Chapter 20: Tugas yang Menarik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi yang indah di rumah sederhana kediaman Keluarga Renka yang terletak di Kota P. Di rumah ini hanya ditinggali oleh tiga orang saja. Yakni Yume, adik laki-lakinya Taichi, dan ibunya Mamori. Sementara ayah Yume yang berprofesi sebagai pebalap motor sudah meninggal sejak Yume berumur sepuluh tahun.

Saat ini, waktu menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Yume baru saja terbangun dari tidurnya. Dia langsung merapikan kasurnya, lalu turun ke lantai bawah membawa serta ponselnya. Saat dia masuk ke dalam dapur yang menyatu dengan ruang televisinya, dia melihat ibunya sedang memasak sarapan, sementara adik laki-lakinya asik menonton anime pagi hari.

Yume menghampiri kulkas. "Selamat pagi, Ibu. Sarapan apa kita pagi ini?" Dia mengambil sebotol air dan langsung meminumnya.

"Selamat pagi. Sarapan kita pagi ini adalah onigiri dengan tiga macam isian, ditemani dengan sup miso ditambah daun bawang dan salad.” Mamori menoleh sejenak ke arah Yume dengan mengeluarkan senyum tipisnya.

Yume menghampiri adiknya dan duduk bersila di sofa tepat di sebelah kanannya. Dia berusaha memahami apa yang sedang terjadi dalam anime yang sedang ditonton oleh Taichi. Namun, dia sama sekali tidak mengerti.

“Taichi, berapa umurmu sekarang?” tanya Yume datar.

Taichi melirik Yume sejenak, lalu kembali menonton animenya. “Lima belas tahun. Kenapa kakak menanyakan hal itu?”

Yume menunjuk ke arah pojok kanan televisi, yang langsung membuat Taichi ikut melihat ke arah dia menunjuk. Di sana terdapat tanda bahwa anime yang sedang tayang adalah kategori tontonan anak-anak. Sontak, pipi Taichi memerah karena menahan malu.

“A … em … mau bagaimana lagi? Tidak ada tontonan yang bagus. Aku jadi tidak punya pilihan lain.” Taichi memalingkan wajahnya, tak mau Yume melihat wajah malu-malunya.

Yume menatap Taichi dengan tatapan datar. “Kenapa tidak berangkat sekolah saja? Daripada menonton anime semacam ini. Aku akan menghabisimu kalau kau berakhir menjadi seorang otaku garis keras. Kau mengerti?” Yume langsung mematikan televisinya.

Taichi menelan ludah saking takutnya. Meski dia tahu kakaknya hanya bercanda, tetap saja hal itu menakutkan untuk didengarnya. “Aku juga mau berangkat tadi. Tapi, ibu sedang membuatkan bekal untuk kubawa. Makanya aku menunggu di sini.”

Yume terus mendekatkan wajahnya pada Taichi, namun Taichi terus berusaha menjauh dan tak berani menatapnya balik.

Mamori memegang kotak bekal Taichi, untuk menunjukkan bahwa bekal untuknya sudah siap. “Taichi, ini bekalmu. Habiskan, ya?”

Mendengar panggilan Mamori, Taichi langsung menghampiri ibunya itu. “Terima kasih, ibu. Kalau begitu, aku langsung berangkat ke sekolah.”

“Hati-hati di jalan,” ucap Mamori dengan tersenyum. Mamori menata makanan di atas meja untuk dirinya dan Yume sarapan.
“Yume, ayo kita sarapan.”

“Baik.” Yume bangkit dari sofa, namun langsung duduk kembali begitu melihat adanya pesan yang baru masuk ke ponselnya.

Pesan itu ternyata dari Mr. Y. Isinya adalah, “Ayase tahu soal rencana balas dendam kita pada ‘Black Mask’. Aku sudah memperingatkannya, tapi aku tidak tahu dia akan langsung mengerti atau tidak. Lakukan cara apapun untuk membuatnya berhenti terlibat dengan hal ini. Tapi, jangan sampai melukainya.

Yume terus menatap ke ponselnya meski sudah selesai membaca pesannya. “Ada-ada saja. Tapi ‘Si Rambut Merah Muda’ itu pasti tahu bagaimana caranya. Tunggu sebentar,”—Yume menarik segumpal rambutnya ke hadapan matanya—“rambutku kan juga merah muda.”

***

Jam sembilan pagi di dalam penjara di Kota O, tepatnya di ruang kunjungan narapidana dengan kelurganya. Asuka duduk menunggu namanya dipanggil. Kedatangannya ke sini adalah untuk mengunjungi adik laki-lakinya yang bernama Aizen. Adiknya dipenjara seumur hidup karena terlibat dalam kasus pembunuhan berencana salah satu petinggi negara.

"Nona Asuka Tanaka," ucap Sipir yang memegang daftar pengunjung di tangannya.

Asuka bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri kursi kosong yang ditujukan oleh sipir itu kepadanya. Setelah dia duduk, tak lama Aizen masuk ke ruangan itu dari sisi lain dan duduk berhadapan dengannya. Asuka langsung mengambil telepon yang terhubung dengan telepon di sisi lain, begitu juga dengan Aizen.

"Apa yang terjadi dengan wajahmu?” tanya Asuka. Asuka menunjuk rambut Aizen yang terlihat lusuh dan berantakan. “Rambutmu juga sudah panjang, sebaiknya kau potong saja agar tidak mengganggu pandanganmu."

Aizen sedikit tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Aku bukanlah kriminal seperti mereka. Terserah apa yang ingin mereka lakukan padaku. Aku tidak akan pernah melawan, karena aku tidak mau berakhir menjadi seperti mereka.”

"Bicara apa kau ini, bodoh? Kalau kau ada di sini, itu artinya kau itu seorang kriminal." Asuka menatap laki-laki itu dengan tatapan seriusnya.

Dumm!

Aizen memukul kaca penghalang antara dirinya dan Asuka. "Bukan! Aku bukanlah seorang kriminal, aku tidak bersalah!" Aizen menatap balik Asuka dengan tatapan penuh kebencian dan amarah.

Demm!

Asuka memukul dengan keras meja besi di hadapannya, membuat semua orang yang berada di ruangan itu langsung menatap ke arahnya.

Salah satu sipir menegur Asuka, "Maaf, Nona. Bisa lebih tenang?"

"Maafkan aku," ucap Asuka menoleh sejenak ke arah sipir itu.

"Kalau hanya ingin mengunjungiku tanpa alasan tertentu, untuk apa kau terus-terusan datang ke sini?" Aizen menggretakkan giginya dan terlihat sangat kesal.

"Kau itu adalah peninggalan terakhir ibu. Selama kau masih menyandang nama Tanaka, kau adalah adikku. Jelas aku datang ke sini untuk mengetahui bagaimana kondisimu. Setelah kau keluar dari sini, aku akan mencoba memperbaiki hubunganmu denganku." Mata Asuka berkaca-kaca. Dalam hatinya dia benar-benar ingin hal itu terwujud.

Aizen berdiri, mendekatkan wajahnya pada kaca penghalang dan menatap Asuka dengan tersenyum. "Keluar? Bagaimana caranya mengeluarkan seseorang yang divonis penjara seumur hidup? Katakan padaku.”

Asuka berdiri juga, medekatkan wajahnya pada kaca dan menatap balik Aizen dengan tatapan serius. "Bagaimana caranya aku bisa membantumu kalau kau saja tidak mau menceritakan kejadiannya kepadaku, Aizen?"

Waktu kunjungan sudah habis, Aizen langsung dibawa oleh para sipir kembali ke sel tahanannya. Lagi-lagi, Aizen belum mau memberitahukan kejadian yang sebenarnya kepada Asuka. Dia tak punya pilihan lain selain terus mencoba berkomunikasi dengan Aizen agar dia mau buka mulut.

Asuka keluar dari penjara itu. Dia menyalakan ponselnya yang sebelumnya dititipkan kepada sipir. Ponselnya langsung berbunyi begitu dia menyalakannya. Ada sebuah pesan masuk dikirim oleh Mr. Y. Dia membacanya dengan perlahan agar mengerti dan memahami isi pesan itu dengan benar.

“Lakukan cara apapun? Aku tidak mungkin menyiksa anak di bawah umur. Jadi, sebaiknya kuserahkan saja hal ini pada yang lebih mengerti. ‘Si Rambut Merah Muda’ dan Kaguya pasti tahu cara apa yang sebaiknya digunakan.” Asuka menutup pesan itu dan tersenyum saat melihat wallpaper ponselnya yang terpasang fotonya bersama dengan Kaguya.

***

Suasana sepi dan sunyi terasa kental di markas Troublemaker. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Kenapa? Jawabannya karena kelima laki-laki yang baru tidur jam lima pagi tadi, belum bangun sampai sekarang. Mereka masih tertidur pulas di jalur bowling masing-masing.

Suasana sunyi itu pun akhirnya pecah. Ponsel Ogura yang diletakkannya di lantai tepat di atas kepalanya, berdering cukup keras. Bukannya menerima panggilan pada ponselnya itu, dia malah menolaknya, lalu mematikan ponselnya dan kembali tidur. Sunyi kembali menerpa.

Selang beberapa detik, giliran ponsel Taka yang membubarkan kesunyian. Tak seperti Ogura, dia menerima panggilannya meski belum benar-benar tersadar. “Sepuluh menit. Aku akan meneleponmu lagi nanti.” Dia menghentikan panggilannya, kemudian mematikan ponselnya dan kembali tidur. Sunyi kembali menerpa untuk kedua kalinya.

Sekarang, ponsel Kuro yang berdering. Dia melakukan hal yang lebih ekstrim ketimbang Ogura dan Taka. Yakni, melempar ponselnya ke sembarang arah. Ponselnya pun mendarat dengan keras ke tanah, lalu mati kemudian. Selamat tinggal ponsel Kuro.

Suara deringan ponsel lagi-lagi terdengar. Namun bukan cuma dari satu ponsel saja, melainkan ada tiga ponsel yang berdering di saat yang bersamaan. Ame selaku pemilik ketiga ponsel itu langsung terbangun dari tidurnya karena tak sanggup menahan suara nyaring dan juga getarannya. Dia mencari-cari di mana ponselnya berada dengan merogoh setiap kantong di pakaian yang dikenakannya.
Pada saat pandangan matanya tak sengaja menatap ke arah Kuro, dia langsung takut begitu melihat tatapan tajam dari mata kanan Kuro yang terbuka.

“Matikan sebelum kuhancurkan semua ponselmu,” geram Kuro.

Ame yang panik hanya bisa menganggukkan kepalanya dan mempercepat kedua tangannya mencari ponsel. Setelah menemukan ketiga ponselnya, dia mematikan dua yang lainnya dan menerima panggilan dari yang satunya sambil berjalan keluar markas.
Begitu sudah di luar, barulah dia menyapa Mr. Y selaku orang yang meneleponnya.

“Selamat pagi, Mr. Y,” ucap Ame dengan ramah.

Selamat pagi, Ame. Bisa jelaskan padaku kenapa empat orang rekanmu tak menjawab panggilanku dan satu di antaranya tak bisa dihubungi?

Ame menelan ludahnya begitu mendengar pertanyaan Mr. Y. Dia tidak tahu harus menjawab apa karena takut kena marah Mr. Y, padahal dia tidak berbuat apa-apa.

Sudahlah. Soal itu lupakan saja. Aku sudah meminta Ogura untuk menghubungiku segera. Tapi, sudah dua jam dia tak menghubungiku juga. Jadi, biar kuberitahu lebih jelasnya padamu saja. Nanti biar kau yang sampaikan kepada mereka. Kau mengerti, Ame?

“Mengerti,” ucap Ame menganggukkan kepalanya.

Ayase, anak perempuan Tuan Okada, mulai ikut campur dengan urusan kita. Aku tidak senang dengan hal itu. Alasannya, karena dia bisa saja membahayakan nyawanya karena melakukan hal-hal konyol. Jadi, aku mau kalian membuatnya berhenti ikut campur. Tapi, jangan gunakan cara yang kasar. Bagaimana pun juga dia adalah anak Tuan Okada, orang yang telah mempekerjakan kalian. Terakhir, jangan lupa untuk memberitahuku terlebih dahulu mengenai rencana apa yang akan kalian gunakan. Sampai sini kau mengerti, Ame?

“Mengerti,” ucap Ame menganggukkan kepalanya lagi. Mr. Y langsung mematikan panggilannya begitu mendengar jawaban darinya.

Kini, Ame bingung bagaimana cara membangunkan keempat rekannya. Menggunakan cara halus pasti tidak bisa. Tapi kalau menggunakan cara kasar, bisa-bisa langsung ditembak di tempat. Dia pun masuk kembali ke dalam markas dengan ekspresi lesu.

Ame terus melangkahkan kakinya sambil melihat ke sekeliling ruangan itu untuk mencari cara membangunkan mereka berempat. Dan akhirnya, dia menemukan sebuah cara ketika melihat ke arah pembangkit listrik yang ada di pojok kiri ruangan. Dia menghampiri tasnya untuk mengambil laptop dan sebuah kabel, lalu pergi ke pembangkit listrik itu.

Begitu sudah ada di hadapan pembangkit listrik, Ame menyalakan laptopnya, lalu menghubungkan kabel yang dibawanya ke pembangkit listrik dan mulai meretasnya. Selang dua menit, dia melirik sejenak ke arah rekan-rekannya dan kembali menatap laptopnya.

“Kau secepat rusa saat dikejar macan, Ame.” Ame menarik napas dalam, lalu menghembuskannya. Setelah selesai mengisi kepercayaan dirinya, dia langsung menekan tombol ‘Enter’ pada laptopnya, yang langsung membuat alarm kebakaran berbunyi.

Ame mencabut kabelnya dan lari sekencang-kencangnya membawa serta laptopnya menuju ke tempat rapat. Dia langsung duduk di kursi, meletakkan laptopnya di sisi kanannya dan membaringkan kepalanya di atas meja berpura-pura tertidur pulas. Dia berusaha mengatur napasnya agar kembali tenang, agar kepura-puraannya terlihat nyata.

Namun ….

Ogura mencengkram kepala Ame, lalu mengangkatnya dengan paksa dan menatapnya dengan tatapan membunuh. “Kau kan yang menyalakan alarm-nya?”

Keringat Ame bercucuran. Dia berusaha menatap Ogura dengan tenang, nemun badannya tak bisa berhenti bergetar. “Ma—ma—maaf ….”

Ogura melepaskan cengkramannya, lalu duduk di sebelah Ame dan mendesah seperti orang yang kelelahan. “Bisa kau matikan sekarang? Kita berempat sudah bangun.” Alarmnya tiba-tiba langsung mati begitu Ogura selesai bertanya.

“Aku menyetelnya untuk berbunyi selama dua puluh detik.” Ame menatap Ogura dengan tersenyum sambil menggaruk-garukkan kepalanya.

Ogura menggeser laptop Ame, lalu membaringkan kepalanya pada kedua tangannya yang menyilang di atas meja. “Jadi, apa yang Mr. Y sampaikan? Apa ada hal penting terjadi?”

Ame menggeser laptopnya ke hadapannya, lalu menyalakannya. “Ayase Shigure ikut campur dalam urusan kita. Aku tidak diberitahu Mr. Y apa alasannya, tapi dia ingin kita membuatnya berhenti ikut campur.”

Ogura mengangkat kepalanya dan menatap Ame dengan tersenyum lebar. “Itu adalah tugas yang sangat mudah sekaligus menarik untuk dilakukan.”

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro