Chapter 5: Bukan Detektif

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jam 05:30 sore, Ame memarkirkan mobilnya di seberang Toko Roti yang dicurigai sebagai tempat tersangka berada. Setelah turun dari mobil, dia membenarkan terlebih dahulu baju dan juga jaketnya agar pistol yang disembunyikan tidak ketahuan.

Tangan kanannya dimasukkan ke kantong jaket karena dia sedang memegang alat pengacau pendeteksi logam ciptaannya. Dia takut kalau orang-orang yang ingin dia datangi ini sudah memasang alat pendeteksi logam yang tersembunyi di pintu masuk toko.

Sebelum membuka pintu masuk toko roti, Ame menekan tombol alatnya. “Benar dugaanku. Bahkan, bukan hanya pendeteksi logam biasa. Ponselku sampai bergetar cukup lama. Itu artinya alat ini memiliki daya radiasi yang tinggi dan juga canggih. Entah apa kemampuan lainnya selain mendeteksi logam, yang jelas tak ada alat yang berfungsi normal kalau aku sudah menggunakan ‘Si Mungil’ ku ini.” gumam Ame dalam hati sambil melihat sejenak ke pintu yang baru saja ditutupnya kembali.

“Selamat sore, Tuan. Mau mencari roti apa? Karena sebentar lagi malam dan toko akan tutup, pilihan rotinya jadi lebih tidak banyak.” sapa Koyuki dengan tersenyum.

“Tidak apa, Nona. Lagi pula aku mencari roti yang mudah dicari di toko roti manapun,” ucap Ame dengan tersenyum juga.

“Roti tawar?” tanya Koyuki heran.

“Benar sekali tebakanmu, Nona.” jawab Ame dengan sedikit tertawa.

“Kalau begitu, biar aku siapkan.” ucap Koyuki yang langsung menyiapkan roti tawar untuk dibawa Ame.

Saat Koyuki sedang menyiapkan roti, Taro dan Wakashima keluar dari pintu belakang. Wakashima membereskan beberapa nampan roti yang sudah kosong yang ada di etalase, sedangkan Taro membersihkan kaca toko dari dalam.

Mereka menggunakan sarung tangan di kedua tangannya. Aku tahu itu adalah standar di setiap toko makanan demi menjaga kebersihan makanannya, tapi kalian berdua tidak sedang berurusan langsung dengan makanan. Buat apa memakainya?” gumam Ame melirik sejenak ke arah Taro dan Wakashima bergantian.

“Ini dia roti Anda, Tuan. Silahkan,” ucap Koyuki sambil meletakkan bungkusan roti Ame di atas etalase dengan tersenyum.

Ame meluruskan kedua tangannya ke bawah dan sedikit melakukan peregangan pada jari-jarinya. “Kau tahu, Nona. Kemarin sekolah Sakura diliburkan karena ada sebuah peringatan dan juga anime favoritku Nagi no Asukara, baru saja tamat hari Rabu pekan lalu.” ucapnya dengan santai.

Mendengar perkataan Ame, mereka bertiga sama-sama terlihat kehilangan ketenangannya. Merasa berada dalam kondisi yang terpojok, Taro dan Wakashima bergegas mengeluarkan pistol yang mereka sembunyikan di balik seragam mereka.

DORR! DORR!

PRANGG!

Sayang, Ame jauh lebih cepat. Taro terkapar di lantai sebelum sempat menggapai pistolnya, sedangkan Wakashima sudah memegang pistolnya dan mau mengarahkannya ke arah Ame. Tapi, peluru Ame sudah lebih dahulu bersarang di kepalanya.

Ame pun menodongkan senjatanya ke arah Koyuki yang diam terpaku melihatnya dengan tatapan takut. “Jangan melakukan sesuatu yang percuma, Nona Watanabe. Ingat, kau punya seorang putra yang harus kau jaga.” ucapnya datar.

Koyuki tersenyum dan sedikit tertawa setelah mendengarkan perkataan Ame. “Lagi pula, aku mengambil pistol bukan untuk membela diri. Tapi,” Koyuki mengambil pistol yang disembunyikan di laci tempat uang berada, lalu menodongkan ke kepalanya sendiri. “Untuk melakukan ini,” ucapnya sambil tersenyum menatap Ame.

DORR!

Ame pun memeriksa ke dalam dapur toko roti itu, mencari apakah ada sesuatu yang bisa dijadikan bukti. Dia tidak punya niatan sama sekali untuk membunuh Koyuki, karena dia ingin Koyuki bekerja sama dengannya dan memberi tahu semua hal yang dia tahu. Tapi, siapa sangka kalau Koyuki menembak kepalanya sendiri di hadapan Ame.

“Kalau Nona Koyuki sampai melakukan bunuh diri, itu artinya ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Tempat ini terlalu luas, sebaiknya aku laporkan hal ini kepada Sensei agar dia mengirim orang-orang untuk mengurus hal ini.”

Ame pun keluar dari dapur dan menelepon Tuan Shin.

“Sensei, aku sudah selesai. Kirim orang ke sini untuk menyelidiki hal ini lebih lanjut,” ucap Ame datar.

Apa? Apa maksudmu? Kau sudah menemukan tersangkanya? Cepat sekali,” jawab Tuan Shin dengan nada yang tinggi saking terkejutnya.

“Tahun 2031 teknologi sudah jauh berkembang pesat, Sensei. Semuanya bisa didapatkan jika kau tidak buta teknologi,” jawab Ame dengan santainya.

Baiklah, aku akan kirim Kotaro ke sana dan juga beberapa orang lainnya. Tunggulah di sana,” ucap Tuan Shin masih tidak percaya kalau Ame sudah menyelesaikan tugas yang dia berikan.

“Aku mengerti, Sensei.”

Ame pun menutup teleponnya dan mengantongkan kembali ponselnya.

Karena tidak mau berada di TKP, Ame pun memutuskan untuk keluar dan menunggu di samping mobilnya.

Setelah menunggu selama sekitar 20 menit, bantuan yang dikirimkan Tuan Shin pun datang. Kotaro menghampiri Ame yang berdiri di samping mobilnya di seberang jalan setelah memeriksa ke dalam toko roti.

“Kau membunuh semuanya, Senpai? Bagaimana aku bisa menginterogasinya kalau seperti ini?” ucap Kotaro sambil menggaruk-garukkan kepalanya.

Aku benci sekali mendengar kata ‘Senpai’ darinya. Bukan karena aku tidak mau dihormati, tapi aku ini lebih muda darinya.” gumam Ame dalam hati menahan rasa kesalnya.

“Setelah menggeledah toko roti itu, pasti kau akan mendapatkan buktinya. Tapi, sebenarnya ada satu bukti lagi di luar toko roti itu. Mau ikut?” tanya Ame sambil melirik ke arah Kotaro.

Kotaro pun menganggukkan kepalanya, setuju untuk ikut bersama Ame. Mereka berdua pun pergi menggunakan mobil Ame menuju ke tempat di mana bukti lain berada.

***

Jam 07:00 malam di sebuah gedung apartemen biasa.

Kotaro terus mengikuti langkah Ame setelah keluar dari mobil tanpa banyak bertanya padanya. Sebenarnya dia ingin sekali bertanya, tapi dia takut tanggapan Ame menyeramkan untuk didengarnya.

Keduanya pun tiba di sebuah apartemen yang berada di lantai tiga dan terletak di paling pojok. Ame menekan belnya, tak lama seorang wanita muda membukakan pintunya untuk mereka berdua.

“Hana Haruo?” tanya Ame memastikan.

“Iya, aku sendiri.” jawab Hana heran.

Ame menyenggol Kotaro dengan sikunya karena dia belum melakukan apa yang biasa polisi lakukan saat ingin menginterogasi orang.

Kotaro pun dengan cepat menyadarinya. Dia menunjukkan dompetnya yang terdapat lencana, pertanda kalau dia adalah seorang polisi. “Kami polisi, ada yang ingin kami tanyakan padamu.” ucapnya agak sedikit takut setelah tiba-tiba disenggol oleh Ame.

“Silahkan masuk,” ucap Hana mempersilahkan keduanya masuk.

Begitu ada di dalam, Ame dan Kotaro duduk bersebelahan, sedangkan Hana duduk di hadapan mereka.

Ame mengeluarkan pistolnya dan meletakkannya di atas meja, tepat di hadapan Hana. Sontak Kotaro pun terkejut melihat Ame melakukan hal semacam itu. Hanya saja, dia tidak bisa mengatakan komentarnya karena alasan yang sama, takut tanggapan Ame menyeramkan untuk didengarnya.

“Aku ingin langsung ke tujuannya saja, Nona Haruo. Apa yang suamimu sebenarnya lakukan di luar pekerjaannya sebagai pegawai toko roti,” ucap Ame sambil menatap tajam ke arah Hana.

Hana hanya menundukkan kepalanya tanpa menjawab pertanyaan Ame.

“Suamimu, sudah aku bunuh.” ucap Ame datar.

Hana pun langsung menenggakkan kepalanya kembali dan menatap Ame dengan tatapan terkejut.

“Kalau polisi sudah tahu dengan sendirinya apa yang suamimu lakukan, kau hanya akan di penjara meskipun mengutarakan kesaksian yang penting sekalipun. Alasannya karena kau diam saja meskipun sudah tahu apa yang suamimu lakukan, sama saja dengan melindungi seorang tersangka. Jadi, pilihanmu hanya dua, Nona Haruo. Bersaksi dan bunuh diri dengan pistol ini, atau bersaksi dan dipenjara entah sampai kapan.” Ame terus menatap tajam ke arah Hana tanpa sedikitpun menoleh ataupun melirik ke arah lain.

Hana pun menundukkan kepalanya kembali dan mulai menangis. “Aku sudah sejak lama tahu apa yang dia lakukan dan sudah berulang-ulang kali memperingatkannya. Tapi, aku selalu dipukul olehnya setiap kali membicarakan hal itu. Meskipun begitu, aku tahu dia sangat mencintaiku. Dia melakukan apa saja untuk mencukupi kehidupan kami. Hanya saja, aku sudah tidak sanggup lagi kalau terus hidup dari uang semacam itu.” ucapnya terus terisak.

Hana pun berdiri dari kursinya. “Ikuti aku,” ucapnya mengajak Ame dan Kotaro.

Ame dan Kotaro pun berdiri mengikuti Hana masuk ke dalam kamarnya.

Setelah mereka bertiga masuk ke dalam kamarnya, Hana mengeluarkan sebuah kotak yang disembunyikan di bawah kasur. “Dia menaruh semua pekerjaannya di sini. Aku tidak tahu bagaimana cara membukanya karena dia tidak pernah memberitahuku bagaimana caranya.” ucapnya sambil menatap Ame dan Kotaro.

“Kalau begitu, bawa kotaknya Kotaro. Kita akan membuka dan menyelidikinya di kantor,” ucap Ame sambil melakukan kontak mata dengan Kotaro.

“Siap, Senpai.” Dengan sigap, Kotaro pun membawa kotak itu keluar bersamanya.

Mereka bertiga pun kembali ke meja makan, dan duduk di tempatnya semula. Tanpa sempat Ame bertanya untuk memastikan apa yang akan Hana pilih, dia sudah menodongkan pistol yang diberikan Ame ke kepalanya.

TRAKK!

Pelatuk sudah ditarik, tapi tak ada peluru yang keluar. Ame sengaja memberikan pistol kosong untuk mengantisipasi hal itu terjadi.

“Kalau ada polisi datang menanyai sesuatu darimu lebih dalam, katakan kalau kau tidak tahu apa yang suamimu lakukan dan kotak ini aku temukan setelah menggeledah kamarmu. Mengerti? Dengan begitu kau hanyalah korban, tidak lebih.” ucap Ame datar.

Hana langsung menangis kembali, meletakkan kembali pistolnya ke atas meja. Kotaro pun bangkit dari kursinya membawa kotak yang diberikan Hana, sementara Ame bangkit dan mengambil pistol miliknya.

“Selamat malam, Nona Haruo. Terima kasih atas kerjasamanya,” ucap Ame sambil membungkukkan badannya bersama dengan Kotaro.

Setelah pamit, mereka pun menuju keluar.

“Tunggu,” ucap Hana menahan keduanya pergi.

Ame dan Kotaro pun menghentikan langkahnya, lalu berbalik ke arah Hana kembali. “Ada apa?” tanya Ame datar.

“Mereka berempat, bukan bertiga.” ucap Hana serius.

Adrenalin Ame dan Kotaro pun tersentak. “Apa maksudmu?” tanya Kotaro heran. “Siapa yang satu lagi?” tanya Ame serius.

“Si pengantar susu, dia eksekutornya. Suamiku dan kedua temannya membantu menyediakan segala keperluan yang diperlukan untuk merampok. Aku tahu hal itu karena mereka berempat pernah mengadakan rapat di sini,” jawab Hana.

Ame dan Kotaro pun saling bertatapan sejenak, lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Melihat Ame tergesa-gesa, Kotaro pun langsung memberanikan diri untuk bertanya. “Apa yang ingin kau lakukan, Senpai?” tanyanya cemas.

“Sudah jelas bukan?” jawab Ame singkat.

Mereka berdua pun masuk ke dalam mobil, bermaksud untuk pergi dari tempat itu.

“Kotaro, besok pagi datanglah ke sini lagi.” ucap Ame datar.

“Untuk apa?” tanya Kotaro heran.

“Kau akan tahu nanti,” jawab Ame tanpa melihat ke arah Kotaro.

***

Jam 09:00 malam di apartemen yang ada di Kota L.

Ame berada di dalam lift menuju ke lantai lima untuk menghampiri langsung apartemen si pengantar susu, karena GPS yang menandakan keberadaan ponselnya tertuju ke sana.

Begitu lift terbuka sampai di lantai lima, sosok Masaru Ichiro sudah berdiri di depan lift. Ame langsung menekan tombol lantai 8, agar Masaru tidak curiga pada dirinya.

“Mau ke lantai berapa?” tanya Ame datar.

“Atap,” jawab Masaru.

Ame pun menekan tombol ‘R’, seperti yang diminta oleh Masaru. Pintu lift pun tertutup dan kembali naik ke lantai yang lebih atas.

“Terima kasih,” ucap Masaru dengan tersenyum.

“Sama-sama. Mencari udara segar?” tanya Ame dengan tersenyum juga.

“Iya, aku ingin merokok sebentar sebelum tidur. Mengunjungi seseorang?” tanya Masaru balik.

“Iya,” jawab Ame datar.

Melihat Masaru sibuk dengan ponselnya, Ame mengeluarkan pistolnya dari balik jaketnya bersiap untuk menembaknya.

“Kau sudah baca atau menonton berita?” tanya Ame melirik sejenak ke arah Masaru.

“Belum, memangnya ada apa?” tanya Masaru heran.

“Tiga orang pegawai toko roti dibunuh saat polisi melakukan penyergapan karena mereka diduga sebagai perampok,” ucap Ame berbalik badan dan tersenyum menatap Masaru.

DORR!

“Arghh!” Masaru merintih memegangi area pundak tangan kanannya yang tertembak.

“Titik itu membuat tangan kananmu tak bisa digerakkan sama sekali sampai peluru itu dikeluarkan dan tanganmu diberikan pengobatan. Aku tahu kau bukan orang kidal dari caramu memegang ponsel. Tangan kananmu ada di bagian dalam, artinya kau dominan memegang ponselmu dengan tangan kanan.”

Ame menghampiri Masaru dan merogoh pinggang kanannya. Benar saja, terdapat pistol yang dia sembunyikan yang sudah tersarung rapi. Dia pun mengambil dan menyimpannya agar Masaru tidak memanfaatkan keadaan atau menyerang balik.

Saat lift terbuka di lantai 8, Ame menutupnya kembali. Keduanya pun menuju ke atap dengan Masaru berjalan di depan Ame memegangi kepala bagian belakangnya dengan tangan kiri.

Mereka berhenti tepat di tengah-tengah atap. Masaru bersimpuh sambil tetap menempelkan tangan kirinya di belakang kepala. Sedangkan Ame berdiri di hadapan Masaru, sambil tetap menodongkan senjatanya.

“Apa pesan-pesan terakhirmu?” tanya Ame datar.

Masaru merogoh kantongnya untuk mengambil rokok dan juga pematiknya, lalu melemparkannya ke hadapan Ame.

Ame yang mengerti maksudnya, mengambil satu batang rokok, lalu memberikannya ke mulut Masaru dan menyalakan api untuknya. Setelah dua-tiga kali menghisap rokoknya, Masaru pun mulai bicara.

“Semua bukti yang kau inginkan ada di apartemenku, ambil saja. Lalu, buang semua koleksi majalah-majalah pornoku karena aku tidak mau ibuku melihatnya.” jawab Masaru datar.

“Hanya itu?” tanya Ame memastikan.

Masaru pun menganggukkan kepalanya, lalu memejamkan matanya bersiap menemui ajalnya.

DORR!

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro