Chapter 36: Sebuah Keputusan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jam sembilan malam. Ame dan Kazuya tiba di Toko Paradise yang terletak di Kota A. Ame berdiri tepat di depan toko dengan sangat kebingungan dan masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Sementara Kazuya puas tertawa melihat ekspresi bingung Ame.

“Kenapa markasnya ada di toko action figure khusus karakter perempuan seperti ini?” Ame menatap Kazuya dengan eskpresi heran bercampur kesal.

“Jangan tanya aku. Aku sendiri juga tidak tahu alasan jelasnya.” Kazuya menutup mulutnya, berusaha menahan tawanya agar tidak keluar.

Ame mencoba untuk berpikir positif dengan masuk ke dalam dan mengeceknya sendiri, disusul Kazuya di belakangnya. Saat di dalam, Ame disuguhkan pemandangan yang belum pernah dilihat olehnya selama ini. Di sekelilingnya dipenuhi segala macam action figure karakter perempuan dari berbagai game, anime, dan movie. Membuatnya terpukau, tapi disisi lain juga membuatnya merasa aneh.

Tiba-tiba saja seorang pegawai perempuan di toko itu yang menggunakan pakaian seorang maid, datang menghampiri Ame. “Selamat datang, ada yang bisa aku bantu?”

Ame menatap Kazuya, namun Kazuya malah memalingkan wajahnya pura-pura tidak melihat. Kalau sudah begini, dia hanya bisa gugup dan diam karena tak tahu harus jawab apa.

“Tuan? Apa kau baik-baik saja?” tanya maid itu dengan suaranya yang lembut.

Ame menundukkan kepalanya dan mengepal kuat kedua tangannya. “Ayo, Ame Musashi. Jadilah laki-laki jantan.” Dia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. “Aku datang ke sini karena diundang oleh Mr. Y.”

“Ikuti aku,” ucap maid itu dengan tersenyum menatap Ame.

Maid itu membawa Ame masuk ke pintu yang di depannya bertuliskan ‘Only Employee’ dan Kazuya mengikuti keduanya dari belakang. Ruangan itu dikelilingi oleh rak-rak yang bertumpuk banyak kardus, layaknya sebuah gudang penyimpanan. Kemudian, maid itu menekan sebuah bagian bata yang tersusun rapi di dinding. Tak lama, terbukalah pintu yang ternyata adalah sebuah lift. Maid itu masuk, begitu juga dengan Ame dan Kazuya.

“Jadi, kau The Rainmaker?” tanya maid itu dengan kepalanya yang tertunduk.

“Iya, begitulah.” jawab Ame gugup.

Kazuya bersandar dan menyilangkan kedua tangannya di dada. “Tahan dirimu, Tajina. Jangan berlebihan padanya. Dia mudah sekali gugup saat menghadapi perempuan.”

Mendengar perkataan Kazuya, Ame merasa heran dan bingung. Dia tidak mengerti kenapa Kazuya mengatakan hal itu kepada maid bernama Tajina yang berdiri di sebelahnya. Dan rasa heran Ame pun terjawab.

Tajina mengeluarkan ponsel dari kantong seragamnya dan langsung menerjang Ame. “Boleh aku berfoto denganmu?” tanyanya dengan tatapan berbinar-binar.

“Eh? Berfoto denganku?” tanya Ame kebingungan.

Kazuya geleng-geleng kepala dan menepuk keningnya. “Sesusah itu kah bagimu menuruti perkataanku, Tajina. Ya, sudah, kalau lift ini sudah sampai lepaskan dia.”

Tajina menatap Kazuya dengan tersenyum. “Terima kasih, Kazu!” Dia langsung merangkul tangan Ame dan mendekatkan wajahnya. “Aku berjanji tidak akan menyebarkan fotomu. Kalau sampai aku menyebarkannya, aku rela dipecat dari pekerjaan ini oleh Mr. Y.”

“Ba—ba—baiklah,” ucap Ame dengan terpaksa.

Keduanya berfoto dengan tangan Tajina menggandeng tangan Ame. Begitu foto selesai diambil, pintu lift terbuka dan tibalah mereka di lantai yang dituju. Begitu melangkah keluar meninggalkan mereka, Kazuya tertawa karena melihat Mr. Y sudah berdiri di depan lift. Dia tetap tertawa lepas meskipun sudah sangat jauh berjalan di depan.

“Apa yang kalian berdua lakukan?” Mr. Y menatap datar Ame dan Tajina.

Tajina langsung mendorong Ame keluar dari lift. “Tidak, Tuan. Tidak ada apa-apa,” ucapnya dengan tatapan panik.

Tajina kembali ke lantai atas, sedangkan Ame ikut bersama Mr. Y. Tibalah keduanya di sebuah ruangan yang dipenuhi dengan senjata beserta sasaran tembaknya. Di tengah ruangan sudah ada empat orang yang berdiri bersebelahan menghadap ke arahnya dan juga Mr. Y.

“Merekalah yang akan melatihmu nantinya.” Mr. Y menghampiri keempat orang itu, diikuti Ame yang berjalan di sampingnya.

“Paling kanan, namanya Karasu. Dia yang akan mengajarkanmu segala hal tentang forensik dan anatomi tubuh manusia. Hal itu berguna untuk membuatmu mengetahui di mana bagian vital manusia.
Di sebelahnya, Kazuya. Dia yang akan mengajarkanmu caranya menembak. Sepertinya, kau sudah pernah melihat bagaimana kemampuan menembaknya. Di sebelahnya, Tuan Shin Musano. Dia yang akan mengajarkanmu pertarungan fisik jarak dekat. Dan terakhir, Ayase Shigure. Dia yang akan mengajarkanmu caranya bersosialisasi dan segala pengetahuan umum.” Mr. Y berhenti di hadapan keempat orang itu, begitu juga dengan Ame.

Mr. Y menatap Ame dengan geram dan menunjuk Ayase. “Seandainya kau tidak putus sekolah, aku tidak perlu meminta Ayase mengajarkanmu. Jadi, jangan protes kalau salah satu orang yang mengajarkanmu itu lebih muda darimu," bisik Mr. Y.

“Maafkan aku.” Ame berdiri menghadap Mr. Y dan membungkukkan badannya, seakan pasrah mengakui kesalahannya itu.

Mr. Y melirik sejenak ke arah Ame dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Iya sudah, tidak apa-apa. Ada yang ingin kau tanyakan?”

“Ada,” jawab Ame.

“Apa?” tanya Mr. Y heran.

“Kenapa harus menjadikan toko seperti ini sebagai kamuflasenya? Setiap kali masuk ke sini aku terlihat seperti otaku garis keras yang hanya bisa melampiaskan hasratnya pada boneka plastik.” Ame menatap Mr. Y dengan serius. Pertanyaannya membuat suasana menjadi hening. Sebenarnya, mereka semua juga ingin menanyakannya kepada Mr. Y. Meskipun, mereka tahu tujuannya sebagai kamuflase.

Karasu maju selangkah dan memain-mainkan rambut Ame. “The Rainmaker, orang paling berbahaya di dunia maya,” ucapnya dengan tersenyum.

Ame langsung mendongakkan kepalanya karena postur Karasu lebih tinggi darinya. Dia bisa melihat dengan jelas kedua mata Karasu ada kantong matanya. Tak hanya itu, wajah Karasu juga terlihat pucat layaknya mayat hidup.

Ame pun menatap balik Karasu dengan tersenyum. “Karasu. Orang yang paling,”—Ame ingin mengatakan apa yang ada dalam pikirannya, tapi karena takut Karasu meresponnya dengan emosional, dia pun mengurungkannya—“memahami tentang anatomi tubuh manusia.”

“Senang bertemu denganmu.” Karasu langsung memegang tangan Ame.

Ame terpaksa tersenyum menganggukkan kepalanya. Dengan cepat, dia melepaskan tangan kanannya dari kedua tangan Karasu, karena takut dengan tingkah lakunya yang aneh.

Ame melangkah ke samping dan berdiri tepat di hadapan Kazuya. Dia mengajak Kazuya berjabat tangan, tapi Kazuya justru mengepalkan tangannya. Memahami maksud Kazuya, dia mengepalkan tangannya juga dan melakukan ‘salam tinju’ dengan Kazuya layaknya seorang saudara. Keduanya saling menatap dan tersenyum setelahnya.

Ame melangkah ke sampingnya lagi. Saat dia ingin mengajak Tuan Shin berjabat tangan, Tuan Shin tidak menjulurkan tangannya dan hanya diam saja. Meskipun agak takut dengan kondisi itu, dia mencoba menatap langsung Tuan Shin.

“Siap, gerak!” seru Tuan Shin lantang. Ame yang terkejut, langsung berdiri dengan posisi siap menghadap Tuan Shin.

“Hormat, gerak!” seru Tuan Shin lagi dengan suara yang lebih kencang. Ame melakukan hormat dengan tertunduk, tak berani menatap langsung Tuan Shin.

“Mulai besok, seperti ini lah caramu menyapaku. Selalu hormat layaknya seorang tentara. Tujuannya agar kau tidak berani membangkang dan bisa hidup lebih disiplin. Kau boleh berhenti melakukannya setelah aku mengizinkannya. Kau mengerti, Ame?” Tuan Shin membungkukkan sedikit badannya dan menatap Ame tajam.

“Mengerti, Tuan!” seru Ame dengan lantang.

“Bagus. Tegak, gerak!” seru Tuan Shin tak kalah lantang. Ame menurunkan tangannya dan membungkukkan badannya.

Ame menghampiri Ayase. Inilah yang membuat Ame jauh lebih gugup dan keringatnya bercucuran tanpa henti. Karena tidak tahu harus berbuat bagaimana, Ame spontan membungkukkan badannya bermaksud untuk berkenalan dengan Ayase menggunakan cara yang lebih sopan. Bagaimanapun juga, pertemuan pertama mereka tidak berjalan begitu bagus karena Ayase saat itu sedang menangis.

“Mohon bantuannya,” ucap Ame dengan malu-malu.

“Jangan membungkuk di hadapanku, karena kau lebih tua dariku.” Ayase panik melihat Ame tiba-tiba membungkuk di hadapannya. Padahal, saat ini dia juga sebenarnya sedang merasa gugup karena mau mengembalikan sapu tangan milik Ame.

Ame terkejut mendengar perkataan Ayase. Dia menegakkan badannya kembali dan menatap Ayase dengan tatapan bingung. Ayase yang semula panik pun, juga ikut bingung.

Mr. Y memegang kepala Ame dari belakang dengan murkanya, yang membuat badan Ame bergetar ketakutan. “Kalian seumuran, Nona. Dia bukan anak pintar yang dengan cepat lulus, tapi anak bodoh yang memutuskan untuk berhenti sekolah di usia lima belas tahun.”

Rasa gugup Ayase seketika berubah jadi rasa kesal. Dia langsung menyilangkan kedua tangannya di dada dan menatap sinis Ame. “Kalau begitu, aku akan mengajarimu semua pelajaran yang diajarkan di sekolah dan akan memberikanmu PR setiap hari.”

Mendengar hal itu, Ame merasa nyawanya baru saja hilang tiga perempatnya. “Aku mohon, ajarkan aku apapun asal jangan matematika.” Dia menatap ke arah Ayase dengan penuh harap dan wajahnya yang agak memelas.

Ayase terkejut dan kembali gugup saat Ame menatapnya seperti itu. Dia pun memalingkan wajahnya. “Semuanya. Itu artinya, Matematika juga.”

Ame hanya bisa tertunduk meratapi nasibnya. Mr. Y langsung mengayunkan kepala Ame ke bawah dengan pelan, sehingga dia membungkuk lagi di hadapan Ayase. Ame tidak berontak karena kepalanya saat ini dipenuhi dengan rumus-rumus yang menghantuinya.

“Terima kasih karena mau mengajariku,” ucap Mr. Y meniru suara Ame.

Ayase menatap Ame kembali dan tersenyum melihat tingkahnya. “Sama-sama,” ucapnya sedikit tertawa.

Begitu Ame menegakkan badannya kembali, Ayase menyodorkan tangannya yang memegang sapu tangan Ame ke depan. “Ini, aku kembalikan.”

Ame menatap sapu tangannya, lalu menatap Ayase dengan ekspresi bingung. “Kenapa dikembalikan? Aku memberikannya untukmu. Tapi, jangan pernah memakainya, ya?”

Ayase heran sekaligus kesal mendengar perkataan Ame itu. “Kenapa?”

“Karena aku tidak mau kau menangis lagi,” jawab Ame dengan tersenyum.

Pipi Ayase langsung memerah karena malu. Dia menundukkan kepalanya dan berlari pergi meninggalkan Ame. “Kazuya, antarkan aku pulang.”

“Heh?” Kazuya menatap Mr. Y, yang langsung ditanggapinya dengan anggukkan kepala. Dia langsung berlari menghampiri Ayase yang sudah jauh pergi.

Tuan Shin dan Karasu pun ikut pergi meninggalkan ruangan itu, menyisakan Mr. Y dan Ame saja. Begitu Ame mau melangkah pergi, Mr. Y memegang pundaknya.

“Kau tidak mau berkenalan dengan gurumu yang kelima?” tanya Mr. Y.

Ame berbalik badan dan Mr. Y dengan tatapan bingung. “Apa maksudmu?”

Mr. Y melepaskan tangannya dari pundak Ame dan mengajaknya berjabat tangan. “Perkenalkan, nama lainku adalah Landmarx.”

Adrenalin Ame tersentak dan terlihat sangat terkejut. Dia langsung menjabat tangan Mr. Y dan mengayunkannya ke atas bawah dengan cepat. “Aku sudah menduganya. Soalnya kau bisa mengetahui data-data pribadi mereka secara rinci. Kau pasti masuk ke dalam database Kepolisian Arufabetto dan meretasnya, kan?”

Mr. Y sedikit tertawa dan menganggukkan kepalanya. “Dalam kemampuan, kita berdua mungkin sama rata. Tapi dalam pengalaman, aku ada di atasmu. Jadi lebih tepatnya, aku akan mengajarimu dengan pengalamanku, bukan dengan pengetahuanku. Kau siap?”

Ame melepaskan jabatan tangannya dan membungkukkan badannya. “Siap, Tuan.”

Mr. Y memegang pundak Ame, mengayunkannya ke atas agar Ame kembali berdiri tegak. “Kau sudah memulainya, Ame. Itu artinya, kau sudah tidak bisa kembali lagi.”

Ame menatap Mr. Y dengan tajam. “Aku tahu. Itu sebabnya, aku berjanji akan terus berlatih memperkuat diriku. Dengan begitu, aku bisa membalaskan dendam mereka. Dan akan aku buat Taka dan Kuro membayarnya dengan mahal.”

***

Di waktu yang sama, di sebuah kolong jembatan di Kota R. Reaper, Hayate, Kuro dan Taka terlihat sedang menunggu seseorang. Mereka berempat tengah melakukan aktivitasnya masing-masing. Taka dan Kuro berdiri mewaspadai sekitar, Hayate sibuk membersihkan pedangnya, sedangkan Reaper memancing dengan alat yang dibuat sendiri olehnya.

Setelah beberapa menit menunggu, datang seseorang berpakaian rapi menggunakan jas dan dasi. Dia berdiri di sisi lain sungai tepat di hadapan mereka berada. Dia menunjukkan berkas yang ada di tangannya, yang membuat Kuro langsung datang menghampirinya untuk mengambil berkasnya. Setelah mendapatkan berkas dari orang itu, Kuro kembali dan memberikan berkasnya kepada Hayate.

“Ada yang menarik umpanku!” seru Reaper dengan senangnya. Dengan sekuat tenaga, Reaper menarik pancingannya dan ada seekor katak terjerat di kailnya.

“Mau kau apakan kataknya?” Hayate melirik sejenak ke arah Reaper. Pertanyaannya belum dijawab, Reaper sudah mengembalikan kataknya ke sungai.
“Terserah kau saja.”

Reaper mengambil berkasnya dari Hayate, lalu membukanya dan membagikannya kepada yang lain. Berkas itu berisi identitas palsu yang akan mereka gunakan mulai besok. “Sejak mencuatnya berita kematian mereka berempat kemarin, ‘Black Mask’ pasti akan semakin dicari dan ruang gerak kita jadi semakin sempit. Ditambah lagi pergerakan Mr. Y dan anak buahnya.” Dia menatap biodata palsu miliknya dan tersenyum setelahnya.

“Kau sendiri? Bagaimana dengan perbanmu?” tanya Hayate menatap tajam Reaper.

Reaper membuka perban yang menutupi wajahnya, kemudian menghanyutkannya ke sungai. Dia berbalik badan dan berdiri menatap mereka bertiga satu-persatu. “Kita berempat akan berpencar entah sampai kapan. Jaga diri kalian dan tetaplah hidup. Karena kita punya target yang harus kita bunuh.”

Reaper mengambil pisau dari balik jaketnya, lalu mengambil sebuah foto dari berkas yang ada di tangannya. Dia menancapkan foto itu di tiang penyangga jembatan dengan menggunakan pisau.
“Dialah yang harus kita singkirkan,” ucapnya menatap tajam foto itu.

Reaper mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan, lalu mengirimkannya ke semua anggota Black Mask. Pesan itu tertulis ….

Black Mask, berpencar!

Bersambung ke Buku 2.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro