat giliran, tiba-tiba kami mendengar suara seorang wanita tertawa, tetapi tidak melihat wujud fisiknya sama sekali.

"Di atas sana." Kak Al menunjuk ke arah atas bangunan ini. Terdapat sosok wanita yang memakai seragam sekolah kami, namun wajahnya tertutup oleh kabut, sehingga sulit untuk dikenali. Tetapi, gue dan Kak Naion mengenali suara dan bahkan wujud itu. Tidak salah lagi, dia adalah Ariana. Lebih tepatnya Iblis yang mengambil alih tubuh Ariana.

"Gue tidak menyangka kalau masih ada beberapa murid lain yang belum menjadi patung," ucap Ariana menatap kedua kakak kelas itu.

"Suara siapa itu?" tanya Bram.

"Suaranya Ariana. Masa lo gak kenal suara dia? Kan lo sempat jalan bareng sama dia?"

"Gak usah nge-gas gitu dong, Beb. Gue tuh gak gampang ingat sama suara orang. Apalagi kalau baru beberapa kali ketemu," jawabnya. "Tapi kalau itu suara lo, gue sih pastinya udah hapal setengah mati," tambahnya lagi.

Gue pura-pura tidak mendengar ucapannya, baik yang pertama maupun yang terakhir.

"Keluar lo, Bangsat! Lo pikir bisa sembunyi selamanya, hah? Gak, Say!  Sebentar lagi, gue akan memusnahkan lo untuk selamanya," kata Kak Naion.

"Percaya diri sekali kau, wahai manusia hina!Tidak akan ada yang bisa menghalangi jalan kami," ujarnya lalu tertawa dengan sangat keras. Ini sudah kedua kalinya gue mendengar tawanya yang sangat meresahkan gendang telinga yang mendengarkannya.

"Kami?" Kak Al menoleh ke arah gue.

"Bukan kah tadi sudah gue sampaikan kalau Iblis yang ada di sekolah ini tidak hanya satu?"

Bram dan Kak Al menggelengkan kepalanya.

Sial, itu artinya gue melewatkan bagian tersebut. Tetapi ya sudahlah toh sekarang mereka sudah tahu.

"Sebelum keinginan kalian untuk melenyapkan kami terwujud, kalian harus melewati pasukan gue terlebih dahulu," ucapnya sambil tertawa, kemudian menghilang.

Beberapa detik kemudian, kami mendengar erangan yang sangat keras dari segala arah. Kami mengedarkan pandangan untuk mencari sumber suara itu.

"Kak, lihat!" Kami menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Kak Al.

Segerombolan manusia dengan wajah pucat, mata berwarna merah dan mulut menganga yang datang dari segala arah perlahan mendekati kami. Mereka berjalan dengan sangat lamban karena kedua kaki mereka seperti tidak seimbang. Ada yang berjalan pincang, ada yang hanya menyeret kakinya, bahkan ada pula yang ngesot. Mengerikan sekali penampakan yang ada di depan kami saat ini.

Benar, mereka adalah para murid dan guru yang tadinya masih menjadi patung saat kami melintas. Bulu kuduk gue bergidik. Bukan main, mereka semua bak mayat hidup yang datang mencari mangsa untuk dijadikan makan. Gue bukannya lebay, gue memang hanya memaparkan fakta yang ada.

"Oho ..., tebakan gue benar." Kak Nai menyeringai. "Anak-anak, saatnya beraksi. Gue gak kaget karena gue memang sudah memprediksi kejadian ini. Logikanya, gak mungkin mereka membuat kita bergerak dengan mudah. Keputusan gue nyuruh kalian buat ambil benda-benda yang bisa digunakan untuk menghajar musuh memang sudah tepat."

Kak Naion melirik gue. "Lo gak takut, kan?"

"Gue bukan takut, tapi ngeri. Ini adalah pertama kalinya gue berada di situasi seperti ini, dan hal itu membuat buluk kuduk gue bergidik."

"Memang gak bisa dipungkiri situasi kita saat ini memang mengerikan." Kak Naion menatap kami bertiga satu per satu. "Kalian jangan takut, mereka hanya manusia seperti kita, hanya saja mereka sedang di kontrol oleh Iblis itu. Hajar saja. Buat mereka pingsan. Jangan sampai ada luka yang terluka parah."

"Tapi, Kak, kalau kami gak sengaja buat mereka berdarah, bagaimana?" tanya Bram.

"Intinya, minimalisir luka-luka yang kalian timbulkan pada mereka. Jangan ada yang tertusuk sampai darahnya muncrat-muncrat ke segala arah. Kalau hanya luka gores, tidak apa-apa. Kaki terkilir juga gak apa-apa. Tapi jangan buat tulangnya patah atau bahkan sampai retak yang mengharuskan kita membawanya serta memberinya biaya operasi di rumah sakit."

Oke, mungkin seharusnya gue tidak boleh tertawa dalam kondisi seperti ini. Tetapi ucapan Kak Naion barusan benar-benar membuat gue seketik tertawa terbahak-bahak karena sangking lucunya. Oke, mungkin sebagian dari kalian ada yang menganggapnya biasa aja, tetapi bagi gue itu terdengar sangat lucu.

"Kak Nai  sempat-sempatnya melucu." Kata Kak Al sambil tersenyum. Bram juga tertawa kecil, sementara gue tidak bisa menahan diri untuk tidak terpingkal-pingkal.

"Kenapa kalian ketawa? Yang gue sampaikan memang benar kok, gak ada niatan buat bercanda." Kak Naion menatap kami dengan ekspresi kebingungan. Lalu beberapa detik kemudian, ekspresinya kembali seperti semula, alias datar.

"Mereka datang. Hajar sekarang!" Kak Alfandi dan Kak Naion mulai menghajar para musuh yang menerjang ke arahnya.

"Hati-hati, jangan sampai terluka," ucap Bram.

"Lo juga." Bram tersenyum lalu mulai menghabur ke segerombolan musuh yang jaraknya benar-benar sudah dekat dengan kami.

Gue berlari agak menjauh dari yang lain dengan tujuan membuat sebagian manusia yang seperti mayat hidup alias zombie itu mengikuti gue. Satu per satu dari mereka tumbang dan jatuh pingsan karena mendapat hantaman dari gue. Satu hal yang gue sadari, mereka lemah. Tetapi, meskipun lemah dan gampang dijatuhkan, gue mulai sedikit kewalahan karena jumlah mereka benar-benar banyak. Bayangkan berapa banyak jumlah siswa-siswi di sekolah ini, ditambah guru, dan beberapa staff lainnya. Empat orang melawan ratusan musuh. Gila banget, kan?

Kaki dan juga tangan gue tidak henti-hentinya bergerak, mengeluarkan jurus-jurus yang sudah dipelajari dalam ilmu bela diri yang gue keluti, yaitu Karate. Namun, musuh-musuh bahkan tidak berkurang sedikit pun. Perlahan energi gue mulai terkuras. Keringat mulai bercucuran karena sudah mengeluarkan banyak tenaga.

Tiba-tiba gue merasakan benda yang sangat keras menghantam di bagian depan kepala gue. Sedetik kemudian darah mulai meluncur di pelipis dan mulai membasahi seragam sekolah gue. Sial! Rasanya sakit banget, pandanga gue mulai berkunang-kunang. Ada dari mereka yang membawa senjata. Karena tahu kondisi gue sedang tidak baik-baik saja, gue memilih lari menjauh dari pasukan zombie itu, yah, pastinya mereka mengejarku tetapi dengan kecepatan lamban. Gue mengamati sekitar sambil tetap berlari mencari tempat yang aman.

Toilet. Yah, toilet tempat gue mengintai Geava. Gue akhirnya berlari ke sana. Sesampai di toilet, gue mengecek terlebih dahulu setiap bilik-bilik kamar kecil apakah ada zombie di dalamnya atau tidak, setelah memastikan kalau tempat ini aman, gue langsung mengunci pintu.

Kepala gue pusing banget dan entah mengapa asam lambung gue meningkat mengakibatkan rasa mual yang sangat tidak nyaman. Gue menyenderkan tubuh ke dinding persis di depan cermin besar tempat para siswi mencuci tangan, muka, bahkan sikat gigi, serta memperbaiki riasannya.

"Bagaimana keadaan mereka sekarang?"

Suara gedoran pintu dari luar membuat gue tersentak.

Meskipun masih pusing, tanpa menunggu lama gue mencari kota P3K yang memang tersedia di setiap toilet di seluruh sekolah. Bukan cuman itu, khusus di toilet wanita tersedia berbagai macam merek pembalut dengan segala ukuran. Bisa dibilang, keputusan gue untuk masuk ke dalam toilet ini adalah hal yang tepat. Setelah mendapat kotak itu, gue mencuci muka dan juga luka di pelipis yang gue dapatkan.

"Aw ...."

Sumpah, ini perih banget!

Suara gedoran pintu semakin besar. Mendengar itu, gue cepat-cepat memberi betandin di kapas lalu menempelkan ke pelipis gue yang terluka, kemudian merekatkan perban. Setelah semuanya selesai, gue menarik napas panjang. Baiklah, gue sudah siap kembali beraksi. Gue tidak boleh lemah.

"Ayo, Dora, kamu pasti bisa!" ucap Gue sambil memeluk tubuh sendiri.

Gue mulai melangkah mendekati pintu. "Tuhan, beri aku kekuatanmu. Selamatkan lah kami dari Tuhan."

Baru saja menyentuh gagang pintu, terdengar suara berisik dari luar sana. Gue penasaran, tetapi enggan membuka pintu ini.

"Dora, lo ada di dalam?" Itu suaranya Bram.

"Dora, lo di dalam, kan?" tanyanya lagi. "Buka pintu, ini gue, Bram."

Tidak. Gue tidak boleh percaya. Siapa tahu dia bukan Bram? Tetapi hanyalah salah satu dari Iblis yang menyamar sebagai dia untuk menangkap gue atau bahkan mencuri jiwa gue sama seperti Geava.

"Dora, Kak Naion bilang lo ada di sini. Jadi gue langsung melesat ke tempat ini."

Gue masih diam.

"Jangan bilang lo ngira gue adalah salah satu Iblis yang sedang menyamar?"

"Dora, gue Bram. Bramana Tahaya."

"Woi, Aldora Weston calon Ibu dari anak-anak gue! Keluar atau gue yang mendobrak pintu ini!"

Dengan cepat gue memutar daun pintu ini, lalu saat pintu terbuka, gue mendapati Bram tersenyum jahil dengan rambut dan juga seragam yang acak-acakan, namun terlihat keren. Dia sedang berdiri persis di hadapan gue saat ini."

Dia menaikkan satu alisnya. "Lamaran gue diterima," ucapnya.

"Sia—"

Bram menarik tubuh gue mendekat, lalu kedua tangannya memegang wajahku. "Kenapa kamu terluka? Kan aku udah bilang jangan terluka." Ucapnya marah dengan ekspresi wajah khawatir. "Sakit?"

Gue reflex menarik diri, saat hendak mengambil jarak darinya gue seperti menginjak sesuatu. Saat melihat ke bawah, ternyata gue menginjak lengan dari salah satu zombie itu. Seketika gue mengedarkan pandangan kesekeliling, para pasukan musuh sudah tergeletak tak berdaya.

"Lo- lo yang menghajar semuanya?' Tanya gue.

"Benar. Hebat kan aku!"

"Kak Naion dan Kak Alfandi, gimana?"

"Mereka lagi nungguin kita di depan ruang kepsek. Tubuh Geava sudah ditemukan."

"Kok, bi—"

Bram menggenggam tangan gue. "Kamu gak usah banyak tanya dulu. Ayo kita ke susul mereka."

Kali ini gue membiarkan Bram melakukan apa yang diinginkannya karena gue tidak memiliki cukup energi untuk rebut atau bahkan sekedar beradu mulut dengannya.

"Kamu pucat. Gak mau aku gendong aja?"

"Gak usah."

"Baiklah. Tapi gak apa-apa kan gue gandeng seperti ini?"

Kenapa gue deg-degan hanya karena mendengar pertanyaan Bram? Oh, my! Setelah ini gue akan cerita ke Rana dan juga Clarissa.

"Untuk kali ini aja, gue gak keberatan," jawab gue.

Mendengar jawaban gue, Bram tersenyum kemudian kami berjalan sambil bergandengan tangan.

*_*ALGEA*_*

*

*

*

BERSAMBUNG

Assalamualikum, sahabat Bintang Laut😊

Wow, aku ada kabar mengejutkan. Sebenarnya, aku juga gak bakalan nyangka ALGEA bisa ada di posisi seperti itu. Yah, meskipun bisa dibilang sistem 'Rank' ini bersifat random, aku tetap merasa senang karena bisa merasakan ALGEA berada di posisi pertama untuk beberapa kategori.

1. Horor


2. Petualang


3. Indigo


4. 300DaysChallenge

-ALGEA-

Meskipun saat ini Algea udah gak ada diposisi teratas lagi, aku bener-bener tetap bersyukur. Bersyukur karena mendapat pembaca yang super kece seperti kalian semua, yang senantiasa menunggu cerita ini update, bahkan beberapa nge-DM aku💕

Terima kasih banyaaak, Sahabat Bintang Lautkuu💕😍🥺

Tanpa kalian, cerita ini gak ada apa-apanya. Dan tanpa semangat dari kalian, aku tidak bisa menjadi seperti saat ini. Yah, tanpa dipungkiri terkadang aku masih memiliki banyak kesalahan dalam kepenulisan sih heheh.

Thankyou, Minna.

心から 感謝します。

(Kokoro kara kansha shimasu)

Terima kasih dari hatiku yang terdalam untuk kalian.

I'm glad to have you, guys💕

Seperti biasa, kalau kalian menemukan typo atau plot hole, kalian bisa DM aku😁

HAPPY READING📕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro