A

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gajah mati meninggalkan gading.

Manusia pergi meninggalkan pening.

~~~~~~~~~~~~~

Aku berjalan mendekati bayangan. Sebentuk siluet yang terasa tak asing lagi. Pikirku menerka, siapa gerangan. Apakah mungkin dia? Kenapa dia datang lagi setelah sekian waktu memilih pergi? Apa yang diinginkannya? 

Dulu, saat aku telah memberikan duniaku padanya, dia memilih untuk pergi. Meninggalkan segala luka yang sampai detik ini masih menganga. Asaku telah pupus tergerus oleh waktu. Aku berusaha untuk mencarinya, namun seakan dunia berkompromi untuk menyembunyikannya. Aku bertanya kepada sang waktu, akankah semua kembali seperti inginku?

Dan sekarang, ketika harapku akan semua pesonanya memudar, kenapa justru dia hadir kembali? 

"Mau apa kamu? Lancang sekali masuk ke apartementku?"

Tanyaku sembari berjalan mendekati sesosok bayangan di balkon kamar. Tak sedikitpun terlihat pergerakan, hingga akhirnya aku sudah berada tepat di belakang bayangan itu.

"Aku kembali. Aku ingin menebus semua yang telah aku tinggalkan."

Diam. Hanya deru napas masing-masing yang memenuhi udara. Dadaku terasa terhimpit oleh dinding. Meski sekarang kami berada di balkon, namun aku merasa terpenjara. Pikiranku melayang jauh, kembali ke masa lalu. Ke masa itu, dimana aku jatuh dan terluka. Rasanya masih jelas di depan mata. Tetapi sedetik kemudian hambar yang melanda. Tidak ada perih karena luka, juga bahagia karena euforia. Mungkinkah rasa itu telah pudar?

"Untuk apa?"

Terdengar helaan napas berat di depanku. Tak habis pikir, kenapa dia memutuskan untuk kembali setelah pergi bak ditelan bumi.

"Ternyata aku membutuhkanmu. Sangat."

Perlahan bayangan itu berbalik. Dan mata kami beradu. Sensasi yang kurasakan telah jauh berubah. Kupikir aku masih bisa tersihir oleh kekuatan matanya. Kupikir aku masih tersihir dengan paras ayunya. Namun ternyata semua telah sirna. Dan cukup bagiku untuk berucap syukur. Akhirnya, aku bisa move on.

"Kenapa sekarang? Kenapa aku?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Dalam otakku, banyak sekali amarah terpendam. Dan ingin aku melampiaskannya saat ini. Saat yang tepat ketika aku kembali dapat melihatnya. Dia adalah Rebecca. Kekasihku. Bukan, bukan kekasih lagi melainkan mantan--versiku. Mungkin menurut Fredy dan Arman, Rebecca adalah mantan terindahku. 

Dulu kami pasangan serasi. Setiap orang yang melihat kami pasti merasa iri. Kami bagaikan Sandra Dewi dan Harvey Moeis, sempurna. Kami bertemu saat ospek mahasiswa baru, dan berlanjut hingga ke fakultas yang sama. Karena intensitas pertemuan kami, akhirnya aku beranikan diri untuk menjadikannya kekasih hati. Kami berpacaran selama masa kuliah hingga berlanjut saat aku membantu Akung di pabrik. Rebecca sering aku ajak ke rumah, bertemu Akung, Papa dan Mama. Mereka terlihat akrab, namun suatu hari Akung mengajakku bercerita. Tentang Rebecca. Diam-diam Akung menyelidiki Rebecca dan keluarganya bonus masa lalu kakek neneknya. Entah karena apa, Akung merasa kurang sreg dengan keluarga Rebecca.

Bagiku Rebecca sempurna. Rambutnya ikal sebahu, mata coklatnya yang menawan, senyumnya yang mampu mebuat siapa saja terpesona juga paras ayunya yang tak mungkin bisa ditolak oleh siapapun. Tingginya 165 cm dan kulitnya yang langsat selalu menjadi daya tarik tersendiri. Attitudenya pun bagus, hingga aku yakin dia adalah masa depanku.

Namun berbeda dengan cara pandang Akung kepadanya. Menurut Akung, Rebecca menyembunyikan sesuatu. Waktu itu aku mengejar pernyataan Akung. Namun Akung hanya bilang, waktu yang akan menjawab. Aku masih enggak habis pikir kenapa Akung menentang hubungan kami. Menurutku, Akung kolot. Tidak ada alasan jelas kenapa dia menentang kami. 

Enam bulan setelah Akung mengajakku bercerita tentang Rebecca, tiada angin tiada hujan Rebecca menghilang tanpa kabar. Padahal malam sebelumnya, kami sempat bertemu dan berkencan. Tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan dasar dia meninggalkanku. Aku kelimpungan. Bingung mencarinya hingga seperti orang gila. Aku mengabaikan semuanya, termasuk karierku. Hingga akhirnya teman Akung, Pak Pranowo menghubungiku dan mengajakku bertemu.

Beliau seorang anggota Kopassus. Sehingga dengan mudah dapat menemukan jejak seseorang. Mungkin Pak Pranowo juga yang membantu Akung untuk menyelidiki seluk beluk keluarga Rebecca. 

Pak Pranowo menyarankan kepadaku untuk berhenti mencari Rebecca. Percuma, katanya. Pada saatnya nanti, Rebecca akan kembali muncul di hadapanku. Aku tidak terima dengan perkataan Pak Pranowo. Aku marah kepadanya. Tanpa ingin mendengarkan penjelasannya lagi, aku pergi.

Sebulan setelah kepergian Rebecca, aku menyerah. Berhenti untuk mencari. Tiada hasil yang aku terima selama pencarian. Aku kembali menjalani rutinitasku seperti biasanya. Namun ada satu hal yang hilang. Satu kepingan puzzle dalam hatiku tenggelam. Hingga akhirnya aku menenggelamkan diriku dalam pekerjaan. Kembali mengasah kemampuan penciuamanku.

Sekarang setelah 2 tahun berlalu, kenapa Rebecca memutuskan untuk kembali. Aku ingin mendengar alasannya. Tapi, kenapa aroma ini menggangguku. Bukan aroma ini yang dulu aku hidu dari tubuh Rebecca. Tak tahan, aku memilih untuk mundur beberapa langkah darinya. 

Rebecca masih bergeming ditempatnya berdiri. Hanya pandangannya yang mengikutiku menjauh. Sekarang jarak diantara kami terbentang 5 langkah. Cukup aman untuk hidungku.

Asal kalian tahu, Rebecca tidak pernah mengetahui tentang kemampuanku ini. Tidak sedikitpun. Bahkan Arman dan Fredy yang notabene adalah sahabatku pun tidak mengetahuinya. Hanya Akung, Papa dan Mama yang tahu. 

Karena memang bakat ini tidak untuk dipublikasikan. Bakat ini hanya aku gunakan saat bekerja membantu Akung. Jadi jangan tanya kenapa pabrik teh yang Akung dirikan semakin meraksasa setelah aku bergabung.

"Zayn, aku minta maaf. Selama ini aku egois. Aku pergi tanpa kabar. Aku tahu kamu marah padaku. Tak apa, Zayn. Luapkan sekarang. Aku terima semua kemarahanmu. Namun setelah itu, ijinkan aku untuk terus berada di sampingmu. Aku mencintaimu, Zayn. Sangat. Dan aku menyesal telah meninggalkanmu."

Akhirnya Rebecca buka suara. Tapi bukan ini yang aku ingin tahu. Bukan kamuflase seperti ini yang aku inginkan. Hatiku bergeming, pun dengan mulutku. Aku diam, hanya menatapnya dengan sorotan tajam yang akan sulit untuk diartikan. Banyak kosa kata dalam mulutku yang siap untuk aku keluarkan, namun aku memilih untuk tetap menelannya. Hatiku sudah terlanjur beku olehnya. Pesonanya yang dulu mampu membuatku tergila-gila, sekarang lenyap entah kemana.

Sekelebat aroma hadir dalam ruang ingatanku. Aroma yang memabukkan. Bukan pesona. Dan karenanya aku kuat untuk tetap bergeming menghadapi Rebecca.

"Kamu sudah mengutarakan maksudmu, sekarang keluarlah! Aku ingin istirahat."

Sesudah mengatakannya, aku berjalan kembali ke kamar dan membuka pintu kamarku. Mengabaikan berjuta pertanyaan tentang Rebecca, aku kembali menoleh kepadanya hanya untuk memastikan dia mengikuti perintahku. Memang benar Rebecca mengikutiku hingga ruang tamu, namun sebelum aku berhasil membuka pintu apartemen, punggungku berhasil diraihnya.

"Jangan seperti ini, Zayn. Please, maafin aku. Aku salah sudah meninggalkanmu. Sekarang aku janji untuk selalu di sampingmu. Aku mencintaimu Zayn, kumohon jangan seperti ini."

"Lepaskan. Semua telah berlalu, Rebecca. Sekarang aku capek, aku ingin istirahat. Banyak pekerjaan yang menantiku."

Kucoba untuk melepaskan pelukan Rebecca di punggungku. Namun sulit, dia keras kepala. Percuma saja. Turuti dulu sebentar apa maunya, begitu dia lengah baru aku beraksi.

"Please, Zayn. Ijinkan aku untuk menebus semua salahku. Aku mencintaimu, Zayn. Maafkan aku."

Masih dipelukannya, aku berbalik menghadapnya. Menatap tepat di sorot matanya. Kedua tanganku meraih pundak Rebecca. Berusaha mensejajarkan pandangan kami, aku sedikit menunduk. Aku katakan hal yang seharusnya aku katakan.

"Aku mencintaimu, sangat. Aku ingin menikah denganmu. Aku ingin menjadikanmu wanitaku satu-satunya seumur hidupku. Aku ingin semua hal terindah di dunia ini kunikmati bersamamu. Tetapi, itu dulu. Dulu sebelum kamu pergi meninggalkanku tanpa kejelasan. Dan sekarang kamu kembali, kembali untuk memohon semua hal itu dariku, Rebecca? Kau mau itu semua, Rebecca, sayang?"

Aku tekankan setiap kata dalam kalimatku. Berharap dia mampu menangkap sedikit saja emosi di dalamnya. 

"Iya, Zayn. Aku mau semua itu. Aku ingin kembali dan menebus semua kesalahanku. Aku ingin melewati sisa hidupku bersamamu. Aku mau kamu, Zayn. Mau kamu seutuhnya."

Air matanya mengalir deras di pipi. Aku megusapnya dengan kedua ibu jariku.

Untuk sementara, aku ingin dia salah paham. Mengiraku telah memaafkannya. Dia menikmati setiap sentuhanku di wajahnya. Tepat ketika berada di bibirnya, dan saat dia mulai terlena, aku mencampakannya.

"Mimpi kamu, Rebecca! Tak sadarkah kau, apa yang telah kamu perbuat dalam hidupku. Aku muak mendengar semua ini. Sekarang pergi dari hadapanku, dan jangan pernah berani lagi untuk muncul. Aku membencimu Rebecca, sangat membencimu."

Sebelum Rebecca kembali tersadar, aku segera membuka pintu apartemen dan menyeretnya keluar. Sampai di lorong apartemen yang sunyi, aku meninggalkannya dan kembali masuk. Menutup pintu apartemen dan menguncinya. Ganda. Ingatkan aku nanti untuk mengubah password kunci apartementku.

Tak kuhiraukan gedoran dan teriakan di pintu---yang pasti Rebecca yang melakukannya--aku berjalan kembali ke kamar. Duduk diatas ranjang dan menikmati kesendirian. Aku duduk menunduk. Menopang kepalaku yang tertunduk menggunakan kedua tangan yang bertumpu kepada kedua kakiku. Aku kalut. Tidak menyangka, akhirnya hari ini tiba.

Kulepaskan semua kain yang menempel di tubuhku, kemudian aku masuk ke kamar mandi. Kembali melanjutkan hasratku untuk bediri dibawah guyuran air hangat. Kuhabiskan sisa petang itu dengan berlama-lama di kamar mandi. Berharap guyuran air mampu membawa pergi semua kenangan tentang Rebecca. Aku tidak sudi lagi untuk mengingatnya. Aku sudah lama menguburnya, hangga sore tadi saat sang empunya kenangan muncul kembali.

Kenapa harus sekarang? Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Rebecca. Dari aroma yang aku hidu, kamu menyembunyikan sesuatu. Aku pasti menemukan maksudmu, Rebecca. Aku pastikan itu. Dan saat aku telah mengetahui maksudmu yang sebenarnya, tak segan-segan aku singkirkan dirimu selamanya dari kehidupanku. Tak akan pernah aku ijinkan kamu kembali lagi merusak hidupku untuk kedua kalinya.

Amarahku memuncak. Aku mencengkeram pegangan yang ada di dinding hingga semua buku-buku jariku memutih. Aku menekan rahangku keras-keras. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk meninju dinding yang ada di hadapanku. Kulihat aliran air dibawahku berubah menjadi merah jambu, dan aroma anyir menguar memenuhi indera penciumanku. Tak terasa buku jariku berdarah. Namun kekesalan dalam dadaku belum juga sirna. 

Aku siram tubuhku sekali lagi, dan keluar untuk menyudahi. Aku mengambil handuk dari laci kamar mandi, mengenakannya untuk mengelap seluruh tubuhku dan kemudian melilitkannya di pinggangku. 

Aku keluar dari kamar mandi. Membuka lemari pakaian dan mengambil celana untuk tidur. Aku suka top less saat tidur. Terasa nyaman dengan udara di Solo yang sedikit panas. Setelah selesai dengan semua itu, aku mengambil ponselku yang berada di kitchen island apartemenku. Sebuah notifikasi masuk dari satu nomor. Akung. Tiga panggilan tidak terjawab dan satu pesan yang baru masuk beberapa menit yang lalu.

Akung :
 Zayn, kamu enggak pulang? Akung butuh bicara denganmu. Segera datang setelah kamu baca pesan ini.

Akung, ada apa dengannya?

~~~~~~~~~~~~~~~

holla......

ada yang kangen sama Zayn?

dududu... Zayn terluka, mau obati? kasihan dia... hikss

bagaimana pendapat kalian tentang part ini?

suka Zayn?

benci Rebecca?

apa yang kalian inginkan di part selanjutnya? tulis disini ya.....

jangan lupa untuk vote, koment serta share ke semua teman kalian jika kalian suka sama Zayn. 

Doakan Zayn rajin update supaya bisa menemani kalian.

terima kasih sudah membaca,

love,
jurnallin
10 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro