04. Nafkah Lahir Batin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kabar bahwa suami Pinky setampan Dewa Yunani mulai menyebar ke seantero Rumah Sakit. Dari lantai paling bawah, hingga lantai atas.

Dari jajaran direksi, hingga juru parkir depan rumah sakit, serasa tak luput membicarakannya.

Awalnya Pinky risih. Tapi begitu melihat reaksi senewen rekan-rekannya, terutama yang masih bujang, tiba-tiba saja ia seneng.

Wuih, kapan lagi ia bisa punya suami yang dipuji-puji banyak orang.

Walau namanya katrok, tapi mukanya hot! Eaaaakkk...

Josh yang berada di lantai berbeda pun dibela-belain meluncur ke ruangan Pinky.

"Jadi itu bener?" Ia bertanya tergopoh.

"Josh... Akhirnya kamu mau bicara lagi sama aku." Pinky girang.

"Jawab aja pertanyaanku." Joshua terdengar sengit.

"Apaan sih?" Pinky bingung.

"Itu, suamimu. Mereka bilang dia kayak dewa Yunani. Bener nggak sih?"

Pinky menggigiti kuku, ragu hendak menjawab. Josh sudah terlalu kecewa karena ia menikah mendadak. Kalau sekarang ia tahu bahwa Aming setampan model Giorgio Armani, lelaki ini bakal tambah potek. Dan bisa-bisa, ia benar-benar memutuskan persahabatan mereka.

"Pinky!" Josh nyaris berteriak.

Pinky menggaruk kepalanya.

"Enggak kok. Dia kayak... tukang kebun," jawabnya.

"Yakin? Kalo suamimu kayak tukang kebun, kenapa kaum perempuan di area ini kayak lagi pe-em-es?"

"Itu...."

"Coba lihat fotonya."

"Aku nggak punya."

"Masak foto suami sendiri nggak punya?"

"Ya emang nggak punya." Pinky berujar sengit.

"Ini ada apa sih ribut-ribut?" Dokter Giska muncul dari balik pintu.

Josh menoleh.

"Cuma pengen mastiin kalo suami Pinky mirip tukang kebun," jawabnya asal.

Raut muka Dokter Giska antusias seketika.

"Oh, si Aming? Suaminya Pinky?" Ia berjingkat ke sebelah Josh.

"Beneran deh, dia hot banget! Hott! Hoottt!! Bokongnya, aduuuhhh, seksi bo'. Kamu pasti nggak percaya kalo dokter Pinky punya suami macam dia. Ohmaegattt! Pokoknya dia...."

"DOKTER GISKAAA!!" Pinky menjerit.

Temen dia yang satu ini bener-bener minta dikasih sianida kayaknya!

Berani-beraninya dia ngomongin bokongnya Aming!

Walau dia belum jatuh cinta pada lelaki itu, bukan berarti ia rela kalo ada perempuan lain muji-muji dia.

"Jadi bener dia kayak Dewa Yunani?" Josh menyela.

"Beneran!" Dokter Giska menjawab antusias. "Tadi aku sempat memotretnya diam-diam." Perempuan itu merogoh ponselnya dari saku jas.

Pinky melotot. Hah?

Buru-buru ia bangkit, berusaha meraih ponsel tersebut.

"Dilarang mengambil gambar tanpa seijin istri!" protesnya. Tapi Dokter Giska mengelak, berusaha menjauhkan ponsel tersebut dari jangkauan Pinky.

Josh yang merasa kepo akut dengan sosok Aming, berusaha ikut merebut ponsel dari tangan dokter Giska.

Alhasil, mereka bertiga terlibat aksi rebutan ponsel.

Ruang kerja Pinky jadi ribut. Untung sudah nggak ada pasien.

Keributan di antara mereka terhenti ketika tiba-tiba ponsel dokter Giska terlempar dan ... plukkk!

Benda mungil itu melayang ke luar jendela.

"Ponselkuuu...!" Dokter Giska menjerit histeris lalu menyeruak keluar ruangan, berlari heboh menyusuri lorong rumah sakit ke arah taman, tempat ponsel tersebut jatuh.

Pinky tercenung sejenak lalu ikut menjerit, "Potonya Aming!"

Ia pun berlari mengikuti dokter Giska.

Josh yang ditinggal sendiri di ruangan akhirnya menyerah pasrah. Ia memutuskan untuk berlari mengikuti Pinky dan dokter Giska.

"Aku mau lihat fotonya Aming! Jangan dihapus dulu woi!" teriaknya.

°°°

Pukul delapan lebih lima belas menit Pinky baru sampai di rumah.

Setelah memarkir mobilnya dengan asal di halaman, ia melangkah buru-buru memasuki rumah dengan perut keroncongan. Lapar luar biasa.

Menata sepatunya secara sembarang, melemparkan tas di sofa, ia bergerak ke dapur. Berniat membuat sesuatu yang mampu mengganjal perutnya sementara waktu. Salad buah atau roti isi, mungkin.

Namun begitu sampai sana, ia menyaksikan Aming sudah berjibaku di meja makan.

Menata beraneka hidangan menggiurkan di atas meja.

"Wow, kamu udah bikin makan malam rupanya." Pinky memuji.

Ia berniat mencomot sepotong daging, tapi Aming keburu menepis tangannya.

"Cuci tangan dulu," perintahnya.

"Tanganku bersih." Pinky membantah.

"Enggak. Kamu baru aja pulang dari rumah sakit, dan bisa jadi kamu membawa kuman pulang ke sini. Cuci tangan sana."

"Ming...."

Melihat Aming melotot protes, Pinky beranjak ke kamar mandi dengan bersungut-sungut.

Setelah mencuci tangan, ia buru-buru ke meja makan.

Ia baru saja hendak duduk ketika Aming kembali protes.

"Ganti baju dulu," perintahnya.

"Bajuku bersih," jawab Pinky.

"Tetep aja itu baju dari rumah sakit. Ganti baju sana."

Memutar mata kesal, toh Pinky tetap menurut. Bergerak ke kamar, mengganti baju dengan kaos longgar dan pants, ia kembali berlari ke meja makan.

"Aku kelaparan dan pengen makan. Kalo kamu masih mengomel, akan ku obrak-abrik makanan ini." Pinky mengancam.

Aming yang tengah menikmati teh hangat dari gelas ditangannya akhirya menatap lurus ke mata Pinky lalu mengangkat bahu.

"Ya udah, makan sini," ujarnya.

Sekian detik kemudian, Pinky sudah lahap menikmati masakan Aming yang super lezat.
Kemarin bilangnya nggak bisa masak, nyatanya masakannya enak banget, Pinky ngedumel dalam hati.

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu yang bikin makan malam?" Pinky memasukkan sepotong sosis ke mulutnya.

"Karena aku pulang duluan dan sempat melakukannya. Lain hari jika kau yang pulang lebih dulu, maka ganti tugasmu untuk bikin makan malam." Aming menjawab santai.

Pinky manggut-manggut.

"Karena kita sama-sama sibuk, alangkah baiknya kita bagi tugas dan melakukan pekerjaan rumah bareng-bareng. Semacam kayak, siapa yang nyuci, siapa yang ngepel, siapa yang bersih-bersih dan lain sebagainya," ucap Aming lagi.

"Kenapa nggak kita cari aja asisten rumah tangga aja?" cetus Pinky.

Aming menggeleng.

"Karena kita sudah berkeluarga, ini rumah kita, alangkah baiknya kita mengerjakan sendiri pekerjaan rumah tangga. Selain itu, ini langkah paling efektif untuk menumbuhkan rasa cinta di antara kita. Kita harus banyak melakukan interaksi agar saling mengenal lebih jauh. Dan ini salah satu cara paling ampuh."

Pinky mengerjap demi mendengar semua kalimat Aming.

We-o-we.

"Ntar aja kalo kita udah punya anak, baru kita pikirkan rencana untuk cari pembantu."

"Sudah kubilang aku belum mau punya anak," potong Pinky sengit.

Aming mendesah lalu menegakkan tubuhnya.

"Lupa ya? Kita sudah pernah berhubungan intim. Jadi kemungkinan kamu hamil akan selalu ada," jawabnya.

Pinky buru-buru menggerakkan jemarinya layaknya orang yang sedang berhitung.

"Aku nggak sedang masa subur. Jadi kemungkinan hamil itu kecil," jawabnya kemudian.

Aming kembali mendesah.

"Iya deh, terserah," ujarnya. "Tapi aku tetap nggak setuju kita mencari pembantu." Dan lelaki itu kembali menyeruput tehnya.

"Oh iya, aku sudah menyiapkan rekening khusus untukmu, termasuk beberapa kartu debet dan juga kartu kredit."

"Untuk apa?"

"Uang belanja."

"Tapi aku punya uang sendiri kok," ucap Pinky buru-buru.

Aming menatap istrinya lembut.

"Iya, aku tahu kamu punya uang sendiri. Tapi sebagai suami, aku tetep akan memberikan nafkah padamu. Terserah nantinya uang itu akan kamu apakan. Yang jelas, aku akan melaksanakan kewajibanku sebagai suami. Menafkahimu, memberimu uang belanja," jelasnya.

"Aku juga sudah menyiapkan satu rekening bersama yang nanti uangnya bisa kita gunakan untuk kepentingan bersama-sama pula," lanjutnya.

Pinky garuk-garuk kepala.

Entah, tiba-tiba saja ia tidak yakin bisa bertahan dalam pernikahan ini.

Aming punya konsep yang 'njlimet' soal pernikahan. Sementara dirinya? Ah, ia masih saja tergoda untuk hidup bebas dan berpetualang ke penjuru dunia.

"Terserahlah."

Akhirnya ia menjawab pasrah.

°°°

Hobi paling absurd yang selama ini sering Pinky lakoni adalah : ber-bugil-ria.

Perempuan itu terbiasa hidup sendiri di apartemennya, bertahun-tahun. Jadi selama ini ia selalu melakukan sesuatu sekendak hatinya. Termasuk kebiasaan tak mengenakan apa-apa ketika di rumah.

Saban hari, setiap kali pulang kerja, ia akan melucuti semua pakaiannya sendiri lalu melakukan berbagai aktivitas tanpa mengenakan baju. Ya makan, ya nonton tv, ya tidur, ya bermalas-malasan.

Ketika memasak pun, ia hanya akan mengenakan bra, celana dalam, dan apron.

Entah apa alasannya. Yang jelas, ia merasa risih. Belum lagi kalo cuaca sedang panas. Bawaannya pengen nggak pake baju mulu.

Lagipula, otot-ototnya perlu relaksasi. Terlebih otot dada. Risih lho pake bra ketat selama hampir dua puluh empat jam. (Dan cuma perempuan yang paham situasi seperti ini)

Tapi sekarang, sejak menikah dengan Aming, aktifitas itu tidak lagi ia lakoni. Ia menahan diri agar tidak melucuti pakaiannya sendiri ketika lelaki itu di rumah.

Merasa malu, karena bagaimanapun juga, sosok itu masih lumayan asing di hidupnya.

Namun, sore itu, Pinky serasa tak bisa menahan diri. Ia nggak betah.

Panas, penat, risih, semua jadi satu.

Sepulang kerja, setelah melemparkan tasnya ke atas tempat tidur, ia melucuti bajunya sendiri.

Kemudian dengan hanya mengenakan celana dalam dan bra longgar, ia melenggang santai ke dapur, lalu mengambil minum.

Aming yang baru selesai mandi menatap kelakuan istrinya dengan ekspresi syok.

"Ngapain kamu?"

"Minum." Pinky menjawab enteng.

"Ya tahu kamu minum. Maksudnya... itu." Dengan dagunya, Aming menunjuk tubuh Pinky yang nyaris bugil.

"Oh ini..." Pinky menenggak minumannya kembali dengan santai. "Panas," lanjutnya.

Perempuan itu bergerak mendekati jendela yang terbuka lalu menikmati semilir angin dari sana.

"Pake kembali bajumu," titah Aming.

"Ogah." Pinky menjawab cepat.
"Risih tahu," lanjutnya.

"Mana ada orang dewasa yang risih pake baju?" Aming terdengar sewot.

"Panas, Ming. Sejak dulu sebelum nikah aku emang sering gini." Pinky tak kalah sewot.

"Pokoknya pake kembali bajumu."

"Ogah."

Keduanya bersitatap dengan jengkel.

Aming berkacak pinggang dengan kesal.

"Ini nggak adil, Ping!"

"Nggak adil apanya sih?"

"Kamu bilang belum pengen punya anak, tapi kamu nyaris bugil di hadapanku." Lelaki itu kembali mengomel.

"Lha terus apa masalahnya?"

"Kan aku jadi terangsang dan pengen... nubruk."

Eng

Ing

Eng

#AdaKondom?

°°°

to be continued

note : cerita ini hanya untuk hiburan semata. tidak termasuk melecehkan profesi tertentu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro