I

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

dari mata turun ke perut.. karena jatuh cinta butuh tenaga

happy reading,

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Cerita kakek tentang Nyonya Salinem masih terngiang di kepala. Seharian aku tidak dapat berkonsentrasi penuh pada pekerjaan. Akung, sungguh di luar dugaan. Itukah sebabnya Akung ingin sekali aku berjodoh dengan cucu Nyonya Salinem?

Kalau begitu, apakah benar gadis yang aku lihat di warung soto tempo hari itu adalah cucunya? Semoga benar. Karena aromanya yang luar saja. Aku ingin segera menemukannya. Ya, aku akan ke Jogja lagi malam ini. Bersama Dimas saja, enggak perlu mengajak Arman maupun Fredy.

Selepas kembali dari pabrik, aku pulang ke apartement. Bersama Dimas, aku bergegas menuju Jogja setelah selesai dengan segala kebutuhanku di apartement.

"Dim, jangan bilang-bilang sama Pak Bondan, ya! Untuk kejutan Akung saja." Pintaku pada Dimas. Seperti aku akan membawa hasil yang Akung inginkan saja?! Padahal kan belum tentu aku bisa menemukan gadis itu.

"Siap, Mas. Aman pokoknya."

"Yakin? Kemarin Akung bisa tahu kalau Rebecca menemuiku, dari mana?"

"Ya, mana saya tahu, Mas. Saya hanya mendengarnya saja. Enggak sengaja pas lewat dengar Tuan besar bicara sama Bapak. Kelihatan sekali beliau tidak suka."

"Begitu. Aku masih penasaran, dari mana Akung bisa tahu segalanya tentangku. Apa jangan-jangan Akung menempatkan seseorang di sekelilingku? Sudahlah, asal tidak mengganggu privasiku saja. Tapi terkadang risi juga. Akung itu kalau sudah terjun, pantang lepas sebelum tuntas."

"Benar sekali, Mas."

Setelah sedikit berbincang dengan Dimas selama di perjalanan, aku memilih untuk istirahat. Menyandarkan punggungku ke sandaran kursi dan memejamkan mata. Lelah sekali. Aku duduk di kursi depan, samping Dimas. Aku enggak tega membiarkannya duduk sendirian di depan, meskipun Dimas sudah terbiasa dengan itu. 

Pukul tujuh malam aku sampai di kawasan jalan Malioboro Jogja. Suasananya lumayan ramai, padahal ini bukan akhir pekan. Kelihatannya banyak pelancong yang lebih suka menikmati keindahan Jalan Malioboro di malam hari ketimbang siang hari. Banyak berdiri warung-warung tenda di trotoar sepanjang Jalan Malioboro hingga Pasar Beringharjo. 

Aku memilih untuk bersantap malam terlebih dahulu, sebelum kembali melanjutkan penyelidikanku tentang Nyonya Salinem. Aku memasuki salah satu warung lesehan dengan menu nasi gudeg. Sudah jauh-jauh sampai Jogja, enggak afdol kalau enggak mencicipi kuliner khasnya. Aku memesan dua porsi nasi gudeg komplit plus teh panas tawar sebagai minumannya. Dua porsi untukku dan Dimas. 

Saat kami sedang menunggu pesanan kami datang, samar aku mencium kembali aroma gadis itu. Apakah ini sebuah fatamorgana? Mataku berkeliling mencari sosoknya. Semoga saja aroma ini benar adanya. Biasanya, jika aku bisa membaui suatu aroma, obyek pembawanya pasti berada tak jauh dariku. Benar saja, tepat di arah pukul dua dari tempatku duduk, aku melihatnya. Gadis itu, gadis warung soto. Pantas sekali aromanya tercium. Beruntung aku memutuskan untuk ke Jogja malam ini.

Secara impulsif aku berjalan mendekati gadis itu. Semakin dekat, semakin kuat aku menghidu aromanya. Aroma yang lembut, manis, menenangkan dan membuatku mabuk kepayang. 

"Maaf, boleh saya duduk disini?"

Gadis itu menoleh ke arahku. Sepertinya dia ingat denganmu. Karena terlihat sedikit kaget, sedikit saja. Sekejap kemudian dia berhasil mengontrol raut mukanya.

"Silahkan,"

Setelah di persilahkan duduk, aku segera mengambil posisi di depan gadis itu. Terhidu dengan jelas aromanya. Dan aku menyukainya. Aku memejamkan mataku, terbayang keindahan taman dengan sejuknya pohon serta gemericik air terjun. Sungguh, rasanya tenang sekali. Buru-buru aku mengenyahkan bayangan itu. Aku kembali menatapnya. Wajahnya yang manis. Sorot mata tajam, bibir merah alami dan penuh. Rambut ikal sebahu berwarna kecoklatan sangat cocok dengan kulit putihnya yang lembut. Dan hidungnya yang bangir serta alis yang terukir rapi, bagaian mana lagi yang membuatku dapat berpaling darinya? Sungguh aku ingin segera memilikinya. Aku yakin dia adalah gadis itu. Gadis dari keturunan Nyonya Salinem.

"Perkenalkan namaku Zayn, boleh saya tahu nama kamu?"

Aku mengulurkan tanganku sebagai tanda aku membuka diri untuknya. Ragu-ragu dia menatap uluran tanganku. Satu, dua, tiga detik kemudian dia mengulurkan tangannya dan menjabat tanganku.

"Ari."

Lembut sekali tangan itu. Aku tidak ingin melepasnya. Tatapan kami bertemu selama sedetik. Sorot matanya yang mengagumkan membuatku tenggelam di dalamnya. Wanita yang tegas namun rapuh di dalam.

"Ari? Hanya itu saja?"

"Iya, memangnya mau apa lagi?"

"Oh, maaf. Saya kira kamu punya nama panjang. Tapi sudahlah, lupakan saja."

"Hmhmhm..."

"Kamu ingat dengan saya? Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke warung sotomu. Saya sempat melihatmu, hanya sebentar. Setelah saya berusaha mencarimu ke setiap penjuru warung, kamu enggak ada. Kata pegawai disana, enggak ada gadis seperti yang saya sebutkan ciri-cirinya."

"Iyakah? Saya sudah lupa. Karena saya enggak full berada di warung. Atau kamu yang salah mengenaliku?"

"Enggak mungkin saya salah mengenalimu. Kamu mempunya ciri khas yang hanya saya yang tahu."

"Apa itu?"

"Belum saatnya kamu tahu,"

"Baiklah. Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu datang kemari? Saya rasa kamu bukan berasal dari kawasan dekat sini, luar kota mungkin?"

Ari ternyata cukup jeli. Tak ada yang luput dari pandangannya. Kelihatannya dia memang ingat kepadaku. 

"Benar, aku bukan dari sini. Rumahku di Solo, kebetulan aku sedang mencari seseorang. Teman masa muda Akungku. Mungkin kamu bisa bantu aku. Eh, kita pakai aku kamu saja, ya. Biar terlihat akrab."

"Up to you,"

"Oke, aku mencari seorang wanita tua. Beliau berasal dari Prambanan. Dulu sewaktu muda, berkawan akrab dengan Akung. Akung bernama Atma Wiratama. Dan wanita sepuh yang aku cari bernama Salinem Priyatno."

Panjang lebar aku menerangkan maksud dari tujuanku kemari. Jika tidak salah menduga, Ari sungguh mengenal Nyonya Salinem. Terlihat dia hanya diam saja. Berpikir sesuatu, dan apa itu? Kenapa dia terlihat seperti melakukan sesuatu di dalam mulutnya?

"Kamu enggak apa-apa, Ari? Kelihatannya enggak nyaman. Lupakan saja semua perkataanku barusan kalau itu membuatmu enggak nyaman. Bagaimana kalau kita pindah ke mejaku di sebelah sana. Aku sudah memesan makanan."

"Aku baik-baik saja. Zayn, bisakah kita disini saja, berdua. Aku enggak mau pembicaraan kita ini di dengar oleh orang lain."

"Dimas bisa dipercaya. Kalau aku bilang diam, itu artinya dia akan diam."

"Tapi aku enggak nyaman, Zayn. Terserah kamu sajalah, tapi aku tetap disini."

Lebih baik aku mengalah. Daripada enggak dapat apa-apa lagi. Aku segera menelepon Dimas, memintanya untuk mengantarkan makananku ke meja bersama Ari. Segera Dimas melakukan apa yang aku perintahkan. Setelah selesai membawa makanan dan minuman pesananku, Dimas segera kembali menuju meja yang kami duduki tadi. 

"Oke, apa yang ingin kamu ketahui tentang nenekku?"

Tepat seperti dugaan. Ari adalah cucu dari Nyonya Salinem. Itu berarti aku sudah menemukan gadis yang selama ini Akung inginkan. Sebuah perasaan lega merasuk kalbuku. Tak ingin segera berlalu, aku memilih untuk menikmati santap malamku terlebih dahulu. Kelihatannya Ari kesini hanya untuk melepas penat. Terbukti dia hanya memesan secangkir capuccino saja. Tanpa camilan tanpa makan malam.

"Ijinkan aku untuk sejenak menikmati makan malamku. Karena aku sudah kelaparan. Kamu enggak makan?"

"Aku sudah makan di rumah. Aku hanya ingin menikmati langit Malioboro saja, malah ketemu kamu."

Wow.. Spontan sekali kamu, Ari. Baiklah, akan aku selesaikan makan malamku terlebih dahulu, sebelum aku meladeni setiap ucapanmu. Aku menikmati gudeg dalam diam. Lumayan juga rasanya. Meski enggak senikmat gudeg Yu Djum, gudeg yang menjadi icon kota Jogja, tapi lumayanlah. Aroma manis legit dan gurihnya santan sangrai yang dimasak dengan kayu bakar menguar di hidungku. Serta rasa telur bacemnya juga merasuk hingga ke dalam. Sambal kreceknya juga tak kalah menggoda. Pedasnya cabai sedikit menggangguku, karena aku kurang suka pedas. Itu memperburuk penciumanku. Akung melarangku untuk menikmati kuliner dengan cita rasa pedas.

Peluh menetes dari keningku. Memang selalu seperti ini setiap kali aku makan pedas. Tak peduli level berapapun pedasnya, peluh akan mengucur deras. Aku merasakan usapan lembut di dahiku. Spontan aku mendongak. Ternyata Ari pelakunya. Romantis sekali. Membuatku semakin tergila-gila padanya.

"Terima kasih," ucapku di sela-sela mengunyah makanan.

"Jangan bicara kalau mulut lagi penuh. Bisa tersedak."

Aku hanya memandang Ari dengan tatapan penuh pemujaan. Begitupun dengannya, tatapannya padaku sangat berarti. Senyumnya yang tipis mampu membuat perutku jungkir balik. Akung, Zayn meleleh. Segera aku tandaskan makan malamku. Menyingkirkan piring yang sudah kosong, kemudian meneguk teh panas yang tak lagi panas. Lumayan untuk mendorong sisa makan malamku masuk ke perut. Selesai aku mengelap mulut dengan tissue, aku memandanginya. Sekilas senyum aku terbitkan, karena memang aku memujanya. Aku memuja gadisku. Sejak pertama kali aku melihatnya di warung soto.

Sekarang semua khayalku menjadi nyata. Aku mampu berbincang dengannya, hanya berdua. Dengan rakus aku akan mereguk setiap aromanya. Tak akan aku sisakan untuk yang lainnya. Namun aku yakin, hanya aku yang mampu mencium aroma ini. Aroma manis nan lembut juga harum campuran kayu cendana dan melati. Membawaku terbang ke masa lampau. Masa dimana Belanda masih berkuasa di tanah Jawa.

Aku berdeham untuk mengurangi kecanggungan ini. Namun kelihatannya Ari sudah lebih rileks. Baiklah, aku akan memulai interogasiku. 

"Akung memintaku untuk mencari Nyonya Salinem. Beliau adalah cinta lama Akung. Mungkin kelanjutannya kamu bisa menebak?"

"Aku bukan cenayang, Zayn. Aku akan menceritakan hanya yang aku ketahui."

Kemudian cerita itu mengalir begitu saja. Tanpa sadar kami saling berbagi pengetahuan. Berbekal cerita dari Akung dan Nyonya Salinem, kami bisa menyimpulkan bahwa ternyata kami memang di takdirkan untuk seperti ini. Ari mengakuinya, dan ternyata waktu itu Ari memang sengaja bersembunyi dariku. Ari takut salah orang. Sekarang setelah semua menjadi jelas, Ari menawariku untuk berkunjung ke kediaman Nyonya Salinem. Karena waktu sudah larut, aku enggak mau ambil risiko. 

"Jadi begitu ceritanya. Ari, kamu percaya tentang semua itu?"

"Bagian mana yang membuatku tidak percaya terhadap kata-kata nenekku, Zayn? Seumur hidupnya, nenek selalu jujur. Meski hidup seadanya, beliau tak pernah berdusta. Haram hukumnya."

"Baiklah, aku percaya. Sekarang bolehkah aku mengantarmu pulang? Ini sudah larut, enggak baik gadis sepertimu pulang malam sendirian."

"Jadi menurutmu aku lebih baik pulang denganmu ketimbang sendirian, gitu? Apa kata Papaku, Zayn? Ngajak pulang orang yang baru beberapa jam dikenal."

Ari benar, enggak seharusnya aku mengantarnya pulang. Namun sudut kecil di hatiku merasa khawatir dengannya. Pulang larut sendirian, meski suasana kota Jogja selalu ramai. Tapi siapa yang berani jamin kalau tidak ada gangguan yang muncul?

Ponselku yang berada di atas meja bergetar. Dari Pak Bondan, ada apa gerangan hingga beliau meneleponku sendiri? Biasanya beliau akan menelepon Dimas.

"Sebentar, aku angkat telepon dulu, ya!"

Tanpa menunggu persetujuan dari Ari, aku mengangkat ponselku. Masih di depan Ari, aku menerima kabar dari Pak Bondan. Alisku mengernyit bingung. Kenapa dia mengacau malam-malam begini?

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

hai hai hai...

Zayn come back. Kali ini Zayn sudah ketemu sama A. Bisa bayangin enggak Zayn dan Ari kayak apa?

Apa pendapat kalian tentang part ini?

Terus dukung Zayn ya temans, karena Zayn sayang kalian. Zayn butuh kalian untuk tetap bertahan.

Jangan lupa untuk kasih love ke Zayn. Koment dan share kalau kalian suka dan sayang sama Zayn.

See you when i see you

love,
Jurnallin
13 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro