Chapter 6: Memendam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Kau bisa membuka matamu sekarang,” ucap Ame datar.

Masaru pun membuka matanya dan merasa heran kenapa Ame tidak menembaknya. Dia pun menatap Ame dengan tatapan heran dan bingung.

“Aku bekerja di bawah perintah kepolisian. Aku tidak membunuh orang yang sudah menyerah. Aku membunuh dua rekanmu karena mereka mencoba menembakku, jelas aku punya wewenang untuk menembaknya di tempat. Satu rekanmu bunuh diri. Jadi, mereka bertiga tewas karena ulah mereka sendiri.” ucap Ame dengan tersenyum.

Ame pun mencengkram kerah belakang baju Masaru, menariknya untuk berjalan menuju ke pinggir atap. Dia mengeluarkan borgol yang dibawanya, lalu memakaikannya ke tangan kiri Masaru dan mengaitkannya ke pagar yang membatasi pinggir atap.

Setelah itu, dia menghubungi Tuan Shin dan memberitahukan padanya tentang Masaru sebagai orang keempat yang terlibat dalam perampokan kemarin.

Saat polisi sudah berdatangan meringkus Masaru dan juga menggeledah apartemennya, Ame pun pulang.

***

Jam 06:00 pagi di apartemen Ame.

"Anakku… meninggal? Dia hanya seorang penjaga toko kue. Apa penyebabnya? Kecelakaan? Atau ada hal lainnya?"

"Bohong!"

“Kau pasti bohong!”

“Kakakku itu sangat menyeramkan dan kuat sekali. Tidak mungkin dia meninggal begitu saja!”
____

“Akh!” teriak Ame dengan terkejut dan napasnya yang terengah-engah. Dia baru saja terbangun dari mimpi buruk yang selalu menghantuinya selama tiga tahun terakhir ini.

Dia pun bangkit dari tempat tidurnya, berniat meminum segelas air untuk kembali menenangkan dirinya.

Di perjalanannya menuju ke dapur, ponsel yang dia tinggalkan di meja komputer, berbunyi. Setelah mengambil segelas air, dia pun mengangkatnya. “Ada apa?” tanyanya datar.

Kau sudah bangun? Bagaimana dengan proses pengejarannya? Sudah sejauh apa?” tanya Ayase penasaran.

“Aku sudah berhasil menangkapnya. Mereka ada empat orang, tiga di antaranya tewas dan satu lagi sudah berada di penjara sekarang.” jawab Ame datar.

Wah! Cepat sekali! Sudah aku duga kau pasti hebat dalam mengatasinya. Aku bangga padamu,” ucap Ayase riang.

“Terima kasih,” ucap Ame murung.

Ada apa? Kenapa suaramu terdengar lesu dan tidak antusias seperti itu? Apa yang terjadi?” tanya Ayase khawatir.

Ame pun meminum terlebih dahulu airnya, lalu meletakkan gelasnya di atas meja komputer dan merebahkan kembali badannya di tempat tidur. “Mimpi itu lagi,” ucapnya sambil memijat-mijat keningnya.

Jadi itu masalahnya. Kau baik-baik saja? Kalau kau sedang tidak enak badan, biar aku pergi ke kampus sendiri.” ucap Ayase datar.

Ame pun bangkit dari baringannya dan duduk di bawah menyandar pada kasurnya. “Tidak, aku tidak apa-apa. Aku akan menjemputmu, tunggulah.” ucapnya dengan tersenyum.

Yakin?

“Iya, aku yakin. Tapi ada satu syarat,” ucap Ame datar.

Apa?” Suara Ayase terdengar lesu begitu mendengar ada syarat yang harus dipenuhi untuk diantarkan Ame.

“Jangan buatkan aku roti untuk sarapan. Bukan karena tidak suka, hanya saja aku sedang tidak selera sekarang.” jawab Ame dengan sedikit tertawa.

Aku kira apa, tahunya hanya hal sepele. Baiklah kalau begitu, sampai ketemu nanti.” ucap Ayase dengan riangnya.

“Sampai ketemu nanti.”

Ame pun menutup teleponnya, lalu meletakkan ponselnya di kasur. Dia bermaksud untuk melakukan sedikit olahraga pagi di apartemennya sebelum melakukan aktivitas pada pagi hari ini.

Baru melakukan olahraga sekitar 10 menit, ponselnya sudah berbunyi lagi. Tidak seperti sebelumnya, Ame mengecek terlebih dahulu siapa yang meneleponnya. “Kotaro?” ucapnya heran.

Dia pun mengangkat panggilan dari Kotaro itu. “Ada apa?” tanyanya datar.

Senpai, aku sudah di sini. Kau di mana?” ucap Kotaro dengan lesu seperti orang yang masih mengantuk.

Ame menjauhkan ponselnya dari telinga dan menutup speakernya agar Kotaro tidak mendengar ucapannya. “Dia ada di mana? Kenapa tiba-tiba dia bertanya seperti itu? Jangan-jangan, dia tidak mengerti apa maksudku.” ucapnya sambil menggelengkan kepala saking frustasinya menghadapi pola pikir Kotaro.

Ame pun melepaskan kembali tangannya dari speaker. “Sekarang kau berkunjunglah ke apartemen Hana Haruo yang kemarin malam kita kunjungi,” ucapnya datar.

Apa maksudmu, Senpai? Ini masih terlalu pagi untuk berkunjung,” ucap Kotaro heran.

“Sudah, lakukan saja. Kau akan mengetahuinya nanti,” tambah Ame.

Aku mengerti, Senpai.” ucap Kotaro dengan tegas.

Ame pun menutup teleponnya dan  menyetel stopwatch ponselnya selama 5 menit, lalu memulainya. Begitu detik di stopwatch itu menunjukkan angka nol, Kotaro menghubunginya lagi.

Senpai! Nona Hana gantung diri!” ucap Kotaro dengan paniknya.

“Iya, aku sudah tahu. Sekarang lakukanlah tugasmu, kau ini kan polisi. Ada hal lain yang harus aku lakukan,” ucap Ame datar.

Baiklah, Senpai!” ucap Kotaro lantang.

Ame pun meletakkan kembali ponselnya ke kasur, lalu melihat ke langit-langit apartemennya. “Semalam, tanpa ragu dia menarik pelatuknya. Hanya masalah waktu sampai dia melakukan bunuh diri sebelum polisi datang mengintrogasinya,” ucapnya datar.

***

Jam 09.00 pagi di Kantor Pusat Kepolisian Arufabetto.

Ame memenuhi panggilan Tuan Shin karena hasil penyelidikannya diperlukan untuk menangani kasus perampokan kemarin lebih lanjut. Sesampainya di lantai lima tempat ruangan pribadi Tuan Shin berada, Ame disambut riuhnya tepuk tangan dan sorak-sorai dari semua orang yang ada di lantai itu.

Dia tahu kalau ini adalah tanda sebuah pujian dari semua polisi di lantai ini, tapi baginya ini terlalu berlebihan. Dia hanya dikenal sebagai murid Tuan Shin. Bukan polisi, bukan detektif, hanya orang biasa.

Ame mengangguk-anggukkan kepalanya berkali-kali dan tersenyum menatap ke arah kerumunan itu, sambil terus mempercepat langkahnya menuju ke ruangan Tuan Shin.

Begitu sampai di sana, Ame memegangi dadanya dan menghela napas lega. “Akhirnya sampai juga. Apa itu tadi?” ucapnya sambil mengelus-ngelus dadanya.

“Begitulah cara mereka menaruh respect kepadamu,” ucap Tuan Shin dengan tersenyum lebar terlihat sangat bangga kepada Ame.

“Selamat pagi, Sensei.” sapa Ame sambil membungkukkan badannya.

“Selamat pagi,” jawab Tuan Shin dengan menganggukkan kepalanya sekali dan mempersilahkan Ame untuk duduk di kursi yang ada di hadapan mejanya.

Ame menarik kursinya, duduk tegap menatap Tuan Shin dengan serius. “Aku siap memberitahukan semuanya, Sensei.” ucapnya.

“Kalau itu, nanti saja. Sekarang ada yang dua hal yang ingin aku bicarakan denganmu di luar pekerjaan,” ucap Tuan Shin serius.

Ame terlihat heran dan bertanya-tanya ada hal penting apa yang ingin dibicarakan oleh Tuan Shin.

“Pertama, soal Sagiri. Aku tidak tahu apa yang sedang dia alami. Tapi, kemarin dia terlihat murung sekali. Hal itu tidak baik jika terus terjadi, mengingat sebentar lagi dia akan menikah. Apa kau tahu sesuatu?” tanya Tuan Shin penasaran.

Ame terkejut mendengar pertanyaan Tuan Shin. Tapi, dia tetap memasang ekspresi datar agar Tuan Shin tidak banyak bertanya lagi padanya. “Aku tidak tahu. Dia pasti akan memberitahumu nanti kalau waktunya sudah tepat dan rasa sedihnya sudah hilang, mungkin.” jawabnya datar.

“Begitu ya, kau juga tidak tahu ternyata. Tidak apa-apa,” ucap Tuan Shin agak kecewa.

“Lalu, hal yang lainnya, Sensei?” tanya Ame mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Soal Mr. Y,” ucap Tuan Shin datar sambil menatap tajam Ame dengan tangannya yang menyilang di dada.

Ame kehilangan antusiasnya untuk mendengar lebih banyak lagi. Sebelum Tuan Shin menjelaskan lebih lanjut, dia langsung mengutarakan apa yang ada di benaknya. “Kalau tentang membuat sebuah tim lagi, aku tidak tertarik sama sekali untuk mendengarnya.” ucapnya ketus.

Tuan Shin mengerti apa yang Ame rasakan dan mencoba untuk sedikit menasehatinya. “Aku tahu kau benci dengan usul itu. Tapi, setidaknya datanglah untuk menjenguknya. Bagaimanapun juga dia punya andil besar dengan kemampuan luar biasa yang kau miliki saat ini.” ucapnya dengan tersenyum.

Ame pun mencoba mengatur napasnya kembali untuk menenangkan dirinya yang emosinya sempat memuncak begitu mendengar nama Mr. Y disebut oleh Tuan Shin.

***

Jam 10:30 pagi di kediaman Mr. Y.

Ame datang membawa sebuah parsel berisi buah-buahan. Dia menekan tombol yang ada di dinding luar di sebelah gerbang besar rumah Mr. Y. Tak lama, dengan sendirinya pagar itupun terbuka dan dia pun masuk ke dalam.

“Hanya inilah bagian yang aku suka setiap kali datang ke rumah ini. Perjalanan menuju ke rumah utama. Memori yang tersimpan di setiap jalan ini membuatku mengingat kembali hari itu. Hari di mana mereka semua meledekku selama perjalanan.” ucap Ame dengan sedikit tersenyum.

Saat rumah utama sudah mulai terlihat, dari kejauhan Ame bisa melihat Kazuya sudah berdiri menunggu kedatangannya. Dia pun tersenyum dan berjabat tangan dengan Kazuya begitu sampai di hadapannya.

“Lama tidak berjumpa, Ame.” ucap Kazuya dengan tersenyum.

“Iya, aku juga sudah lama tidak bertemu denganmu, Sensei.” ucap Ame dengan sedikit meledek.

Dengan cepat Kazuya mengeluarkan pistolnya dan menodongkannya ke kepala Ame. Tapi, di saat yang sama hal serupa juga sudah dilakukan oleh Ame.

“Sudah aku bilang jangan pernah memanggilku, Sensei. Aku tidak mau terlihat lebih tua darimu,” ucap Kazuya dengan tersenyum sambil meletakkan kembali pistolnya.

“Iya, aku tahu. Aku hanya ingin mengetahui apa kau masih secepat tiga tahun lalu atau tidak, mengingat umurmu sudah kepala tiga sekarang.” ucap Ame datar.

“Umurmu juga sudah kepala dua sekarang,” jawab Kazuya tidak mau kalah.

Keduanya pun sama-sama tertawa kecil dengan candaan kecil yang di uat keduanya itu.

“Kau tahu? Kau diizinkan untuk membawa mobilmu masuk. Kenapa selalu jalan kaki setiap kali datang?” tanya Kazuya heran.

Kazuya sebenarnya tahu apa alasannya, hanya saja dia hanya mengetes apa Ame akan mengatakan langsung kepadanya atau menyembunyikannya.

“Aku suka jalan kaki, itu saja.” jawab Ame dengan tersenyum.

Seperti biasa, dia memendam perasaannya lagi.” gumam Kazuya dalam hati dan agak khawatir.

Mereka berdua pun masuk ke dalam. Kazuya pergi ke dapur membawa parsel buah-buahan yang diberikan Ame, sedangkan Ame menuju ke kamar Mr. Y.

Saat sampai di kamar Mr. Y, Ame mengetuk pintunya terlebih dahulu sebelum masuk. “Y Sensei, ini aku.” ucapnya setelah mengetuk.

“Masuklah,” ucap Mr. Y dari dalam kamarnya.

Ame pun masuk ke dalam, lalu menggeser kursi agar bisa duduk berdekatan dengan Mr. Y yang duduk di kasurnya.

“Sudah aku bilang, jangan panggil aku Sensei. Kemampuan hackingmu jauh berada di atasku, tidak seharusnya kau memanggilku Sensei. Aku hanya mengajarkanmu bagaimana caranya mendapatkan benda-benda canggih yang langka,” ucap Mr. Y dengan tersenyum kecil.

“Aku memanggilmu Sensei karena aku menghormatimu, itu alasannya.” jawab Ame datar.

Mr. Y pun terdiam mendengarkan jawaban Ame dan kehilangan senyumannya.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Ame.

“Aku sudah mulai membaik sekarang, kau sendiri? Aku dengar kau berhasil menyelesaikan kasus yang diberikan oleh Tuan Shin kepadamu. Apa yang membuatmu ingin melakukannya?” tanya Mr. Y penasaran.

“Aku hanya ingin melakukannya, itu saja.” jawab Ame datar.

Mr. Y tahu kalau Ame sudah memasang pertahanan yang kokoh untuk mencegahnya membicarakan hal yang ingin dia utarakan kepada Ame. Merasa sudah tidak ada cara lain lagi untuk mengatakannya, dia pun mencoba mengatakannya saja tanpa memperdulikan tanggapan Ame nantinya. “Soal pembuatan tim, apa kau berubah pikiran?” tanyanya serius.

Ame langsung bangkit dan meletakkan kembali kursinya ke tempat semula. Dia berjalan keluar tanpa menjawab pertanyaan Mr. Y ataupun berpamitan dengannya.

Saat Ame membuka pintu, sosok Kazuya sudah berdiri kokoh menghalangi jalannya.

“Dengarkanlah, baru setelah itu pergi.” ucap Kazuya serius.

Ame tidak memperdulikan perkataan Kazuya dan tetap melangkahkan kakinya keluar. Dengan cepat Kazuya menahan pundak kanan Ame dengan tangannya. Karena sedang berada dalam keadaan emosi, Ame pun berbalik dan mengarahkan pukulannya ke wajah Kazuya. Berkat refleksnya, Kazuya berhasil menghindar.

Kazuya langsung mengaitkan tangan kanannya ke tangan kanan Ame dan menjatuhkannya ke bawah, lalu menguncinya. Tidak mau kalah begitu saja, Ame memiting kepala Kazuya dengan kedua kakinya, lalu membantingnya ke tanah dan menggeser sendi pergelangan tangan kanan Kazuya dengan kedua tangannya.

“Argh!” rintih Kazuya.

Karena sudah tidak bisa menahan emosinya, Kazuya pun juga tidak mau menahan diri lagi. Dia langsung melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Ame dan menggeser sendi tangan kanan Ame juga.

“Argh!” rintih Ame.

Tidak mau melihat keduanya bertarung lebih jauh lagi, Mr. Y pun bangkit dari kasurnya dan menghampiri mereka. Dia memegang pundak Kazuya, menyuruhnya untuk bangun dan tidak menindih badan Ame lagi. Kazuya pun bangkit.

Mr. Y menawarkan bantuan kepada Ame dengan menjulurkan tangannya agar Ame bisa menggunakannya untuk membantunya bangun. Tapi, Ame bangun sendiri tanpa meraih tangan Mr. Y.

“Maaf menggeser sendimu. Aku emosi tadi,” ucap Ame sambil menatap Kazuya.

“Maaf menggeser sendimu juga. Aku hanya membela diriku tadi,” ucap Kazuya sambil menatap balik Ame.

Setelah meminta maaf pada Kazuya, Ame pun membungkukkan badannya bermaksud untuk pamit dan setelah itu dia pun pergi dari kediaman Mr. Y.

Begitu masuk ke dalam mobilnya yang diparkirkan di seberang jalan, Ame langsung menghubungi Karasu lewat ponselnya. “Karasu, kau ada di kantor pribadimu atau di Toko Paradise?” tanyanya dengan terengah-engah.

Aku di Paradise, ada apa?” tanya Karasu heran.

“Sendi tangan kananku digeser paksa oleh Kazuya, ceritanya panjang.” jawab Ame datar.

Kalian berdua, sekali saja tidak saling melukai satu sama lain. Datanglah, akan aku perbaiki sendimu.” ucap Karasu jengkel.

“Terima kasih, Karasu.”

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro