Chapter 35: Parade Air Mata

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Penjara Kota O, tempat Aizen ditahan. Ame berada di tempat pendaftaran pengunjung, mengantre seperti yang lainnya. Melihat ke kiri dan kanan membuat kegugupannya semakin parah. Orang yang datang berkunjung terlihat seperti seorang tahanan baginya. Tibalah giliran Ame untuk mendaftar, kegugupannya belum juga hilang.

“Tulis semuanya sesuai yang tertulis di sana. Lalu, siapa yang ingin kau temui?” Sipir penjaga tempat pendaftaran memberikan Ame kertas pedaftarannya.

“A—A—Aizen Tanaka,” jawab Ame pelan. Dia menulis formulirnya sesuai dengan data dirinya. Setelah menandatangani formulir itu, dia mengembalikannya ke sipir.

Sipir itu menunjuk ke arah pintu yang ada di arah jam empatnya Ame. “Masuklah lewat pintu itu, lalu masuk ke ruangan kedua. Tunggulah di sana sampai giliranmu tiba.”

Ame berjalan menuju pintu itu. Sebelum diizinkan masuk, dia digeledah oleh sipir yang menjaga pintu itu. Setelah sudah memastikan tidak ada yang berbahaya, sipir itu mempersilahkanya untuk masuk. Dia pun masuk ke ruangan di pintu kedua. Begitu masuk, dia langsung diarahkan untuk duduk di kursi bilik nomor 3 oleh sipir yang berjaga di ruangan itu. Setelah beberapa menit, Aizen datang dan langsung duduk di kursi yang ada di hadapannya.

Aizen mengambil telepon yang ada di sisinya, begitu juga dengan Ame. “Kau siapa?” tanya Aizen datar dengan tatapannya yang lurus ke depan menatap Ame tajam.

“Aku teman kakakmu, Asuka.” Ame manatap balik Aizen sambil terus berusaha menghilangkan kegugupannya.

Aizen sedikit tertawa. “Apa kakakku mulai hidup normal sekarang? Sampai ada temannya yang berwujud seperti ini,” ledeknya dengan tersenyum menunjuk Ame.

Ame mengepalkan kuat kedua tangannya untuk mengumpulkan keberanian, dia menarik napasnya perlahan, lalu menghembuskannya. Setelah cukup tenang, dia menatap balik Aizen dengan serius. “Asuka telah tewas akibat luka tembak di perut dan area lehernya. Kejadiannya kemarin malam, di Kasino Kota H.”

Aizen yang semula tersenyum dan tertawa, langsung mendekatkan pandangannya ke Ame. “Kakakku punya kekuatan yang luar biasa dan sulit untuk dibunuh. Dia pernah membunuh lima puluh orang sendirian, hanya karena mereka mengejek ibu kami. Jaga bicaramu,” ucapnya sinis dengan tatatapan membunuhnya.

Ame mengeluarkan selembar foto dari dalam amplop yang dibawanya, lalu menunjukkannya pada Aizen.

Sontak, Aizen langsung berdiri dan menggebrak meja. “Siapa yang melakukannya? Katakan padaku!” dia menggretakkan giginya, mengepal kuat kedua tangannya dan tanpa disadarinya, perlahan air mata menetes membasahi pipinya.

“Black Mask,” ucap Ame dengan mengepal kuat tangannya karena terbawa suasana.

“Keluarkan aku dari sini, cepat! Akan aku bunuh mereka semua!” Aizen meluapkan segala amarah yang bergejolak dalam dirinya dengan melempar kursinya ke belakang dan memukul tembok beberapa kali.

Beberapa sipir akhirnya mulai berdatangan dari sisi bagian Aizen berada. Mereka langsung menenahannya dan memborgolnya, tapi Aizen terus berontak. Ame bisa dengan jelas melihat Aizen berontak, namun air matanya tetap terus mengalir.

Ame memukul kaca penghalang yang membatasi sisinya dengan sisi Aizen. Sipir yang ada di bagiannya, ingin melangkah menahannya. Tapi, dengan cepat dia memberikan isyarat pada sipir kalau dia hanya ingin lanjut berbicara dengan Aizen. Ketiga sipir yang menahan Aizen pun memberikan sedikit waktu untuk Ame berbicara lagi. Dua sipir memegangi Aizen, sedangkan yang satunya memegangi teleponnya agar Aizen bisa mendengar perkataan Ame.

Ame mengambil teleponnya menatap tajam ke arah Aizen. “Aizen, dengarkan aku.”

Aizen menegakkan kepalanya dan menatap balik Ame tajam. “Aku mendengarkan.”

“Jadilah semakin kuat di dalam sana. Kalau waktunya sudah tiba, aku akan datang ke sini lagi. Kau akan mendapatkan kesempatan untuk melakukannya, percayalah padaku.” Ame menganggukkan kepala berharap Aizen mempercayai ucapannya.

“Aku selalu siap kapanpun kau datang,” ucap Aizen dengan tatapan seriusnya.

***

Jam tujuh malam di jalan dekat kediaman Keluarga Renka. Ame dan Kazuya sudah sejam lamanya menunggu di dalam mobil. Setelah sabar menunggu, Mamori dan anaknya Taichi akhirnya pulang juga ke rumahnya. Ame dan Kazuya keluar dari mobil, membenarkan pakaian mereka agar terlihat lebih rapi. Barulah setelah itu mereka menghampiri kediaman keluarga Renka dan menekan bel di depan rumahnya.

Mamori membukakan pintunya. “Selamat malam, ada yang bisa aku bantu?”
“Kita berdua, temannya Yume. Ada yang ingin kita bicarakan denganmu sebentar, boleh?” Kazuya menatap Mamori dengan tersenyum.

“Boleh. Kalau begitu, masuklah.” Mamori mempersilahkan keduanya untuk masuk.
Ame dan Kazuya duduk di sofa yang ada di ruang tamu, sedangkan Mamori pergi ke dapur membuatkan minum untuk keduanya.

Mamori pun kembali membawakan dua gelas teh dan meletakkannya di hadapan mereka berdua. “Silahkan dinikmati,” ucapnya dengan tersenyum.

Ame dan Kazuya meminum tehnya. “Enak sekali,” ucap keduanya bersamaan.

“Terima kasih,” ucap Mamori dengan senyumannya yang terus melekat di wajahnya.

Ame menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. “Kedatangan kita berdua ke sini untuk memberikan kabar baik dan kabar buruk. Kabar baiknya, catatan kriminal mendiang suamimu sudah dihapuskan. Kabar buruknya, Yume tewas saat sedang bertugas.”

Adrenalin Mamori tersentak dan tatapan matanya terlihat bingung. Dia heran kenapa catatan kriminal suaminya bisa dihapuskan dan tidak percaya kalau anaknya telah meninggal dunia. Terlebih, dia tidak percaya kalau kedua hal itu terjadi bersamaan.

“Anakku … meninggal? Dia hanya seorang penjaga toko kue. Apa penyebabnya? Kecelakaan? Atau ada hal lainnya?” Mamori menatap Ame dan Kazuya dengan ekspresi panik.

Ame dan Kazuya saling bertatapan sejenak. Keduanya sama-sama bingung harus bagaimana menjawabnya. Mereka tidak tahu kalau Yume berbohong kepada orang tuanya tentang pekerjaannya. Karena sudah terlanjur, Kazuya menjelaskan kepada Mamori sejak awal mula Yume bergabung dengan Troublemaker dan pekerjaan seperti apa yang dilakukan oleh anaknya selama ini. Setelah Kazuya selesai menjelaskan semuanya, tangisan Mamori pecah.

Ame mengeluarkan semua file tentang Yume dari dalam amplop dan meletakkannya di hadapan Mamori. “Ini file biodata tentang Yume. Di situ juga ada kertas bukti tanda terima semua benda ini. Beberapa hari lagi seseorang dari bank akan datang ke sini memberikan kartu ATM yang baru, beserta pinnya. Memang tidak ada yang tersisa dari Yume, tapi aku masih bisa dengan jelas mengingatnya. Dia takut ruangan yang gelap dan sangat menyukai kue lebih dari apapun.” Dia menatap Mamori dan mulai meneteskan air matanya juga.

“Bohong!” Taichi berteriak sambil menangis dan berlari ke arah Ame. Dia memukul-mukul lengan atas tangan kanan Ame dengan kedua tangannya. “Kakakku itu sangat menyeramkan dan kuat sekali. Tidak mungkin dia meninggal begitu saja!”
Dia akhirnya berhenti memukuli Ame dan tertunduk meneruskan tangisannya.

Ame duduk bersila di bawah tepat di hadapan Taichi dan langsung memeluknya, persis seperti yang Yume lakukan terhadapnya kemarin di mini bus. “Tenanglah, Taichi. Aku juga sama sedihnya sepertimu. Kalau kau terus menangis seperti ini, aku juga ikut sedih. Tapi, kalau kau bisa berhenti menangis dan menunjukkan dirimu sebagai seorang laki-laki sejati, aku pasti ikut senang sama seperti kakakmu di sana. Kau itu anak yang kuat, buktikan pada kakakmu kalau kau akan tumbuh jadi anak yang luar biasa. Kau mengerti?”

“Emm,” ucap Taichi menganggukkan kepalanya.

Ame melepaskan pelukannya dari Taichi, lalu mengambil sesuatu dari amplop. Dia mengeluarkan foto Yume yang sedang memakan kue dan memberikannya kepada Taichi. “Simpanlah. Ada orang hebat yang berhasil memotret momen langka ini. Dengan begini, kau bisa melihatnya dan dia juga bisa melihatmu setiap hari.”

Taichi menghapus air matanya, lalu mengambil foto yang diberikan Ame. “Terima kasih. Aku pasti akan menjaganya seumur hidupku,” ucapnya dengan tersenyum tipis.

Kazuya berdiri menghadap Manori, begitu juga dengan Ame. “Kita berdua pamit. Terima kasih untuk tehnya.” Dia dan Ame serempak membungkukkan badannya sejenak.

Dengan berat hati, keduanya meninggalkan ibu dan anak yang sedang dilanda duka itu. Keduanya bisa melihat dengan jelas betapa sedihnya Mamori. Sementara Taichi terus berusaha menenangkan ibunya dengan tetap berada di sampingnya.

***

Jam delapan malam di Panti Asuhan tempat temen-teman Ogura tinggal. Ame dan Kazuya ditemani oleh penjaga keamanan masuk ke rumah utama panti asuhan. Mereka berdua di bawa ke ruangan di mana panti asuhan itu biasa menerima tamu. Keduanya menunggu dengan duduk di sofa. Setelah beberapa saat, datang seorang gadis muda berambut hitam panjang dengan rambutnya yang dikuncir. Dia langsung duduk di sofa yang ada di hadapan Ame dan Kazuya, dengan wajahnya yang terlihat sangat khawatir dan cemas.

“Kita berdua adalah teman kerja Ogura,” ucap Kazuya menatap gadis itu.

Air mata gadis itu langsung turun membasahi pipinya. Dia menangis begitu saja setelah mendengarkan perkataan Kazuya tanpa sebab yang jelas. Ame dan Kazuya kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa untuk menenangkan gadis yang ada di hadapan mereka saat ini. Karena tatapan kosong dengan air mata yang menetes terus diperlihatkan gadis itu.

"Apa yang sebaiknya kita lakukan?" tanya Kazuya menyenggol tangan Ame. Ame hanya menggelengkan kepalanya karena dia juga tidak tahu harus melakukan apa.

Tak lama, Gadis itu akhirnya bisa mengendalikan emosinya. Dia menegakkan kepalanya kembali, menatap Ame dan
Kazuya dengan matanya yang sembab. "Maafkan aku karena tiba-tiba menangis seperti ini," ucapnya dengan senyuman kecil yang dipaksakan.

"Tidak apa-apa, tapi kalau boleh tahu, apa alasannya?" tanya Kazuya.

Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan agar emosinya bisa lebih dikendalikan. Dia menunjukkan pada Ame dan Kazuya tangan kirinya, di mana ada cincin yang tersemat di jari manisnya. Hal itu tentu membuat keduanya terkejut.

"Dia bilang padaku akan melakukan sebuah tugas, di mana hal itu menyangkut dengan masa depan negara ini. Cincin ini dititipkannya padaku karena dia takut menghilangkannya. Ini adalah cincin pernikahannya yang selalu dia jaga selama ini. Dia bilang padaku kalau ada orang datang ke sini membicarakan apapun tentang dirinya, itu berarti dia tidak bisa kembali mengambil cincin ini dariku dan dia ingin aku memilikinya. Jadi, apa yang terjadi padanya? Aku mohon katakan padaku dia baik-baik saja." Air mata gadis itu mulai menetes lagi, dia tidak bisa menahan segala kesedihan yang dirasakannya saat melihat cincin di jarinya.

Rasa terkejut keduanya berubah haru karena telah salah mengira kalau wanita di hadapan mereka ini adalah istri Ogura. Kazuya menundukkan kepalanya, menandakan bahwa dia tidak sanggup untuk menjelaskannya dan berharap Ame bisa melakukannya sendiri. Menyadari akan hal itu, Ame menguatkan dirinya terlebih dahulu sebelum menjelaskan.

"Ogura tewas saat menjalankan tugasnya," jawab Ame.

Tangisan gadis itu semakin parah. Dia tertunduk memegang wajahnya dengan kedua tangan. Ame juga menundukkan kepalanya karena merasakan juga kesedihan di dalam hatinya. Dia terus berusaha mencari cara agar membuat gadis itu lebih tenang, hingga akhirnya dia mengingat malam saat mereka semua menceritakan diri mereka masing-masing.

"Namamu Chitose, bukan?" Ame menatap gadis itu.

Chitose melepaskan kedua tangannya dari wajah dan menatap balik Ame. "Dari mana kau tahu namaku?" tanyanya heran dan bingung.

"Ogura pernah mengatakan padaku saat pertama kali dia bertemu dengan seorang gadis kecil bernama Airi dan seorang wanita bernama Chitose," jawab Ame dengan tersenyum.

Chitose meneteskan kembali air matanya dan tersenyum tipis. "Kalau dia sudah berbagi sejauh itu padamu, itu artinya dia sudah sangat mempercayaimu. Kau sudah dianggap saudara olehnya.” Chitose tersenyum, namun tetap menangis saat menatap Ame.

Ame kemudian memberikan semua barang-barang milik Ogura dengan meletakkannya di atas meja, lalu menggesernya ke hadapan Chitose. Dompet beserta isinya, ponsel milik Ogura dan beberapa kunci yang menyatu dalam satu gantungan. Chitose menerima semua barang itu terkecuali gantungan yang terdapat beberapa kunci di dalamnya. Dia memberikannya kembali dengan menggesernya ke hadapan Ame.

Ame yang bingung, menatap kembali Chitose heran. "Kenapa kau kembalikan?"

Chitose tersenyum menatap cincin di jari manisnya, lalu menatap balik Ame. "Pesan lain yang dia katakan padaku sebelum pergi. Dia bilang, kalau mereka datang dan mengembalikan kuncinya, aku harus menolaknya. Aku juga tidak tahu apa maksudnya. Aku hanya berusaha menjalankan sesuai dengan apa yang dia katakan.”

Ame mengambil kembali kunci itu dan memasukkannya ke dalam kantong jaket. "Kalau begitu, kita berdua pamit." Ame langsung berdiri, diikuti juga oleh Kazuya.

Chitose berdiri dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. "Terima kasih atas kedatangan kalian yang sudah memberikan semua ini," ucapnya dengan tersenyum.

Ame dan Kazuya berjabat tangan dengan Chitose secara bergantian. "Sama-sama," ucap keduanya dengan tersenyum juga.

"Dia pasti sudah tenang ‘di sana’. Penderitaannya sudah terlalu banyak, kini saatnya dia beristirahat." Chitose mengeluarkan senyuman penuh haru, menahan air matanya.

"Iya, kau benar." Ame menganggukkan kepalanya karena setuju dengan Chitose.

Ame dan Kazuya keluar dari panti asuhan itu dan kembali ke mobil mereka. Ame langsung menangis karena tak sanggup lagi menahan emosinya. Melihat hal itu, Kazuya pun membiarkan Ame dan mengantarnya sampai ke apartemennya.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro