Chapter 21: Konteks Balas Dendam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SMA Seibu. SMA yang terletak di Kota U. Para siswa sudah mulai keluar satu-persatu setelah bel sekolah berbunyi. Di depan sekolah, Ogura bersama Taka dan Ame menunggu di dekat mobil milik Ogura. Ketiganya menggunakan kemeja dan celana panjang hitam, serta dasi merah berukuran panjang.

“Apa kita tidak terlihat mencurigakan kalau berpakaian seperti ini?” Ame menatap ke pakaian yang dipakainya dengan tatapan cemas dan khawatir.

Ogura memasukkan kedua tangannya ke kantong celana dan bersandar pada sisi samping bagasi mobilnya. “Kalau kita menggunakan pakaian sehari-hari, anak perempuan Tuan Okada tidak akan percaya kalau kita adalah orang suruhan Mr. Y. Ditambah lagi, dia pasti tidak akan merasa nyaman nanti. Anggap saja pakaian ini bisa membuat kita setidaknya setara dengan posisinya.”

“Tapi kalau berpakaian seperti ini, kita bertiga jadi pusat perhatian siswa-siswa lainnya.” Taka melirik ke beberapa siswa yang curi pandang terhadapnya.

“Kita bertiga ke sini karena ada urusan dengan Ayase. Yang lainnya aku tidak peduli. Jadi Ame, apa kau sudah melihat keberadaannya?” Ogura menoleh ke arah Ame, yang langsung membuat Ame mengambil foto dari kantong kemejanya.

Ame menatap foto yang dipegangnya, kemudian melihat ke arah siswa-siswa yang hendak keluar dari kawasan sekolah. Akhirnya, dia berhasil menemukan keberadaan Ayase. “Itu dia. Arah jam setengah satuku.”

Ogura dan Taka melihat ke arah yang Ame maksudkan, sehingga mereka juga bisa melihat di mana Ayase berada. Setelah Ayase keluar dari gerbang sekolah, Ogura langsung mengambil ponsel dari dalam kantong celananya dan pergi menghampiri Ayase.

Ogura berhenti tepat di hadapan Ayase. “Ayase Shigure?”

Ayase terlihat bingung. “Iya, benar. Kau siapa?”

Ogura menghubungi Mr. Y, lalu menyodorkan ponselnya kepada Ayase. “Ikut denganku. Mr. Y yang mengirim kami ke sini.”

Ayase menerima ponsel Ogura, lalu mendekatkannya ke telinga. Bunyi nada tunggu yang terus berdering, membuat jantung Ayase semakin berdegup cepat dan berdetak kencang. Entah kenapa, dia kesulitan menjaga ketenangannya. Mungkin karena dia masih mengingat ucapan Mr. Y tadi pagi, dan mengira orang yang ada di hadapannya saat ini adalah penjahat yang sedang mencoba menipunya.

“Selamat siang, Nona Ayase.”

Ayase langsung lega begitu mendengar suara Mr. Y. Jantungnya hampir copot karena merasa sangat ketakutan dengan situasi tadi. Dia menjauhkan ponselnya terlebih dahulu untuk mengatur napasnya lagi. Setelah merasa tenang, dia mendekatkan lagi ponselnya ke telinga.

“Selamat siang, Mr. Y. Apa benar orang ini adalah orang yang kau suruh untuk menjemputku?” Ayase menatap sejenak Ogura, lalu menundukkan kepalanya lagi.

“Iya, benar, Nona. Orang yang sedang ada di hadapanmu saat ini warna rambutnya pasti merah muda. Lalu, satu orang di belakangnya berambut merah dan yang satunya lagi berambut hitam. Benar begitu?”

Ayase menatap ke arah mereka bertiga, guna memastikan deskripsi yang diberikan oleh Mr. Y kepadanya. “Iya, benar. Tapi, untuk apa kau menyuruh mereka menjemputku? Aku bisa pulang sendiri. Aku sudah cukup dewasa dan tidak mau dimanjakan terus olehmu dan ayah.” Ayase terlihat kesal sambil sesekali melirik ke arah Ogura, memastikan bahwa Ogura tidak tertawa atau tersenyum melihat ekspresi marahnya.

“Aku hanya ingin kau tetap aman, Nona. Memastikanmu tetap aman adalah salah satu tugasku. Aku sangat khawatir jika terjadi sesuatu padamu. Bagaimana pun juga, aku sudah menganggapmu sebagai anakku sendiri.”

Mendengar hal itu, rasa kesal Ayase mereda. “Iya, baiklah. Aku terima niat baikmu. Tapi, besok aku tidak mau lagi dijemput seperti ini. Kau mengerti?”

“Baiklah, Nona. Besok kau boleh pulang sendiri. Tapi jika terjadi sesuatu, langsung hubungi aku, ya? Mengerti?”

“Iya, aku mengerti. Sampai jumpa lagi.” Ayase menutup teleponnya sebelum Mr. Y membalas ucapannya. Dia juga mengembalikan ponsel Ogura dan langsung masuk ke dalam mobil, begitu Ame membukakannya pintu.

Ogura, Taka, dan Ame saling melakukan kontak mata sebagai tanda waktunya untuk memulai rencana yang akan membuat Ayase berhenti ikut campur.

***

Butuh waktu sekitar empat puluh lima menit untuk sampai di rumah Ayase. Dan kini sudah sepuluh menit berlalu, tapi suasananya masih hening bercampur canggung. Ayase terlihat merenung menatap ke luar jendela, sementara mereka bertiga sesekali melirik ke arahnya untuk melihat keadaannya.

Menyadari lirikan mata mereka bertiga yang agak mengganggu, Ayase akhirnya menatap mereka bertiga secara bergantian dengan sinis. “Kalau kalian ingin mengatakan sesuatu, katakan saja. Daripada terus melirikku seperti itu tanpa alasan yang jelas.”

Sontak Ogura tertawa, diikuti dengan hembusan napas lega Ame dan senyuman tipis di wajah Taka. Tingkah mereka bertiga membuat Ayase agak kesal, namun juga bingung karena tidak tahu alasan kenapa mereka bertiga terlihat lega seperti itu.

Ogura menghentikan tawanya, lalu mengatur cermin yang ada di tengah agar dia bisa melihat Ayase dari sana. “Akhirnya … itulah yang kami bertiga tunggu-tunggu sejak sepuluh menit yang lalu. Kami mulai lelah terus melirik ke arahmu sampai kau kesal. Bagaimana? Rasanya enak, bukan? Saat kau mengeluarkan amarahmu tanpa memendamnya.”

Pipi Ayase memerah. Dia langsung memalingkan pandangannya ke luar jendela. “Tidak. Rasanya biasa saja menurutku.”

“Baiklah kalau menurutmu biasa saja. Aku tidak mau memaksakan opiniku. Tapi aku tahu kalau ada sesuatu yang ingin kau katakan pada Mr. Y tadi. Kenapa kau mengurungkan niatmu? Apa ada sesuatu yang dia katakan sampai membuatmu menurut seperti ini?” Ogura menatap Ayase lewat cermin dengan tersenyum.

Ayase mendesah, lalu menyandarkan badannya dan menatap balik Ogura lewat cermin. “Aku tahu kenapa Mr. Y tiba-tiba mengirim kalian untuk menjemputku. Pasti kalian disuruh olehnya untuk menjaga gerak-gerikku agar tidak ikut campur dalam urusan kalian, bukan?”

Ogura mengangkat tangan kirinya, lalu mengangkat telunjuknya. “Pim pom! Tepat sekali. Ternyata untuk seukuran gadis terhormat sepertimu, kau bisa juga mengerti hal semacam itu. Intuisimu itu kuberi nilai sempurna.”

Ayase terlihat sangat kesal. Bukannya berkilah, Ogura malah terang-terangan mengakuinya. Tapi meskipun begitu, dia sedikit merasa lega setelah tahu apa yang diduga olehnya ternyata benar adanya.

Lampu merah. Ogura menoleh ke arah Ayase dan menatapnya dengan serius. “Boleh aku bertanya? Kenapa kau tidak setuju dengan cara yang ayahmu tempuh? Apa yang salah dari balas dendam menurut pandanganmu?” Dia menatap ke depan lagi setelah selesai bertanya.

Ayase menundukkan kepalanya dan mengepal kuat kedua tangannya. “Setelah kehilangan kakak kandungku beberapa tahun lalu, aku jadi kehilangan kasih sayang dari seorang kakak. Tapi setelah Fugusa datang, dia perlahan mengisi kekosongan itu. Fugusa sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Aku tahu betapa baik dan perhatiannya dia terhadapku, bahkan juga terhadap ayah. Aku hanya tidak ingin membuat Fugusa tidak tenang ‘di sana’, hanya karena ayah meluapkan kesedihan atas kehilangannya dengan balas dendam. Balas dendam tidak akan menghasilkan apapun.” Air mata turun dari kedua mata Ayase dan mulai membasahi pipinya.

“Kau salah kaprah mengenai konteks balas dendam, Nona Ayase.” Ogura tetap fokus pada jalan tanpa sedikitpun melirik ke arah Ayase.

Mendengar perkataan Ogura, Ayase langsung menegakkan kepalanya. “Salah? Apa maksudmu aku salah?”

Ogura sedikit tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Balas dendam tidak dilakukan untuk meluapkan kesedihan, tapi dilakukan untuk menghilangkan perasaan mengganjal yang sulit dijelaskan. Ayahmu telah kehilangan kakakmu dalam sebuah insiden kecelakaan, dia harus balas dendam pada siapa atas terjadinya hal itu? Semua orang yang terlibat dalam kecelakaan? Ayahmu tidak punya kesempatan untuk menghilangkan perasaan mengganjal itu. Karena tidak ada objek atau subjek yang tepat sebagai pelampiasannya.

“Berbeda dengan kasus kematian Fugusa ini. Ayahmu dengan mata kepalanya sendiri melihat Fugusa terbunuh dan tak bisa melakukan apapun. Apa menurutmu jika kau ada di posisinya, kau bisa merelakannya begitu saja? Kau yang ada di pentas piano dan marah-marah sendiri karena ayahmu tak datang, tahu apa soal apa yang ayahmu rasakan saat itu? Jawab pertanyaanku, Nona. Tahu apa kau soal rasa ingin balas dendam ayahmu itu?”

Ayase menangis sejadi-jadinya. Perkataan Ogura benar-benar menusuk akal dan juga hatinya sangat dalam. Dia sama sekali tak bisa membantah ataupun mengelaknya.

Taka terlihat bisa tetap tenang setelah mendengar perkataan Ogura itu, tapi Ame tidak bisa. Dia terlihat sangat prihatin dengan apa yang Ayase alami. Tapi dia tidak tahu harus melakukan apa, meskipun sangat ingin membantu menghilangkan kesedihannya.

Dengan memberanikan diri, Ame memberikan sapu tangannya, yang langsung membuat Ayase terkejut dan menatapnya. “A—A—Aku tidak tahu perkataanku ini benar atau tidak. Tapi aku cuma mau mengatakan, sebagai anak bukankah kita harus memberitahu orang tua kita jika mereka menempuh jalan yang salah? Jadi, yang kau lakukan saat ini boleh-boleh saja. Tapi kau juga harus mengerti kalau salah di matamu, bukan berarti salah di matanya. Jika kau merasa apa yang kau yakini itu benar, maka teruslah pegang teguh hal itu. Nanti, jika apa yang kau yakini benar terjadi, kau hanya perlu memaafkannya dan memberikan pelukan yang erat untuknya. Jadikanlah dirimu sebagai tempatnya kembali.”

Mendengar ucapan Ame, Ayase tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia menerima sapu tangan Ame, lalu menggunakannya untuk menghapus air mata. Begitu selesai menghapus air matanya, dia menatap ke arah Ame lagi.

“Terima kasih ….” Ayase terlihat bingung karena tidak tahu siapa nama Ame.

“Ame,” ucap Ame dengan tersenyum.

“Terima kasih, Ame. Aku jadi lebih tenang sekarang. Aku tahu harus bagaimana sekarang. Aku berjanji tidak akan melakukan sesuatu yang konyol, karena aku tidak mau membuat ayah khawatir. Dan untukmu ….” Ayase menatap tajam Ogura melalui cermin.

“Ogura,” ucap Ogura melirik balik Ayase dengan tersenyum.

“Ogura. Aku tidak akan pernah memaafkanmu karena telah membuatku menangis seperti ini.” Ayase memalingkan wajahnya dan menyilangkan kedua tangannya di dada.

Lampu merah lagi. Ogura menoleh ke arah Ayase dan menatapnya dengan tersenyum. “Dengan senang hati aku menerimanya.” Sontak, dia pun tertawa setelah mengatakannya, begitu juga dengan Ame. Sementara Taka hanya bisa tersenum tipis dan geleng-geleng kepala.

Pipi Ayase memerah karena menahan malu ditertawakan oleh tiga orang laki-laki yang baru dikenalnya sore ini. Meskipun kesal karena telah dibuat menangis, dia merasa senang karena berkat menangislah dia merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakannya. Dia pun tersenyum menatap keluar jendela sambil menggenggam dengan erat sapu tangan di tangannya.

***

Setelah tiba di kediaman Keluarga Shigure, Ayase turun dari mobil dan mereka bertiga kembali ke markas. Tapi, Ogura malah melipirkan mobilnya ke sebuah restoran dan masuk ke dalam layanan Drive-Thru. Dia memesan dua es kopi hitam berukuran sedang, sebuah es susu kocok rasa stroberi berukuran besar, dan satu set panekuk. Begitu menerima pesanannya, dia langsung mengambil es kopi miliknya dan memberikan es kopi yang satunya kepada Taka. Sementara sisanya, dia berikan semua kepada Ame, yang langsung membuat Ame bingung.

“Kenapa kau memberiku ini semua?” tanya Ame.

Ogura menatap Ame sejenak dengan tersenyum, lalu melajukan mobilnya kembali. “Anggap saja itu hadiah dariku karena kerja bagusmu tadi. Aku tidak menyangka kau punya rencana rahasia seperti itu. Seharusnya kau beritahu aku terlebih dahulu sebelumnya.”

Ame tertunduk malu. “Emm … sebenarnya … itu hanya spontanitasku saja. Aku tidak tega melihatnya terus menangis seperti itu. Jadi, aku berusaha menenangkannya menggunakan pengetahuanku seadanya. Makanya aku bilang di awal, aku tidak tahu itu benar atau tidak. Ternyata, dia malah terlihat sangat senang seperti itu. Aku tidak menduganya sama sekali.”

“Tenang, aku hanya bercanda. Aku juga tahu kalau kau spontan mengatakannya. Tapi, apa yang kau lakukan tadi membuat rencanaku jadi lebih sempurna dan tidak memakan banyak waktu. Itu artinya kita impas sekarang. Kemarin aku yang menyempurnakan rencanamu, sekarang kau.” Ogura tersenyum menatap Ame melalui cermin.

“Bukannya, rencanamu berakhir sampai di situ?” tanya Taka.

Ogura melirik sejenak ke arah Taka. “Rencanaku memang berhenti sampai di situ. Ayase pulang dan memikirkan kesalahannya, lalu memendamnya. Lama-kelamaan, dia akan membicarakan hal itu pada ayahnya juga. Keduanya saling mengutarakan isi hati dan akhirnya saling mengerti. Caranya memang efektif, tapi perlu waktu.”

“Ada satu lagi pertanyaanku. Kenapa kau membelikanku es kopi yang rasanya pahit seperti ini?” Taka menatap Ogura dengan tatapan agak kesal.

“Anggap saja itu balasan karena kau tidak membantu sama sekali.” Ogura tertawa puas karena bisa mengejek Taka sesuai dengan fakta yang terjadi. Sementara Taka hanya bisa tersenyum tipis dan geleng-geleng kepala.

Di saat kedua rekannya tertawa, Ame jutru fokus membaca pesan yang baru saja dikirimkan oleh Mr. Y kepadanya. “Mr. Y mengirim pesan padaku. Isinya, ‘Serigala mulai memperhatikan dan ingin ikut campur dalam perburuan.’ Apa maksudnya?”

Adrenalin Ogura dan Taka pun tersentak setelah mendengar perkataan Ame.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro