R

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

saat mentari mulai menyinari, saat itulah hatiku bersemi

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Apa yang Akung ketahui? Mungkinkah ini ada hubungannya dengan kemunculan Rebecca sore ini? Pikiranku yang kalang kabut belum bisa mencerna setiap perkataan Akung. Memilih untuk berjalan menuju mesin coffe maker untuk membuat secangkir espresso alih-alih menjawab pesan dari Akung. Besok saja aku menemui Akung. Untuk saat ini aku memilih berdiam diri sementara anganku kembali pergi.

Kemunculan Rebecca benar-benar diluar dugaan. Tak pernah aku membayangkan pertemuan ini kembali. Rasa-rasanya masih seperti mimpi, apa yang dulu sempat hilang kini kembali. Namun sayangnya, hatiku sudah mati. Seandainya dulu Rebecca tidak menghilang begitu saja, mungkin hatiku masih bisa menerima. Semua itu hanya sepenggal kisah masa lalu, tak pernah berniat untuk mengenang apalagi menjalin kembali. Biarlah yang telah berlalu pergi. Pergi yang benar-benar pergi.

Secangkir kopi espresso panas siap di tangan. Aku berjalan menuju sofa ruang tamu untuk sejenak beristirahat. Aku menyalakan televisi, mencari-cari chanel namun setelah pergantian yang kesekian kalinya, tak juga aku menemukan sesuatu yang menarik. Percuma saja. Anganku masih pergi bersama sang gadis di warung soto. 

Kembali aku membawa secangkir espresso di tangan kiri, mengambil sekotak rokok dari kabinet bawah televisi untuk kemudian aku bawa menuju balkon ruang tamu. Di balkon ini ada satu sofa panjang dan satu meja untuk menaruh kopi dan teman-temannya. Waktu masih menunjukkan pukul 7 malam saat aku keluar ke balkon.

Tatapanku menengadah ke langit malam. Cerah, bertaburan bintang. Ada semburat bulan sabit mengintip dari arah timur yang semakin mempercantik pemandangan malam. Aku mengambil sebatang rokok untuk kemudian menyalakannya. Aku hisap perlahan rokok itu, kutahan sebentar dalam paru-paru dan tenggorokanku, kemudian aku lepaskan perlahan. Sebuah sensasi yang aku jumpai ketika segala hiruk pikuk menerjang.

Sejak berkenalan dengan Rebecca aku mulai mengenal rokok. Tak hanya dengan rokok, bahkan Rebecca pernah beberapa kali mengajakku pergi ke klub malam. Tak banyak yang tahu, Fred dan Arman sekalipun. Hanya aku dan Rebecca. Waktu itu inderaku belum setajam ini. Masih bisa pergi sesuka hati tanpa harus berpikir apa yang akan aku jumpai nanti. Namun semenjak kepergian Rebecca, indera ini menajam seiring berjalannya waktu. Beruntung aku masih bisa mengendalikannya. Hanya di saat-saat tertentu saja "dia" menunjukkan keunggulannya.

Akung selalu berpesan untuk menjaganya dengan hati-hati. Karena Akung yakin, dengan kelebihanku ini pabrik akan terus maju dan berjaya. Kurasa hal ini yang membuat Akung menyerahkan seluruh pabrik beserta perkebunan ke tanganku. Beban berat buatku. Karena semenjak hari itu, hari dimana Akung mengumumkan siapa ahli warisnya, banyak dari saudara sepupu yang iri kepadaku. Mereka mencibirku, bahkan aku tidak pernah punya kesempatan untuk membela diri. 

Kata Akung waktu itu, aku harus berbesar hati menanggung beban ini. Dan Akung berjanji akan selalu melindungiku sampai kapanpun. Aku percaya Akung sepenuhnya. Terbukti selama bertahun-tahun Akung selalu melindungiku. Bahkan dari Rebecca. Padahal aku mengira Rebecca berbeda dengan yang lain, karena kami sama-sama terlahir dari keluarga yang berada. Kurasa enggak mungkin Rebecca menjilatku. Waktu itu aku marah kepada Akung karena beliau menentang hubunganku dengan Rebecca. Namun setelah kepergian Rebecca dua tahun yang lalu, mataku mulai terbuka. Terkadang butuh mengalami sendiri untuk bisa percaya sepenuhnya dengan perkataan orang tua.

Ponselku yang berada di atas kitchen island kembali berdering. Aku meletakkan rokok yang baru habis separo ke asbak. Masuk ke dalam dan mengangkat panggilan masuk. Dari Dimas, ada apakah?

"Ya,"

"......."

"Dari mana Akung tahu?"

"........."

"Biarkan dulu, aku masih ingin sendiri"

Sambungan telepon terputus. Aku memijat pangkal hidungku. Tak menyangka, secepat ini Akung mendengar kabarnya. Benar dugaanku, Akung tahu tentang Rebecca yang kembali hadir dalam kehidupanku. Kenapa sekarang segala hal tentang Rebecca membawa masalah buatku? Apakah ini pertanda? Seandainya aku bisa, aku juga tidak berniat untuk bertemu dengannya lagi. Lelah luar biasa yang aku rasakan. Seharian aku pergi mengelilingi kota Jogja, pulang disambut dengan kehadiran sesosok manusia yang sama sekali tak terlintas lagi dalam benakku.

Aku kembali berjalan menuju balkon untuk menghabiskan secangkir espresso yang tak lagi panas. Pekat dan pahitnya espresso sama sekali tidak membantuku untuk mengurangi rasa penat yang menyerangku. Saat ini entah apa yang benar-benar aku inginkan. Bercerita kepada Akung atau menemui gadis warung soto. Rasanya yang kedualah yang benar-benar aku inginkan. Aroma yang begitu wangi membuatku rileks. Hanya membayangkannya saja mampu membawaku terbang, bagaimana kalau semua menjadi nyata?

Besok pagi aku harus menemui Akung untuk bertanya kepadanya segala hal tentang Nyonya Salinem. Harus, jika tidak maka aku akan terus penasaran dengan gadisnya. Semoga saja gadis itu adalah yang Akung inginkan untuk aku nikahi.

*....*

Pukul empat pagi aku sudah kembali terjaga. Semalam aku melewatkan makan malam, hingga mengakibatkan perutku terasa perih di pagi buta begini. Beruntung aku hiduup di Solo, di jam segini sudah banyak warung nasi liwet yang sudah buka. Aku segera bangun dari ranjangku untuk membasuh muka, menggosok gigi dan mengenakan kaos. Setelah itu aku keluar dengan menaiki mobil yang sengaja aku tinggal di parkiran basement apartemen. Mobil cadangan untuk berjaga-jaga di saat-saat tak terduga. Kelaparan di waktu subuh, misalnya. 

Aku menelusuri sepanjang jalan Adi Sucipto namun belum menemukan satupun warung nasi liwet. Kuteruskan perjalanku menuju kawasan stadion Manahan. Biasanya banyak yang sudah buka. Dugaanku tidak meleset. Ada satu warung yang terletak di sisi barat dari Stadion Manahn yang sudah buka. Segera saja aku menepikan mobilku dan memarkirkannya tidak jauh dari warung nasi. Setelah mematikan mesin mobil, aku keluar dengan setengah berlari. Rasanya bahagia bisa menemukan satu warung di jam segini. Efek kelaparan, mungkin.

Aku memesan seporsi nasi liwet komplit dengan telur bacem sebagai lauknya plus teh panas tawar. Menu yang sederhana namun sangat menggugah selera. Tanpa menunggu lama, aku segera menyantapnya. Sekejap hidangan nasi liwet sudah ludes berpindah ke dalam lambungku. Ah, nikmatnya.

Setelah membayar makananku, aku kembali ke mobil. Melihat ponselku untuk mengecek beberapa notifikasi. Tidak ada yang urgent. Waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi, semburat jingga mentari pagi sudah menyapa. Indah sekali. Seharusnya aku membawa serta sepatu lariku, itung-itung sekalian olahraga. Sayangnya aku lupa membawa. Alhasil aku hanya bisa memandangi mereka yang meluangkan waktu untuk berlari pagi mengelilingi kawasan stadion. Terlintas dalam benakku, suatu pagi aku mengajak gadis warung soto ke sini untuk berolahraga pagi dan menikmati seporsi nasi liwet sederhana. Rasanya indah sekali. Semoga saja harapku segera terealisasi.

Tanpa mengulur waktu, aku menyalakan mesin Pajeroku. Aku akan kemana sekarang? Balik apartemen? Rasanya masih enggan, apa lebih baik aku ke rumah Akung saja? Bagaimana kalau Akung terkejut dengan kedatanganku sepagi ini? Ah, rasanya tidak. Jam lima pagi, Akung sudah bangun dan menikmati udara pagi di halaman belakang rumah. Jadi aku mengarahkan mobilku menuju kediaman Akung. Hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai ke rumah Akung. Apalagi di waktu sepagi ini, jalanan serasa milikku sendiri. 

Aku tiba di kediaman Akung disambut Dimas yang membukakan pintu gerbang. Tak kaget, karena Dimas dan Pak Bondan memang tinggal bersama di rumah Akung. Setelah pintu pagar terbuka lebar, aku masuk ke halaman dan memarkirkan mobilku. Aku keluar dengan senyum masih terkembang. Senang sekali bisa menikmati indahnya mentari pagi yang baru mulai muncul.

"Selamat pagi, Mas Zayn. Tumben jam segini sudah sampai sini," Sapa Dimas ketika melihatku turun dari mobil.

"Aku kelaparan dan subuh tadi sudah sarapan di Manahan. Sekalian saja aku pulang kesini, kangen sama Akung," Jawabku dengan senyum yang masih melekat. Aneh rasanya, semalam aku kalut dengan pikiran yang semrawut. Tapi pagi ini setelah aku melihat terbitnya sang mentari, rasa bahagia memenuhi hatiku. Apakah ini efek aku sudah sarapan? Entahlah.

"Nasib jadi bujangan, ya, Mas. Lapar tengah malam enggak ada yang masakin." Dimas menyahutiku dengan cekikikan. Kurang ajar sekali dia. Mau aku pecat, hah? Tapi mana aku bisa. Akung yang memperkerjakan Dimas. Bukan aku, nasib!

"Sialan, kau. Akung sudah bangun?"

"Sudah, Mas. Tuan besar lagi di belakang seperti biasa."

"Oke, aku temui Akung dulu." 

Aku tidak masuk ke dalam rumah Akung, melainkan berjalan memutari bagian samping kiri rumah Akung dan menuju halaman belakan tempat Akung berada. Rumah yang Akung tinggali berada di kawasan Jaten, Karanganyar. Luayan asri dengan gaya khas bangunan Jawa. Di bagian depan terdapat tembok batu bata tinggi yang mengelilingi dan sepetak halaman kecil sebagai penyedap mata. Di samping kiri terdapat jalan sepetak yang dipenuhi dengan rumput, terhubung dengan halaman belakang rumah. Di halaman belakang, terdapat taman yang cukup luas. Ada gazebo dan kolam kecil yang dipenuhi dengan ikan koi. Akung suka sekali dengan ikan koi. Katanya, saat memberi makan ikan, Akung merasa damai. 

Tepat seperti dugaanku. Akung berada di belakang dengan memandang kolam ikan koinya. Kelihatannya, kegiatan memberi pakan ikan sudah selesai. Jadi aku tidak merasa sudah mengganggunya.

Aku berjalan mendekat, tepat satu langkah di belakan Akung, beliau sudah tahu kalau aku yang datang. Feeling orang tua selalu tepat.

"Kenapa kamu baru datang sekarang, Zayn? Tidak baca pesan Akung?"

"Maaf, AKung. Zayn capek banget kemarin. Enggak ingin kemana-mana." Dustaku, maafkan aku Akung. Meskipun Zayn tahu, Akung sudah tahu apa yang terjadi pada Zayn semalam.

"Hanya itu? Tidak ada yang lain?"

Benarkan dugaanku, banyak hal yang Akung sudah ketahui dariku. Jadi percuma saja menyembunyikannya.

"Zayn rasa Akung sudah tahu siapa yang datang menemui Zayn semalam. Tidak mungkin berita sebesar itu luput dari Akung. Kurasa tembok apartementku sudah bisa bicara dengan Akung". Dasar cucu kurang ajar, berani sekali diriku berkata demikian.

"Bukannya Akung ingin ikut campur dengan kehidupanmu sendiri. Tapi Akung enggak mau kamu kembali seperti dua tahun yang lalu. Cukup hanya itu saja, jangan lagi."

"Tenang, Zayn sudah kebal. Zayn mencium sesuatu dari kedatangan Rebecca. Benar karta Akung, dia tidak terlahir untukku."

"Syukurlah kamu sudah menyadrinya. Akung hanya inginkan yang terbaik untukmu. Jangan sampai kamu terjerat dengan iblis itu."

"Sebenarnya apa saja yang Akung ketahui tentang Rebecca? Sampai saat ini, Zayn masih penasaran. Tapi sudahlah, sudah lewat. Zayn enggak mau ungkit lagi."

"Cucu berbakti." Kata Akung sembari tersenyum dan menepuk pundak kiriku beberapa kali.

"Akung, bolehkah Zayn bertanya sesuatu?" Takut-takut aku mulai pembicaraan ini. Dorongan dalam diriku sangat kuat, aku tak mampu lagi untuk menyembunyikannya.

Sementara Akung belum menjawab pertanyaanku, justru aku melihat kerutan dalam kening Akung yang kian kentara. Aku rasa AKung juga curiga. Kelihatannya Akung sudah memprediksikan bahwa aku akan bertanya tentang hal ini.

"Silahkan, cucuku. Hal apa yang ingin kamu ketahui?"

"Sebenarnya Zayn takut, takut Akung akan tersinggung dengan pertanyaanku. Tapi Zayn tidak ada cara lain lagi. Zayn rasa, Akung juga sudah mengetahui maksud Zayn."

"Cepatlah, jangan suka bertele-tele. Cucu bodoh!"

Aku tertawa sebelum melanjutkannya. "Baiklah. Ini tentang Nyonya Salinem."

Sengaja aku memberi jeda, melihat ekspresi Akung yang sedikit terkejut namun samar. Pandai sekali Akung menyembunyikan ekspresinya.

"Apa yang ingin kamu ketahui darinya?"

"Apa hubungan Akung dengannya dulu?"

Kali ini, pertanyaanku sukses membungkam Akung lama. Dilihat dari sorot matanya, ada satu hal yang memang sengaja Akung sembunyikan. Saatnya sekarang aku mengulik semua hingga tuntas. Sebelum aku kembali berjalan untuk mendapatkan gadisku. Gadis warung sotoku.

"Zayn ingin tahu semuanya. Semuanya tanpa terkecuali."

~~~~~~~~~~~~~~~~

hola, Zayn update...
Ada yang seneng?
Masih setiakah kalian nungguin Zayn?

Terima kasih untuk semua yang sayang sama Zayn. Zayn juga sayang kalian.

bagaimana pendapat kalian tentang part ini?

selanjutnya, ada yang bisa menebak?

jangan lupa untuk memberikan love sama Zayn, ya!

love,
jurnallin
11 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro